Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187052 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yolanda Vanesa
"ABSTRACT
Dalam rangka mengendalikan konsumsi dan eksternalitas negatif yang dihasilkan produk hasil tembakau, Indonesia menggunakan instrumen kebijakan pajak dan pungutan negara lainnya, sebagai fungsi regulerend dalam mengendalikan konsumsi tesebut. Namun, kebijakan tersebut dianggap belum mampu memberikan menurunkan konsumsi tembakau. Berbeda dengan Indonesia, Thailand menjadi salah satu contoh negara yang berhasil menggunakan instrument pajak dan pungutan lainnya untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis komparasi struktur pungutan negara atas konsumsi tembakau yang berlaku saat ini di Indonesia dan Thailand serta menganalisis alternatif struktur kebijakan pungutan negara atas konsumsi tembakau di Indonesia berdasarkan studi komparasi dengan Thailand. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan data studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini adalah komparasi struktur kebijakan pungutan negara Indonesia dengan Thailand menunjukkan bahwa struktur kebijakan pungutan negara atas konsumsi tembakau di Thailand, lebih bervariasi dibandingkan dengan Indonesia. Berdasarkan komparasi tersebut, terdapat beberapa kebijakan alternatif yang dianggap mampu diterapkan di Indonesia, seperti menggunakan multi stage levy dalam pemungutan PPN atas hasil tembakau, meningkatkan beban pajak atas rokok dan tarif cukai hasil tembakau secara signifikan secara berkala, dan menerapkan kebijakan pajak untuk kesehatan dan pajak untuk layanan siaran publik, sehingga tujuan kebijakan untuk menurunkan prevalensi merokok dapat tercapai, dan dapat meningkatkan penerimaan negara.

ABSTRACT
In order to control the consumption of and the negative externalities caused by tobacco products, Indonesia use the instrument of tax policy and other state levies, as a regulerend function in controlling the consumption of tobacco. However, the policy is considered not able to provide lower tobacco consumption. Otherwise, Thailand is an example of a successful country that using tax instruments and other levies to control tobacco consumption. The purpose of this study is to analyze the comparation of state levy structure on current tobacco consumption in Indonesia and Thailand and to analyze alternative policy structure of state levy on tobacco consumption in Indonesia based on comparative study with Thailand. This research was conducted using qualitative approach with descriptive research purpose and data collection techniques through literature study and field study in the form in depth interview. The results of this study is the comparative structure of Indonesia 39 s state levy policy with Thailand indicate that the policy structure of state levy on tobacco consumption in Thailand is more varied than Indonesia. The comparative structure of the state levy policy with Thailand shows there are several alternative policies considered capable of being applied in Indonesia, such as using multi stage levy in VAT collecting of tobacco products, increasing tobacco the tax burden on cigarette and excise tariffs significantly and periodically, and applying tax policies for health and tax for public broadcasting services, so policy objectives to reduce the prevalence of smoking can be achieved, and can increase state revenues."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Armani Putri
"Meningkatkan harga produk hasil tembakau melalui pajak yang lebih tinggi dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan konsumsi dan eksternalitas negatif yang ditimbulkannya. Indonesia termasuk salah satu negara yang memanfaatkan instrumen pajak, salah satunya PPN atas hasil tembakau, namun kenaikan PPN belum memberikan efek yang diharapkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tren kebijakan PPN atas penyerahan hasil tembakau sejak 20 tahun terakhir sesuai amandemen UU dan menganalisis konteks kebijakan Indonesia dengan kebijakan Negara Afrika Selatan dan Filipina. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan data studi literatur dan studi lapangan melalui wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan sejak 20 tahun terakhir, terjadi tren kenaikan tarif efektif berkisar rendah antara 0,2 -0,3, tren pemungutan dengan single stage levy, peralihan pengawas pelaksanaan penyetoran dari DJBC ke DJP, dan perubahan DPP untuk pemberian cuma-cuma. Secara teoritis, PPN bukan instrumen yang tepat untuk mengendalikan tembakau di samping cukai. Negara Afrika Selatan dan Filipina memungut PPN secara multi stage dan lebih memanfaatkan instrumen cukai dibandingkan PPN dalam mengurangi konsumsi tembakau, namun PPN dengan kenaikan sebesar 1 di kedua negara tersebut dapat berperan sebagai pungutan tambahan dalam membantu pengendalian tembakau.

