Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193552 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puspa Amelia
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Agung terkait putusan pengujian yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib serta dilakukannya pemanduan sumpah atau janji terhadap pimpinan DPD yang terpilih pada tahun 2017 yang masih menjadi perdebatan. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan utama. Pertama, kewenangan MA dalam pengujian terhadap Peraturan Tata Tertib DPD. Kedua, konsekuensi hukum putusan pengujian peraturan tata tertib DPD terhadap kewenangan pemanduan pengucapan sumpah atau janji pimpinan DPD tahun 2017 oleh MA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan pendekatan sejarah historical approach . Hasil penelitian ini menunjukan bahwaMAdalam melakukan pengujian terhadap peraturan tata tertib DPD adalah menjalankan fungsi peradilan yudisial dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan, MA dalam melakukan pemanduan sumpah/janji pimpinan DPD adalah menjalankan fungsi administratif non-yudisial dalam kewenangan lain yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Secara formal, DPD telah menjalankan putusan MA, tetapi tidak secara substantif. Karena faktanya pemilihan pimpinan DPD yang baru tidak didasarkan pada putusan MA.Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 Perma No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang memberikan jangka waktu selama 90 hari terhadap kekuataan hukum peraturan perundang-undangan yang dibatalkan menjadi salah satu alasan yang menempatkan MA dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, MA telah membatalkan peraturan tata tertib DPD, di sisi lain MA harus melaksanakan tugasnya untuk memandu sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, MA juga tidak memiliki kapasitas untuk menilai keabsahan dari pemilihan pimpinan tersebut.

ABSTRACT
This thesis discusses about the authority of the Supreme Court regarding the current decisions of judicial review ofthe rules of procedure of DPD Number 1 of 2016 and Number 1 of 2017 as well as guidance of oath or pledge against elected DPD leaders in 2017 which is still a debate. This study raises two main issues. First, the authority of the Supreme Court in the judicial review of the Rules of Procedure of DPD. Secondly, the legal consequences on the authority of scouting oath or promise of DPD leadership in 2017 by MA. This research is using normative juridical method through literature study and historical approach. The results of this study shows that the supreme court in judicial review of law regulation under law against the 1945 Constitution ofthe Republic of Indonesia is implementing judicial functions. Meanwhile, the Supreme Court in conducting the oath of DPD pledge is implementing administrative functions non judicial in other authorities as determined by Law Number 17 of 2014 concerning MPR, DPR, DPD and DPRD juncto Law Number 14 of 1985 regarding Supreme Court. Formally, the DPD has implemented the Supreme Court 39 s decision, but not substantively. Due to the fact that the election of the new DPD leadership was not based on the Supreme Court 39 s Decision. The provisions in Article 8 paragraph 2 of No.1 of 2011 on the Material Test Rights which give a period of 90 days to the legal power of legislation is one of the reasons that put the MA in a dilemmatic position. On the other hand, the Supreme Court has annulment the DPD rules of procedures, the Supreme Court must carry out its duties to guide the oath pledge mandated by the law, the Supreme Court also does not have the capacity to assess the validity of the election of the leader. Keywords The Supreme Court rsquo s Authority, Judicial Review, Swearing Oath, DPD."
2018
T51187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Monawati Sukma
"ABSTRAK
Dibentuknya DPD merupakan salah satu solusi untuk mengatasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yang fungsi dan kewenangannya telah diatur di dalam UUD NRI 1945. Namun pasca diberlakukannya Undang-Undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD tahun 2018, Pada Pasal 249 ayat (1) huruf J DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Hal ini kemudian menjadi problematika ketika DPD sebagai lembaga legislatif, harus melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah, yang berlaku dalam lingkungan daerah. Penelitian ini dilakukan guna menemukan jawaban atas permasalahan mengenai kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda tepat atau tidak, serta bagaimana lingkup kewenangan dalam pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan
Perda yang dilakukan oleh DPD. Ditinjau dari kedudukan dan kemampuannya, tidak tepat bila DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Meskipun demikian, DPD telah merumuskan ketentuan yang mengatur mengenai lingkup dan mekanisme pelaksanaan kewenangan tersebut. Lingkup dalam melakukan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan DPD adalah berbentuk rekomendasi. Rekomendasi ini selanjutnya akan disampaikan kepada DPR dan Presiden, bukan kepada daerah yang bersangkutan. Seharusnya dalam merumuskan suatu kebijakan, lembaga legislatif harus benarbenar memahami isi dan makna dari suatu produk hukum yang akan dibentuk, agar tidak menjadi masalah ketika produk hukum tersebut diterapkan. Selain itu, kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda yang diatur dalam Pasal 249 ayat (1) huruf J ini dilakukan judicial review
karena kewenangan ini tidak tepat diberikan kepada DPD.

