Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Purba, Ferry Tigor P.
"Pendahuluan: Penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien PGK (penyakit ginjal kronik) yang menjalani HD(hemodialisis) kronik adalah penyakit kardiovaskuler. Faktor utama penyebab kejadian kardiovaskuler pada pasien PGK yang menjalani HD adalah hipertensi. Diagnosis hipertensi pada pasien PGK yang menjalani HD tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan adanya efek retensi cairan, office hypertension, dan proses ultrafiltrasi setelah HD. Baku emas diagnosis hipertensi pada pasien HD adalah pemeriksaan tekanan darah interdialitik dengan menggunakan alat ABPM (ambulatory blood pressure monitoring). Namun alat ini memiliki banyak kendala dalam pemeriksaannya. Studisebelumnyayang meneliti tekanan darah pre dan post dialisis dibandingkan dengan tekanan darah ABPM memberikan hasil yang masih kontroversial.
Tujuan: Mengetahuikorelasi dan nilai diagnostik rerata tekanan darah pre dan post hemodialisis dengan baku emas tekanan darah interdialisis yang diukur dengan metode ABPM.
Metode: Dilakukanstudidiagnostik dan uji korelasi dengan desain penelitian potong lintangpadatiga puluh lima pasien dewasa dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kronik. Pasien yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan pengukuran ABPM selama 24 jam dan tekanan darah saat pre dan post dialisis.
Hasil: Uji korelasi Pearson menunjukkan korelasi rerata TD sistolik pre-post dialisis dan sistolik ABPM sebesar r = 0,669 dan p = 0,000 dengan AUC sebesar 84,4 % (95% IK, 71,5 % - 97,3%) dengan p = 0,001 serta nilai sensitivitas 82,14%, spesifisitas 71.43%, nilai duga positif 92%, dan nilai duga negatif 50%. Uji korelasi Pearson mendapatkan korelasi antara rerata TD diastolik pre-post dialisis dan diastolik ABPM sebesar r = 0,359 dan p = 0,034 dengan AUC sebesar 67,6 % (95% IK, 49,3 % - 86,0%) dengan p = 0,075 serta nilai sensitivitas 82,14%, spesifisitas 85,71%, nilai duga positif 95,83%, dan nilai duga negatif 54,55%.
Simpulan: Rerata tekanan darah sistolik pre-post hemodialisis dapat digunakan untuk diagnosis hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis kronik.

Background: Cardiovascular disease is the leading cause ofmorbidity and mortality in hemodialysis patients. Hypertension is the single most important factor for the development of cardiovascular complications. Diagnosing hypertension in hemodyalisis patients is not easy, because of fluid retention effect, office hypertension, and ultrafiltration after hemodyalisis session. Gold standard for diagnosing hypertension in hemodialysis patient is interdialytic blood pressure measurment with ABPM. Nevetheless this method have many difficulties to perform. Previous research which studied correlation between pre and post dialysis blood pressure and ABPM showed controversial result.
Objective: To determine the correlation and diagnostic value of mean pre-post hemodialysis blood pressurewith ABPM metohd as gold standard.
Method: A diagnostic study with cross sectional design was conducted in thirty five adult patients with chronic hemodialysis. Patients whofulfilled inclusion criteria were recruited for measuring their blood pressure using 24 hours ABPM and also pre - post dialysis BP.
Result: Pearson's correlation test showed that the correlation between pre-post hemodyalisis mean systolic blood pressure and ABPM systolic was 0.669 with p = 0.000 and AUC of 84.4 % (95%CI, 71.5 % - 97.3%) with p = 0.001, and also sensitivity 82.14%, spesificity 71.43%, positive predicitive value 92%, and negatif predictive value 50%. Pearson's correlation test also showed correlation between pre-post hemodyalisis mean blood pressure diastolic was 0.359 with p = 0.034 and AUC of 67.6 % (95%CI, 49.3 % - 86.0%) with p = 0.075 and also sensitivity 82.14%, spesificity 85.71%, positive predictive value 95.83%, and negative predictive value 54.55%.
