Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189503 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Adhi Teguh Perma Iskandar
"ABSTRAK
Sesak napas bayi baru lahir merupakan morbiditas tersering pada bayi prematur < 35 minggu. Sesak napas harus ditangani secepatnya dengan pemberian tekanan jalan napas positif. Sampai saat ini, nCPAP merupakan pilihan pertama terapi ventilasi non-invasive untuk bayi prematur. Walaupun efektif, nCPAP sering memberikan efek samping berupa trauma hidung. Heated humidified high flow nasal cannulae merupakan metode terapi oksigen beraliran tinggi yang tanpa sengaja mampu memberikan tekanan jalan napas positif, namun keamanan dan efektifitasanya masih belum banyak diteliti. Mengetahui efektifitas dan keamanaan HHHFN dibanding nCPAP pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu yang mengalami sesak napas derajat sedang. Penelitian ini merupakan uji klinis non-inferioritas, acak, tidak tersamar yang membandingkan HHHFN dan nCPAP pada bayi prematur usia yang mengalami sesak napas sejak dari kamar bersalin Tidak ada perbedaan insiden intubasi endotrakeal pada pemakaian < 72 jam HHHFN 20 dibanding nCPAP 18 p = 0,799 . Terdapat perbedaan proporsi trauma hidung derajat 2 pada penggunaan nCPAP 14 dibanding HHHFN 0 . Tidak terdapat perbedaan pH, pCO2, pO2 darah arteri, lama capaian minum enteral penuh, lama penggunaan alat, lama perawatan metode kanguru, dan insiden komplikasi BPD, IVH, PDA, NEC dan SNAL antara pengguna nCPAP dan HHHFN. HHHFN tidak lebih inferior ditinjau dari efektivitas dan keamanan dibanding nCPAP sebagai terapi non-invasif pada bayi pada bayi prematur usia > 28 minggu dan < 35 minggu dengan berat lahir > 1000 gram yang mengalami sesak napas derajat sedang jika diberikan sedini mungkinABSTRACT
Respiratory distress in new borns are the most common morbidity in premature babies 35 weeks. It should be treated immediately with positive airway pressure. Nasal CPAP is still the first choice of treatment for these cases. Despite its effectivity, nCPAP is proved causing nasal trauma as side effect. Meanwhile Heated Humidified high flow nasal cannula is an alternative oxygen therapy which also could generate inadvertent positive pressure airway, but the effectivity and safety has not been widely studied. The goal of this study is s identifying the effectivity and safety of HHHFN and nCPAP in premature babies ages 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress. This research is a random, non inferiority, clinical trial which compares safety and effectivity between HHHFN and nCPAP in treating babies with moderate respiratory distress since in the delivery room. There is no difference in incidence of endotracheal intubation in 72 hours of HHHFN 20 compared to nCPAP 18 p 0,799 . There is a significant difference of moderate nasal trauma in nCPAP 14 compared to HHHFN 0 . There are no statistically differences of pH, pCO2, pO2 time to full enteral feeding, length of Kangaroo Mother care, length of using the devices, and rate of in complication BPD, IVH, PDA, NEC and SNAL between nCPAP dan HHHFN user. HHHFN is not inferior than nCPAP in terms of safety and effectivity as primary noninvasive therapy in premature babies age 28 weeks and 35 weeks with moderate respiratory distress if given as early as possible."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fitri Ayu
"Asfiksia Neonatorum merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatal di Indonesia dengan persentase sebesar 27%. KPD menyebabkan terjadinya oligohidramnion yang menekan tali pusat sehingga mengalami penyempitan dan mengahambat aliran darah yang membawa oksigen ke janin sehingga menimbulkan hipoksia yang berkelanjutan hingga menyebabkan bayi menjadi asfiksia saat dilahirkan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan KPD dengan kejadian asfiksia neonatorum. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di RSUD HAMBA Batanghari, Jambi. Sampel pada penelitian ini adalah ibu bersalin di RSUD HAMBA Batanghari, Jambi pada tahun 2020 yang dipilih dengan metode sampel acak sederhana. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 70 sampel yang terdiri dari 35 orang terpapar dan 35 orang kontrol. Uji statistik yang digunakan adalah uji regresi cox berganda model faktor risiko. Ada hubungan KPD dengan asfiksia neonatorum (RR= 3,61; 95% CI= 1,11 – 11,75, p-value=0,033) setelah dikontrol variabel riwayat abortus usia gestasi, preeklampsia, dan berat badan lahir. Ibu hamil diharapkan melakukan pemeriksaan antenatal care secara rutin, menjaga tekanan darah dalam rentang normal dengan memperhatikan makanan yang dikonsumsi, mengendalikan stres, dan berkonsultasi kepada dokter sebelum merencanakan kehamilan, terutama untuk ibu yang merencanakan kehamilan untuk anak kedua dan seterusnya.

