Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172204 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dennis Evan
"Perbuatan melawan hukum dapat diterapkan terhadap banyak perbuatan. Perbuatan melawan hukum dapat dipersamakan dengan tort atau negligence dalam negara yang mengakomodasi sistem common law. Pure economic loss adalah salah satu jenis ganti kerugian dalam rezim negligence. Aplikasi dan aturan mengenai pure economic loss telah dikritik oleh para ahli hukum dan praktisi. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjawab pertanyaan sederhana, seharusnya seberapa luas perbuatan melawan hukum dapat diterapkan? Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan konseptual dan perbandingan. Skripsi ini akan membahas pandangan law and economics terhadap pure economic loss. Terlepas dari itu, akhirnya, penerimaan atau penolakan dari pure economic loss harus disadari dan segera diperbaiki oleh praktisi dan ahli hukum Indonesia. Tujuan dari law and ecomonomics adalah penulis ingin menjelaskan bagaimana mencapai efisiensi dari perbuatan melawan hukum. Mengingat luasnya pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum di Indonesia. Hasil dari skripsi ini adalah dibutuhkan pemaparan informasi kepada praktisi, khususnya hakim, terkait penerimaan pure economic loss secara holistik. Pure economic loss harus dibatasi oleh undang-undang, dan hal ini telah dilakukan di Indonesia.

Perbuatan melawan hukum could be imposed to innumerable action. Perbuatan melawan hukum is equivalent to tort or negligence within the nation which accommodate common law system. Pure economic loss is one of the loss within the negligence regime. Application and regulation regarding pure economic loss has been criticized by jurist and legal practitioner. This thesis purposes shall provide answer on how broad should Perbuatan melawan hukum liabilities applied? The research method used for this thesis is normative juridical research with conceptual and comparative approach. This thesis will further display law and economic approach regarding pure economic loss. Regardless, in the end, acceptance or refusal on pure economic loss shall be noted and immediately repair by practitioner and realized by legal expert in Indonesia. The purpose of using law and economics approach is writer want to further explain and achieving efficiency on perbuatan melawan hukum, considering, the broad applicability of perbuatan melawan hukum in Indonesia. The outcome of this thesis is exposure of information is required to be delivered to legal practitioner, especially judges, regarding the danger if suddenly Indonesia entirely adopted pure economic loss. Pure economic loss shall be restricted by law, which has been done in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joseph Noviandri
"Skripsi ini membahas mengenai ruang lingkup rechtsverwerking sebagai doktrin yang dikenal dengan doktrin “pelepasan hak” dimana pelepasan hak yang dimaksud dalam rechtsverwerking adalah ketika seseorang memiliki suatu hak namun hak tersebut tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu, maka seseorang dapat kehilangan haknya, selama ini konsep pembiaran hak ini dikenal luas pada pelepasan hak atas tanah. sebagaimana telah adanya Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 yang mengatur mengenai pelepasan hak atas tanah, maka keberlakuan doktrin rechtsverwerking seharusnya tidak lagi digunakan sebagai dasar dari adanya pelepasan hak atas tanah, dimana kedudukan peraturan perundang-undangan lebih tinggi daripada doktrin dalam sistem hukum Indonesia. maka penulis secara khusus meneliti konsep rechtsverwerking dalam artian doktrin “pelepasan hak” yang dapat digunakan pada konsep hak-hak lainnya salah satunya yaitu pada konteks hukum kontrak, dimana ketika seseorang telah melepaskan haknya dan menuntut kembali pemenuhan haknya maka pihak lainnya yang telah bertindak atas dasar pelepasan hak tersebut menerima kerugian dari persepsi pembiaran hak yang telah dilakukan pihak yang melepaskan haknya. kemudian pengenalan rechtsverwerking lebih dalam akan dilakukan perbandingan penerapannya yang memiliki padanan dengan doktrin estoppel pada sistem hukum common law Amerika Serikat, dimana apabila seseorang tidak menggunakan haknya, dalam hal ini memiliki sikap diam terhadap hak yang dimilikinya, maka ketika timbul permasalahan akibat dari sikap diamnya tersebut terhadap persepsi pihak lain yang kemudian menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya, estoppel sebagai doktrin berperan untuk mencegah penyalahgunaan sikap diam yang seolah-olah melepaskan haknya untuk menimbulkan persepsi pihak lain bahwa ia telah melepaskan haknya. 