Conclusion: Systolic mean pre-post hemodyalisis blood pressurecan be used to diagnose hypertension in chronic hemodialysis patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T35630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valmayria Pavita
"ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan profitabilitas bank BUMN dengan bank BUSN pada periode sebelum, saat, dan sesudah krisis. Lebih dalam lagi, penelitian ini mencoba mengetahui pengaruh faktor spesifik bank dan faktor eksternal pada profitabilitas bank. Profitabilitas bank terdiri dari ROA, ROE, dan NIM. Faktor spesifik bank terdiri dari CAR, LDR, dan NPL. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari GDP dan inflasi. Data yang digunakan berupa data panel, yang terdiri dari empat bank BUMN dan empat bank BUSN dengan nilai aset terbesar sampai Q2 2018, dan dibagi menjadi tiga periode, sebelum krisis (2002-2006), saat krisis (2007-2009) dan setelah krisis (2010-2017). Hasil regresi panel menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari sebelum dan saat krisis pada profitabilitas kedua bank, namun berbeda signifikan pada ROA dan ROE dalam periode setelah krisis.  Adapun pengaruh faktor spesifik bank dan eksternal bank bervariasi pada profitabilitas bank BUMN dan bank BUSN.

ABSTRACT
This study aims to measure the differences of profitability in state owned banks and private owned banks from before, during, and after the crisis. Another aim is to analyze the effect of bank specific and external factors on both banks. Bank profitability is based on ROA, ROE, and NIM. Internal bank factors consist of CAR, LDR, and NPL. Whereas external factors consist of GDP and inflation. Panel data is applied, consisting four state owned banks and four private owned banks with the largest asset value until Q2 2018, and divided into three periods, pre-crisis (2002-2006), during crisis (2007-2009) and post crisis (2010-2017). The panel regression results show no significant influence from before and during the crisis on the profitability of both banks, but significant on ROA and ROE after the crisis. Bank specific and external factors effects vary from state owned banks and private owned banks."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Advensius Cristian
"Integrasi ekonomi antar negara menjadi sangat penting dan hal ini sangat terkait dengan adanya aktivitas perdagangan internasional dan interaksi pasar keuangan global. Saat krisis keuangan global uncul, seperti yang baru terjadi di tahun 2007 ndash; 2008, efek krisis tersebut menyebar dengan cepat ke banyak negara berkembang, termasuk Indonesia salah satunya. Untuk memahami efek krisis tersebut, penelitian ini menggunakan teknik cointegrasi dengan melihat hubungan jangka panjang antara Real Effective Exchange Rate REER dan integrase perdagangan pada era sebelum dan setelah krisis. Hasil analisis penelitian dengan metode Autoregressive Distributed Lag ARDL menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang sebelum perode krisis, namun pada periode setelah krisis justru terdapat hubungan postif jangan panjang antar variable. Melalui hasil tersebut, diperoleh kesimpulan secara umum bahwa peningkatan integrase perdagangan akan diasosiasikan dengan apreasiasi REER setelah krisis keuangan global.

Economic integration among countries becomes substantial, and it can be represented by the activity of international trade and global financial market. Once a crisis emerges, like Global Financial Crisis in 2007 2008, its damage can widely spread into developing countries such as Indonesia. To understand the crisis effect, this research discusses the long run relationship between real effective exchange rate and trade integration during the pre and post crisis periods by applying cointegration technique. The autoregressive distributed lag ARDL analysis shows the evidence supporting no long run relationship during the pre crisis period, but the positive relationship during the post crisis period. This result suggests that intensified trade integration would be associated with real exchange rate appreciation after the Global Financial Crisis."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T49697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Sofia Garnetta
"Latar Belakang
Peningkatan insiden setiap tahun menjadikan meningioma sebagai salah satu masalah primer tumor jinak sistem saraf pusat (54,5%), dengan karakteristik laju pertumbuhan dan rekurensi tinggi. Maka, diperlukan penetapan rangkaian tatalaksana meningioma yang efektif dan efisien, dengan mempertimbangkan faktor pasien, lokasi tumor, volume, dan riwayat medis.