Neonatal Asphyxia is one the main causes of neonatal mortality in Indonesia with a percentage of 27%. Premature rupture of membranes (PROM) is one of the factors that cause of nenonatal asphyxia. PROM causes oligohydramnios which compresses the umbilical cord so that it is narrowed and the blood flow that carries oxygen to the fetus is blocked, causing asphyxia. The purpose of this study was to determine the association between PROM and neonatal asphyxia. This study used a retrospective cohort study design. The population of this study were all pregnant mothers who perform labor in regional public hospital H. Abdoel Madjid Batoe Batang Hari, Jambi. The samples of this study were are pregnant mothers who perform labor in regional public hospital H. Abdoel Madjid Batoe Batang Hari, Jambi in 2020 selected based on simple random sampling method. The number of samples in this study was 70 samples consisting of 35 people exposed and 35 kontrols. The statistical test used is the multiple cox regression test with the risk factor model. There is association between PROM and neonatal asphyxia (RR= 3,61; 95% CI= 1,11 – 11,75, p-value=0,033) after controlled b history of abortion, gestational age, preeclampsia, and birth weight. Pregnant mother are expected to carry out routine antenatal care, maintain blood pressure within normal ranges by paying attention to the food consumed, mangement and stress control, and consult a doctor before planning a pregnancy, especially for mothers who planned a second pregnancy for their second child and so on."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Nur Izati
"Setiap tahunnya terdapat 1 juta bayi yang meninggal pada hari pertama dikarenakan asfiksia. Risiko kematian karena asfiksia adalah 8 kali lebih tinggi di negara dengan angka kematian neonatal tinggi (Lawn dkk, 2005). Di Indonesia, sekitar 27.0()0 bayi baru lahir meninggal pada hari pertama karena asfiksia (Save the Children, 2005). Selain itu, asfiksia menempati urutan kedua penyebab utama ematian neonatal di Indonesia, setelah berat bayi lahir re dah (29%) ya itu sebesar 27% (SKRT:, 2001).
Kejadian astiksia pada bayi baru lahir di RS, menggambarkan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima oleh ibu dan bayi baik sebelum masuk RS maupun sesudah masuk RS. Kualitas pelaya nan yang diterima ibu dan bayi dapat dipengaruhi oleh beberapa aktor, diantaranya adalah akses terhadap pelayanan kesehatan. Akses terhadap pelayanan kesehatan yang bagus akan dapat mencegah keterlambatan dalam enerima pela):anan kesehatan yang berkwalitas dan mencegah terjadinya asfiksia. Sebaliknya akses yang tidak bagus terhadap pelayanan kesehatan akan menggamoarkan adanya permasalalian sebelum mencapai fasilitas kesehatan dan hal ini dapat terlihat dengan adan ya tanda dan gejala asfiksia pada bayi baru lahir.
Faktor tempat tinggal ibu merupakan salah satu proksi yang dapat setelah mempertimbangkan faktor ibu dan anak dan pelayanan kesehatan. Pola kejadian asfiksia di RS berdasarkan wilayah tempat tinggal menunjukkan bahwa ibu­ ibu yang berasal dari wilayah rural memiliki risiko 1,57 kali untuk bayinya mengalami asfiksia jika dibandingkan dengan ibu yang berasal dari wilayah urban (OR I ,57 95% Cl I,17 - 2, I 0) setelah dikontrol dengan variabel terkait lainnya.

Every year I million babies died on the first day born due to asphyxia. The risk of asphyxia i8 times higher in the country with high neonatal Heath (Law n et al,:2005). In Indonesia, about 27.0. 0 newborn babies d ied in he fi rst day of their life d ue to asphyxia (Save the childre , 2005). Asphyxia is the second cause of death in neonatal periooe in Indonesia (27%), after lew birth weight in th first place (29%) (SKR1\ 2001).
