Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181466 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lubis, Andika Rizki
"Latar belakang: Waktu yang tepat untuk pembedahan katup aorta masihmerupakan tantangan saat ini. Pasien sering datang dengan kondisi lanjut denganperubahan geometri ventrikel kiri sebagai mekanisme kompensasi terhadappeningkatan beban tekanan dan volume berkepanjangan yang akan mempengaruhiluaran klinis pascabedah.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah terdapat pengaruh karakter ventrikel kiri meliputi ukuran dimensi ventrikelkiri EDD, ESD, FEVKi, indeks massa ventrikel kiri LVMI terhadapmorbiditas dan mortalitas di rumah sakit pascabedah katup aorta pada pasiendengan regurgitasi aorta kronik serta luaran klinis jangka menengah.
Metode: 168 pasien dengan regurgitasi aorta kronik yang menjalani pembedahankatup aorta terseleksi sesuai kriteria inklusi dan eksklusi, pascapembedahandilakukan follow-up terhadap luaran klinis morbiditas dan mortalitas di rumahsakit, kemudian diikuti 1 tahun hingga 5 tahun setelah operasi, morbiditas danmortalitas dievaluasi,
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tiap tiapparameter ventrikel kiri EDD, ESD, FEVKi, LVMI terhadap morbiditas danmortalitas saat di rumah sakit p>0,05, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhimorbiditas intrahospital yaitu laju filtrasi ginjal p< 0,001 dan usia p=0,001 ,riwayat Penyakit Jantung Koroner PJK, riwayat PPOK dan riwayat stroke, sedangkan morbiditas jangka menengah dipengaruhi oleh kejadian aritmia pascapembedahan p=0,009, terdapat perbaikan pada NYHA functional class.Mortalitas di rumah sakit dipengaruhi oleh usia p=0,001 dan laju filtrasi ginjal p

Background: The optimal timing of aortic valve replacement is still challenging.The patients often come to hospital in end stage clinical performance withalteration in left ventricular LV geometry due to compensatory mechanism tovolume and pressure overload in long term period.
Objective: This study soughtto determine the effect of left ventricular characters diameter of the left ventricle,end diastolic diameter EDD, end systolic diameter ESD, left ventricularejection fraction LVEF, left ventricular mass index LVMI to in hospitalmorbidity and mortality following aortic valve replacement in patients withchronic aortic regurgitation and postoperative mid term outcome.
Methods: 168 patients with chronic aortic regurgitation underwent aortic valve replacementselected according to inclusion and exclusion criteria. Outcomes morbidity andmortality were observed during hospitalization and 1 year until 5 years aftersurgery. Mid term outcomes consisted of NYHA functional class, rehospitalizationand redo operation.
Results: There was no significant difference to in hospitalmorbidity and mortality for each of left ventricular characters p 0,05. Other factors which influenced in hospital morbidity were glomerularfiltration rate p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfin Ridha Ramadhan
"Regurgitasi Aorta (RA) merupakan penyakit jantung katup terbanyak ketiga setelah stenosis aorta dan regurgitasi mitral dengan prevalensi sebesar 0.5% dari total populasi global. Berbagai faktor prediktor mortalitas dan kesintasan pada pasien RA telah banyak dipelajari diberbagai negara. Akan tetapi, studi yang mempelajari mengenai faktor prognostik terhadap kesintasan paska PKA pada pasien RA berat belum pernah dilakukan di Indonesia. Studi ini merupakan penelitian prognostik eksploratif dengan pendekatan kohort retroprospektif melibatkan 964 pasien dengan RA Berat yang berobat di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita sejak Januari 2016 sampai Desember 2022. Dilakukan pengambilan data klinis, data ekokardiografi transtorakal, data prosedur pembedahan. Luaran primer adalah angka kesintasan dan angka mortalitas. Sebanyak total 383 pasien berhasil dilakukan analisis akhir. Sebagian besar subjek laki-laki (73,1%) dengan median usia 44 tahun (15-81). Prediktor bermakna terhadap angka kesintasan dan mortalitas pasien RA berat adalah penyakit ginjal kronis (OR 1,81, 95% CI 1,11-2,96; p<0,017), DASVKi ≥48,2 mm (OR 1,54, 95% CI 0,94-2,52;p<0,087), IMVK ≥173,5 g/m2 (OR 2,22, 95% CI 1,14-4,33;p<0,019), IVAK >34 mm/m2 (OR 2,38, 95% CI 1,18-4,79;p<0,015), Tanpa PKA (OR 4,33, 95% CI 2,68-7,00;p<0,001). Variabel Tanpa PKA merupakan prediktor angka kematian bermakna paling tinggi dengan peningkatan risiko kematian sebesar 4,33 kali (95% IK 2,688-7,00), p<0,001. Penyakit Ginjal Kronis, DASVKi ≥48,2 mm, IMVK ≥173,5 g/m2 IVAK >34 mm/m2 dan Tanpa PKA merupakan prediktor mortalitas bermakna pada pasien RA berat. Penyakit Ginjal Kronis merupakan prediktor kematian bermakna dari faktor klinis, ukuran DASVKi, IVMK, dan IVAK merupakan prediktor kematian bermakna dari faktor ekokardiografi serta Tanpa PKA merupakan prediktor kematian bermakna dari faktor prosedur bedah. Tanpa PKA merupakan prediktor angka kematian bermakna paling tinggi dengan peningkatan risiko kematian sebesar 4,33 kali.

