Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196730 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Clara Anastasia
"ABSTRACT
Dengan adanya kebijakan pemerintah terkait percepatan proyek infrastruktur di Indonesia demi kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur harus diutamakan pelaksanaannya agar dapat terlaksana dengan efisien dan efektif. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah menuntut mereka untuk menyertakan peran swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dalam hal ini, pembiayaan infrastruktur cenderung menjadi permasalahan yang paling utama karena kebutuhannya yang besar dan pelaksanaan infrastruktur yang rumit. Oleh karena itu, perusahaan yang melakukan pembangunan infrastruktur wajib melakukan pinjaman kredit, tidak hanya dari bank serta lembaga pembiayaan dalam negeri, namun juga dari luar negeri. Peran pinjaman luar negeri juga menciptakan adanya eksposur valuta asing terhadap pembiayaan infrastruktur karena pemberian kredit dilakukan dalam mata uang asing. Hal ini menjadi suatu permasalahan karena pemerintah juga mengeluarkan peraturan terkait kewajiban penggunaan Rupiah di Indonesia. Maka, pembuatan perjanjian konversi tripartit antara pihak pemerintah, perusahaan yang membangun infrastruktur, serta bank berperan penting dalam pembiayaan infrastruktur. Melalui penelitian berbasis yuridis-normatif ini, Penulis membahas hubungan hukum serta hak dan kewajiban para pihak dalam pembiayaan infrastruktur yang berasal dari pinjaman luar negeri terkait kewajiban penggunaan Rupiah. Berhubungan dengan hal ini, penting bagi para pihak untuk memperhatikan secara detil perancangan kontrak, yang merupakan akar dari lahirnya hubungan hukum, serta agar para pihak melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang tertulis dalam kontrak, mengingat pembangunan infrastruktur digunakan untuk kebermanfaatan bersama.

ABSTRACT
As of the governments regulation issuance regarding the acceleration of infrastructure projects in Indonesia, which targets for public works to boost social welfare, infrastructure projects are prioritized so that they can be carried out efficiently and effectively. The limited resources owned by the government encourage them to include the role of private sector through the Public-Private Partnerships scheme. In this case, project financing addresses the most crucial problem since most of them are large and expensive, tying up massive volumes of capital. Hence, project companies are required to grant credit loans, not only from banks and domestic financing institutions, but also from offshore. The role of offshore loan also creates foreign exchange exposure to project financing as offshore loan is given through foreign currencies. This becomes a serious concern as the government has also issued a regulation regarding to the obligation to use Rupiah in Indonesia. Hence, making the role of a tripartite converting agreement between the government, project company, and the converting bank, crucial. Through this normative legal research, the Author provides an overview about the contractual terms, also including the rights and obligations between the parties involved in infrastructure projects using offshore loans regarding the mandatory use of Rupiah. In accordance with this, it is important for the parties to give careful attention about the drafting of the contracts, which anchor the existence of any relationships between the parties, and to enforce their rights and obligations as agreed in the contracts, knowing the fact that infrastructure projects are entitled as public goods. "
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cantika Rahmalia Putri
"Pada tahun 2045, Indonesia akan memasuki usia emas yaitu 100 tahun. Adapun, pada tahun tersebut Indonesia diharapkan dapat menjadi negara yang berdaulat, maju, adil dan makmur seperti yang tertuang dalam Visi Indonesia 2045. Saat ini, berbagai strategi sedang dilakukan untuk mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045, salah satunya dengan dibuatnya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Berdasarkan MP3EI, untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi maka Indonesia dibagi ke dalam enam wilayah koridor ekonomi yaitu Koridor Sumatera, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi, Koridor Bali Nusa Tenggara, dan Koridor Papua Kepulauan Maluku. Untuk mempercepat pengembangan potensi industri pada setiap koridornya, maka perlu dibangunan infrastruktur yang memadai seperti industrial Infrastructure dan infrastruktur utama yang dapat menunjang kelancaran aktivitas ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Namun pembangunan infrastruktur tersebut perlu biaya yang sangat besar, sedangkan dana APBN terbatas sehingga diperlukan alternatif pembiayaan yang lain. Berdasarkan analisis life cycle cost yang dilakukan pada proyek ini diperoleh nilai IRR sebesar 11,51%, artinya proyek layak secara finansial karena nilai IRR di atas WACC yaitu 11,01%. Namun untuk lebih meningkatkan daya tarik swasta, maka dibuat pola pembiayaan dan kelembagaan berbasis Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Dari keseluruhan skenario sharing biaya antara pemerintah dengan swasta dan analisis yang dilakukan, diperoleh pola pembiayaan yang optimal untuk proyek ini yaitu skenario dengan IRR sebesar 15,62% dan pembagian biaya yang menjadi tanggung jawab pihak swasta adalah 64,14% dari biaya initial cost, 73,61% dari biaya operasional dan pemeliharaan, adapun pihak swasta juga memperoleh 76,62% dari hasil pendapatan. Pada skema kelembagaan KPBU banyak pihak yang berperan, diantaranya adalah PT. Indonesia Maju Bersama yang dibentuk sebagai perusahaan SPV (Special Purpose Vehicle).