Asphyxia of newborn by, ill ustrate health service qualiry hat mother and baby accept before and afte care in tHe hospi tal The quality of services received by mother and Baby can be infl uence by sev ra J factors; one f those is access to the hea lth service. Good access to t h hea lth service can prevent delayed i n the acceptance for quality of hea lth service an prevent baby to get asphyxia. On the other side, poor access to the health service ean ill ustrate a prob le before reaching the healtH facilities and thi can be seen i n he sign and symptom of birth asphyxia of the newborn baby.
Mother's residence is one of the p oxies that can illustrate access to the health facilities in one area. The proxy of health service facilities can used to evaluate improveme to prevent asphyx ia. Identify the delay before reaching hospital can also be illustrated poor access t0 the healt}l service. And t his can be used to identify poor access through mother-'s residence rela. ed to birth a hyxia.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T20951
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Roy Amardiyanto
"Latar Belakang : Asfiksia neonatorum menyebabkan gangguan multiorgan, salah satunya adalah gangguan ginjal. Belum adanya kesepakatan dalam menentukan gangguan ginjal akut (acute kidney injury, AKI) pada neonatus menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis dan selanjutnya menghambat tata laksana AKI. Acute Kidney Injury Network (AKIN) merekomendasikan kriteria AKI berdasarkan peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan luaran urin.
Tujuan : Mengetahui prevalens AKI dengan menggunakan kriteria AKIN pada asfiksia neonatorum, dan mengetahui perbedaan stadium AKI antara asfiksia sedang dan berat.
Metode : Studi ini merupakan potong lintang analitik yang berlangsung selama Juli 2012 hingga Januari 2013. Subjek penelitian adalah semua bayi baru lahir usia gestasi >35 minggu dengan asfiksia yang lahir dan dirawat di Divisi Neonatologi RS Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja. Analisis menggunakan uji hipotesis Chi-square dengan SPSS versi 20.
Hasil : Penelitian dilakukan pada 94 subjek yang terdiri atas 70 neonatus asfiksia sedang dan 24 neonatus asfiksia berat. Prevalens AKI berdasarkan kriteria AKIN pada asfiksia neonatorum adalah 63%. Prevalens bayi dengan asfiksia berat dan sedang yang mengalami AKI berturut-turut adalah 21 dari 24 subjek (88%) dan 38 subjek (54%). Prevalens bayi dengan asfiksia berat mengalami AKI stadium 3 yang terbanyak yaitu 14 dari 21 subjek (67%). Stadium AKI yang lebih berat lebih banyak dijumpai pada bayi dengan asfiksia berat dibandingkan asfiksia sedang (P<0,001).
Simpulan : Prevalens AKI pada asfiksia neonatorum cukup tinggi. Makin berat derajat asfiksia neonatorum, makin berat stadium AKI.

Background: Asphyxia neonatorum may result in multiorgan disfunction including renal disfunction. There is no consensus on the determination of acute kidney injury (AKI) in neonates making establishment of the diagnosis and its management difficult. The Acute Kidney Injury Network (AKIN) recommends AKI criteria based on increased serum creatinine level and reduced urine output.
Objective: To identify the prevalence of AKI in asphyxiated neonates using the AKIN criteria and to recognize the difference of AKI stadium between moderate and severe asphyxia.
Methods: The study was a cross-sectional analytical study, which was conducted between July 2012 and January 2013. The study subjects were all asphyxiated neonates with gestational age of >35 weeks who were delivered and hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital and Koja District Hospital. Analysis was performed by hypothesis Chi-square test using SPSS version 20.