Aortic Regurgitation (AR) is the third most common valvular heart disease after aortic stenosis and mitral regurgitation, with a prevalence of 0.5% of the global population. Various predictors of mortality and survival in AR patients have been extensively studied in different countries. However, studies focusing on prognostic factors for survival post-AVR in severe AR patients have not been conducted in Indonesia. To investigate clinical, echocardiographic, and AVR procedure predictors of survival in patients with severe AR. Methods: This is an exploratory prognostic study with a retrospective cohort approach involving 964 patients with severe Aortic Regurgitation treated at the National Heart Center Harapan Kita from January 2016 to December 2022. Data collection included clinical data, transthoracic echocardiographic data, and surgical procedure data. Primary outcomes analyzed were survival and mortality rates assessed over >1 year. A total of 383 patients were included in the final analysis. The majority of subjects were male (73.1%) with a median age of 44 years (15-81). Significant predictors of survival and mortality rates in severe RA patients are chronic kidney disease (OR 1.81, 95% CI 1.11-2.96; p < 0.017), LVESD ≥ 48.2 mm (OR 1.54, 95% CI 0.94-2.52; p < 0.087), LVMI ≥ 173.5 g/m2 (OR 2.22, 95% CI 1.14-4.33; p < 0.019), LAVI > 34 mm/m2 (OR 2.38, 95% CI 1.18-4.79; p < 0.015), and No AVR (OR 4.33, 95% CI 2.68-7.00; p < 0.001). The No AVR variable exhibits the highest significant mortality prediction with OR 4,33, 95% CI 2.688-7.00 and p < 0.001. Chronic kidney disease, LVESD ≥ 48.2 mm, LVMI ≥ 173.5 g/m2, LAVI > 34 mm/m2, and No AVR are significant mortality predictors in severe RA patients. Chronic kidney disease is a predictor of significant mortality among clinical factors, while LVEDS, LVMI, and LAVI are predictors among echocardiographic factors, and No AVR is a predictor of procedural factors. No AVR represents the highest significant mortality predictor with a 4.33-fold increased risk of death."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rienna Diansari
"Latar Belakang: Menurut Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, laju kematian akibat patologi aorta torakalis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju, dengan median pertambahan percepatan +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 pada tahun 1990 dibandingkan 2010. Asia Tenggara merupakan salah satu negara dengan penambahan laju kematian tertinggi yaitu 41%. Di Indonesia, pasien datang dalam kondisi penyakit lanjut karena keterlambatan diagnosis dan manajemen dan hal ini menjadikan pasien berada pada kondisi patologi aorta yang kompleks. Kondisi patologi aorta yang kompleks tentunya membutuhkan tindakan bedah aorta yang kompleks pula. Sejauh ini belum terdapat studi yang secara khusus meneliti luaran klinis bedah aorta torakalis kompleks dibandingkan dengan non-kompleks, terutama pada populasi di negara berkembang.
Tujuan: Mengetahui hubungan kompleksitas pembedahan dengan mortalitas in-hospital dan kesintasan jangka menengah pasca bedah aorta torakalis serta faktor lain yang berhubungan.
Metode: Studi kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder. Dilakukan pengambilan data dasar melalui rekam medis dan registri terhadap pasien pasca bedah aorta torakalis (1 Januari 2018 – 31 Desember 2021) di PJNHK. Analisa kesintasan 1 dan 3 tahun dilakukan dengan follow up melalui telepon dan pesan digital. Kemudian dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara kompleksitas pembedahan sebagai prediktor utama serta variabel lainnya dengan luaran primer (mortalitas in-hospital) dan sekunder (kesintasan jangka menengah).
Hasil: Total 208 pasien diinklusikan ke dalam analisis luaran primer; 157 (75,5%) menjalani bedah aorta torakalis kompleks dan 51 (24,5%) menjalani bedah aorta torakalis non-kompleks. Mortalitas in-hospital serupa pada kedua kelompok (23,6% vs 13,7%; p = 0,194). Pada analisa multivariat, sindrom malperfusi (OR 3,560; p = 0,002), durasi CPB > 180 menit (OR 4,331; p = 0,001), dan prioritas pembedahan (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) adalah prediktor independen mortalitas in-hospital. Follow-up kesintasan 1 dan 3 tahun pasca bedah aorta torakalis adalah 92,6% dan 80,3%, secara berurutan. Regresi Cox mengidentifikasi diabetes (HR 4,539; p = 0,025) dan status prosedur emergensi (HR 9,561; p = 0,015) sebagai prediktor independen mortalitas 1 tahun, dan diabetes (HR 3,609; p = 0,004), diseksi aorta (HR 2,795; p = 0,029) dan diameter aorta maksimum (HR 1,034; p = 0,003) sebagai prediktor independen mortalitas 3 tahun. Kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan peningkatan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah.
Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani tindakan bedah aorta torakalis terbuka, kompleksitas pembedahan tidak berhubungan dengan mortalitas in-hospital maupun kesintasan jangka menengah. Kesintasan jangka pendek dan menengah lebih banyak dipengaruhi faktor komorbid maupun faktor durante pembedahan