Increasing the price of tobacco products through higher taxes is considered to be the most effective way to control the consumption of and the negative externalities caused by tobacco products. Indonesia is one of the countries that use tax as an instrument to curb tobacco consumption, one of them being VAT, but the increase of VAT hasn rsquo t given any desired effect yet. The purpose of this study is to analyze VAT policy trends in Indonesia over the last 20 years in accordance with the amendments to the Act and to analyze the Indonesian policy context with the policy of South Africa and Philippines. This study uses a qualitative approach with descriptive research objective and the data collection techniques of literature study and field study through in depth interview.
The result shows that since the last 20 years, there has been a trend of effective rate increase between 0,2 0,3 , the trend of levy with single stage system, the transfer of supervising authority from DJBC to DJP, and the slight change of tax base for ldquo pemberian cuma cuma rdquo . Theoretically, VAT is not suitable for controlling consumption, in addition to excise duty. South Africa and Philippines collect VAT on a multi stage basis and use excise as the main instrument, rather than VAT, to reduce tobacco consumption, but VAT with recent 1 increase in both countries can at as additional levies in helping tobacco control.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Citra Pramesthi
"Dalam rangka mengendalikan angka prevalensi tembakau, Indonesia dan Filipina menerapkan kebijakan fiskal (cukai tembakau, pajak rokok, Earmarked tax dari cukai dan pajak rokok, serta PPN pada produk tembakau) dan non-fiskal (peringatan kesehatan bergambar, kawasan tanpa rokok, pembatasan penjualan, dan promosi produk tembakau) sesuai dengan anjuran dari WHO melalui FCTC. Meskipun begitu, Indonesia belum berhasil menurunkan angka prevalensi merokok, yang mana kondisi ini berbanding terbalik dengan situasi di Filipina. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis implementasi kebijakan di kedua negara dan mengidentifikasi pelajaran yang dapat diambil oleh Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan paradigma post-positivisme dan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan di Indonesia belum mampu menurunkan angka prevalensi merokok seperti yang terjadi di Filipina karena adanya perbedaan antara kepentingan yang memengaruhi (latar belakang kebijakan) yang bertolak belakang dengan implementasi kebijakan, tidak adanya pembatasan interaksi dengan industri tembakau sebagai strategi pihak yang terlibat, serta tingkat kepatuhan yang masih rendah. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu melakukan beberapa hal seperti penyelarasan latar belakang dengan implementasi kebijakan, melakukan pembatasan interaksi dengan industri tembakau sebagai strategi aktor yang terlibat, penguatan pengawasan terhadap implementasi kebijakan, membuat kebijakan yang lebih teknis dan mudah diakses oleh masyarakat, menerapkan sanksi yang tegas dan adil, dan mengalokasikan anggaran secara khusus untuk pengendalian tembakau. Hal ini diperlukan agar kebijakan fiskal dan non-fiskal di Indonesia dapat berjalan secara optimal seperti di Filipina.