Results: Of 94 subjects participated in the study, there were 70 and 24 neonates with moderate and severe asphyxia, respectively. The prevalence of AKI was 63%. The prevalence of neonates with severe and moderate asphyxia who experienced AKI was 21 out of 24 subjects (88%) and 38 subjects (54%), respectively. The prevalence of AKI in neonates with severe asphyxia who had stage 3 AKI was 14 out of 21 subjects (67%). More severe AKI stage was found more common in neonates with severe asphyxia (P<0.001)
Conclusions: The prevalence of AKI in neonatal asphyxia is high. The more severe stage of neonatal asphyxia, the more severe the AKI stage
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Wayan Sudiarni
"Pola napas dikontrol oleh satu seri mekanisme sentral dan perifer. Selama aktiviti fisis, termasuk pula kecemasan dan ketakutan terjadi peningkatan metabolisme, keadaan ini menyebabkan pola napas mengalami penyesuaian dengan meningkatkan ventilasi. Kegiatan bernapas individu normal saat istirahat adalah kegiatan yang tidak disadari. Kegiatan bernapas mulai disadari bila otot pernapasan mulai dikerahkan saat melakukan aktiviti ringan sampai sedan& Kegiatan bernapas yang disadari akan disertai perasaan tidak nyaman bila individu melakukan aktiviti yang melelahkan. Perasaan atau sensasi subjektif tidak nyaman saat bernapas itulah yang didefinisikan sebagai dispnea (sesak napas). Dispnea dapat muncul pada individu normal akibat latihan dan ketinggian, namun dispnea sudah muncul dengan sedikit atau tanpa aktiviti pada penderita penyakit tertentu terutama penyakit kardiopulmoner.
Penderita sesak napas secara umum mengemukakan sensasi sesak napas berupa napas pendek, sulit bernapas, tidak mendapatkan cukup udara dan perasaan ketat pada dada. Dispnea timbul akibat interaksi kompleks sinyal dari komponen dispnea dan sensasinya dipengaruhi oleh banyak faktor. Penyakit dengan gejala dispnea, menunjukkan sensasi sesak napas berupa sensasi multipel sehingga sesak napas tidak cukup dijelaskan hanya dengan satu mekanisme fisiologis saja.
Evaluasi sesak napas dapat dilakukan dengan berbagai alat ukur, namun alas ukur yang paling efektif masih belum ditentukan. Pemilihan alat ukur dispnea untuk aplikasi klinis tertentu didasarkan pada validiti dan reliabiliti alat ukur tersebut. Beberapa cara pengukuran telah dikembangkan dalam usaha menderajatkan dispnea baik cara pengukuran langsung maupun tidak langsung. Beberapa waktu kemudian sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan beberapa peneliti melakukan penelitian untuk mencoba mencari cara pengukuran dispnea yang dapat digunakan menentukan penyebab dispnea. Salah satu cara pengukuran tersebut adalah Indeks diferensiasi sesak (IDS) atau dyspnea differentiation index oleh Ailani dkk pada Meridia Huron Hospital OH USA. Nilai IDS ditentukan dari peak expiratory flow rate (PEFR) dikalikan tekanan oksigen arteri (PaO2) dibagi 1000."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ella Nurlaella Hadi
"Banyak program kesehatan maternal dan neonatal yang dijalankan di Indonesia, namun angka Kematian Bayi di Indonesiamasih tinggi, karena angka kematian neonatal masih tetap tinggi dan penurunannya berjalan lambat, yang salah satu penyebabnya adalah karena asfiksia bayi baru lahir (BBL). Asfiksia BBL tidak akan menyebabkan kematian dika ditangani dengan baik dan tepat waktu oleh penolong persalinan. Namun demikian, ketersediaan alat, pengetahuan dan keterampilan bidan di desa (BdD) dalam mengenai dan menangani asfiksia BBL, masih rendah, padahal 66% persalinan di Indonesia sudah ditangani oleh tenaga kesehatan, yang 55% diantaranya dilakukan oleh bidan. Oleh sebab itu, pelatihan manajemen asfiksia BBL perlu diberikan kepada BdD sebagai penolong persalinan.
ujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pelatihan manajemen asfiksia BBL terhadap ketrampilan BdD dan Angka Kematian Neonatal akibat asfiksia yang diteliti dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitaf. Pada penelitian kuantitatif digunakan desain kuasi eksperimen dengan metode time series, ang bertujuan untuk melihat dampak pelatihan manajemen asfikia BBL terhadap keterampilan BdD (diukur sebanyak 5 kali: sebelum pelatihan, segera setelah pelatihan, 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan setelah pelatihan) dan studi autopsi verbal dengan desain cross sectional, yang bertujuan untuk melihat dampak pelatihan manajemen asfiksia BBL terhadap Angka Kematian Neonatal akibat asfiksia. Desain kualitatif dengan metode studi kasus digunakan untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang pengalaman BdD dalam menangani kasus asfiksia BBL. Analisis yang digunakan adalah uji t berpasangan, analisis multilevel pada data longitudinal (LDA), chi square dan regresi logistik ganda.