Metode
Penelitian menggunakan pendekatan studi potong lintang deskriptif-analitik untuk mengamati luaran radiologis meningioma pasca-GKRS. Digunakan data rekam medis pasien meningioma dari tahun 2018 hingga 2023 berupa MRI follow up satu tahun pasca- GKRS. Selain penyajian data pasien meningioma pasca-GKRS secara deskriptif, dilakukan analisis data laju pertumbuhan meningioma pasca-GKRS terhadap volume awal, lokasi, dan riwayat tindakan pra-GKRS.
Hasil
Dari 50 data rekam medis, sebanyak 44% tumor alami regresi; 44% tumor ukuran stabil, dan 12% tumor mengalami peningkatan ukuran. Mayoritas pasien meningioma pasca- GKRS berjenis kelamin perempuan, berusia 46 – 59 tahun, memiliki lokasi tumor supratentorial, volume awal ≤30 cc, dan tanpa riwayat tindakan pra-GKRS. Tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara laju pertumbuhan meningioma pasca- GKRS terhadap volume awal, lokasi, maupun riwayat tindakan pra-GKRS. Kesimpulan
Laju kontrol pertumbuhan tumor meningioma mencapai efektivitas 88% dalam jangka satu tahun pasca-GKRS. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara volume awal, lokasi meningioma, maupun riwayat tindakan pra-GKRS terhadap luaran laju pertumbuhan tumor tertentu.

Introduction
Increasing incidence of meningioma every year makes it one of the primary problems of benign tumors of the central nervous system (54.5%), with characteristics of high growth rate and recurrence. Therefore, it is necessary to determine an effective and efficient management of meningioma by considering patient factors, tumor location, volume, and medical history. One of the newest meningioma treatment modalities in Indonesia is Gamma Knife Radiosurgery, a minimally invasive radiation surgery. Although it has been implemented since 2018, there are no studies analyzing the outcomes of Gamma Knife treatment for meningioma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Method
The study used a descriptive-analytic cross sectional study approach to observe the radiological outcomes of meningioma after Gamma Knife. Medical record data of meningioma patients from 2018 to 2023 in the form of MRI follow-up one year after GKRS was used. In addition to descriptive presentation of Gamma Knife meningioma patient data (age and gender), significance tests of meningioma control rate after Gamma Knife have been analyzed towards the initial volume, location, and medical history prior to GKRS.
Results
Of the 50 medical records, 44% had regression, 44% had stable size, and 12% had increased size. The majority of GKRS meningioma patients were female, aged 46 - 59 years, had supratentorial tumor location, initial volume ≤30 cc, and no history of pre- GKRS treatment. There was no significant relationship between meningioma control rate after GKRS and initial volume, location, or history of pre-GKRS treatment.
Conclusion
The meningioma tumor growth control rate reached 88% effectiveness within one year after Gamma Knife. There was no significant association between initial volume, meningioma location, or history of pre-GKRS treatment on the trend of specific tumor control rate outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maisya Putri Nibenia
"Fraktur mempengaruhi aspek kehidupan manusia secara fisik, psikososial, hingga ekonomi apabila terjadi kecacatan yang menetap karena tidak ditangani dengan baik. Gejala umumnya berupa rasa sakit yang tajam seperti menusuk yang semakin parah ketika menggerakan tulang. Tindakan pembedahan juga menimbulkan nyeri. Nyeri yang tidak ditangani dengan baik menyebabkan pasien tidak mampu berpartisipasi dalam proses pemulihan yang dapat meningkatkan kecacatan. Manajemen nyeri perlu dilakukan dalam memenuhi aspek kenyamanan dalam kebutuhan dasar manusia dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Terapi relaksasi Benson dan aromaterapi merupakan intervensi non farmakologis yang bertujuan untuk mengurangi nyeri. Metode yang digunakan berupa studi kasus pada pasien closed fracture of right humerus yang mengalami nyeri akut dan penelusuran literatur evidence based practice mengenai efektivitas relaksasi Benson dan aromaterapi pada pasien nyeri. Hasil studi kasus menunjukan bahwa terapi tersebut terbukti efektif menurunkan nyeri. Perawat dapat menerapkan terapi tersebut dalam asuhan keperawatan manajemen nyeri dan melatih pasien sehingga mampu melakukannya secara mandiri.