Background: According to Global and Regional Burden of Aortic Dissection and Aneurysm, a prominent increase of overall global death rate is seen on developing country compared to developed country, with relative change in median daeath rate of +0,71 per 100.000 vs +0,22 per 100.000 in 1990 vs 2010. South-east Asia is nation with highest increase of 41%. This is due to delayed in diagnosis and treatment and leads to late stage and complex aortic disease. The more complex the disease, the more complex the surgical procedure will be. Up until now, there is no data regarding the impact of surgical complexity on short and mid-term survival in patients underwent aortic surgery, especially in developing country.
Objectives: This study aimed to investigate the impact of surgical complexity on short and mid-term mortality and other influencing factors.
Methods: This retrospective cohort study used secondary data. Basic data was obtained through medical record and registry of patients underwent thoracic aortic surgery (January 1st, 2018 to December 31st, 2021) in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). One-year and 3-year survival analysis was obtained through phone calls and digital messages. Statistical analysis was done to investigate the impact of surgical complexity as the main predictor and other variables on primary (in-hospital mortality) and secondary (mid-term survival) outcome.
Results: A total of 208 patients were included in the analysis; 157 (75,5%) underwent complex surgery, and 51 (24,5%) underwent non-complex surgery. In-hospital mortality was similar actoss 2 groups (23,6% vs 13,7%; p = 0,1240). On multivariable analysis, malperfusion syndrome (OR 3,560; p = 0,002), CPB duration > 180 minutes (OR 4,331; p = 0,001), and surgical priority (urgent OR 4,196; p = 0,003; emergency OR 10,879; p = 0,001) were identified as independent predictor of in-hospital mortality. One and 3-year survival were 92,6% and 80,3%, respectively. Cox regression identified diabetes (HR 4,539; p = 0,025) and emergency procedure (HR 9,561; p = 0,015) as independent predictors for 1-year mortality, and diabetes (HR 3,609; p = 0,004), aortic dissection (HR 2,795; p = 0,029), and maximum aortic diameter (HR 1,034; p = 0,003) for 3-year mortality. Surgical complexity was not associated with early and mid-term mortality.
Conclusions: In patients undergoing thoracic aortic surgery, surgical complexity was not associated with early and mid-term survival. Short and mid-term survival was largely determined by patient comorbidities and intra-surgery factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asmoko Resta Permana
"Latar belakang: Korelasi antara indeks volume akhir diastolik ventrikel kiri IVADVKi preoperasi dengan luaran jangka pendek pasca operasi penutupan defek septum atrial sekundum DSAS belum pernah dieksplorasi. Bertujuan untuk mencari korelasi antara IVADVKi preoperasi dengan luaran jangka pendek pasca operasi penutupan DSAS.
Tujuan: Untuk mencari korelasi antara IVADVKi preoperasi dengan luaran jangka pendek pasca operasi penutupan DSAS.
Metode: Kami analisis semua pasien yang dilakukan operasi penutupan DSAS yang diperiksa dengan magnetic resonance imaging MRI kardiak preoperasi dengan Philips Medical System Scanner 1,5 T dengan 32-elements phase sense torso cardiac coil antara Januari 2013-Desember 2017.
Hasil: Terdapat 30 pasien yang memenuhi kriteria inklusi eksklusi dengan nilai IVADVKi yang berkorelasi negatif lemah signifikan r= -0,365, p=0,048 dengan lama rawat ruang intensif hari pasca operasi, korelasi negatif lemah atau sangat lemah nonsignifikan dengan beberapa luaran lainnya.
Kesimpulan: IVADVKi berkorelasi negatif lemah dengan lama rawat ICU pasca operasi penutupan DSAS dan berkorelasi negatif sangat lemah dengan luaran lainnya.

