Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178050 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hani Mardhotillah
"ABSTRAKCT
Penulisan ini bertujuan melihat adanya indikasi terjadinya segregasi dan gentrifikasi di kampung dan permukiman formal Cikini. Segregasi dan gentrifikasi merupakan bentuk perkembangan wilayah yang tidak merata. Segregasi terjadi tidak hanya dalam bentuk batasan fisik, tetapi adanya indikasi lain yang menyebabkan masyarakat kampung tidak dapat tinggal di permukiman formal Cikini. Pengembangan kawasan Cikini yang tidak merata menyebabkan indikasi terjadinya gentrifikasi. Sebagian besar rumah masyarakat kampung Cikini yang secara turun temurun dan belum adanya pembangunan properti dari perusahaan atau pemerintah menunjukkan belum terjadinya gentrifikasi di kampung Cikini. Namun berbeda dengan masyarakat permukiman formal Cikini yang sudah tidak mampu membayar PBB menyebabkan adanya masyarakat di permukiman formal yang mulai terpinggirkan.

ABSTRACT
This paper aims to see if there are any indications of segregation and gentrification happen in informal and formal settlement area in Cikini. The segregation and gentrification that happen are part of the uneven development in Cikini. The reason why segregation occurs in Cikini is not only limited into the form of physical constraints, for there are other indications on why informal settlements community cannot stay in the formal settlement in Cikini. Uneven development causes there is an indication that gentrification might occur in the area. The fact that most houses in informal settlement in Cikini are bequeaths and there are no property development from developer or government shows that has not been gentrification in this informal settlement. However, the incidence that there are formal settlers who cannot afford to pay for property tax induce them to settle in the marginalized area. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Dyah Aulia
"Gentrifikasi komersial merupakan salah satu fenomena yang ditandai dengan perubahan signifikan di kawasan perkotaan pada abad ke-21, terutama di kota yang sedang berkembang dengan pesat. Penulisan ini berupaya mengeksplorasi bagaimana gentrifikasi komersial terjadi di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Proses ini dipicu oleh peningkatan intensitas fungsi komersial yang ditandai dengan pertumbuhan bangunan komersial dan perkembangan Kemang sebagai kawasan komersial kota. Perkembangan area komersial menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Analisis ini menyoroti bagaimana gentrifikasi komersial berdampak pada peningkatan nilai lahan, perubahan demografi, dan pergeseran usaha kecil di Kawasan Kemang. Studi ini memberikan pemahaman mengenai implikasi gentrifikasi komersial dalam konteks perkotaan, dengan penekanan pada dinamika ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi akibat transformasi kawasan menjadi pusat komersial yang lebih modern dan terintegrasi.

Commercial gentrification is a phenomenon characterized by significant changes in urban areas in the 21st century, especially in cities that are developing rapidly. This writing seeks to explore how commercial gentrification occurs in the Kemang area, South Jakarta. This process was triggered by the increase in the intensity of commercial functions which was marked by the growth of commercial buildings and the development of Kemang as a commercial city area. The development of commercial areas has significant social and economic impacts. This analysis highlights how commercial gentrification has an impact on increasing land values, demographic changes, and shifts in small businesses in the Kemang area. This study provides an understanding of the implications of commercial gentrification in an urban context, with an emphasis on the economic, social and cultural dynamics that occur as a result of the area's transformation into a more modern and integrated commercial center."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thasya Rachmawati
"ABSTRAK