fiscal policies (tobacco excise, cigarette taxes, earmarked taxes from tobacco excise and cigarette taxes, and VAT on tobacco products) and non-fiscal policies (health warnings with images, smoke-free zones, restrictions on sales, and tobacco product promotion) in accordance with WHO recommendations through the FCTC. However, Indonesia has not succeeded in reducing smoking prevalence rates, a situation that contrasts with the situation in the Philippines. This study aims to analyze the implementation of policies in both countries and identify lessons that Indonesia can learn. The approach used in this study is quantitative with a post-positivism paradigm and a descriptive research type. The results indicate that the implementation of policies in Indonesia has not been able to reduce smoking prevalence rates as in the Philippines due to differences in the interests influencing (policy background) which contradict the policy implementation, the lack of restrictions on interactions with the tobacco industry as a strategy for the involved parties, and the still low compliance levels. Therefore, the Indonesian government needs to take several actions, such as aligning the background with policy implementation, limiting interactions with the tobacco industry as a strategy for involved actors. Additionally, strengthening oversight of policy implementation through the establishment of a special committee, increasing the budget, and providing information and reports on the use of allocated funds to the public is needed. Furthermore, the Indonesian government also needs to create more technical and accessible policies for the public, apply firm and fair sanctions, and allocate a specific budget for tobacco control. This is necessary so that fiscal and non-fiscal policies in Indonesia can be implemented optimally, as in the Philippines.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaky Syahdan Ali
"ABSTRAK
Rokok konvensional dan rokok elektrik merupakan barang yang menghasilkan eksternalitas negatif. Dikarenakan menghasilkan negatif, maka Pemerintah perlu mengendalikan konsumsi kedua barang ini dengan dikenakannya Pungutan Negara. Pungutan Negara ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Dari latarbelakang ini, Penelitian ini membahas evaluasi kebijakan atas pungutan negara yang dikenakan pada rokok konvensional dan rokok elektrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur pungutan negara yang dikenakan pada rokok konvensional dan rokok elektrik, serta mengetahui perbedaan perlakuan atas pungutan negara pada rokok konvensional dan rokok elektrik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan metode penelitian kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rokok konvensional terdiri dari tiga pungutan negara, untuk Pungutan Negara tingkat Nasional yaitu Cukai dan PPN Hasil Tembakau, sedangkan untuk Pungutan Negara tingkat Daerah yaitu Pajak Rokok. Rokok elektrik terdiri dari dua pungutan, untuk Pungutan Negara tingkat Nasional yaitu Cukai dan PPN Hasil Tembakau. Selain itu, Perbedaan perlakuan pungutan negara atas rokok konvensional dan rokok elektrik, yang pertama terdapat perbedaan tarif Cukai atas kedua barang tersebut, kedua terdapat perbedaan perlakuan sistem pengenaan PPN yang bersifat satu tingkat, dan ketiga yaitu pengenaan Pajak Rokok atas kedua barang tersebut. Dari hasil penelitian ini disarankan agar pemerintah menyetarakan tarif cukai kedua barang tersebut dan persamaan perlakuan Pajak Rokok atas kedua barang tersebut.

ABSTRACT
Conventional cigarettes and e-cigarettes are goods that produce negative externalities. Because it produces negative externalities, the Government needs to control the consumption of these two goods by being subject to State Levies. There are state levies that are direct and indirect. From this background, this study discusses the evaluation of policies on state levies imposed on conventional cigarettes and e-cigarettes. This study aims to determine the structure of state levies imposed on conventional cigarettes and e-cigarettes, and to know the differences in treatment of state levies on conventional cigarettes and e-cigarettes. This research is qualitative research with descriptive research and qualitative research methods.
The results of this study indicate that conventional cigarettes consist of three state levies, for national level levies, namely excise and VAT on tobacco products, while for regional level levies, namely cigarette tax. Electric cigarettes consist of two levies, for national level levies, namely excise and VAT on tobacco products. In addition, the difference in treatment of state levies on conventional cigarettes and electric cigarettes, the first is the difference in excise rates for the two goods, secondly there is a difference in treatment of the singlestage VAT imposition system, and the third is the cigarette tax imposition on both goods. From the results of this study it is recommended that the government equalize the excise tariffs of the two goods and the Cigarette Tax treatment equation for the two goods."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Nashita Noegroho
"Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana sesuai dengan Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pelaksanaan pendidikan sangat lekat dengan yang dinamakan literasi, sehingga akses literasi bagi setiap individu merupakan hal yang penting guna untuk mendapatkan informasi. Aksesibilitas literasi merupakan suatu hambatan bagi penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas dalam membaca karya cetak sehingga mengakibatkan adanya ancaman paceklik buku. Hambatan terjadi dikarenakan adanya proses hukum dalam hal hak cipta untuk memproduksi, mendistribusikan, melakukan pertukaran antar negara terhadap ciptaan literasi. Lahirnya Traktat Marrakesh bertujuan untuk mengatasi paceklik buku dengan mengatur pembatasan dan pengecualian hak cipta terhadap fasilitasi akses literasi sehingga penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas dalam membaca karya cetak dapat mendapatkan akses literasi dalam format yang dapat diakses tanpa melanggar hak cipta. Traktat Marrakesh diadopsi pada tanggal 27 Juni 2013 dan mulai berlaku 30 September 2016. Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan dari Traktat Marrakesh, namun baru meratifikasi pada tahun 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2020. Tepat satu tahun sebelum Indonesia meratifikasi Traktat Marrakesh, Thailand telah mengaksesi Traktat Marrakesh dengan melakukan amandemen terhadap Copyright Act BE 2537 (1994) melalui Copyright Act (No. 4) B.E. 2561 (2018). Sebagai negara anggota ASEAN, ratifikasi dan aksesi Indonesia dan Thailand terhadap Traktat Marrakesh merupakan salah satu bentuk pengimplementasian dari Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pengaturan dan implementasi Traktat Marrakesh terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Dalam segi perbandingan pengaturannya, Indonesia lebih unggul dalam menetapkan pihak-pihak yang terlibat dalam hal fasilitasi akses literasi dibanding dengan Thailand. Akan tetapi, dalam segi perbandingan implementasi, Thailand lebih unggul dalam hal pertukaran akses literasi lintas batas dibanding dengan Indonesia.