This thesis discusses the scope of rechtsverwerking as a doctrine known as the ‘waiver of rights’ doctrine. rechtsverwerking refers to a situation where someone possesses a certain right but does not exercise it within a specific period, which may result in the loss of that right. This concept of waiving rights is widely recognized, particularly in relation to the release of land rights. As exemplified by Article 32 paragraph (2) of Government Regulation No. 24 of 1997 concerning the release of land rights, the application of the rechtsverwerking doctrine should no longer be used as the basis for releasing land rights, as legislation takes precedence over doctrines in the Indonesian legal system.  In this regard, the author specifically examines the concept of rechtsverwerking in the context of the 'waiver of rights' doctrine, which can be applied to other rights, including in the realm of contract law. In such cases, when someone has waived their rights and subsequently demands the fulfillment of those rights, the other party who has acted based on the waiver may incur damages due to the perception that the right has been relinquished. Therefore, the study delves into the deeper understanding of rechtsverwerking through a comparison with the estoppel doctrine in the common law system of the United States.  In the common law context of the United States, the estoppel doctrine prevents the misuse of silence or inaction that appears to constitute the waiver of rights. It comes into play when someone does not assert their rights or remains silent about their rights, and this silence subsequently leads to problems and damages another party. The estoppel doctrine prevents the other party's misperception that the right has been waived when, in fact, it has not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto Imantaka Nugraha
" ABSTRAK
Skripsi ini membahas serta membandingkan hal-hal terkait kedudukan hukum Bitcoin atau mata uang virtual pada umumnya sebagai barang ekonomi yang mencakup uang serta komoditi di Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, dan Republik Tiongkok. Penulis membahas mengenai kaedah-kaedah hukum baik yang berisi larangan, kewajiban, serta kebolehan terkait Bitcoin atau mata uang virtual pada umumnya di Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, serta Republik Rakyat Tiongkok. Penulis juga membahas dan membandingkan klasifikasi hukum Bitcoin sebagai barang ekonomi yang mencakup uang atau komoditi di Indonesia, Amerika Serikat, Kanada, dan Republik Tiongkok. Karena adanya kekosongan hukum terkait pengaturan atau pengklasifikasian secar hukum Bitcoin dan mata uang virtual pada umumnya baik di Indonesa maupun di Amerika Serikat, Kanada, serta Republik Rakyat Tiongkok, penulis melakukan interpretasi atas definisi-definisi maupun unsur-unsur normatif yang terdapat di peraturan-peraturan maupun putusan-putusan pengadilan terkait barang ekonomi yang mencakup uang serta komoditi, dan melakukan analisis mengenai apakah Bitcoin serta mata uang virtual lainnya masuk dalam definisi-definisi atau unsur-unsur tersebut untuk mengetahui klasifikasi hukum Bitcoin dan mata uang virtual lainnya dalam sistem hukum negara terkait. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif dan tipologi bersifat deskriptif. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakan kedudukan hukum serta pendekatan pengaturan mengenai Bitcoin di Indonesia dengan di Amerika Serikat, Kanada, serta Republik Rakyat Tiongkok. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah bahwa walaupun Bitcoin tidak dapat digolongkan sebagai alat pembayaran yang sah baik di Indonesia, Kanada, Amerika Serikat, dan Republik Rakyat Tiongkok RRT , Bitcoin dapat digolongkan sebagai komoditi dan oleh karena itu transaksi menggunakan Bitcoin dapat dikonstruksikan sebagai tukar-menukar atau barter. Selain itu, pendekatan pengaturan Bitcoin di keempat Negara tersebut juga berbeda-beda.