Background: Correlation between preoperative left ventricular end diastolic volume index LVEDVi with short term postoperative outcome after surgical secundum atrial septal defect ASD closure has never been explored. Our aim is to determine the correlation between preoperative LVEDVi and short term postoperative outcome after surgical ASD closure.
Objective: To determine the correlation between preoperative LVEDVi and short term postoperative outcome after ASD closure.
Methods: We analyzed all consecutive surgical ASD closure patients who underwent cardiac magnetic resonance imaging MRI previously with 1.5 T Philips Medical System Scanner with 32 elements phase sense torso cardiac coil between January 2013 December 2017.
Results: There were 30 patients who fulfilled inclusion and exclusion criteria who had weak negative correlation but significant r 0,365, p 0,048 between LVEDVi and with postoperative intensive care unit ICU length of stay LOS days , nonsignificant weak or very weak negative correlations with other outcomes.
Conclusion: LVEDVi had a weak negative correlation with ICU LOS post surgical closure of secundum ASD and a very weak negative correlation with other outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Akbar Bramantyo
"Latar Belakang: Endokarditis Infektif (EI) dalam 3 dekade terakhir masih memiliki insidensi, beban morbiditas, dan mortalitas yang tinggi, mencapai 30% dalam 1 tahun. Beragam predisposisi insiden EI menunjukkan perubahan seiring dengan perkembangan tatalaksana dan tindakan medis yang seringkali menjadi pemicu baru EI itu sendiri.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor prediktor mortalitas dan luaran klinis pasien EI aktif sisi jantung kiri dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini juga menjadi penelitian awal untuk mengetahui model prediktor stratifikasi risiko pasien EI aktif sisi jantung kiri di Indonesia.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap 376 pasien yang mengalami EI aktif sisi jantung kiri pada periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 2022. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mengidentifikasi prediktor luaran klinis jangka pendek dan jangka panjang. Dilakukan juga pembuatan sistem skor prediktor mortalitas awal untuk pasien EI aktif.
Hasil: Terdapat 376 pasien EI aktif sisi jantung kiri yang kemudian mendapatkan tatalaksana antibiotik serta menjalani operasi sebanyak 56,6% pasien. Studi ini menunjukkan angka mortalitas jangka pendek sebesar 18,6% dan mortalitas jangka panjang 13,2%. Selain itu, didapatkan pula profil morbiditas selama perawatan fase aktif dengan kejadian sepsis 27,1%, perawatan ruang intensif >10 hari 18,6%, penggunaan ventilator mekanik >7 hari 11,4%, kejadian stroke sebanyak 28,5%, dan gagal ginjal akut 57,7%. Studi ini juga menunjukkan model awal skor prediktor mortalitas jangka pendek dan jangka panjang pada studi ini didapatkan berturut-turut dengan AUC 0,935 (IK95% 0,902 – 0,969; p <0,001; uji H-L 0,386) dan AUC 0,733 (IK95% 0,614 – 0,852; p <,001; uji H-L 0,530).
Kesimpulan: Faktor-faktor prediktor luaran mortalitas jangka pendek pasien EI aktif sisi jantung kiri meliputi kapasitas fungsional NYHA kelas III-IV, keterlibatan vegetasi katup aorta, ukuran vegetasi >10mm, penggunaan antibiotik inkomplit, sepsis, dan penggunaan terapi pengganti ginjal. Sementara itu, prediktor luaran mortalitas jangka panjang meliputi tidak dilakukannya prosedur operasi, komplikasi paravalvular, serta infeksi Streptoccocus non-viridans.