Kenaikan harga properti menyebabkan milenial sulit memiliki tempat tinggal. Milenial yang saat ini mendominasi struktur demografi Indonesia, diprediksikan akan tidak sanggup membeli rumah. Dalam menanggulangi isu tersebut, pemerintah akan membangun 14,500 unit hunian susun sederhana sebagi bagian dari program rumah susun 1000 tower yang diperuntukan untuk Milenial. Disisi lain, semakin banyaknya hunian susun di perkotaan akan menyebabkan distribusi yang tidak merata antar kelompok masyarakat sehingga menciptakan segregasi urban dari gated community. Penulisan ini melihat kebutuhan dan keefektifan hunian susun terhadap Milenial, dan segregasi yang terlihat pada lingkungan hunian susun berdasarkan studi kasus pada Kalibata City dan Menteng Square di Jakarta. Terlihat bahwa segregasi sangat terlihat pada hunian susun sederhana terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, namun bagi Milenial segregasi ditentukan oleh adanya visual separation yang menyebabkan terbentuknya personal space dan kurangnya interaksi pada ruang publik. Untuk mencapai dwelling yang tepat dan mengurangi segregasi spasial bagi Milenial, hunian susun sederhana perlu membentuk social space dengan memberikan ruang untuk berkolaborasi dan bersosialisasi


ABSTRACT
The increase in property prices has made it difficult for Millennials to have a place to live. Millenials which currently dominates Indonesias demographic structure, are predicted to be unable to afford a house. In tackling this issue, the government will build 14,500 low-cost apartment units which part of the 1,000 towers program intended for Millennial. On the other hand, the increasing number of low-cost apartments in urban areas will lead to uneven distribution among community groups, thus creating urban segregation by gated community. This thesis aims to describe the needs and effectiveness of low-cost apartment for Millennial, and the segregation seen in the low-cost apartment based on case studies at Kalibata City and Menteng Square in Jakarta. It is seen that segregation in low-cost apartment is visible on the environment and surrounding communities, but for Millennial segregation is determined by the presence of visual separation which causes the formation of personal space and lack of interaction in public space. To achieve proper dwelling and to reduce spatial segregation for Millennials, low-cost apartment must be able to form social space by providing more space to collab and socialize.

 

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Galeni Oktavianty
"Penggusuran kampung yang banyak terjadi belakangan ini terlihat semakin menyudutkan kampung sebagai permukiman yang tidak layak untuk bersanding dengan modernitas kota. Sebagai permukiman yang terjadi dengan sendirinya (organic) dan tanpa perencanaan (informal), kampung kota sangat identik dengan citra tidak teratur, kumuh, padat dengan kualitas lingkungan yang buruk. Perspektif buruk mengenai kampung kota sebenarnya bisa saja dirubah, dengan potensi, ciri khas yang dimiliki dan kontribusi terhadap kota membuatnya dapat dipertahankan. Sekarbela sebagai salah satu kampung yang mempunyai potensi, ciri khas dan kontribusi terhadap kota di Kota Mataram mampu menunjukkan eksistensinya di tengah modernitas kota.
Penelitian mengenai keberadaan kampung perajin emas dan mutiara Sekarbela ini untuk mengungkap apa pola permukiman yang terbentuk sebagai perwujudan dari eksistensinya, dan mengapa pola permukiman tersebut yang terbentuk. Metode yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan mengungkap kondisi kerja, karya dan aksi yang mengkondisikan kehidupan masyarakat perajin di dalam proses penstrukturan dalam masyarkat. Kemudian akan diungkap ruang yang terserap, terkonsep dan terhidupi sebagai hasil dari kondisi manusia dan penstrukturan dalam masyarakat tersebut yang diinterpretasikan melalui observasi partisipan di Sekarbela.
Dengan analisa ditemukan bahwa transformasi sosial dan ekonomi menjadi suatu proses yang unik dalam kebertahanan mereka sebagai masyarakat perajin. Masyarakat perajin dapat tampil sebagai masyarakat modern yang mampu menciptakan sistem ekonomi dengan meleburkan nilai-nilai agama, tradisonal dan kapitalis ke dalamnya. Intervensi dari luar kampung tidak mempengaruhi bentuk spasial kampung, namun sebagai pemicu dari metamorfosis yang berlangsung di dalamnya. Sehingga reproduksi sosial ekonomi masyarakat sebagai faktor internal berjalan secara terus menerus dan senantiasa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.
Akhirnya ditarik suatu kesimpulan bahwa kampung sebagai ruang yang mewadahi kegiatan bermukim dan terjadinya proses transformasi sosial ekonomi yang terus berproduksi. Kampung sebagai ruang yang nyata dan masyarakatnya akan terus berusaha mewujudkan kampung sebagai ruang yang sesungguhnya bagi kehidupan mereka. Hanya mereka, masyarakat yang bermukim di dalam permukiman yang dapat merasakan dan akan terus menerus merubah model ""ideal"" spasial permukiman. Perubahan secara terus menerus dalam masyarakat inilah yang menjadi cara dalam proses mereka untuk mempertahankan keberadaannya."