The Effectiveness of Benson Relaxation Therapy and Aromatherapy in Reducing Pain on Pre and Post Operative ORIF Fracture Patients. Fractures permanent disability can be affected by the aspects of human life physically, psychosocially, and even economically because it is not handled properly. The common symptoms are intense stabbing pain that worsens in every bones movement. Surgery procedures also cause pain. Pain that is not treated properly causes patients to be unable to participate in the recovery process which can increase disability. Pain management needs to be done to fulfill the comfort aspect of basic human needs and improve health services. Benson relaxation therapy and aromatherapy are non-pharmacological interventions that aim to reduce pain. The method used was a case study of a closed right humerus fracture patient who experienced acute pain and a literature search based on practical evidence regarding the effectiveness of Benson relaxation and aromatherapy in pain patients. The results of the case study show that this therapy has proven effective in reducing pain. Nurses can apply this therapy in pain management treatments and train patients so they are able to do it independently.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hananda Putri Shabira
"Latar Belakang Tuberkulosis resisten obat (TB RO) merupakan fenomena penambah insidensi Tuberkulosis yang sudah menjadi masalah kesehatan kritis secara global. Di dunia, dari 7,5 juta kejadian TB 73% nya merupakan TB RO. Insidensi TB RO di Indonesia sebanyak 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Salah satu faktor risiko yang penting untuk menjadi perhatian adalah status gizi pasien, dimana didapatkan malnutrisi dapat mempengaruhi prognosis dan keberhasilan pengobatan. Parameter penilaian status gizi secara umum menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang sudah diklasifikasikan oleh WHO untuk penilaian status gizi. Metode Penelitian menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek sebanyak 90 sampel yang diambil menggunakan simple random sampling dengan rekam medis di RSUP Persahabatan tahun 2018-2022. Hasil Karakteristik subjek didapatkan mayoritas laki-laki (56,7%) dan berusia 25-64 tahun (82,2%). Tipe resistensi obat yang paling banyak adalah resistensi rifampisin (71,1%). Sebelum pengobatan, 42,2% pasien berada dalam kategori underweight. Setelah pengobatan, proporsi pasien underweight menurun menjadi 23,3%, sementara pasien normal-overweight dan obesitas masing-masing meningkat menjadi 55,6% dan 21,1%. Peningkatan IMT yang signifikan diamati post-pengobatan (perbedaan rata-rata 1,581, p=0,00). Analisis regresi logistik ordinal menunjukkan bahwa usia (25-64 tahun) secara signifikan berkorelasi dengan peningkatan IMT, sementara pasien dengan TB resisten rifampisin dan pre-XDR menunjukkan kemungkinan lebih besar untuk penurunan IMT. Kesimpulan Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT post-pengobatan yang menunjukkan dampak positif dari terapi TB RO terhadap status gizi pasien. Usia dan tipe resistensi obat berperan signifikan dalam mempengaruhi perubahan IMT setelah pengobatan.