Indonesia will enter the golden age of 100 years of independence in the next 2045. Besides that, in that year Indonesia will meet a demographic bonus so that it becomes a great opportunity for the Indonesian people to develop rapidly and realize the dream of Indonesia. Indonesia is also expected to become a sovereign, developed, equitable and prosperous country as stated in the vision of Indonesia 2045. Currently, various strategies are carried out to achieve Indonesia's golden generation of 2045, one of which is the Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesia's Economic Development (abbreviated MP3EI). Based on MP3EI, to accelerate and expand economic development, Indonesia is divided into six economic corridor areas, namely the Sumatra Corridor, the Java Corridor, the Kalimantan Corridor, the Sulawesi Corridor, the Bali-Nusa Tenggara Corridor, and the Papua - Maluku Corridor. To accelerate the development of industrial potential in each corridor, it is necessary to build adequate infrastructure such as industrial infrastructure and main infrastructure that can support the smooth economic activities and increase economic growth in the region. However, infrastructure development requires a very large cost, while funds in the state budget are limited so that other financing alternatives are needed. Based on the life cycle cost analysis conducted on this project, the Internal Rate of Return (IRR) value of 11.51% is obtained, meaning that the project is financially feasible because the Internal Rate of Return value above the Weighted Average Cost of Capital (WACC) is 11.01%. To further enhance the attractiveness of the private sector, a financing and institutional pattern based on Public Private Partnership (PPP) scheme is made. From the overall cost sharing scenario between the government and the private sector and the analysis conducted, the optimal financing pattern for this project is obtained, namely the scenario with an IRR of 15.62% and the cost sharing which is the responsibility of the private party is 64.14% of the initial cost, 73.61% of operating and maintenance costs, and 76.62% of income. In the Public Private Partnership (PPP) scheme many parties play a role, including PT. Indonesia Maju Bersama which is formed as a SPV (Special Purpose Vehicle) company.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasendrya Hafiz
"Indonesia adalah negara dengan potensi bencana yang tinggi terutama karena letaknya yang berada di jalur pertemuan 3 (tiga) lempeng dunia atau yang disebut dengan jalur ring of fire, sehingga menyebabkan adanya 129 (seratus dua puluh sembilan) gunung berapi yang dapat meletus setiap saat yang dapat mengakibatkan gempa bumi disertai gelombang tsunami. Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia juga memakan banyak korban jiwa dan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Akan tetapi, meskipun memiliki risiko bencana yang tinggi, dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia masih ditemukan beberapa kekurangan dan permasalahan yang muncul. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kerangka hukum penyelengggaraan penanggulangan bencana di Indonesia, penggunaan Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha (“KPBU”) dalam penanggulangan bencana di yurisdiksi Jepang dan Selandia Baru, serta potensi penggunaan KPBU dalam penanggulangan bencana di Indonesia, yang kemudian akan dianalisis berdasarkan keberhasilan praktik penggunaan KPBU dalam penanggulangan bencana berdasarkan yurisdiksi Jepang dan Selandian Baru. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan tipologi deksriptif-analitis. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kekurangan dan permasalahan dalam penanggulangan bencana di Indonesia adalah dengan meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam penanggulangan bencana melalui skema KPBU. Akan tetapi, Indonesia belum memiliki kerangka pengaturan yang mengatur mengenai penggunaan KPBU dalam penanggulangan bencana. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan penggunaan KPBU dalam penanggulangan bencana, pihak pemerintah perlu membentuk kerangka pengaturan penggunaan KPBU dalam penanggulangan bencana dengan berkaca pada keberhasilan praktik di yurisdiksi Jepang dan Selandia Baru.