Background: Infective endocarditis (IE) in the last 3 decades still has a high incidence, burden of morbidity, and mortality reaching 30% in 1 year. Various predispositions for IE incidents show changes along with developments in medical management and actions which often become new triggers for IE itself.
Objective: This study aims to identify predictors for mortality and clinical outcomes in patients with active left-sided IE in short-term and long term. This study is also initial research to determine the risk stratification predictor model for patients with active IE on the left side of the heart in Indonesia.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 376 patients who experienced active left- sided IE in the period 1 January 2013 – 31 December 2022. Bivariate and multivariate analyzes were performed to identify predictors of short-term and long-term clinical outcomes. Mortality risk predictor score model was also created for active IE patients.
Results: There were 376 active left-sided IE patients who then received antibiotic treatment and 56.6% of the patients underwent surgery. This study showed a short-term mortality rate of 18.6% and a long-term mortality rate of 13.2%. Apart from that, the morbidity profile during the active phase of treatment was also obtained with the incidence of sepsis in 27.1% cases, intensive care > 10 days in 18.6% cases, use of mechanical ventilators > 7 days in 11.4% cases, stroke incidence in 28.5% cases, and acute renal failure in 57.7% cases. This study also shows initial model of short- term and long-term mortality predictor score respectively with AUC 0,935 (95%CI 0,902 – 0,969; p <0,001; H-L test 0,386) and AUC 0,733 (95%CI 0,614 – 0,852; p <,001; H-L test 0,530).
Conclusion: Predictors for short-term mortality outcomes in patients with active left-sided IE include NYHA class III-IV functional capacity, involvement of aortic valve vegetation, vegetation size >10mm, incomplete use of antibiotics, sepsis, and use of renal replacement therapy. Meanwhile, predictors of long-term mortality outcomes include not having a surgical procedure, paravalvular complications, and Streptoccocus non-viridans infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail
"Penggantian katup aorta dengan katup mekanik memerlukan biaya mahal, meningkatkan risiko endokarditis dan tromboemboli, serta memerlukan antikoagulan seumur hidup. Perikardium autolog merupakan alternatif untuk penggantian katup aorta. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan luaran penggantian katup aorta antara katup mekanik dan perikardium autolog dengan teknik strip tunggal perikardium. Penelitian ini merupakan uji klinis terandomisasi di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM). Subjek dibagi ke dalam 2 kelompok berdasarkan jenis katup yang diterima, yaitu katup mekanik (kelompok mekanik) dan strip perikardium (kelompok strip). Luaran left ventricular reverse remodeling (LVRR), 6 minute walking test (6MWT), dan kadar soluble suppression of tumorigenicity-2 (sST-2) diperiksa preoperasi, 3 bulan, dan 6 bulan pascabedah. Terdapat 34 subjek yang ikut serta dari Juli 2016-Februari 2022, 17 subjek pada masing-masing kelompok. Tidak terdapat beda kejadian LVRR pada kedua kelompok, yaitu 26,7% pada kelompok mekanik dan 29,4% pada kelompok strip (p = 0,703). Pada pemeriksaan jarak 6 minute walking test (6MWT) tidak terdapat perbedaan bermakna jarak 6MWT antara kelompok strip perikardium dan kelompok mekanik pada 6 bulan pascabedah, yaitu 431,93 (SB 93,41) m vs. 404,28 (SB 79,25) m, p = 0,427 pascabedah. Kadar sST-2 kelompok mekanik 16,12 (SB 5,92) pg/mL secara bermakna lebih tinggi dibandingkan kelompok strip 11,52 (SB 6,96) pg/mL, p = 0,023) pada 6 bulan pascabedah. Disimpulkan teknik strip tunggal perikardium memiliki luaran yang sebanding dengan katup mekanik sehingga dapat digunakan sebagai alternatif penggantian katup aorta.