Segera setelah pelatihan terjadi peningkatan nilai pengetahuan, sikap dan ketrampilan BdD dalam manajemen asfiksia BBL dibanding sebelum pelatihan dan nilai tersebut tetap dapat dipertahankan pada 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan setelah pelatihan. Peningkatan ketrampilan Bdd juga ditandai dengan semakin banyaknya BdD (60,1%) yang mampu menangani kasus asfiksia BBL, yang 89% diantaranya bernapas spontan dan teratur setelah diberikan langkah awal resusitasi dan ventilasi setiap 30 detik selama 2 menit. Faktor-faktor pada level pengukuran berulang, individu dan lingkungan memberikan konstribusi sebesar 62,4% terhadap variasi nilai ketrampilan antar BdD, sedangkan faktor yang mempengaruhi ketrampilan BdD adalah pengetahuan, sikap, pelatihan penyegaran, supervisi, jumlah kasus asfiksia BBL yang pernah ditangani dan angkatan pelatihan menurut wilayah.
Pelatihan manajemen asfiksia BBL kepada BdD mampu menurunkan rate kematian neonatal akibat asfiksi sebesar 46% (dari 5,0/1000 menjadi 2,7/1000 kelahiran hidup) dan menurunkan resiko kematian neonatal akibat asfiksia menjadi separuhnya dibanding sebelum pelatihan. kelahiran prematur, letak sungsang, dan ibu mengalami sesak napas pada waktu persalinan merupakan faktor penyulit yang berisiko menyebabkan terjadinya kematian neonatal akibat asfiksia, setelah dikontrol oleh pelatihan manajemen asfiksia BBL kepada BdD.
Asfiksia BBL merupakan kasus yang relatif jarang, oleh sebab itu, untuk mempertahankan ketrampilan BdD perlu dilakukan pelatihan penyegaran setiap 6 bulan dan supervisi setiap bulan yang disertai dengan pemberian umpan balik. Oleh karena persalinan di rumah oleh bidan di Indonesia masih tinggi, maka perluasan program pelatihan ini di kabupaten-kabupaten lain perlu dilakukan, sehingga Angka Kematian Neonatal dapat diturunkan dan tujuan pembangunan milenium ke-4 dapat tercapai. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2007
D643
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilly Indrawati
"Angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong cukup tinggi bila di bandingkan dengan negara-negara Asean. Sekitar 40 % kematian bayi terjadi pada saat neonatal (bulan pertama kehidupan bayi). Tetanus nennatorum masih merupakan salah satu penyebab tersering kematian neonatal di Indonesia. Dari 126.000 kematian neonatal, sekitar 50.000 diantaranya meninggal karena tetanus neonatorum. Bangsa Indonesia telah bertekad untuk mengeliminasi tetanus neonatorum di pilau Jawa dan Bali pada akhir tahun 1995 dan di seluruh Indonesia pada tahun 2000.
Di Kotamadya DT. II Tangerang pada tahun 1994 - 1996 terdapat 20 kasus tetanus neonatorum ( laporan dari rurnah sakit ) sehingga masih dirasakan cukup sulit untuk mencapai eliminasi tetanus neonatonirn ( kejadian tetanus neonatorum setinggi-tingginya 1 per 10.000 kelahiran hidup ).
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol. Kasus adalah pendataan tetanus neonatorum yang di dapat dari rumah sakit pada tahun 1994 - 1995 sebanyak 20 kasus, sedangkan kontrol adalah bayi yang tidak menderita tetanus neonatorum yang lahir pada tahun 1994 - 1995 yang bertempat tinggal yang sama dengan kasus sebanyak 40 kasus. Untuk mengetahui besarnya hubungan faktor-faktor yang berperan dengan kejadian tetanus neonatorum di lakukan perhitungan Odd Ratio.
Hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara status imunisasi tetanus toksoid ibu hamil, tenaga penolong persalinan, sterilitas alat pemotong tali pusat, obat/bahan perwatan tali pusat dengan kejadian tetanus neonatarum.
Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan untuk dilakukan peningkatan kualitas imunisasi mulai dari perencanaan, pcngawasan mutu vaksin, cold chain, bimbingan dan supenisi ke tenaga pelaksana dii puskesmas serta meningkatkan kerjasama lintas program, lintas sektoral dengan rnembina peran serta masyarakat dan sektor swasta. Selain itu ditingkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan/ persalinan di dampingi oleh tenaga kesehatan, bekerjasama dengan bidan praktek swasta, komitmen dan dukungan politis perlu ditingkatkan dalam upaya akselerasi penuntnan tetanus neonatorum.

Among Asean countries, infant mortality rate in Indonesia is substantially high . Approximately 40 % of infant mortality occurred in the neonatal phase ( the first month of infant life ). Tetanus neonatorum still is one of the major causes of neonatal mortality in Indonesia. From 126,000 neonatal immortality 50,000 is approximately caused by tetanus neonatorum. The Government of Indonesia have targeted to eliminate tetanus noenatorum in Java and Bali at the end of 1995 and all over Indonesia in 2000.
During 1994 - 1996 there were 20 cases of neonatal tetanus observed in Tangerang district hospital ( based or: report from hospital ). Assuring near nor all cases with treated in the hospital phase may be more cases in the whole district.
Case control design was use in this research. A number of 20 eases of neonatal tetanus were identified base on tetanus neonatorum data from hospital in 1994 - 1996. The control were 40 infants with no tetanus neoantorum which were born in 1994 - 1996 and lived in the same area with the cases. To find facie rs suspected as related to tetanus neonatorum, odd ratio was calculated.
The result of the research demonstrated treat neonatal tetanus is related to ( 1 ) TT immunization of pregnant mother, (2) the help of midwives, (3 ) sterilization of equipment utilised in cutting the umbilical cord and ( 4 ) wormed care of the umbilical cord.
From this research writer recommended to improve the immunization quality starting from planning, control of vaccine quality, cold chain management, provision of guidance and supervision to staffs in puskesmas qually important is to improve cooperation among programs, among sectors, by building participation of the communities and private sector. The role of medical personnel to help delivery, also steamed be increased. This can be done by establishing cooperation with private midwives and enclosing political commitment and support.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Nugroho Putri
"Asfiksia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatus. Deteksi dini asfiksia penting untuk mencegah keluaran buruk jangka pendek. Analisis gas darah tali pusat merupakan metode objektif untuk menilai hipoksia-asidosis janin yang merupakan dasar patologi asfiksia. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama merupakan penelitian comparative cross-sectional untuk menilai hubungan pO2 vena, pCO2 arteri, ΔpO2 vena-arteri, ΔpCO2 arteri-vena tali pusat, dan fractional tissue oxygen extraction dengan keluaran sekunder, yaitu dengan skor Apgar <7 pada menit ke-5. Tahap kedua menggunakan desain nested case-control untuk menilai keluaran primer, yaitu keluaran buruk jangka pendek, meliputi perdarahan intraventrikular, ensefalopati hipoksik-iskemik, perawatan neonatal intensive care unit, serta kematian neonatal dini. Total subjek adalah 47 subjek. Tahap pertama penelitian hanya mendapatkan empat kasus sehingga tidak dapat dinilai hubungan dengan skor Apgar rendah menit ke-5. Tahap kedua penelitian mendapatkan 10 kasus dan 37 kontrol. Delta pO2 vena-arteri tali pusat lebih rendah bermakna (p=0,041), sedangkan fractional tissue oxygen extraction lebih rendah namun tidak bermakna (p=0,059) pada neonatus yang mengalami keluaran buruk jangka pendek dibanding tanpa keluaran buruk. Ketiga parameter lain tidak berhubungan dengan keluaran buruk jangka pendek. Titik potong optimal untuk memprediksi keluaran buruk jangka pendek neonatus adalah ≤3,35 mmHg (Sn=83,8%; Sp=60,0%) untuk ΔpO2 vena-arteri tali pusat dan ≤16,2% (Sn=81,1%; Sp=60,0%) untuk FTOE. Delta pO2 vena-arteri tali pusat (OR=7,75 (p=0,010; IK95% 1,66 – 36,01) maupun FTOE (OR=6,43; p=0,017; IK95% 1,42 – 29,08) prediktif terhadap keluaran buruk jangka pendek neonatus. Model prediksi dibuat menggunakan parameter FTOE.