Indonesia is a country with a high disaster potential, especially because of its location which is in the meeting point of three (3) world plates or what is known as the ring of fire, causing one hundred and twenty nine (129) volcanoes to erupt at any time resulting in an earthquake accompanied by a tsunami wave. Various disasters that have occurred
in Indonesia have also claimed many lives and have had a negative impact on the Indonesia economy both in the short term and long term. However, despite having high risk of disaster, in the implementation of disaster management there are still some shortcomings and problems that arise. The main issues that will be discussed in this study are regarding the legal framework for disaster management in Indonesia, the use of public private partnership (“PPP”) in disaster management in the jurisdictions of Japan and New Zealand, as well as the potential use of PPP in disaster management in Indonesia, which will be analysed based on the successful practice of using PPP in disaster management based on the jurisdictions of Japan and New Zealand. This research is conducted using a
normative-juridical research method with a descriptive-analytical typology. The conclusion obtained from this study, the way that can be done to overcome various shortcomings and problems in disaster management in Indonesia is to increase the
involvement of private sector in disaster management through the PPP scheme. However, Indonesia does not yet have a regulatory framework governing the use of PPPs in disaster management. Therefore, to implement the use of PPP in disaster management, the government needs to establish a regulatory framework for the use of PPP in disaster management by reflecting on the success of practices in the jurisdictions of Japan and New Zealand.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shamira Diandra
"Kebutuhan akan pinjaman luar negeri hingga kini masih dibutuhkan oleh bangsa ini, salah satunya adalah untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Mengingat pengalaman buruk Indonesia dalam manajerial dan pengawasan terhadap dilakukannya pinjaman luar negeri pada krisis moneter 1998, maka Bank Indonesia dan pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mengatur kewajibankewajiban yang harus dilakukan debitur dalam melakukan pinjaman luar negeri. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaturan-pengaturan terkait kewajiban
debitur pinjaman luar negeri dan bagaimana implementasi yang dilakukan debitur swasta di Indonesia. Maka dari itu, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar mengeluarkan PBI Nomor 12/24/PBI/2010 Tahun 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri, PBI Nomor 18/4/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi, dan PBI 21/2PBI/2019 Tahun 2019 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Hal ini telah diimplementasikan oleh 90% korporasi di Indonesia. Untuk menjawab hal-hal tersebut, tulisan ini dibuat dengan pendekatan penelitian yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penelitian akan diolah secara kualitatif berdasarkan studi kepustakaan
dengan alat pengumpulan data berupa data sekunder yang didukung oleh
wawancara dengan narasumber terkait.
The need of foreign debt for this nation is inevitable, which one of the need is to support development and construction. Considering Indonesia's bad experience in managerial of foreign debt during the 1998 monetary crisis, Bank Indonesia and the government have to make various regulations regarding the obligations that must be done by borrower in conducting foreign debt. This study aims to determine the arrangements related to the obligations of foreign borrowers and how the implementation of private debtors in Indonesia. Therefore, pursuant to the Foreign Exchange Act and Exchange Rate System, Bank Indonesia issued PBI Number 12/24/PBI/2010 concerning Obligations for Foreign Debt Reporting, PBI Number 18/4/PBI/2016 2016 concerning Application of Prudential Principles in Managing Corporate Foreign Debt, and PBI 21/2PBI/2019 2019 concerning Reporting on
Foreign Exchange Flows. This has been implemented by 90% of corporations in Indonesia. To answer these things, this writing is done yuridical-normative approach with descriptive research type. The research is processed qualitatively based on literature study with secondary data followed by topic-related interview as the data collection tools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shamira Diandra
"Kebutuhan akan pinjaman luar negeri hingga kini masih dibutuhkan oleh bangsa ini, salah satunya adalah untuk mendukung pembangunan infrastruktur. Mengingat pengalaman buruk Indonesia dalam manajerial dan pengawasan terhadap dilakukannya pinjaman luar negeri pada krisis moneter 1998, maka Bank Indonesia dan pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mengatur kewajibankewajiban yang harus dilakukan debitur dalam melakukan pinjaman luar negeri. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaturan-pengaturan terkait kewajiban debitur pinjaman luar negeri dan bagaimana implementasi yang dilakukan debitur swasta di Indonesia. Maka dari itu, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar mengeluarkan PBI Nomor 12/24/PBI/2010 Tahun 2010 tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri, PBI Nomor 18/4/PBI/2016 Tahun 2016 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi, dan PBI 21/2PBI/2019 Tahun 2019 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa. Hal ini telah diimplementasikan oleh 90% korporasi di Indonesia. Untuk menjawab hal-hal tersebut, tulisan ini dibuat dengan pendekatan penelitian yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Penelitian akan diolah secara kualitatif berdasarkan studi kepustakaan dengan alat pengumpulan data berupa data sekunder yang didukung oleh wawancara dengan narasumber terkait.