Penggusuran kampung or kampung eviction that many happened lately seen more and more made that kampung as the settlement improper to close together with modernity. As settlement that happened by it self (organic) and without planning (informal), kampung very identical with not regular image (disorder), dirty, solid with ugly environmental quality. Ugly in perspective about kampung actually can be changed, with potency, uniquely and contribution to city, make it defensible. Sekarbela as one of the kampung that have potency, uniquely and contribution to city in Mataram can show its existence in the modernity.
Research concerning existence of "kampung perajin emas dan mutiara Sekarbela" is to express what do the settlement pattern formed as appearance of their existence, and why it settlement pattern that formed. Used method to answer the the question is by expressing the condition of labor, work and action that conditioned the life of society in the process of structuration of society. Then will be expressed about perceived space, conceived space and lived space as a result of human condition and structuration of society which interpreted passing the participant observation in Sekarbela.
With analysis found that social and economic transformation become a unique process in staying them as craftsman society. They can come up as modern society capable to create the economic system by melting the religion values, traditional and capitalist into its. Intervention from outside kampung is not influence the form of spatial kampung, but as stimulate of metamorphosis that goes on in it. So that, social and economic reproduction of society as internal factor walk continually and is always influenced by external factors.
Finally, a conclusion that kampung as the space of live activity and the happening of social economic transformation process continuing productive. Kampung as real space and the society will continue to try to realize the kampung as virtual space for their life. Only their, the society that live in settlement able to feel and will continuously change the model of ideal spatial of settlement. The continually of change in this society become the way in course of them to maintain their existence.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
T41132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ramli AT
"Disertasi ini membahas keterkaitan dinamika spasial dan kekuasaan yang melibatkan elemen komunitas lokal perkotaan, pengembang, dan negara. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika politik spasial komunitas lokal sebagai reaksi terhadap ekspansi pengembang, serta dampaknya pada akses komunitas ke spasial perkotaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasilnya menunjukkan bahwa regionalisasi yang secara bertahap dilakukan melalui pemindahan komunitas lokal ke daerah belakang menunjukkan ketidakberdayaan komunitas secara politik dalam mengakses ruang. Ekspansi perkotaan yang kemudian meniscayakan terjadinya gentrifikasi peri-urban, lebih tampak sebagai proses rekonsentrasi kemiskinan dan pembentukan kembali isolasi sosial baru bagi kelompok tidak mampu.

This dissertation discusses the relationship between spatial dynamics and political power that involves elements of urban local communities, housing developers, and the state. The study aims to examine political dynamics of the spatial local communities and its impact on communities' accessibilty to urban spatial. This research employs the qualitative approach.
The study found that the gradual regionalization through displacement of local communities to back region demonstrates the political powerlessness of the local urban communities to access the space. The urban expansion allows the peri-urban gentrification in which generates that the process of re-concentration of poverty and re-establishment of new social isolation to the poor communities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D1375
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banduningsih Rahayu
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi persebaran pusat kota di DKI Jakarta berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu empiris, keilmuan, dan kebijakan publik. Selain menggunakan metode overlay peta, penelitian ini juga menggunakan menggunakan Teknik Delphi terutama untuk mengumpulkan pendapat ahli planologi, arsitektur, dan sosiologi mengenai kriteria dan lokasi pusat kota di DKI Jakarta. Sementara itu, sudut pandang empiris dilandasi oleh teori kota inti berganda, sedangkan sudut pandang kebijakan publik ditinjau berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010. Semua data yang diperoleh kemudian disintesiskan sehingga menghasilkan pandangan utuh mengenai pusat kota.
Hasil penelitian ini memperlihatkan ada 14 lokasi pusat kota yang terbagi menjadi : 6 lokasi pusat perkantoran yang tersebar baik di bagian tengah maupun di sisi barat dan timur kota; 6 lokasi pusat perdagangan dan komersil yang tersebar memanjang dari utara hingga ke tengah kota; 4 lokasi pusat industri yang tersebar di bagian barat dan timur kota; dan 2 lokasi pusat hiburan dan jasa yang tersebar di bagian tengah kota. Pusat kota yang sesungguhnya di DKI Jakarta adalah di kawasan Sudirman - Thamrin.