Introduction Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is a phenomenon that increases the incidence of tuberculosis, which has become a critical global health issue. Worldwide, among the 7,5 million TB cases, 73% were diagnosed with DR-TB. The incidence of DR-TB in Indonesia is 24,000 or 8,8/100,000 population. One of the important risk factors to consider is the nutritional status of the patient, where it was found that malnutrition can affect prognosis and treatment success. The general parameter for assessing nutritional status is the Body Mass Index (BMI) which has been classified by the WHO for nutritional assessment of patients. Method This study used a retrospective cohort design with 90 samples taken using simple random sampling of the medical records at Persahabatan Hospital from 2018-2022. Results The characteristics of the subjects found mostly were male (56,7%) and aged 25-64 years (82,2%). The most common type of drug resistance was rifampicin resistance (71,1%). Before treatment, 42,2% of patients were in the underweight category. After treatment, the proportion of underweight patients decreased to 23,3%, while the normal-overweight and obese patients each increased to 55,6% and 21,1%. A significant increase in BMI was observed post-treatment (average difference 1,581, p=0,00). Ordinal logistic regression analysis showed that age (25-64 years) was significantly correlated with an increase in BMI, while patients with rifampicin-resistant and pre-XDR TB were more likely to have a decrease in BMI. Conclusion There was a significant increase in BMI post-treatment, indicating the positive impact of DR-TB therapy on patient nutritional status. Age and type of drug resistance play a significant role in influencing BMI changes after treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Anjali
"Tidur sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia seringkali tidak terlalu diperhatikan pada masa rawat inap. Padahal pasien yang dirawat di rumah sakit sering mengalami gangguan tidur terutama pasien pre dan post operasi. Penurunan kualitas tidur ini akan berdampak pada pemulihan yang tidak optimal, penurunan kualitas hidup pasien, dan memanjangnya waktu rawat inap di rumah sakit. Salah satu intervensi yang dapat diberikan pada pasien adalah intervensi penerapan sleep hygiene di ruang rawat. Pasien yang ada dalam projek ini berjumlah tiga orang dengan diagnosis medis yang berbeda-beda. Pasien dijadwalkan post-operasi kembali ke ruang rawat. Ketiga pasien memiliki masalah kualitas tidur yang buruk dibuktikan dengan skor Richard Campbell Sleep Questionnaire (RCSQ) yang rendah yaitu 30, 54, dan 52. Penulis memberikan intervensi berupa penerapan sleep hygiene kepada pasien bekerja sama dengan perawat ruangan selama 3 hari. Setelah intervensi terdapat perbaikan kualitas tidur pasien dilihat dari peningkatan skor RCSQ. Namun peningkatan skor RCSQ yang signifikan ini kemungkinan disebabkan karena pasien mengalami kecemasan sebelum operasi yang mengakibatkan kualitas tidurnya terganggu. Selain itu pada pasien dengan komorbid ditemukan peningkatan kualitas tidur yang kurang memuaskan. Pada intervensi berikutnya, direkomendasikan untuk mengkaji sleep hygiene pasien sebelum masa perawatan menggunakan instrumen yang baku, mengajarkanteknik relaksasi, menyarankan pasien membawa alat tidur dari rumah (eye mask dan/atau ear plug), dan memberikan edukasi terkait pentingnya tidur cukup dan kebiasaan tidur yang baik di rumah sakit.

Sleep, as one of the basic human needs, is often not given much attention during hospitalization. In fact, patients treated in hospital often experience sleep disorders, especially pre- and post-operative patients. This decrease in sleep quality will have an impact on suboptimal recovery, a decrease in the patient's quality of life, and a longer hospital stay. One intervention that can be given to patients is the intervention of implementing sleep hygiene in the treatment room. There were three patients in this project with different medical diagnoses. The patient is scheduled to return to the ward after surgery. The three patients had poor sleep quality problems as evidenced by low Richard Campbell Sleep Questionnaire (RCSQ) scores, namely 30, 54, and 52. The author provided intervention in the form of implementing sleep hygiene to the patients in collaboration with the room nurse for 3 days. After the intervention, there was an improvement in the patient's sleep quality as seen from the increase in the RCSQ score. However, this significant increase in RCSQ scores was probably caused by the patient experiencing anxiety before surgery which resulted in disturbed sleep quality. In addition, patients with comorbidities found an increase in unsatisfactory sleep quality. In the next intervention, it is recommended to assess the patient's sleep hygiene before the treatment period using standard instruments, teach relaxation techniques, advise the patient to bring sleeping equipment from home (eye mask and/or ear plugs), and provide education regarding the importance of getting enough sleep and good sleep habits. in the hospital..