Aortic valve replacement with mechanical valves are quite expensive, increased the risk of adverse events such as endocarditis and thromboembolism, and requires patients to take anticoagulants for the rest of their life. Autologous pericardium is an alternative for aortic valve replacement. This study aims to compare outcomes of aortic valve replacement using mechanical valve and prosthetic valve with single-strip pericardium technique. This was a randomized clinical trial conducted at the Cipto Mangunkusumo Hospital (PJT-RSCM). Eligible subjects were randomized to either receive mechanical valve (mechanical group) or single-strip pericardium (single-strip group). Outcome assessments of left ventricular reverse remodeling (LVRR), 6 minute walking test (6MWT), and soluble suppression of tumorogenicity-2 (sST-2) were carried out at preoperation, 3 months, and 6 months postoperation. There were 34 subjects recruited from July 2016 to February 2022, 17 subjects in each groups. There was no difference in postoperative LVRR incidence between both groups, 26.7% in mechanical group vs. 29.4% in single strip group (p = 0.703). There was no significant difference of 6MWT between the mechanical and pericardial strip at six months post-operation, 404.28 (SD 79.25) m vs. 431.93 (SD 93.41) m, p = 0.427. The sST-2 level is significantly higher in mechanical group 16.12 (SD 5.92) pg/mL compared to single strip group 11.52 (SD 6.96) pg/mL, p = 0.023 at six months post-operation. We concluded that single strip pericardium technique showed comparable outcomes to mechanical valve and is considered a feasible alternative for aortic valve replacement."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yanti Rahayuningsih
"Latar Belakang: Pasien sindrom Down (Down?s syndrome/DS) berbeda dari anak normal karena memiliki banyak kelainan selain defek jantung yang dapat memengaruhi luaran pasca-operasi jantung. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai luaran pasca-operasi penyakit jantung bawaan (PJB) pada DS di pusat-pusat pelayanan jantung di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui luaran jangka pendek dan mortalitas pada pasien DS yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Metode: Studi kohort retrospektif dan prospektif pada subjek anak dengan DS yang menjalani operasi koreksi PJB. Kontrol adalah anak tanpa DS yang masuk kriteria inklusi dan eksklusi, dengan matching rentang usia dan jenis penyakit jantung yang sama dengan pasien DS.
Hasil: Sebanyak 57 pasien DS dan 43 non-DS yang telah menjalani operasi koreksi PJB diikutkan dalam penelitian. Karakteristik dasar antar kelompok tidak berbeda bermakna. Jenis PJB terbanyak pada DS adalah defek septum atrioventrikular (AVSD) dan defek septum ventrikel (VSD) masing-masing sebesar 31,6%, tetralogi Fallot (TF) 21%, defek septum atrium (ASD) 7%, duktus arteriosus persisten (PDA) 7% dan transposisi arteri besar (TGA)-VSD 1,8%. Lama rawat ruang rawat intensif (ICU) pada DS 1,9 (0,6-34) hari dibanding non-DS 1 (0,3-43), p=0,373. Lama penggunaan ventilator pada DS 19,9 (3-540) jam, non-DS 18 (3-600), p=0,308. Krisis hipertensi pulmoner (PH) tidak terjadi pada kedua kelompok, proporsi komplikasi paru pada DS 24,6% dibanding non-DS 14%, dan sepsis pada DS 28,1% dibanding non-DS 14% tidak berbeda bermakna. Proporsi blok atrioventrikular (AV) komplit pada DS 10,5% dan non-DS tidak ada, dengan p=0,036. Kematian di rumah sakit (RS) pada DS 8,8%, non-DS tidak ada, dengan p=0,068.
Simpulan: Morbiditas dan mortalitas pasca-operasi jantung pada DS tidak terbukti lebih sering terjadi dibandingkan dengan non-DS.