This study aims the distribution center city in DKI Jakarta. Jakarta City Center examined using the method Technuique Delphy (Delphi technique) to assess the arguments of experts urban design, architecture, and sociology through the interview process. The results of these interviews will be obtained based on the views of the city center of scientific fields. Empirical point of view obtained through the theory of multiple core city sedangakn public policy point of view seen by Spatial Plan of DKI Jakarta in 2010. Data obtained in the form of each view of city center synthesized or combined to produce acomplete view of city center.
The results obtained there are 14 city center locations which are divided into several functions of 6 as a central office locations spread across the central part of town, west side, and east of the city; 6 locations as trade and commercial center of the scattered extends from north to city center; 4 locations as scattered industrial centers in western and eastern cities, and 2 locations as a center of entertainment and services that are scattered in the middle of town.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S42404
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Octavia
"ABSTRAK
Permukiman informal telah menjadi salah satu isu paling penting yang dihadapi daerah perkotaan di Indonesia, khususnya DKI Jakarta. Sebagai ibukota Indonesia, Jakarta menjadi tujuan utama bagi para migran yang mengharapkan peluang kerja dan peningkatkan ekonomi untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak. Namun, faktor tenaga kerja yang murah dan keterbatasan pemerintah dalam menyediakan perumahan yang memadai, mendorong mereka untuk tinggal pada permukiman informal. Permukiman ini menjadi ruang yang mengakomodasi kebutuhan para migran dengan keterbatasan sosial-ekonomi untuk dapat menyesuaikan diri dengan dengan kehidupan kota, melalui penyediaan perumahan. Pada kenyataannya, pemerintah cenderung mengganggap permukiman informal sebagai pengganggu pembangunan kota melalui kebijakan penggusuran. Menggunakan teori informalitas kota, studi ini mencoba mengubah perspektif negatif terhadap permukiman informal, dengan menyoroti potensi yang dimiliki dan kontribusinya terhadap kota. Melalui studi kasus Kampung Muka sebagai permukiman informal di pusat kota, ternyata Kampung Muka tidak hanya sebagai solusi alternatif perumahan bagi para migran dengan keterbatasan sosial-ekonomi, namun juga turut mendukung perkembangan sektor formal yang ada di sekitarnya.
ABSTRACT
Informal settlements have become one of the most important issues facing urban areas in Indonesia, DKI Jakarta in particular. As the capital of Indonesia, Jakarta is the main destination for migrants who expect job opportunities and economy improvement for a more decent life. However, low-income factor and government limitations in providing adequate housing, encouraged them to live in informal settlement. This settlement become a space that accommodates the needs of migrants with socio-economic constraints to be able to adjust to city life, through the provision of housing. In reality, the government tends to consider informal settlement as a disruption to urban development, therefore the policy that is often carried out is eviction. Using urban informality as a main concept, this study tries to change the negative perspectives on informal settlements by highlighting at its potential and contribution to the city. Through the Kampung Muka case study as an informal settlement in the city center, it turns out that this settlement is not only as an alternative housing solution for migrants with socio-economic constraints, but also contributes to the development of the surrounding formal sector. "
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Puspita
"Penelitian ini mengungkap keberadaan fasilitas umum kampung kota yang dilihat sebagaisumber daya bersama (common pool resources). Warga kampung kota memiliki hubungan sosial antar warga yang sangat erat, terlebih keberadaan sarana fasilitas umum yang dimiliki semakin mempererat hubungan sosial mereka. Fasilitas umum sebagai elemen arsitektur perkotaan merupakan kebutuhan bagi setiap warga kampung kota, namun penyediaan dan pemeliharaannya memerlukan biaya yang cukup mahal. Dibutuhkan keterlibatan pemimpin formal dan bantuan pemimpin informal sebagai penghubung antara pemimpin formal dan penduduk kampung untuk memenuhi kebutuhan fasilitas umum tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan membuktikan pengaruh pemimpin formal dan pemimpin informal terhadap perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan fasilitas umum serta implikasinya terhadap kualitas lingkung bangun kampung kota. Penelitian dilakukan di Kampung Gabus Bekasi yang dikenal sebagai kampung jawara atau kampung preman berdasarkan pengalaman warga dan media. Metode penelitian menggunakan studi kasus dan teknik reputasional terhadap 419 responden dari total 34 RT yang ada di Kampung Gabus. Penelitian ini membuktikan bahwa keberadaan fasilitas umum juga peningkatan maupun perusakan yang terjadi di Kampung Gabus Bekasi tidak terlepas dari dinamika hubungan sosial (morfogenesis) antara pemimpin formal (kepala desa) dan pemimpin informal (tokoh masyarakat dan tokoh agama) setempat. Pemimpin formal dan pemimpin informal mempengaruhi keberadaan fasilitas umum karena mereka memiliki masa kejayaan serta memiliki ruang atas kejayaan mereka. Namun dikarenakan setiap pemimpin, baik pemimpin formal maupun pemimpin informal, dapat memilah tindakan mereka yang ingin merubah/mempertahankan budaya dan struktur yang berlaku, sehingga timbul agen-agen lain seperti mandor yang menguasai fasilitas umum.


