Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174610 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Rahmani
"ABSTRAK
Sebelum reformasi, film Hollywood telah mendominasi layar bioskop di Indonesia. Pasca reformasi tepatnya pada tahun 2009, pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan untuk melawan dominasi film Hollywood di dalam negeri yang tertuang dalam pasal 32 UU Perfilman No.33 Tahun 2009. Pasal tersebut mewajibkan pihak bioskop untuk menayangan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 enam puluh persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 enam bulan berturut-turut. Namun hingga sekarang, amanat tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari penguasaan layar film Hollywood yang lebih banyak dibandingkan dengan film nasional di bioskop Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan pasal 32 UU Perfilman No.33 Tahun 2009 tersebut. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan, dan studi dokumen. Hasil penelitian ini memerlihatkan ada enam faktor yang menyebabkan kegagalan pelaksanaan pasal 32 UU Perfilman No.33 tahun 2009. Hasil penelitian ini dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep ekonomi politik, teori kritis dan imperialisme struktural.

ABSTRACT
Hollywood has dominated Indonesian cinema even before the reformation took place. To fight against it, just after the reformation, Indonesian government issued the law regarding cinema screen in article 32 Film Law number 33 2009. The law obligates the cinema party to show Indonesian movies at least 60 from the whole screen for six consecutive months. But in reality, the law has been disobeyed. This can be proved by the fact that Hollywood films has dominated Indonesian screen. Therefore, this study aimed to understand the factors which caused the failure of the implementation of the act number 32 Film Law number 33 2009. This thesis adopted critical paradigm, qualitative approach and descriptive analysis. Data collection was done through deep interview, observation and document study. The result showed that there are six factors caused the failure of the article 32 Film Law number 33 year 2009 implementation. The result was analyzed by using political economy concept, critical theory and structural imperialism."
2018
T51561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King, Geoff
New York: I.B. Tauris, 007
791.430973 KIN n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adissa Rebecca
"Skripsi ini membahas kekuatan persaingan di dalam industri bioskop sinepleks di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan desain analisis deskriptif, dengan mengaplikasikan teori dan model Five Porter Forces. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya ancaman pemain baru, kekuatan pembeli, ancaman barang substitusi, dan persaingan antarperusahaan dalam industri bioskop. Kekuatan pemasok dalam industri ini juga cenderung rendah. Struktur industri bioskop seperti yang digambarkan dalam lima kekuatan model Porter Five Forces ini menunjukkan rendahnya kekuatan persaingan dalam industri bioskop.

This thesis discusses the forces of competition in the cinema industry in Indonesia. This research uses qualitative method and descriptive analysis design, by applying the theory and model of Five Porter Forces. The results show the low threat of new entrants, buyer power, threats of substitutes, and rivalry among existing competitors in the cinema industry. The power of suppliers in this industry is relatively low too. The cinema industry structure as illustrated in the Porter Five Forces shows the low level of competition in the cinema industry."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arin Anggita Alma Dei
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana bentuk dominasi hegemoni maskulinitas di Indonesia serta bagaimana hegemoni maskulinitas tersebut memengaruhi sikap normalisasi kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki, secara khusus Novel Dear Nathan. Dengan metode kualitatif, penelitian ini berusaha melihat bagaimana pesan dan penggambaran yang dilakukan oleh penulis novel mengenai maskulinitas yang digambarkan pada setiap tokohnya. Teori yang digunakan adalah kriminologi budaya dan feminis radikal. Teori kriminologi budaya digunakan dalam menjelaskan bagaimana pesan kekerasan disampaikan dalam novel fiksi dapat memengaruhi perilaku pembacanya. Sementara itu, teori feminis radikal digunakan dalam menganalisis pesan, berupa hegemoni maskulinitas yang merupakan akar dari adanya normalisasi kekerasan oleh laki-laki. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa setiap karakter pada tokoh Dear Nathan mendukung hegemoni maskulinitas sehingga melakukan normalisasi kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki. Namun, di sisi lain tokoh-tokoh tersebut hadir dengan suatu pemahaman yang dimiliki oleh penulis novel, dimana pembaca tidak hanya sebagai agen yang menerima pesan saja namun juga mendukung pesan tersebut. Dengan demikian, novel Dear Nathan ini tidak hanya sebagai instrumen dalam melanggengkan hegemoni maskulinitas, namun juga sebagai bukti adanya dominasi hegemoni maskulinitas di Indonesia.