Every human being has the right to education in accordance with Article 26 of the Universal Declaration of Human Rights. Education is closely related to what is called literacy, so access to literacy for each individual is important in order to obtain information. Literacy accessibility is an obstacle for people with visual impairments, resulting in the threat of book famine. Barriers occur due to the legal process in terms of copyright to produce, distribute, exchange between countries for literacy works. Marrakesh Treaty aims to overcome book famine by regulating copyright restrictions and exceptions to facilitate access to literacy so that people with visual impairments can get access to literacy in accessible formats without violating copyright. Marrakesh Treaty was adopted on June 27, 2013 and entered into force on September 30, 2016. Indonesia is one of the signatory countries of the Marrakesh Treaty, but only ratified it in 2020 through Presidential Regulation Number 1 of 2020. Exactly one year before Indonesia ratified the Marrakesh Treaty, Thailand had acceded to the Marrakesh Treaty by amending the Copyright Act BE 2537 (1994) through Copyright Act (No. 4) B.E. 2561 (2018). As ASEAN member countries, the ratification and accession of Indonesia and Thailand to Marrakesh Treaty is a form of implementation of ASEAN Declaration of Human Rights. This study found that there are significant differences in the regulation and implementation of the Marrakesh Treaty. In terms of regulatory comparison, Indonesia is superior in determining the parties involved in facilitating access to literacy compared to Thailand. However, in terms of implementation comparison, Thailand is superior in terms of cross-border literacy access exchange compared to Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Novianti
"Tujuan penelitian Tesis ini adalah untuk menganalisis kebijakan pungutan Negara untuk mendukung pembangunanan Minapolitan di Indonesia. Peneliti memetakan kebijakan pungutan Negara yang terkait dengan program-program minapolitan , baik yang bersifat insentif maupun disinsentif serta upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir beban pungutan Negara yang bersifat disinsentif.
Hasil penelitian disimpulkan Pemerintah cukup mendukung untuk pengembangan Minapolitan dengan beberapa fasilitas insentif perpajakan yaitu antara lain Fasilitas PPh dan PPN.Tetapi terdapat pula kebijakan pungutan Negara yang bersifat disinsentif seperti retribusi dan pungutan Negara yang memberatkan nelayan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.

The aim of the research is to analyze the state retribution policy in supporting the Minapolitan development in Indonesia. The researchers make the state retribution policy related to the incentive and disincentive minapolitan programs and efforts done to minimize the disincentive state retribution.