This study reveals the existence of urban village public facilities which are seen as common pool resources. The residents of the urban village have very close social relations between residents, especially the existence of public facilities that are owned further strengthen their social relations. Public facilities as elements of urban architecture are a necessity for every citizen of the urban village, but their provision and maintenance requires quite expensive costs. It takes the involvement of formal leaders and the assistance of informal leaders as a liaison between formal leaders and villagers to meet the needs of these public facilities. The purpose of this study was to understand and prove the influence of formal leaders and informal leaders on the planning, construction, and management of public facilities and their implications for the quality of the urban village environment. The research was conducted in Kampung Gabus Bekasi which is known as the village of champions or the village of thugs based on the experiences of residents and the media. The research method uses case studies and reputable techniques on 419 respondents from a total of 34 RTs in Kampung Gabus.


This study proves that the existence of public facilities as well as the increase or destruction that occurs in Kampung Gabus Bekasi cannot be separated from the dynamics of social relations (morphogenesis) between formal leaders (village heads) and local informalleaders (community leaders and religious leaders). Formal leaders and informal leaders influence the existence of public facilities because they have a heyday and have room for their glory. However, because every leader, both formal and informal leaders, can sort out the actions of those who want to change/maintain the prevailing culture and structure, other agents such as the foreman who control public facilities arise."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Pregita
"Penelitian ini menggunakan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019 untuk menganalisis tingkat segregasi pekerjaan dan menguraikan kesenjangan upah yang dialami oleh pekerja dengan disabilitas di Indonesia. Dengan menggunakan kalkulasi index of dissimilarity, terdapat variasi segregasi pekerjaan berdasarkan jenis disabilitas, dimana pekerja dengan disabilitas mental dan kognitif mengalami segregasi pekerjaan paling parah. Sebaliknya, pekerja dengan disabilitas penglihatan mengalami segregasi pekerjaan terendah dibanding jenis disabilitas lain. Dengan menggunakan dekomposisi Blinder-Oaxaca, ditemukan variasi kesenjangan upah beserta dengan variasi faktor unexplained (bagian yang tidak dapat menjelaskan kesenjangan upah) berdasarkan jenis disabilitas. Pekerja dengan disabilitas fisik (mobilitas dan jari/tangan) mengalami potensi diskriminasi tertinggi, dimana kelompok ini memiliki faktor unexplained tertinggi dalam menjelaskan kesenjangan upah.