The need of foreign debt for this nation is inevitable, which one of the need is to support development and construction. Considering Indonesia's bad experience in managerial of foreign debt during the 1998 monetary crisis, Bank Indonesia and the government have to make various regulations regarding the obligations that must be done by borrower in conducting foreign debt. This study aims to determine the arrangements related to the obligations of foreign borrowers and how the implementation of private debtors in Indonesia. Therefore, pursuant to the Foreign Exchange Act and Exchange Rate System, Bank Indonesia issued PBI Number 12/24/PBI/2010 concerning Obligations for Foreign Debt Reporting, PBI Number 18/4/PBI/2016 2016 concerning Application of Prudential Principles in Managing Corporate Foreign Debt, and PBI 21/2PBI/2019 2019 concerning Reporting on Foreign Exchange Flows. This has been implemented by 90% of corporations in Indonesia. To answer these things, this writing is done yuridical-normative approach with descriptive research type. The research is processed qualitatively based on literature study with secondary data followed by topic-related interview as the data collection tools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Oktaviani Astuti
"PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero berperan penting dalam penyelenggaraan Jaminan Pemerintah terkait proyek infrastruktur berskema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha KPBU. PT Penjaminan Infrsatruktur Indonesia Persero dalam melakukan Penjaminan dilakukan dengan mekanisme regres yang diajukan ke Penanggung Jawab Proyek Kerjasama PJPK . Penelitian ini bertujuan untuk mencari cara yang lebih baik dalam mekanisme Penjaminan yang dilakukan oleh PT Penjaminan Infrastruktur, yakni dengan cara Reasuransi.
Penelitian ini kan membahas dapat atau tidaknya PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero melakukan Reasuransi, serta membahas pengaturan hukum yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode yurudis-normatif untuk menghasilkan data yang bersifat deskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero tidak memiliki landasan hukum untuk melakukan Reasuransi, namun PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Persero sebagai perusahaan yang menjalankan Penjaminan secara operasionalnya dimungkinkan melakukan Reasuransi.

Indonesia Infrastructure Guarantee Fund has important role in the implementation of Government Guarantee related to infrastructure projects with Public Private Partnership rsquo s scheme. Funding mechanism that Indonesia Infrastructure Guarantee Fund runs today is with Recourse mechanism that can be claimed to Contracting Agency CA. This study aims to review the better way on funding strategy of Indonesia Infrastructure Guarantee Fund, namely with Reinsurance.
This study discusses the possibility whether Indonesia Infrastructure Guarantee Fund can proceed Reinsurance to their funding strategy, as well as discussing the rule of law relates to these Reinsurance. This study is prepared by the method of normative legal writing to produce analytical data that is descriptive.