Asphyxia remains one of the most common cause of morbidity and mortality in neonates. Early detection is crucial to prevent asphyxia-related short-term adverse outcomes. Umbilical cord blood gas analysis provides objective measurement of fetal hypoxia and acidosis which define asphyxia. This study aimed to evaluate association of umbilical cord venous pO2, arterial pCO2, arterio-venous ΔpCO2, veno-arterial ΔpO2, and fetal fractional tissue oxygen extraction (FTOE) ratio with neonatal short-term adverse events, including intracranial hemorrhage, hypoxic-ischemic encephalopaty, admission to neonatal intensive care unit, and early neonatal death, as primary outcomes, and low 5-minute Apgar score as secondary outcomes. We used nested case-control design to evaluate primary outcomes and comparative cross-sectional design for the latter. A total of 47 subjects were recruited. Low 5-minute Apgar scores were found in four subjects, which did not fulfill the minimum sample size requirement for analysis. Short-term adverse outcomes were found in 10 cases. Delta pO2 was significantly lower (p=0,041), while FTOE was lower albeit not statistically significant (p=0,059) in case compared to control group. The other three parameters failed to show any significant associations. Optimal cutoff value for pO2 was ≤3,35 mmHg with 83,8% sensitivity dan 60,0% specificity, and ≤16,2% for FTOE (Sn=81,1%; Sp=60,0%). Either umbilical veno-arterial ΔpO2 (OR=7,75; p=0,010; 95%CI 1,66 – 36,01) or FTOE (OR=6,43; p=0,017; IK95% 1,42 – 29,08) was predictive for neonatal short-term adverse outcomes. A prediction model was developed for FTOE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunny Orlena
"Asfiksia neonatal dan sepsis termasuk tiga penyebab kematian terbanyak pada neonatus dan dapat menyebabkan berbagai keluaran buruk. Deteksi dini penting agar dapat dilakukan upaya pencegahan terutama terhadap neonatus dengan risiko tinggi. Diagnosis sepsis yang akurat masih menjadi tantangan karena manifestasi tidak spesifik. Infeksi intrauterin akan menimbulkan fetal inflammatory response syndrome yang disertai beberapa perubahan hematologi, yaitu peningkatan granulopoiesis dan eritropoiesis. Penelitian ini mencoba mencari tahu apakah rasio imatur/total neutrofil (IT), rasio neutrofil limfosit (RNL), dan eritrosit berinti (NRBC) darah tali pusat dapat digunakan sebagai alternatif untuk memprediksi keluaran buruk jangka pendek neonatus. Penelitian ini menggunakan desain nested case control untuk mencari hubungan dan desain potong lintang untuk menilai performa diagnosis parameter hematologi seperti rasio IT, RNL, dan NRBC dalam memprediksi keluaran buruk jangka pendek neonatus. Sejumlah 88 neonatus terdiri atas 22 neonatus dengan keluaran buruk dan 66 neonatus tanpa keluaran buruk sebagai kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara rasio IT (OR=9,1; p<0,001) dan NRBC (OR=14,44; p<0,001) dengan keluaran buruk, sedangkan untuk RNL tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik (p=0,052). Pemeriksaan rasio IT mempunyai luas Area Under the Curve (AUC) 78,7% dengan nilai titik potong optimal 0,206 (sensitivitas 77,3%, spesifisitas 72,7%), sedangkan pemeriksaan NRBC memiliki AUC 80,7% dengan titik potong optimal 13/100 leukosit (sensitivitas 59,1%, spesifisitas 90,9%). Parameter gabungan rasio IT dan NRBC memiliki AUC 85%. Berdasarkan hasil tersebut maka pemeriksaan rasio IT dan NRBC dapat digunakan untuk memprediksi keluaran buruk jangka pendek neonatus.