ABSTRACT This thesis discusses and compares several things regarding the legal standing of Bitcoin or virtual currency in general as an economic good which includes money as well as commodity in Indonesia, United States of America, Canada, and the People 39 s Republic of China. The writer discusses about law principles which consist of prohibition, obligation, and permission in regards of Bitcoin or virtual currency in general in Indonesia, United States of America, Canada, and the People 39 s Republic of China. The writer also confers and compares the classification of the law of Bitcoin as an economic good which encompasses money or commodity in Indonesia, United States of America, Canada, and the People 39 s Republic of China. Since there is a legal vacuum regarding the regulation or the classification of the law of Bitcoin and virtual currency in general, whether it is in Indonesia or United States of America, Canada, and the People 39 s Republic of China, the writer then decided to interpret the legal definitions written in regulations and or verdicts related to economic good that includes money and commodity, and to analyze on whether or not Bitcoin and other virtual currencies fall under the interpreted definitions in order to understand the classification of the law of Bitcoin and other virtual currencies in a similar law system. In conducting this thesis, the writer uses the juridical normative literature research methods and the typology is descriptive. The problem stated in this thesis is the legal standing and regulatory approach on Bitcoin in Indonesia as well as in United States of America, Canada, and the People 39 s Republic of China. The conclusion to the problem above is that even though Bitcoin cannot be classified as a legal tender in Indonesia, Canada, United States of America and the People 39 s Republic of China, Bitcoin can still be classified as a commodity and therefore using Bitcoins in transactions can be equated to barter. Furthermore, regulatory approaches on Bitcoin in the aforementioned countries are also different from one another."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66192
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasha Khairani Putri
"Trademark dilution merupakan hak yang diberikan kepada pemilik merek untuk mencegah penggunaan merek yang sama atau serupa pada barang dan/atau jasa yang tidak bersaing, meskipun penggunaannya tidak menimbulkan persaingan usaha tidak sehat ataupun kebingungan pada konsumen. Pada dasarnya, pelanggaran merek membutuhkan adanya suatu persaingan dan apabila tidak ada persaingan di antara para pihaknya maka penggunaan merek yang serupa tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran. Doktrin trademark dilution ini kemudian diciptakan sebagai penutup dari celah ini. Dewasa ini, doktrin trademark dilution telah diadopsi oleh berbagai macam negara baik itu secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan perundang-undangannya. Konsep dari doktrin trademark dilution itu sendiri merupakan konsep hukum merek yang rumit dan relatif sulit untuk dijelaskan dan dipahami, oleh karena itu penerapan doktrinnya mungkin saja berbeda pada tiap negaranya. Dalam skripsi ini, Penulis akan menganalisis penerapan doktrin trademark dilution di negara Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia dari segi peraturan perundang-undangannya dan penyelesaian sengketanya di pengadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan metode perbandingan serta perolehan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan terkait penerapan doktrin trademark dilution di Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia. Hukum terkait trademark dilution di Amerika Serikat lebih berkembang dan hampir menyentuh setiap detail sehingga merupakan peraturan yang sangat komprehensif, sedangkan di Inggris, peraturan yang terkandung dalam Pasal 10(3) Trade Mark Act of 1994 belum mencakup seluruh ketentuan yang relevan. Penyelesaian sengketa di Amerika Serikat dan Inggris umumnya telah menerapkan trademark dilution dengan tepat meskipun dalam pertimbangan Majelis Hakim di Inggris masih ditemukan adanya pertimbangan yang menyangkut pautkan likelihood of confusion dalam menetapkan klaim trademark dilution. Di Indonesia, meskipun sudah diatur secara implisit, unsur penting seperti kekhasan merek belum diterapkan secara maksimal baik dalam undang-undang ataupun praktiknya sehingga trademark dilution belum dapat dikatakan sudah diterapkan secara baik di Indonesia. Indonesia memerlukan memerlukan perbaikan undang-undang merek agar pengaturan terkait trademark dilution dapat menjadi lebih efektif dan tepat.

Trademark dilution is a right granted to brand owners to prevent the use of the same or similar brand on non-competitive goods and/or services, even though its use does not cause unfair business competition or confusion to consumers. Basically, trademark infringement requires competition and if there is no competition between the parties, the use of a similar brand is not considered an infringement. The trademark dilution doctrine was then created to close this gap. Nowadays, the doctrine of trademark dilution has been adopted by various countries either explicitly or implicitly in their laws and regulations. The concept of the trademark dilution doctrine itself is a complex and relatively difficult concept of trademark law to explain and understand, therefore the application of the doctrine may differ in each country. In this thesis, the author will analyze the application of the trademark dilution doctrine in the United States, United Kingdom, and Indonesia from the perspective of laws and regulations and the settlement of disputes in court. The method used in this research is juridical-normative with a statutory approach and comparative methods and data collection is done through literature studies. The results of this study indicate that there are some differences regarding the application of the doctrine of trademark dilution in the United States, the United Kingdom, and Indonesia. The law related to trademark dilution in the United States is more developed and touches almost every detail so it is a very comprehensive regulation, whereas in England, the regulations contained in Article 10(3) of the Trade Mark Act of 1994 have not yet covered all relevant provisions. Dispute resolution in the United States and the United Kingdom have generally applied trademark dilution appropriately although in the consideration of the High Court Judge in the United Kingdom, there are still considerations regarding the likelihood of confusion in determining trademark dilution claims. In Indonesia, although it has been regulated implicitly, important elements such as brand distinctiveness have not been applied optimally both in law and practice so trademark dilution cannot be said to have been applied properly in Indonesia. Indonesia needs to improve its trademark laws so that regulation related to trademark dilution can be more effective and appropriate."