Background: Down syndrome patients different from normal child because many other genetic related aspects that can affect outcome after congenital heart surgery. Until now there has been no research on the outcome after congenital heart surgery on paediatric Down syndrome patients in Indonesia.
Objective: To determine the short term outcomes and mortality in DS patients who underwent heart surgery at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta.
Methods: A prospective and retrospective cohort study was conducted to subject with DS who underwent heart surgery from July 2007- April 2015. Control group was patients without DS who underwent heart surgery with matching on age and type of heart defects.
Results: A total of 57 DS patients and 43 non-DS patients were recruited during study period. Basic characteristics between groups were not significantly different. Most type of CHD in patients with DS were AVSD and VSD respectively in 18 (31,6%), tetralogi of Fallot 12 (21%), ASD 4 (7%), PDA 4 (7%) and TGA-VSD 1 (1,8%) patients. Duration of ICU stay in patients with DS was 1,9 (0,6-34) days compared to non-DS patients 1 (0,3-43) days, p=0,373. Duration of mechanical ventilation in patients with DS was 19,9 (3-540) hours, compared to non-DS patients 18 (3-600) hours, p=0,308. Pulmonary hypertension crisis was not occurred in both groups. Pulmonary complication in patients with DS was 14 (24,6%) compared to non-DS 6 (14%) patients, and sepsis in patients with DS was 16 (28,1%) compared to non-DS 6 (14%) patients, there was no difference. Complete AV block in patients with DS was 6 (10,5%) compared none in patients with non-DS, p=0,036. In-hospital mortality in patients with DS was 5 (8,8%), compared none in patients with non-DS, significantly different with p=0,068.
Conclusion: Morbidity and mortality after cardiac surgery in DS is not proven to be more frequent compared to non-DS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ferdy Agustian
"Latar Belakang: Saat ini, endovascular aneurysm repair (EVAR) lebih diutamakan pada sebagian besar kasus aneurisma aorta abdominalis (AAA) dibandingkan open surgical repair (OSR). Namun, terdapat kontroversi keluaran jangka panjang yang diperlihatkan kedua pilihan tatalaksana tersebut, terutama pada kelompok usia tua. Metode: Tinjauan sistematis dilakukan dengan mengikutsertakan studi yang membandingkan mortalitas jangka panjang, kesintasan jangka panjang, tingkat reintervensi, dan ruptur sekunder antara EVAR dan OSR pada pasien AAA berusia ≥65 tahun dengan minimal follow-up selama dua tahun. Pencarian artikel dilakukan pada empat pangkalan data elektronik yaitu Cochrane, Pubmed, EBSCOHost, dan Scopus. Studi yang diikutsertakan merupakan publikasi dari titik waktu awal yang tidak ditentukan sampai dengan bulan Maret 2024. Telaah kritis melalui instrumen yang sesuai dengan desain studi juga dilakukan untuk memastikan kualitas studi. Keluaran pada setiap studi disintesis ulang, disajikan dalam bentuk tabel, serta dilakukan pembahasan. Hasil: Studi sistematis ini berhasil mengikutsertakan 6 studi, yakni 1 studi meta-analisis dan 5 studi kohort. Mayoritas studi menunjukkan tidak adanya perbedaan mortalitas jangka panjang, kesintasan jangka panjang, tingkat reintervensi, dan tingkat ruptur sekunder antara EVAR dan OSR. Terdapat peningkatan mortalitas dan penurunan kesintasan EVAR dibandingkan OSR pada follow-up sampai dengan tahun keempat, namun tidak ada perbedaan pada tahun kelima dan rerata keseluruhan. Terdapat peningkatan mortalitas dan penurunan kesintasan EVAR pada kelompok usia ≥80 tahun dibandingkan kelompok usia 65-79 tahun. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan keluaran jangka panjang antara EVAR dan OSR pada pasien AAA berusia ≥65 tahun.

Introduction: Nowadays, endovascular aneurysm repair (EVAR) is preferred in most cases of abdominal aortic aneurysm (AAA) than open surgical repair (OSR). However, there are controversies regarding the long-term outcomes of both modalities, especially in the geriatric population. Method: We conducted a systematic review of studies comparing the long-term mortality, long-term survival, reintervention rate, and secondary rupture rate between EVAR and OSR in ≥65-year patients with AAA with a minimum of two years of follow-up. The literature search was conducted in four electronic databases, Cochrane, Pubmed, EBSCOHost, and Scopus, from an undefined start point until March 2024. Studies included also critically appraised with relevant instruments based on the study design. The long-term outcomes of every study were synthesized, presented in tables, and discussed thoroughly. Result: A total of six studies were included, consisting of one systematic review/meta-analysis and five cohort studies. Most studies did not show differences in long-term mortality, long-term survival, reintervention rate, or secondary rupture rate between EVAR and OSR. There was higher mortality and lower survival in EVAR compared to OSR after four years of follow-up, but no differences were found in five years and overall follow-up. There was higher mortality and lower survival after EVAR in patients≥80 years old compared to those 65-79 years old. Conclusion: There are no differences in long-term outcomes between EVAR and OSR in ≥65-year patients with AAA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Moch Arrol Iswahyudi
"ABSTRAK
Latar belakang. Diseksi aorta Stanford A adalah penyakit dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mencari ketahanan hidup satu tahun pasien diseksi aorta Stanford A dengan lesi hingga arkus aorta yang dibedah serta untuk mengetahui karakteristik pasien, tindakan dan faktor- faktor yang berhubungan.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan data diambil melalui rekam medis pada pasien diseksi aorta Stanford A yang dilakukan operasi dari periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Oktober 2017. Tingkat ketahanan hidup satu tahun dinilai menggunakan metode Kaplan Meier dan faktor faktor yang berhubungan dengan ketahanan hidup akan dianalisis dengan regresi Cox