ABSTRACT
The establishment of DPD is solution to solve problems of central and regional
governments, whose functions and authorities have been regulated in the
Constitution of Indonesia Republic of 1945. However, after the enactment of the
Law regulating the MPR, DPR, DPD and DPRD in 2018, Article 249 section (1)
letter J DPD is given the authority to carry out monitoring and evaluation of the
Raperda and Perda. This then becomes a problem when the DPD, as a legislative
x
institution, must supervise regional legal products, which apply in the regional
environment. This research was conducted to find answers to problems regarding
the DPD's authority to monitor and evaluate the draft regional regulation and
regional regulation whether it is appropriate or not, as well as how the scope of
authority in monitoring and evaluating the draft regional regulations and
regional regulation conducted by the DPD. Judging from its position and
capacity, it would not be right for the DPD to be given the authority to monitor
and evaluate the Raperda and Perda. Nonetheless, the DPD has formulated
provisions regulating the scope and mechanisms for exercising this authority. The
scope of monitoring and evaluation carried out by the DPD is in the form of
recommendations. These recommendations will then be submitted to the DPR and
the President, not to the regions concerned. In formulating a policy, the
legislative institution should really understand the content and meaning of a legal
product to be formed, so that it does not become a problem when the legal
product is applied. In addition, the DPD's authority to monitor and evaluate the
draft regional regulations and regional regulation as stipulated in Article 249
section (1) letter J is subject to a judicial review because this authority is not
properly assigned to the DPD."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat RI., 1984
342.05 IND h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Hudiana
"Polemik terkait sah atau tidaknya jabatan pimpinan DPD periode 2017 - 2019 terus menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan, bahkan hingga berakhirnya kepengurusan DPD. Menurut beberapa ahli hukum, pergantian pimpinan DPD yang dilakukan pada tahun 2017 bukan merupakan pergantian pimpinan yang sah, pasalnya pergantian tersebut dianggap menerobos aturan hukum yang ada. Namun yang menjadi masalah adalah sampai saat ini tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa di internal DPD. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji permasalahan berdasarkan norma hukum yang terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan membandingkannya dengan beberapa negara. Hasil dari penelitian adalah permasalahan yang terjadi merupakan permasalahan etika anggota lembaga perwakilan. Oleh karena itu yang berwenang menyelesaikannya yaitu internal DPD sendiri melalui Badan Kehormatan DPD. Namun karena belum diatur secara rinci mengenai mekanisme evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD, akhirnya proses penyempurnaan dikembalikan kepada mekanisme politis yang sulit untuk tercapainya keadilan. Adapun alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan memperkuat peraturan DPD dan membentuk standar etika penyelenggara negara. Dengan demikian, DPD disarankan untuk memperbaiki peraturan tentang tata beracara badan kehormatan DPD. Dan disarankan kepada DPR RI untuk membuat rancangan undang-undang tentang etika penyelenggara negara.

The related polemic whether or not holding the leadership of the DPD for the period 2017 - 2019 continues to be a hot issue to be discussed, even to the end of the management of the DPD. According to some legal experts, the replacement of the leadership of the DPD conducted in 2017 is not a legitimate change of leadership, because the change is considered to break the existing legal rules. But the problem is that there are currently no parties who can solve this problem. Therefore, the author conducted a study to find out how to resolve disputes in the internal DPD. Research carried out by juridical-normative method is by examining problems based on laws related to the laws and regulations that apply in Indonesia and comparing them with various countries. The results of this study are the problems that occur are ethical issues of members of representative institutions. Therefore, what was agreed to solve was the internal DPD itself through the Honorary Board of DPD. DPD, finally the refinement process is related to a difficult political evaluation to achieve justice. As an alternative to resolve this problem by completing the regulations of the DPD and establishing ethical standards for state administration. Thus, DPD agreed to regulate the rules regarding the procedure for the proceedings of  DPD. And agreed to DPR RI to draft a law on the ethics of state administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Eddie
"Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia sebagai lembaga baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia merupakan fenomena menarik. Secara teoretis, kehadiran kamar kedua dalam parlemen dimaksudkan untuk mewakili ruang (daerah) dan memberikan pendapat kedua dalam pembuatan undang-undang atau melakukan checks and balances kepada kamar pertama. Fungsi dan wewenang DPD yang ditetapkan dalam UUD 1945 adalah fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan yang sangat terbatas, dan bahkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD semakin dibatasi lagi dengan keterlibatan DPD dalam pembahasan hanya pada tahap pembicaraan tingkat I.
Sehubungan dengan itu, menarik untuk dikaji pembentukan DPD, bagaimana bikameralisme di negara-negara lain, bagaimana kamar kedua melaksanakan checks and balances kepada kamar pertama atau upper house dan bagaimana implementasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. Karena itu, tesis ini mencoba membahas bentuk bikameralisme di Indonesia dan bagaimana DPD melaksanakan checks and balances kepada DPR. Penelitian dilakukan dengan tipe kualitatif deskriptif sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi kehadiran DPD yang dilakukan secara intensif, mendalam, terinci dan komprehensif. Pengumpulan data diiakukan dengan pengamatan langsung, studi pustaka, wawancara mendalam dengan pakar terkait, serta anggota DPD dan DPR.
Berdasarkan teori bikameralisme yang dikembangkan oleh Sartori, Lijphart, Ellis dan C.F. Strong serta melakukan perbandingan dengan bikameralisme di beberapa negara, bikameralisme di Indonesia termasuk dalam kategori yang berbeda atau bikameralisme yang Iain dari yang lain. Meskipun dengan kewenangan yang sangat terbatas, DPD - yang anggotanya dipilih Iangsung oleh rakyat dalam, pemilihan umum legislatif - masih dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dalam kerangka checks and balances terhadap DPR melalui pengusulan RUU di bidang tertentu, pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu dan fungsi pertimbangan dalam APBN ."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harga Adi Prabawa
"Sebagaimana diatur dalam Pasal 24(C) ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa hakim konstitusi dalam proses pengisian jabatan dipilih oleh lembaga negara yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Mahkamah Agung. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi dengan independensi hakim konstitusi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 24 tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2011 telah mengatur bahwa pelaksanaan pengisian jabatan hakim konstitusi harus memperhatikan asas tranparansi dan partisipatif dengan diatur oleh masing-masing lembaga yang mengisi jabatan hakim konstitusi, namun saat ini aturan tersebut belum dibuat,sehingga diperlukan sebuah aturan yang memastikan asas-asas itu dilaksanakan dalam rangka menjamin independensi hakim konstitusi.