Depok: 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alleghia Lailaa Savanah
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana konsep doktrin unjust enrichment dalam sistem hukum Amerika Serikat dan peraturannya di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dan pendekatan komparatif. Doktrin unjust enrichment merupakan prinsip umum di mana seseorang tidak boleh diperkaya secara tidak adil dari kekayaan orang lain, sehingga harus mengembalikannya kepada orang yang berhak atas kekayaan tersebut. American Law Institute telah menerbitkan Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichmentyang berisikan prinsip umum, tanggung jawab ganti rugi, pemulihan hak, dan pembelaan terhadap unjust enrichment. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sudah mengatur mengenai unjust enrichment, tetapi hanya sebatas pengayaan yang tidak adil berdasarkan pembayaran saja. Dalam praktiknya, konsep doktrin unjust enrichment telah ditemui pada beberapa putusan di Indonesia, tetapi dikategorikan sebagai tindak hukum lain. Maka dari itu, Indonesia perlu mengadakan pembaharuan terhadap hukum keperdataannya, terutama pengadaan peraturan terkait doktrin unjust enrichment agar tercipta kelengkapan dan kepastian hukum.

This paper analyzes the concept of the unjust enrichment doctrine in the United States legal system and its regulation in Indonesia. This paper is prepared by using a doctrinal research method and a comparative approach. The unjust enrichment doctrine is a general principle in which a person should not be unjustly enriched from the wealth of others, so that he must return it to the person who is entitled to the wealth. The American Law Institute has published the Restatement (Third) of Restitution and Unjust Enrichment which contains general principles, liability in restitution, remedies, and defenses to unjust enrichment. The Indonesian Civil Code already regulates unjust enrichment, but only to the extent of unjust enrichment based on payment. In practice, the concept of unjust enrichment doctrine has been found in several decisions in Indonesia, but it is categorized as another legal act. Therefore, Indonesia needs to reform its civil law, especially the provision of regulations related to unjust enrichment doctrine to create completeness and legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Nurrahman Kharismatyaka Putra
"Dalam tatanan hukum perdata Indonesia mengatur bahwa suatu perjanjian dibuat harus didasarkan oleh itikad baik. Permasalahannya adalah bagaimana pengaturan dalam tahap sebelum perjanjian mengikat yang menimbulkan hubungan hukum bagi para pihaknya, atau disebut juga dengan tahap pra kontrak. Hukum positif Indonesia dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur ruang lingkup itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian saja, tidak meliputi pra kontrak. Terdapat ketidakjelasan atau kekosongan hukum dalam pelaksanaan itikad baik dalam pra kontrak. Sementara itu, dalam sistem hukum di Amerika Serikat dikenal dengan doktrin Promissory Estoppel. Doktrin ini mengatur bahwa suatu kerugian yang timbul akibat dari ditariknya janji yang disampaikan sebelum adanya suatu kontrak yang mengikat, dapat dimintakan penggantian kerugian karenanya. Oleh karena itu, Penulis dalam tulisan ini akan membandingkan penerapan doktrin Promissory Estoppel di Amerika Serikat dan asas Itikad Baik pra kontrak di Indonesia dari segi teori dan penerapannya. Kata kunci: promissory estoppel, itikad baik, janji, pra kontrak.