ABSTRACT
Background: Stanford type A Aortic Dissection is a disease with high mortality rate. This study not only to find a one-year survival of patients with Stanford type A Aortic Dissection with lesion to the aortic arch that is dissected but also to determine patient characteristics and its related factors.
Methods: A retrospective cohort study with datas taken from medical records in Stanford type A Aortic Dissection patients who were operated from 1st January 2014 to 31st October 2017. One-year survival rate was assessed using the Kaplan-Meier method and its survival-related factors will be analyzed by Cox regression"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tun Paksi Sareharto
"

Latar Belakang: Perkembangan saraf adalah perkembangan utama pada anak, setiap hal yang mengganggu proses perkembangan akan menimbulkan kelainan neurologis, termasuk Ensefalopati Hipoksik Iskemik (EHI). Faktor risiko gawat janin merupakan faktor terbesar terjadinya EHI, diikuti perdarahan antepartum dan preeklamsia/eklamsia. Kelainan neurologis jangka pendek dapat dinilai di usia 7 sampai 10 hari, berupa penurunan kesadaran, kejang, refleks primitif yang menurun atau menghilang, kesulitan dalam proses menelan, atau kesulitan dalam pernapasan.

Tujuan: Mengetahui luaran neurologis jangka pendek pada bayi dengan EHI. 

Metode: Studi kohort retrospektif dan prospektif melalui rekam medis dan pengamatan langsung, pada bayi baru lahir dengan EHI yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di beberapa rumah sakit, rentang waktu 1 Januari 2014 sampai 31 Maret 2020.

Hasil: Sebanyak 73 subyek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kelainan neurologis terbanyak pada subyek saat rawat inap adalah masalah pernapasan, sedangkan pada subyek yang kontrol saat rawat jalan adalah hipertonus. Sembilan belas subyek meninggal saat perawatan. Hasil USG kepala pada 20 dari 51 subyek terbanyak didapatkan leukomalasia periventrikular. Tiga dari 9 subyek menunjukkan hasil EEG yang abnormal.

Kesimpulan: Bayi dengan EHI memiliki luaran klinis jangka pendek berupa kelainan neurologis. Tidak terdapat pengaruh antara gawat janin, preeklamsia/eklamsia, dan perdarahan antepartum terhadap gangguan neurologis jangka pendek pada bayi dengan EHI.


Background: Neurodevelopmental, suppose to be the main developmental in children. Any interferences with the development process will cause neurological abnormalities in the child, including hypoxic-ischemic encephalopathy (EHI). Risk factors of HIE are fetal distress which is the most frequent cause, followed by antepartum hemorrhage, and preeclampsia/eclampsia. Short-term neurological disorder can be assessed on the age of 7 to 10 days, such as seizure, decreasing consciousness, declining or disappearing primitive reflexes, and difficulty of swallowing or breathing. 

Objective: To determine short-term neurological outcomes in infants with HIE.

Methods: A retrospective and prospective cohort study from medical records and direct observations of inpatient and outpatient infants with HIE from January 1st, 2014 to March 31st, 2020 in several hospitals. 

Results: Seventy-three subjects fulfilled inclusion and exclusion criteria. Neurological disorder which mostly found in inpatient subjects were respiratory problems, while in outpatient subjects were hypertonus. Nineteen subjects deceased during treatment. Head ultrasounds examination in 20 of 51 subjects mostly showed periventricular leukomalacia. Three of 9 subjects with EEG examination showed abnormality.

Conclusion: Infants with HIE experienced short-term clinical outcomes as neurological disorders. There was no influence between fetal distress, preeclampsia/eclampsia, and antepartum hemorrhage on short-term neurological disorders in infants with HIE.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>