The results of this study concluded that the Indonesia Infrastructure Guarantee Fund has no legal basis to review conduct reinsurance, but the Indonesia Infrastructure Guarantee Fund as the company that operates as a Guarantee company, Reinsurance is possible to do.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Yulia
"ABSTRAK
Dalam rangka tercapainya kestabilan nilai tukar Rupiah, pada tanggal 31 Maret 2015 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Dalam PBI tersebut diatur bahwa setiap pihak, baik perorangan maupun badan usaha, wajib menggunakan rupiah dalam tiap transaksi tunai maupun non tunai di dalam wilayah Republik Indonesia. Terhadap kewajiban penggunaan rupiah sebagaimana yang diatur oleh PBI Nomor 17/3/PBI/2015, terdapat keberatan dari sejumlah pihak terutama dari sektor energi. Hal ini disebabkan oleh adanya karakteristik khusus dalam industri energi sehingga sebagian besar kontrak kerjasama di bidang tersebut masih menggunakan dan membutuhkan pembayaran dalam mata uang asing. Demikian pula halnya dengan industri di sektor minyak dan gas bumi, pada tanggal 23 Juni 2015 Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun telah mengajukan surat permohonan diberikannya pengecualian terhadap implementasi PBI Nomor 17/3/PBI/2015. Yang kemudian permohonan tersebut disetujui oleh Bank Indonesia melalui suratnya Nomor 17/573/DKSP tanggal 1 Juli 2015, berisikan bahwa Bank Indonesia sepakat dengan road map pemenuhan ketentuan kewajiban penggunaan rupiah yang disampaikan oleh SKK Migas dalam 3 (tiga) jenis kategori dan memberikan jangka waktu penerapannya paling lambat 30 September 2015 untuk kategori yang harus menggunakan rupiah. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K-KKS) perlahan-lahan menyesuaikan seluruh kegiatan usahanya dengan ketentuan PBI No. 17/3/PBI/2015, antara lain penyelenggaraan tender, perpanjangan atau pembaharuan kontrak dengan para kontraktornya. Namun demikian, masih terdapat kendala pada kontraktor dari K-KKS, terutama untuk jenis kontrak lumpsum, karena ada beberapa material dan peralatan yang hanya tersedia di luar negeri dan harga ditentukan dalam mata uang asing, sehingga kontraktor pada saat menentukan nilai kontrak harus dapat memperkirakan dengan sebaik-baiknya nilai tukar yang sekiranya berlaku pada saat pembayaran terhadap vendor asing tersebut dilakukan. Penulisan ini merupakan penelitian hukum normatif. Penulis melakukan wawancara dengan narasumber dari pihak terkait guna melengkapi hasil penelitian. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

ABSTRACT
In the framework to achieve the stability of the Indonesian Rupiah currency, on March 31, 2015, Bank Indonesia issued Bank Indonesia Regulation Number 17/3/PBI/2015 regarding the Mandatory Use of the Indonesian Currency in the Territory of the Republic of Indonesia, as the implementing regulation of the Law of the Republic of Indonesia Number 7 of 2011 regarding Currency. The said Bank Indonesia regulation stipulates that any party, individual or business entity, shall mandatorily use the Indonesian Rupiah currency on any cash or noncash transaction conducted in the territory of the Republic of Indonesia. An objection has arisen from various parties as the result of the promulgation of the said Bank Indonesia Regulation number 17/3/PBI/2015, in particular from the energy business sector. This is due to the specific characteristic in the energy business sector in which most of the cooperation contracts in that sector remain using and require the use of foreign currency. Similarly with the oil and gas business sector, on June 23, 2015 the Special Task Force For Upstream Oil and Gas Business Activities Republic of Indonesia (SKK Migas) has applied for an exemption from the application of the Bank Indonesia Regulation Number 17/3/PBI/2015. The said application was further approved by Bank Indonesia through its Letter Number 17/573/DKSP dated July 2015, which stipulates among others that Bank Indonesia could agree to the 3 (three) categories for the fulfilment of mandatory use of Indonesian Rupiah currency as set out in the road map and further grants an extension for the fulfilment of such obligations by no later than September 30, 2015 for the category that must use Indonesian Rupiah currency. A contractor to the Production Sharing Contract shall gradually adjust its business activities in compliance with the PBI Number 17/3/PBI/2015, among others the tender process, the extension or renewal of the contract with the contractor. However, there are still barriers faced by a contractor to the Production Sharing Contract, in particular to the lump sum contract wherein some of the materials and/or the equipment required under the contract are only available offshore and the price is set in the foreign currency, therefore the contractor to the Production Sharing Contract shall carefully calculating the contract price and foreseeing the exchange rate that nay apply at the time payment to their offshore vendor be made. This thesis is a normative law research. The author conducted interviews with sources of relevant parties in order to complete the research. Data used in this thesis is secondary data consists of primary laws, secondary laws and tertiary legal materials.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew William John Nathaniel