An agreement made must be based on the good faith of the parties. In the Indonesian civil law system, this is also regulated. The problem is how the arrangements in the pre-contract stage are binding and create a legal relationship for the parties or also known as the pre-contract stage. Indonesia's positive law in Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code only regulates the scope of good faith in agreements, not including pre-contracts. There is ambiguity or legal vacuum in the implementation of good faith in the pre-contract. Meanwhile, in the legal system in the United States, it is known as the Promissory Estoppel doctrine. This doctrine stipulates that a loss that arises as a result of a promise made prior to the existence of a binding contract can be requested for compensation for it. Therefore, the author in this paper will compare the application of the Promissory Estoppel doctrine in the United States and the pre-contract Good Faith principle in Indonesia in terms of theory and application."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Indra Sukma Adnyana
"Skripsi ini membahas terkait perbandingan Praktik Monopoli dalam kegiatan usaha Waralaba di negara Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda dengan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba, serta peraturan perundang-undangan terkait Waralaba dan Praktik Monopoli di Amerika Serikat dan Belanda. Pembahasan permasalahan dalam skripsi ini berfokus terhadap peninjauan perbandingan pengaturan Waralaba, penyebab terjadinya Praktik Monopoli, dan penanganan Praktik Monopoli yang terjadi di dalam kegiatan usaha Waralaba dengan peninjauan melalui metode yuridis normatif dan penulisan deskriptif. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Praktik Monopoli dapat terjadi dalam kegiatan usaha Waralaba, baik di Indonesia, Amerika Serikat, maupun Belanda berdasarkan kepada perjanjian-perjanjian dalam kegiatan usahanya yang memiliki potensi untuk disalahgunakan sehingga memberikan kerugian dan menciptakan persaingan usaha tidak sehat kepada kompetitornya melalui penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki perusahaan atau pelaku usaha. Oleh sebab tersebut, perlu adanya klausul-klausul yang dapat memitigasi dari adanya unsur-unsur Praktik Monopoli dalam Perjanjian Waralaba yang dibuat para pihak dengan memperhatikan syarat-syarat yang diatur maupun dari adanya pengungkapan terhadap informasi-informasi seputar dugaan Praktik Monopoli yang pernah dialami oleh Penerima Waralaba.

This thesis discusses the comparison of Monopolistic Practices in Franchising business activities in Indonesia, the United States, and the Netherlands by analyzing applicable laws and regulations, including Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising, Minister of Trade Regulation Number 71 of 2019 concerning Franchising, as well as laws and regulations related to Franchising and Monopolistic Practices in the United States and the Netherlands. The discussion of the problems in this thesis focuses on the comparative review of Franchising arrangements, the causes of Monopolistic Practices, and the handling of Monopolistic Practices that occur in Franchising business activities by reviewing through normative juridical methods and descriptive writing. The results of this study show that Monopolistic Practices can occur in Franchising business activities, both in Indonesia, the United States, and the Netherlands based on agreements in business activities that have the potential to be misused to provide losses and create unfair business competition to competitors through the abuse of dominant positions owned by companies or business actors. Therefore, it is necessary to have clauses that can mitigate the existence of elements of Monopolistic Practices in the Franchise Agreement made by the parties by paying attention to the regulated conditions as well as from the disclosure of information about alleged Monopolistic Practices that have been experienced by Franchisees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Novendra
"Greenpeace Indonesia berdasarkan data resmi pemerintah terkait sebelas perkara perdata kasus pembalakan hutan dan lahan menyatakan pada tahun 2012-2018 belum ada satu pun kasus kebakaran hutan dan lahan yang dibayar oleh perusahaan dengan total ganti rugi mencapai 18,959 triliun. Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa ganti rugi terkait dengan kasus lingkungan hidup, bukanlah ganti rugi yang sedikit dan banyak perusahaan yang kemudian mengalami permasalahan judgment proof (insolvensi). Permasalahan insolvensi tersebut sesungguhnya dapat ditanggulangi dalam hal Indonesia memiliki sistem asuransi lingkungan hidup yang sehat dengan didukung sistem hukum penegakan hukum yang ideal. Kenyataanya hingga saat ini pengguna asuransi lingkungan hidup di Indonesia masih minim dibandingkan dengan potensi pasar asuransi lingkungan hidup Indonesia yang sesungguhnya sangat besar. Penelitian ini akan membahas mengenai asuransi lingkungan hidup di Indonesia dengan dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Belanda melalui penelitian yuridis normatif dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa asuransi lingkungan hidup di Amerikat Serikat menjadi produk yang luas dipergunakan oleh para pelaku usaha yang melakukan pengelolaan lingkungan hidup, tidak seperti di Indonesia yang masih minim. Padahal, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia untuk pengelola limbah B3 dan ketenaganukliran wajib memiliki asuransi lingkungan hidup. Berbeda dengan di Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda memilih kebijakan wajib jaminan keuangan lingkungan hidup (bukan wajib asuransi lingkungan hidup). Berkaitan dengan perbedaan kebijakan terkait asuransi lingkungan hidup ini, penelitian ini berkesimpulan bahwa pemberlakuan wajib jaminan keuangan lebih baik dari pada pemberlakuan asuransi wajib. Selain itu ditemukan juga salah satu penyebab terbesar dari tidak optimalnya penggunaan asuransi lingkungan hidup di Indonesia adalah karena implementasi atau penerapan penegakan hukum lingkungan Indonesia yang masih buruk, penelitian ini kemudian berusaha menyelesaikan permasalahan tersebut dengan membandingkan dan belajar dari pemberlakuan asuransi lingkungan hidup di Amerika Serikat dan Belanda.