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Mustika
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan kapasitas aerobik pasien pasca sindrom koroner akut setelah intervensi koroner perkutan sebelum dan sesudah terapi latihan jalan.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensi dengan desain pre dan post satu kelompok pada 22 subjek pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II. Subjek diberikan latihan jalan dengan intensitas submaksimal 3 kali seminggu, selama 8 minggu dengan jarak yang ditingkatkan setiap latihan. Sebelum memulai dan setelah selesai program latihan jalan dilakukan pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji jalan 6 menit dan pemeriksaan echokardiografi untuk menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Hasil: Didapatkan peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang signifikan (p<0,001), dengan rerata sebelum diberikan latihan jalan 61,49 + 11,94 % dan setelah diberikan latihan jalan mengalami kenaikan menjadi sebesar 65,85 + 8,68 %. Kapasitas aerobik yang dinilai dengan uji jalan 6 menit juga memberikan hasil yang bermakna secara statistik, sebelum diberikan latihan jalan memiliki rerata 16,05 + 3,01 mL/kgBB/menit dan setelah diberikan latihan rerata kapasitas aerobik mengalami kenaikan menjadi sebesar 19,71 + 2,83 mL/kgBB/menit.
Kesimpulan: Pemberian latihan jalan dalam program rehabilitasi jantung fase II pada pasien pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kapasitas aerobik.

Objectives: To examine the effect of walking exercise on left ventricular ejection fraction (LVEF) and aerobic capacity in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention.
Methods: This study is an interventional study with one group pre and post design on 22 subjects post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention in phase II cardiac rehabilitation program. Subjects were given walking exercise programme with submaximal intensity 3 times a week, for 8 weeks with increased distance every attendance. Aerobic capacity were measured with 6 Minute Walking Test, Ejection Fraction were measured with Echocardiography, both were done before and after the walking exercise program.
Results: There were significant improvement in left ventricular ejection fraction (p<0,001), mean LVEF before exercise was 61,49 + 11,94 % and after exercise was 65,85 + 8,68 %. Aerobic capacity also show a significant improvement (p<0,001), with mean aerobic capacity before exercise was 16,05 + 3,01 mL/kgbodyweight/minutes and mean after exercise was 19,71 + 2,83 mL/ kgbodyweight/minutes.
Conclusion: Walking exercise in phase II cardiac rehabilitation program in in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention can improve the left ventricular ejection fraction and aerobic capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Khasanah
"Penelitian ini menguji tingkat konservatisme akuntansi pada laporan keuangan perusahaan non keuangan yang terdaftar di Bursa efek Indonesia pada periode sebelum dan setelah penerapan IFRS di Indonesia. Dengan menggunakan modifikasi model Basu (1997) dengan menambahkan variabel kontrol untuk mengukur tingkat konservatisme, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode sebelum penerapan IFRS, tidak terdapat konservatisme akuntansi dalam laporan keuangan, sementara pada periode setelah penerapan IFRS dalam laporan keuangan perusahaan non keuangan tersebut terdapat konservatisme akuntansi. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat konservatisme akuntansi lebih tinggi pada periode setelah penerapan IFRS dibandingkan dengan periode sebelum penerapan IFRS.

This study examines the level of accounting conservatism in financial statements of non financial firms listed in Indonesian Stock Exchange before and after IFRS convergence in Indonesia. Using modified Basu Model (1997) by adding control variables to measure accounting conservtism, the results suggest that in pre- IFRS convergence period, there is no accounting conservatism in financial statements, whereas in post IFRS convergence period suggest the existence of accounting conservatism. In addition, the study also suggests that accounting conservatism level is higeher in post- IFRS convergence period than pre- IFRS convergence period."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S60843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>