This thesis discusses how the hegemonic form of masculinity dominates in Indonesia and how this hegemonic masculinity influences the normalization of violence perpetrated by boys, specifically in the Novel Dear Nathan. Using a qualitative method, this research tries to see how the messages and depictions carried out by the novelist regarding masculinity are depicted in each character. The theories used are cultural criminology and radical feminists. The theory of cultural criminology is used to explain how messages of violence conveyed in fiction novels can affect the behavior of their readers. Meanwhile, radical feminist theory is used in analyzing messages in the form of hegemonic masculinity which is the root of the normalization of violence perpetrated by boys. The results of this study illustrate that each character in the character Dear Nathan supports hegemonic masculinity so that it normalizes violence perpetrated by boys. However, these characters come with an understanding that is owned by the author of the novel, which it turns out that the readers are not only an agent who receives the message but also supports the message, so that it can be said that the novel Dear Nathan is not only an instrument in perpetuating hegemonic masculinity but also as evidence of the dominance of hegemonic masculinity in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Goldman, William
London: Abacus, 2006
791.43 GOL a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cleisia Tyas Alemina Theodora Inakawa
"ABSTRAK
Skripsi ini berjudul "Evaluasi Penggunaan Social Networking Blitzmegaplex Terhadap Sikap Khalayak (Studi Kasus Penarikan Film Hollywood di Indonesia periode Februari 2011-Oktober2011)". Kesimpulan dari skripsi ini didapatkan bahwa lewat jejaring sosial yang dimilikinya Blitzmegaplex memberikan informasi dan juga berinteraksi dengan publik. Langkah aktif yang dilakukan oleh Blitzmegaplex melalui twitter dan Facebooknya berhasil memberikan pengertian kepada publik dan mempertahankan citra Blitzmegaplex sebagai perusahaan yang baik.Tetapi dibalik keberhasilan kinerja jejaring sosial Blitzmegaplex terdapat beberapa kekurangan diantaranya terlalu seringnya Blitzmegaplex memberikan informasi dengan bahasa inggris yang dirasa kurang baik. Karena tidak semua publik Blitzmegaplex dapat berbahasa inggris dan mengerti apa yang mereka
informasikan jika mereka memakai bahasa asing."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Junita Ima Purbasari
"ABSTRAK
Studi ini mencoba membahas penggambaran trend pesan propaganda yang disampaikan Amerika Serikat terhadap negara-negara lain melalui media hiburan, yaitu film layar lebar Hollywood. Sebagai industri produk jasa yang memberi masukan negara Amerika Serikat kedua terbesar setelah bidang ruang angkasa, perfilman Hollywood hingga saat ini memang masih merajai pasaran film internasional. Dijadikannya Hollywood sebagai bangunan industri mengkondisikan perfilman Amerika Serikat dalam iklim kompetisi, baik dalam hal teknologi maupun content (isi), yang salah satunya adalah kreativitas tema cerita film. Salah satu tema cerita film Amerika Serikat yang masih mendominasi adalah mengenai penanaman iklim musuh Amerika Serikat yang ditemui dalam realitas sosial kehidupan politiknya. Penciptaan tokoh heroistik atau kepahlawanan Amerika Serikat yang mengiringi perkembangan perfi1man Hollywood mulai periode detente pertama (1971-1980), berlanjut ke perang dingin kedua (1981-1987) hingga saat ini. Penciptaan tokoh kepahlawanan oleh insan film Hollywood masih dijadikan tema cerita yang banyak dijual, walau dengan warna yang sedikit berbeda. Sosok tokoh Amerika Serikat digambarkan sebagai seorang yang demokratis, memi1iki loyalitas tinggi terhadap profesi kerja, polisi dunia yang menegakkan keadilan dan keamanan baik di dalam negerinya sendiri maupun negara lain, dan sebagainya. Sementara profil sosok negara lain digambarkan dalam cerita film cenderung disudutkan pada posisi sebaliknya. Pesan ideologi yang disampaikan melalui media hiburan tersebut memberi kesan dan tanda bahwa aplikasi propaganda di saat ini tidak dapat lagi diartikan sebagai penanaman nilai politik yang murni, karena pada dasarnya dapat pula disampaikan secara tersirat dalam arus budaya pop dimana penonton pun terkadang tidak menyadarinya. Film yang diteliti meliputi True Lies, Die Hard with a vengance, dan Crimson Tide. Ketiga film ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi secara kualitatif. Dari hasi 1 penelitian yang diperoleh berdasarkan kategorisasi name calling dan glit tering generalities, baik secara verbal maupun non-verba1, penggambaran pesan propaganda Amerika Serikat dalam realitas kamera yang ditujukan pada negara lain cenderung merefleksikan bias pandangan dengan melakukan penamaan buruk."
1996
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Aulia
"Latar Belakang: Pergeseran dominasi antara laki-laki dan perempuan pada dunia kedokteran terjadi dari waktu ke waktu di berbagai belahan dunia, termasuk di bidang bedah plastik di Indonesia. Profesi yang semula didominasi oleh laki-laki, saat ini didominasi perempuan. Pergeseran dominasi perempuan ini memungkinkan terjadinya masalah-masalah yang berpengaruh pada pendidikan dan pelayanan bedah plastik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena dominasi perempuan pada pendidikan spesialis di Indonesia. Metode: Penelitian ini bersifat kualitatif berupa studi fenomenologi. Penelitian dilakukan pada 3 program pendidikan dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik di Indonesia. Penelitian dimulai pada bulan Januari 2020. Populasi penelitian terdiri dari 4 kelompok, yaitu peserta didik, dosen, pengelola program studi, dan pengguna lulusan. Responden penelitian dipilih menggunakan metode maximum variation sampling. Setiap responden mendapatkan informed consent, seluruh informasi yang diberikan sifatnya rahasia dan tidak memengaruhi proses pendidikan responden. Metode pengumpulan data berupa studi dokumen, Focus Group Discussion (FGD), dan In-Depth Interview. Data penelitian yang diperoleh dari berbagai metode diatas, kemudian dianalisis dan diolah lebih dalam secara tematik. Hasil: Peneliti membagi tema berdasarkan garis waktu proses pendidikan, yaitu: prapendidikan, intra-pendidikan, dan pascapendidikan. Masing-masing proses memiliki tema yang saling memengaruhi proses pendidikan. Pada masa prapendidikan terdapat karakter personal yang dipengaruhi oleh persepsi positif maupun negatif dari masyarakat. Sedangkan iklim lingkungan kerja, dampak dominasi perempuan, dan dimensi budaya memengaruhi kelancaran intra-pendidikan. Pasca pendidikan dan memasuki dunia kerja, peserta didik menginginkan suatu kondisi lingkungan kerja yang ideal dan terdapat preferensi tempat bekerja tertentu untuk mencapai kondisi well-being. Kesimpulan: Dampak dominasi perempuan selama pendidikan hanya akan berpengaruh pada dinamika kehidupan antar peserta didik dan antara peserta didik dengan dosen sebagai mentor. Namun dominasi ini tidak akan memengaruhi kualitas pendidikan dan beban kerja yang diberikan. Pada penelitian ini juga didapatkan fenomena kesenjangan kepemimpinan tidak terjadi selama pendidikan tetapi terjadi pada pascapendidikan. Namun kesenjangan kepemimpinan bukanlah akibat tekanan dalam komunitas, melainkan kecenderungan dari pribadi perempuan pada umumnya di kelompok masyarakat feminim.