"Palapa Ring Paket Barat merupakan proyek pembangunan infrastruktur Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha pertama di Indonesia yang menerapkan Availability Payment (AP). Peraturan yang berlaku memungkinkan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dan Badan Usaha Pelaksana (BUP) untuk menentukan sistem insentif dan penalti dari Availability Payment untuk proyek dalam kontrak antara mereka. Skripsi ini membahas dua masalah utama: (1) apakah BUP memiliki kewajiban atas beban biaya kontinjensi di luar jumlah AP yang ditentukan dalam kontrak jika terjadi kerusakan yang disebabkan oleh pihak ketiga yangmengganggu atau memutus ketersediaan layanan infrastruktur, dan (2) apakah PJPK berhak memberikan sanksi terhadap AP kepada BUP apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh pihak ketiga yang mengganggu atau memutus ketersediaan layanan infrastruktur. Dengan menerapkan penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang dan tinjauan kontrak, skripsi ini menyimpulkan bahwa, dalam proyek Palapa Ring Paket Barat, BUP memiliki kewajiban untuk kewajiban biaya kontinjensi di luar jumlah AP yang ditentukan dalam kontrak jika terjadi kerusakan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan PJPK berhak untuk memberikan penalti terhadap AP kepada BUP jika gagal menjaga ketersediaan layanan. Alokasi kontraktual risiko operasional dan pemeliharaan kepada BUP menimbulkan kewajiban untuk menanggung biaya selama umur proyek, termasuk yang disebabkan oleh risiko pihak ketiga. Selanjutnya, penggunaan rumus untuk menghitung AP dari PJPK ke BUP semata-mata didasarkan pada data kinerja dalam menjaga ketersediaan layanan sesuai standar kontrak yang disepakati. Dengan demikian, penggunaan AP dalam Palapa Ring Paket Barat dapat menjadi acuan untuk proyek infrastruktur Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha di masa mendatang.

The Palapa Ring Western Package is the first Public Private Partnership infrastructure project in Indonesia implementing Availability Payment (AP). Prevailing regulations allow the Government Contracting Agency (GCA) and Implementing Business Entity (IBE) to determine the system of incentives and penalties of AP in their project contract. This thesis explores two main issues: (1) whether the IBE has obligation for contingent cost liabilities outside of the contractually determined AP amount in the occurrence of damage caused by a third party which interrupts or disrupts infrastructure service availability, and (2) whether the GCA has the right to penalize AP amount to the IBE in the occurrence of damage by a third party which interrupts or disrupts service availability. By applying normative legal research using the statute approach, this thesis concludes that in this project, the IBE has obligation for contingent cost liabilities outside of contractually determined AP amount in the occurrence of damage by a third party and the GCA has the right to penalize AP amount if the IBE fails to maintain service availability. The contractual allocation of operational and maintenance risk to the IBE creates obligation to bear costs during the project lifetime including those due to third-party risk. Further, the use of formula to calculate AP to IBE is solely based on performance data in maintaining service availability according to contractually agreed standards. Thus, the use of AP in the Palapa Ring Western Package may be a point to reference for future Public Private Partnership infrastructure projects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ristu Bintoro
"Saat ini masih Pemerintah mendanai proyek mereka dengan cara yang konvensional yaitu pembiayaan dengan APBN dan menggunakan pinjaman luar negeri atau hibah. Terdapat beberapa sumber pendanaan yang potensial dalam pembiayaan kegiatan KPS di masa mendatang selain dari perbankan. Alternatif pembiayaan lain adalah dari lembaga keuangan non-perbankan yaitu pasar modal, multifinance, asuransi, dan dana pensiun. Tantangan besar yang dihadapi dalam penggunaan pendanaan dari kelembagaan non-perbankan tersebut, antara lain adalah peraturan yang mengikat yang tidak memungkinkan adanya penggunaan dana lebih dari jumlah tertentu. Penelitian ini mengidentifikasi potensi dan kendala asuransi sebagai pembiayaan yang optimal. Penelitian ini berbasis kualitatif dengan menggunakan metode kuesioner dari populasi dan kuantitatif dengan membandingkan kebutuhan pembiayaan dengan kemampuan dana.