As regulated in Article 24 (C) of paragraph (3) of the Constitution of 1945, that Constitutional judges in the process of filling the positions chosen by state institutions, namely the Supreme Court (Mahkamah Agung), House of Representatives and President. This thesis aims to determine how the relationship between the filling position with the independence of the constitutional judges. The method used is a normative juridical that refers to the legal norms contained in legislation. Law No. 24 2003 jo Law No. 48 of 2011 has mandated that the implementation of filling the post of constitutional judges should observe the principle of transparency and participatory regulated by each institution to fill the post of constitutional judge, but this time the regulation has not been made , so we need a rule that ensure the principles are carried out in order to guarantee the independence of the constitutional judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbanraja, Hasan Tua
"Kewenangan pengujian konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bersumber dari atribusi Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pengaturan dalam Konstitusi tersebut hanya menyebutkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Menurut teori hukum administrasi negara, penerima atribusi dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Pada praktiknya Mahkamah Konstitusi menafsirkan sendiri jangkauan kewenangannya dalam pengujian konstitusionalitas melalui setiap Putusannya. Selain kewenangan sebagai negative legislator, Mahkamah Konstitusi juga berwenang sebagai positive legislator, bahkan memperluas obyek pengujiannya. Pengaturan dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebatas negative legislator dan membatasi obyek pengujian konstitusionalitas menjadi tidak serta merta mengikat bagi Mahkamah Konstitusi. Dalam praktik pengujian konstitusionalitas dewasa ini, perluasan kewenangan peradilan konstitusi dari sebatas negative legislator menjadi positive legislator dan perluasan obyek pengujian menjadi kecenderungan yang umum terjadi diberbagai negara. Perluasan kewenangan peradilan konstitusi memiliki kecenderungan dapat mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang. Keadaan ini disebut pathology pengujian konstitusional. Oleh karena itu dilakukan penelitian secara yuridis normatif untuk mengetahui bagaimanakah pengujian konstitusionalitas yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi.
Hasil penelitian berupa konsep pengujian konstitusional yang masih menjadi kewenangan peradilan konstitusi, akan digunakan untuk menganalisa praktik pengujian konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Pengujian konstitusionalitas yang dilaksanakan oleh Peradilan konstitusi dinyatakan masih dalam lingkup kewenangannya apabila memenuhi empat kriteria yaitu: 1).Melalui Proses Peradilan; 2). Secara Umum Berperan Sebagai Negative Legislator; 3). Dalam Keadaan Tertentu dan Batasan Materi Tertentu Sebagai Positive Legislator; dan 4). Materi muatan norma yang termasuk dalam kategori doktrin political question bukan Obyek Pengujian Konstitusionalitas. Praktik pengujian konstitusionalitas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ada yang memenuhi empat kriteria tersebut sehingga masih berada dalam lingkup kewenangan peradilan konstitusi. Namun ada pula putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak memenuhi empat kriteria kewenangan pengujian konstitusionalitas peradilan konstitusi. Putusan yang demikian memposisikan Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangan peradilan konstitusi, sehingga memiliki kecenderungan untuk menjadi pathology karena mengambil alih fungsi legislatif dari pembentuk undang-undang.