From the research results, it is concluded that the Government sufficiently supports the Minapolitan development with several tax incentive facilities, such as Income Tax and Added Value Tax facility. However, there is also a disincentive state retribution policy, such as state retributions and fees which burden fishermen, causing high economic costs.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T31532
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khisi Armaya Dhora
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas kebijakan PPN atas Jasa Pengangkutan Muatan Ekspor dan Impor dengan Menggunakan Angkutan Laut di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitan deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perubahan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa pengangkutan muatan ekspor dan impor di Indonesia sebelum dan sesudah berlakunya PMK Nomor 80/PMK.03/2012. Selain itu, berbeda dengan Indonesia, Singapura dan Filipina sudah mengatur secara khusus PPN atas jasa pengangkutan di jalur internasional. Kedua negara tersebut memberikan fasilitas PPN atas penyerahan jasa pengangkutan di jalur Internasional. Indonesia dapat mengacu pada kebijakan yang digunakan negara lain dalam hal penerapan alternatif kebijakan PPN yang sesuai atas jasa pengangkutan muatan ekspor dan impor dengan angkutan laut.

ABSTRACT
This study discusses about the policy of Value Added Tax (VAT) on transportation services of export and import cargo with sea transport in Indonesia (comparative study with Singapore and Philippines). This study used a qualitative approach to the type of descriptive research. The research concluded that there are differences between the prior and post establishment of Minister of Finance Regulation Number 80/PMK/2012. Moreover, in contrast to Indonesia, Singapore and the Philippines have set up a special VAT of transportation services on international routes. Both countries are giving the benefit of VAT on international routes service transaction to the related corporates. Thus, Indonesia can refer to foreign policies in terms of implementation of alternatives appropriate policy on VAT of export and import cargo by sea transport.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Hidayati
"UMKM adalah tulangpunggung usaha di Indonesia dan Thailand. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan kebijakan pajak penghasilan atas Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia dan Thailand serta menganalisis kelemahan kebijakan pajak penghasilan atas UMKM di Indonesia dibanding kebijakan PPh UMKM Thailand. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil pengkajian menunjukan bahwa pelaku UMKM Thailand membayar PPh yang tinggi daripada pelaku UMKM Indonesia. Kelemahan kebijakan pajak penghasilan atas UMKM di Indonesia dibanding Thailand dinilai tidak memenuhi aspek keadilan, bertentangan dengan sistem self assessment, bertentangan dengan Undang-undang, penerbitan SKB yang tidak sesuai dengan asas ease of administrationdan tidak ada insentif pajak yang diberikan kepada pelaku UMKM Indonesia.

Small and Medium Enterprises are the backbone enterprises in Indonesia and Thailand. The purpose of this study was to compare the income tax policy on Micro, Small and Medium Enterprises (SMEs) in Indonesia and Thailand and to analyze weaknesses of income tax policy on SMEs in Indonesia than SMEs in Thailand. This study used a qualitative approach.
The assessment results show that SMEs in Thailand pay income tax higher than SMEs in Indonesia. The Weakness of income tax policy on SMEs in Indonesia than Thailand did not meet an aspects of quality and it was contrary to the self-assessment system and the Act. The other weakness was issuance of the Exemption Letter was not in accordance with the principles of ease of administration and there were no tax incentives that were given to SMEs in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Inggrid Puspaningrum
"Perkembangan digital membuat aktivitas ekonomi masyarakat semakin mudah. Lalu lintas perdagangan barang dan jasa semakin cepat dan tak hanya berbentuk fisik, melainkan juga berupa produk digital. Indonesia berupaya memajaki barang dan/atau jasa digital luar negeri dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020. Sama halnya dengan Vietnam yang berupaya memajaki produk digital luar negeri dengan menerbitkan Decree No. 126/2020/ND-CP. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi kebijakan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di Indonesia pasca diterbitkannya PMK No. 48 Tahun 2020 ditinjau dari asas ease of administration dan membandingkannya dengan kebijakan PPN digital luar negeri milik negara Vietnam. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif-post positivisme dengan operasionalisasi konsep dan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia telah memenuhi asas ease of administration dari sisi asas kepastian, asas efisensi, asas kemudahan dan kenyamanan, serta asas kesederhanaan walaupun masih banyak ketentuan mengenai sanksi dan penggalian potensi yang dapat diperbaiki. Bila dibandingkan dengan Vietnam, sistem pemungutan PPN PMSE atas barang dan/atau jasa digital luar negeri Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Sistem pemungutan PPN PMSE Indonesia telah dirancang secara sederhana dan mudah bagi fiskus dan Pemungut PPN PMSE, sementara sistem pemungutan PPN digital luar negeri Vietnam lebih kompleks namun tegas dalam pelaksanaannya.