Greenpeace Indonesia, based on official government data related to eleven civil cases of forest and land logging cases, stated that in 2012-2018 there has not been a single case of forest and land fires paid by the company with a total compensation of 18.959 trillion. From the example above, it can be seen that compensation related to environmental cases is not a small amount of compensation and many companies then experience problems of judgment proof (insolvency). The problem of insolvency can actually be overcome if Indonesia has a healthy environmental insurance system supported by an ideal law enforcement system (substance, structure, and legal culture). In fact, up to now, users of environmental insurance in Indonesia are still minimal compared to the potential of the Indonesian environmental insurance market, which is actually very large. This study will discuss environmental insurance in Indonesia compared to the United States and the Netherlands through normative juridical research by conducting a literature study. The results of this study indicate that environmental insurance in the United States is a product that is widely used by business actors who carry out environmental management, unlike in Indonesia which is still minimal. Whereas, based on the existing laws and regulations in Indonesia, B3 and nuclear waste managers are required to have environmental insurance. In contrast to Indonesia, the United States and the Netherlands choose a mandatory environmental financial security (not mandatory environmental insurance). In connection with the differences in policies related to environmental insurance, this study concludes that the application of mandatory financial security is better than the application of mandatory insurance. In addition, it was also found that one of the biggest causes of the non-optimal use of environmental insurance in Indonesia is due to the poor implementation of Indonesian environmental law enforcement, this research then tries to solve this problem by comparing and learning from the implementation of environmental insurance in the United States and the Netherlands,"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.

The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Praiselia Riri Naomi
"Pengenaan denda merupakan salah satu cara untuk menegakkan hukum persaingan usaha. Tujuan dari denda adalah untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya. Indonesia sedang melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang salah satu poin yang menjadi fokus amandemen adalah mengenai ketentuan denda. Perubahan ketentuan denda dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli menimbulkan banyak pro dan kontra. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif mengenai pengaturan pengenaan denda di Kanada, Inggris, dan Korea Selatan. Pengaturan pengenaan denda pada ketiga negara tersebut dijadikan sebagai bahan rujukan terhadap pengaturan ketentuan denda di Indonesia dan sekiranya dapat menjadi masukan untuk perubahan ketentuan denda di Indonesia. Analisis dari skripsi ini mencapai kesimpulan bahwa perubahan ketentuan denda dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli masih belum cukup memadai apabila dibandingkan dengan pengaturan ketentuan denda dalam ketiga negara pembanding. Dengan demikian, Pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu mengkaji kembali perubahan ketentuan denda dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli agar dapat memberi efek jera, serta disaat yang sama tetap menjamin terlangsungnya iklim persaingan usaha yang sehat oleh para pelaku usaha.

The imposition of fines is one of the method in enforcing Competition Law. The purpose of the fine is to deter business actors to not take similar conducts or to be followed by another potential violator. Indonesia is currently amending Law Number 5 Year 1999 on The Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, in which one of the point that serves as the focus of the amendment is regarding provision of fines. The changes within the provisions of fines under the Bill concerning The Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition raise several pros and cons. This research is a normative legal research by using qualitative analysis concerning the regulation of imposition of fines in Canada, United Kingdom, and South Korea. The regulations on the imposition of fines in these three countries serve as materials for references towards the regulation on the imposition of fines in Indonesia and hopefully may also serve as recommendations to the amendment of the provision of fines in Indonesia. The analysis of this thesis resulted in the conclusion that the Bill of the fine provisions on the Prohibition of Monopolistic Practices is still inadequate in comparison to the fines regulations in the three compared countries. Thus, the Government and the Business Competition Supervisory Commission KPPU need to review the Bill of the fine provisions on Prohibition of Monopolistic Practices in order to give a deterrent effect and at the same time ensuring a healthy business competition by business entrepreneurs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>