The jurisdiction of the constitutional judicial review of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia came from the attribution of Article 24C paragraph (1) NRI Constitution of 1945. The setting in the Constitution mentions only Constitutional Court jurisdiction to hear at the first and last decision is final, the laws against the Constitution. According to the theory of administrative law, the beneficiary attribution can create new or expand existing jurisdiction. In practice the Constitutional Court to interpret its own range of jurisdiction over the constitutionality through each Decision. In addition to the jurisdiction as negative legislator, the Constitutional Court also authorized as a positive legislator, even extending the test object. The settings in the Law of the Constitutional Court as the implementing regulations of Article 24 C of paragraph (1) NRI Constitution of 1945 which limits the jurisdiction of the Constitutional Court and limiting the extent of negative legislator constitutionality object becomes not necessarily binding on the Constitutional Court. In the practice of the constitutional judicial review of today, the expansion of the jurisdiction of the constitutional court be limited from a negative legislator to be a positive legislator and expansion of test objects become a trend that is common in many countries. The expansion of the jurisdiction of a constitutional court may have a tendency to take over the legislative functions of the legislators. This condition is called constitutional pathology testing. Therefore normative juridical research to determine how the constitutional judicial review of which is still under the jurisdiction of a constitutional court.
The results of research in the form of concept constitutional judicial review is still the constitutional jurisdiction of the constitutional court, will be used to analyze the practice of constitutional judicial review carried out by the Constitutional Court in Indonesia. Judicial review carried out by the Constitution Court declared still within the scope of its jurisdiction if it meets four criteria: 1) Through the Judicial Proceedings; 2). In General Role In Negative Legislator; 3). In Specific Circumstances and Limitation of Certain Material For Positive Legislators; and 4). The substance of the norms included in the category of the political question doctrine is not Object Testing Constitutionality. Practice constitutional judicial review conducted Indonesian Constitutional Court there that meet these four criteria so that they are within the scope of jurisdiction of the constitutional court. But there is also a Constitutional Court ruling does not satisfy the four criteria of the jurisdiction of the constitutionality of the constitutional court. The verdict thus positioning the Constitutional Court exceeded the jurisdiction of the constitutional court, so it has a tendency to be a pathology due to take over the legislative functions of the legislators.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdiana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan dengan menggunakan teori Negara Hukum, Teori Demokrasi, Teori Perwakilan, Etika, Moral, dan Kode Etik, serta Teori Pengawasan. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan hak imunitas Anggota DPR RI. Untuk mendapatkan kesimpulan dari tujuan penelitian, hal-hal yang disampaikan adalah terkait dengan sejarah pembentukan lembaga perwakilan di Indonesia dan pembentukan Alat Kelengkapannya, kode etik dan relevansinya terhadap Mahkamah Kehormatan Dewan, serta penjabaran mengenai tugas, fungsi, dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga penegak etik dan tata tertib DPR. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai salah satu dari Alat Kelangkapan Dewan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan lembaga penegak etik dan tata tertib bagi Anggota Dewan yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memelihara citra dan wibawa Anggota Dewan. Namun kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dibatasi, sehingga kinerja dari lembaga ini tidak dapat maksimal meski tugas dan wewenangnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kendala yang menyebabkan tidak maksimalnya kerja Mahkamah Kehormatan Dewan diantaranya karena keanggotaan dari Mahkamah Kehormatan Dewan berasal dari internal Anggota Dewan yang terdiri dari berbagai Fraksi, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

ABSTRACT
This thesis discusses the authority of the Committee on Ethics of the Parliament according to Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD. By using normative juridical research methods, approaches using the theory of the State of Law, Theory of Democracy, Representation Theory, Ethics, Moral, and the Code of Conduct, as well as the Theory of Control. The concepts used are about the authority of the Conduct Council, Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD, and the right of immunity Member of Parliament. To get the conclusions of the research objectives, things delivered is related to the history of the establishment of representative institutions in Indonesia and the establishment of complementary Organs of DPR, code of ethics and its relevance to the Committee on Ethics, as well as the elaboration of the duties, functions and procedures of litigation the Conduct Council as an institution enforcement of ethics and rules of procedures. The result showed that the Committee on Ethics as one of DPR permanent organs stipulated in Law No. 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD an enforcement agency of conduct and rules of procedures for the Members have an important role in maintaining and maintain the image and authority of the Members. But the authority given to the Committee on Ethics is limited, so that the performance of these institutions can not be maximal even though its duties and powers already implemented. Obstacles that have not maximal work of the Committee on Ethics such as the composition and membership of the Conduct Council Members come from internal sources consisting of various factions, giving rise to a conflict of interest. "
2017
T46994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

 

Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi


DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>