Digital developments make people's economic activities easier. The traffic of trade in goods and services is getting faster and not only in physical form but also in digital products. Indonesia seeks to tax foreign digital goods and services by issuing Minister of Finance Regulation Number 48/PMK.03/2020. Likewise, Vietnam taxes foreign digital products by issuing Decree No. 126/2020/ND-CP. This research was conducted to analyze the VAT policy on Trading Through Electronic Systems (PMSE) in Indonesia after the issuance of PMK No. 48 of 2020 is viewed from the ease of administration principle and compares it with Vietnam's foreign digital VAT policy. The research was conducted using a quantitative-post-positivism approach, operationalizing concepts and data collection techniques through library research and field studies. This study indicates that Indonesia's PMSE VAT policy on foreign digital goods and services has fulfilled the ease of administration principle in terms of certainty, efficiency, the convenience of payment, and simplicity. However, there are still many provisions regarding sanctions and potential exploration that can be improved. Compared to Vietnam, the PMSE VAT collection system for foreign digital goods and services in Indonesia has advantages and disadvantages. Indonesia's PMSE VAT collection system has been designed to be simple and easy for tax authorities and PMSE VAT Collectors. In contrast, Vietnam's foreign digital VAT collection system is more complex but firm in its implementation."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khansa Ravelyta Wibowo
"Menurut lembaga survei Wealth Health Organization (WHO), Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai jumlah perokok terbanyak. Untuk mengurangi eksternalitas negatif yang timbul dari penggunaan rokok elektrik, pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai rokok elektrik pada tahun 2018. Peningkatan konsumsi rokok elektrik di Indonesia membuat pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan berupa kenaikan cukai rokok elektrik pada tahun 2023 dan 2024. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan cukai rokok elektrik di Indonesia dengan negara Filipina dan Malaysia, dan evaluasi dari kebijakan kenaikan cukai rokok elektrik di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan post positivis. Metode penelitian dari penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa negara Filipina memiliki kebijakan cukai rokok elektrik berdasarkan kandungan nikotin, sementara di Indonesia berdasarkan jenis. Negara Malaysia memiliki tarif tetap atas liquid, sementara di Indonesia tarif spesifik berdasarkan jenis. Negara Filipina dan Malaysia masing-masing memiliki tarif cukai atas liquid yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Terdapat empat pilar kebijakan cukai rokok elektrik di Indonesia, yaitu pengendalian konsumsi, penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan pengendalian rokok elektrik ilegal. Kebijakan kenaikan cukai rokok elektrik menurut evaluasi kebijakan Dunn, sudah memenuhi kriteria efisiensi dan keadilan. Namun, belum memenuhi kriteria evaluasi efektifitas, kecukupan, responsivitas, dan ketepatan.

According to the Wealth Health Organization (WHO) survey institute, Indonesia is ranked third in the world with the highest number of smokers. To reduce negative externalities arising from the use of e-cigarettes, the government issued an e-cigarette excise policy in 2018. The increasing consumption of e-cigarettes in Indonesia prompted the government to make policy adjustments in the form of an increase in excise duty. on electronic cigarettes in 2023 and 2024. This research was conducted to determine the comparison of excise taxes. e-cigarettes in Indonesia with the Philippines and Malaysia, as well as an evaluation of the policy to increase excise duty on e-cigarettes in Indonesia. This research was conducted using a post positivist approach. The research method used in this research is a qualitative method. The results of this research show that the Philippines has an excise policy on e-cigarettes based on the nicotine content, while in Indonesia it is based on the type. Malaysia has a fixed tariff for liquids, while in Indonesia the tariff is specific based on the type. The Philippines and Malaysia each have higher liquid excise rates than Indonesia. There are four pillars of e-cigarette excise policy in Indonesia, namely controlling consumption, state revenue, workforce sustainability, and controlling illegal e-cigarettes. According to Dunn's policy evaluation, the policy to increase excise tax on e-cigarettes meets the criteria of efficiency and fairness. However, it does not meet the evaluation criteria of effectiveness, adequacy, responsiveness and accuracy."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>