Introduction: Shifting in gender dominance between men and women in the medical field has occurred from time to time globally, including in Indonesia’s plastic surgery. The profession, which was initially dominated by men, is currently dominated by women. This shift in female dominance might allow problems that affect the education and clinical settings of plastic surgery. This study aims to explore the phenomenon of women's dominance in medical residency education in Indonesia. Method: This study is a qualitative study of phenomenology. It was conducted on 3 medical residency programs specializing in reconstructive and aesthetic plastic surgery in Indonesia. The study began in January 2020. The research population consisted of 4 groups, namely students, lecturers, study program managers, and graduate users. Research subjects were selected using the maximum variation sampling method. Each respondent was provided with informed consent, all information given was confidential and did not affect the educational process of the respondent. Data collection methods include document study, Focus Group Discussion (FGD), and In-Depth Interview. Research data obtained from various methods above was analyzed and processed thematically. Results: The themes were categorized based on the educational process timeline, namely: pre-education, intra-education, and post-education. Each timeline had several themes which mutually influenced the educational process. During pre-education there were personal characters which were affected by positive and negative perceptions from society. Whereas the work environment atmosphere, the impact of women's dominance, and the cultural dimension affected the intra-educational process. After graduating from residency program and entering the career life, students expected an ideal working environment and had certain workplace preferences to achieve their well-being. Conclusion: The impact of women's dominance during education affected the daily dynamics among students and their interaction with lecturers as mentors. However, this dominance did not affect the quality of education and workload. We also found that the phenomenon of leadership disparity did not occur during education but occurred in post-education setting. This leadership disparity was not resulted by pressure in the community, but due to the tendency of the women’s personality in general among the feminine community."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).

The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).
The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>