This study utilises data from Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019 to analyse occupational segregation and decompose wage differential that faced by workers with disabilities in Indonesia. By index of dissimilarity calculation, this study found the variation of occupational segregation level based on type of disabilities, where workers with mental and cognitive disabilities face the highest occupational segregation. On the other hand, workers with vision disabilities face the lowest occupational segregation. By Blinder-Oaxaca decomposition, this study found the variation of wage differential that was driven by the variation of unexplained factors. Workers with physical disabilities (mobility and finger/ hand) face the highest discrimination potential, shown by the highest unexplained factor."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Candra Junior
"Alun-alun Kota Serang merupakan ruang publik yang dibangun pada tahun 1828 oleh Belanda. Sebagai warisan benda budaya, pemanfaatan ruang publik ini diatur agar sesuai dengan kondisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran Pemerintah Daerah Kota Serang dalam mengatur pemanfaatan ruang Alun-alun Kota Serang dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini diidentifikasi melalui interaksi tiga elemen spasial yaitu representasi ruang (conceived space), praktik spasial (perceived space), dan ruang representasi (lived space) yang diwujudkan dalam bentuk perencanaan, penyelenggaraan, dan pemanfaatan ruang. Data penelitian ini dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sedangkan analisis dilakukan dengan metode komparatif spatial antara rencana tata ruang pemanfaatan alun-alun, dengan persebaran aktivitas dan kepadatan pengguna di alun-alun. Selain itu juga dilakukan identifikasi interaksi antara tiga elemen spasial pembentuk aktivitas di alun-alun. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai conceived space, terdapat dua ruang perencanaan. Pada area timur, perencanaan dilakukan dengan konsep modern dan berorientasi pada peningkatan ekonomi sehingga fasilitas dan atraksi yang tersedia lebih banyak dan bervariasi. Sedangkan pada area barat, perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah dilakukan dengan konsep kuno dan berorientasi untuk melestarikan bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di sekitar Alun-alun Kota Serang. Untuk mempertahankan fungsi warisan budaya di area barat, fasilitas dan atraksi disediakan secara terbatas. Dengan perbedaan pola ruang pemanfaatan tersebut, perceived space cenderung memusat di area timur. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan alun-alun sebagai warisan benda budaya yang dilakukan pemerintah berhasil mengatur pemanfaatan ruang. Alun-alun sebagai lived space tidak berdiri sendiri, namun menunjukkan keterkaitan dengan ruang di sekitarnya.

Serang Alun-alun is a public space built in 1828 by the Dutch. As a cultural heritage, the utilization of this public space is regulated according to its conditions. This study aims to identify the role of the Local Government of Serang City in regulating the spatial use of Serang Alun-alun and its influence on space utilization. This is identified through the interaction of three spatial elements, namely spatial representation (conceived space), spatial practices (perceived space), and representational space (lived space) which are embodied in the form of planning, organizing, and spatial utilization. The research data was collected through observation, interviews, and documentation studies. While the analysis was carried out using a spatial comparative method between the spatial plan for the use of the Alun-alun, with the distribution of activities and the density of users in the Alun-alun. In addition, the study was also carried out to identify interactions between the three spatial elements forming activities in the Alun-Alun. The results of the analysis show that as a conceived space, there are two planning spaces. In the eastern area, planning is carried out with a modern concept and is oriented towards improving the economy so that more and more varied facilities and attractions are available. Whereas in the western area, the planning carried out by the government with an ancient concept is oriented towards preserving historical buildings scattered around Serang Alun-alun. To maintain the function of cultural heritage in the West area, the government provided limited facilities and attractions. With the difference in the spatial utilization pattern, the perceived space tends to concentrate in the east. The conclusion of this study shows that the planning of the Alun-alun as a cultural heritage by the government has succeeded in regulating the use of space. Alun-alun as a lived space does not stand alone but shows a connection with the space around it."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>