Neonatal asphyxia and sepsis are among the three leading causes of death in neonates and can cause a variety of adverse outcomes. Early detection is important so that prevention efforts can be made, especially for high-risk neonates. An accurate diagnosis of sepsis remains a challenge because of the nonspecific manifestations. Intrauterine infection will cause fetal inflammatory response syndrome, which is accompanied by several hematological changes, namely increased granulopoiesis and erythropoiesis. This study tried to find out whether the immature/total neutrophil ratio (IT), neutrophil lymphocyte ratio (NLR), and nucleated red blood cells (NRBC) of umbilical cord blood could be used as alternatives to predict short-term adverse neonatal outcomes. This study used a nested case control design to look for association and a cross-sectional design to assess the diagnostic performance of hematological parameters such as IT ratio, NLR, and NRBC in predicting neonatal short-term adverse outcomes. A total of 88 neonates consisting of 22 neonates with adverse outcome and 66 neonates without adverse outcome as controls were included in this study. There was a statistically significant relationship between IT ratio (OR = 9.1; p <0.001) and NRBC (OR = 14.44; p <0.001) with adverse outcome, while for NLR there was no statistically significant relationship (p = 0.052) . IT ratio had an Area Under the Curve (AUC) of 78.7% with an optimal cut-off of 0.206 (sensitivity 77.3%, specificity 72.7%), while NRBC count had an AUC of 80.7% with an optimal cut-off of 13/100 leukocytes (sensitivity 59.1%, specificity 90.9%). The combined parameter of the IT and NRBC ratio has an AUC of 85%. Based on these results, IT ratio and NRBC can be used to predict neonatal short-term adverse outcomes"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Washli Zakiah
"Latar belakang: Nasal continuous positive airway pressure (nCPAP) merupakan alat bantu napas noninvasif pilihan pertama pascaekstubasi untuk bayi prematur. Saat ini High flow nasal cannula (HFNC) digunakan sebagai alternatif lain yang sama efektif nya seperti nCPAP.
Tujuan: Untuk mengetahui efikasi, keamanan dan angka kegagalan terapi penggunaan HFNC dibandingkan nCPAP pascaekstubasi pada bayi prematur.
Metode: Uji klinis acak terkontrol tidak tersamar tunggal dilakukan Februari-Juni 2024 di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kriteria inklusi adalah bayi usia gestasi antara 28 minggu sampai 36 minggu 6 hari yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik. Randomisasi dilakukan pada 42 subjek yang dibagi menjadi dua kelompok (nCPAP vs HFNC).
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,747) kegagalan terapi dalam waktu < 1 jam (23,8% vs 33,3%) dan 1-24 jam (42,9% vs 33,3%). Tidak terdapat perbedaan nilai pCO2 pada analisis gas darah (p=0,683), kejadian trauma hidung (p=0,317), dan skor nyeri (p=0,795) yang menggunakan ventilasi noninvasif HFNC dan nCPAP. Meskipun tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian distensi abdomen (p=0,197) pada kedua kelompok, namun HFNC memiliki angka penurunan kejadian distensi abdomen yang lebih besar dibandingkan nCPAP.
Simpulan: Tidak ada perbedaan kegagalan terapi pemakaian HFNC dibanding nCPAP pascaekstubasi pada bayi prematur. Angka kejadian distensi abdomen didapati lebih kecil pada pemakaian HFNC.

Background: Nasal continuous positive airway pressure (nCPAP) is the primary noninvasive respiratory support choice after extubation for neonates. Hence, High Flow Nasal Cannula (HFNC) has use as effective as nCPAP.
Objective: To determine the efficacy, safety, and therapy failure rates of HFNC and nCPAP post-extubation in preterm neonates.
Methods: A single-blind randomized controlled clinical trial was conducted from February-June 2024 in the Neonatology Division of the Department of Pediatrics, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. The inclusion criteria were preterm (28 weeks to 36 weeks 6 days) with mechanical ventilation. Randomization was performed on 42 subjects, divided into two groups (nCPAP vs HFNC)
Results: There was no significant difference (p=0,747) in the proportion of therapy failure, within <1 hour (23,8% vs 33,3%) and 1-24 hours (42,9% vs 33,3%). There was no difference in the proportion of pCO2 values in blood gas analysis (p=0.683), nasal trauma (p=0.317), and pain scores (p = 0.795) between HFNC and nCPAP. Although there was no significant difference in abdominal distension rate (p=0.197) between the two groups, HFNC had a greater reduction in abdominal distension than nCPAP.
Conclusion: There was no difference in the proportion of therapy failure between HFNC and nCPAP use post-extubation in preterm. The incidence of abdominal distension was found lower with HFNC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>