In the current the Government to fund their projects in a way of conventional financing with the state budget and use of foreign loans or grants. There are several potential sources of funding in the financing of PPP in the future other than banking. Other sources as an financing alternatives is non-banking financial institutions, namely the capital market, multi-finance, insurance, and pension funds. A major challenge in the use of funding from non-banking institutions, among other binding regulations do not allow the use of funds over a certain amount. This study identifies the potential and constraints of insurance as an optimal financing. This study uses a method based on a qualitative and quantitative questionnaire of the population by comparing the financing needs with the ability of the fund."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T31819
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Herwibowo
"ABSTRAK
Diundangkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uangtelah memberikan suatu dasar bagi penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di negara Republik Indonesia. Pembuatan undang-undang ini merupakan amanat dari Pasal 23B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni “macam dan harga Mata Uang ditetapkan dengan undang-undang”. Penetapan dan pengaturan tersebut diperlukan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi macam dan harga Mata Uang.
Pengaturan Pasal 21 jo. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang tersebut telah menimbulkan respon yang beragam dari stakeholders khususnya terkait penerapan pasal tersebut dihubungkan dengan praktek kegiatan usaha perbankan maupun perekonomian antara lain pemberian kredit dalam valas, pasar uang antar bank dalam valas, SKBDN dalam valas, ekspor impor. Adanya potensi permasalahan dilapangan menimbulkan suatu pertanyaan dari stakeholders apa maksud daripada Pasal 21 dan Pasal 23 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan sejauhmana batasannya, kemudian bagaimana terkait kegiatan-kegiatan usaha yang selama ini telahdilakukan dapat tetap dilaksanakan dengan tidak melanggar ketentuan Undang- UndangNomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Menghadapi permasalahan tersebut, Kementerian Keuangan (Pemerintah) kemudian melakukan penafsiran terhadap penggunaan uang Rupiah di Undang- Undang Mata Uang hanya terbatas pada transaksi secara fisik (dengan menggunakan uang kartal). Dengan penafsiran ini maka ketentuan Pasal 21 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menjadi dapat dilaksanakan dan tidak menghambat perekonomian. Namun demikian penafsiran ini menimbulkan konsekuensi bahwa transaksi pembayaran di Wilayah Kesatuan
Republik Indonesia yang tidak menggunakan uang kartal (non tunai) dapat dilakukan dengan valuta asing. Dalam kaitan hal ini akan disadari adanya kekosongan hukum terkait kewajiban penggunaan mata uang Rupiah dalam
transaksi keuangan non tunai.

ABSTRACT
The Law number 7 Year 2011 had been appointed concerning to Currency that has provided a basis for the use of Rupiah as legal tender in the Republic of Indonesia. This legislation establishment was the mandate of Article 23B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that was "kind and Currency prices were set by law." The determination and arrangements were needed to provide protection and legal certainty for the kind and Currency price.
The setting of Article 21 jo. Article 23 of Law No. 7 of 2011 on the Currency had caused varied responses from stakeholders particularly regarding the application of that article linked to the practice of banking operations and the economy, including the provision of credit in foreign currency, money market in the interbank in foreign currency, SKBDN in the foreign currency, and import export. There was a potential problem in the field that raised a question of stakeholders about what was the purpose of Article 21 and Article 23 of Law No. 7 of 2011 on the currency and the extent of the limit, then how about the related business activities that had been done so that could still be implemented without violating the provisions of Act 7 of 2011 about the currency.
In facing these problems, the Ministry of Finance (Government) then making interpretation in the use of the Rupiah money in Currency Act that was limited to the physical transaction (using the currency). With this interpretation, the provisions of Article 21 and Article 23 of Law No. 7 of 2011 on Currency could be implemented and did not obstruct the economy. However, this interpretation raised the consequence that payment transactions in the Territory of the Republic of Indonesia, which did not use currency (non-cash), could use foreign exchange. Related to this matter, it would be realized that there was a law emptiness related to the liability of Rupiah currency use in non-cash financial transactions.The Law number 7 Year 2011 had been appointed concerning to Currency that has provided a basis for the use of Rupiah as legal tender in the Republic of Indonesia. This legislation establishment was the mandate of Article 23B of the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 that was "kind and Currency prices were set by law." The determination and arrangements were needed to provide protection and legal certainty for the kind and Currency price."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>