Ditemukan 155381 dokumen yang sesuai dengan query
Tri Desy Angraini
"Black Panther (2018) adalah film superhero kulit hitam pertama dari Marvel Cinematic Universe yang dijadikan sebagai momentum untuk selebrasi kebudayaan orang kulit hitam dengan cara menampilkan kehebatan dan superioritas mereka. Berdasarkan film Hollywood sebelumnya, orang kulit hitam selalu digambarkan dengan cara yang negatif, disaat orang kulit putih digambarkan dengan cara yang lebih positif. Dengan menggunakan konsep supremasi kulit putih dari Leonardo (2004), konsep imperialisme dari Narayan dan Huggins (2017), dan juga konsep kolonialisme dari Emerson (1969), penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana ide-ide supremasi orang kulit putih digambarkan dalam film Black Panther. Dalam penelitian ini ditemukan bagaimana ide-ide dari supremasi orang kulit putih digunakan dalam film Black Panther sebagai selebrasi orang kulit hitam, pada awalnya hal tersebut dikritisi oleh film ini. Penelitian ini berkontribusi untuk studi kebudayaan orang kulit hitam, khususnya dalam kritik terhadap supremasi kulit putih dalam film kulit hitam dengan menunjukan bagaimana dan mengapa hal ini bermasalah.
Black Panther (2018) is the first black superhero film from Marvel Cinematic Universe that wasused as a momentum to celebrate black culture by showing the greatness and superiority of black people. Throughout previous Hollywood films, Black people were usually portrayed negatively, while White people would be depicted more positively. Using Leonardos (2004) method of white supremacy, Narayan and Hugginss (2017) method of imperialism, and Emersons (1969) method of colonialism, this research aims to analyse how white supremacy ideas reflected in Black Panther. The finding of this research is that Black Panther used the ideas of whitesupremacy to celebrate black culture, which at first had been criticized by this film. This research contributes to black culture studies on criticisms towards white supremacy in black films by showing how and why this issue is problematic."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Vito Hadyan Nur
"Since its release in 2018, Black Panther has been receiving a positive audience response, especially in America and Africa, as it is considered to be an important breakthrough in Hollywood films. This is possible as the film does not only serve as an entertaining Black superhero film, but it also shows positive African and African Diasporas’ cultural representations. Through the fictional nation of Wakanda, Black Panther reimagines an African nation that never suffers from colonialism and developed to its fullest potential with the help of the fictional meteorite vibranium and by isolating itself from other nations. The citizens of Wakanda use futuristic technological instruments while still maintaining their traditional cultures and ancestral beliefs. Furthermore, the film also discusses African American political social issues and concepts, such as Revolutionary Black Nationalism, which was popularized by the Black Panther Party, and Marcus Garvey’s vision of Pan-Africanism. Therefore, this research analyses the cinematic elements of Black Panther to explore how the film serves as a criticism of the Black Panther Party’s Revolutionary Black Nationalism and Marcus Garvey’s Pan-Africanism. Moreover, this research also discusses how Black Panther represents an important breakthrough in the representation of Africans and African Americans in Hollywood films. The findings presented in this research suggest that Black Panther portrays and criticises the Black Panther Party’s Revolutionary Black Nationalism by using Killmonger as an allusion, and Wakanda is used as an allusion of Marcus Garvey’s idea of Pan-Africanism.
Sejak dirilis pada tahun 2018, film Black Panther terus mendapatkan respons positif dari audiens, terutama di Amerika Serikat dan Afrika, karena film ini dianggap sebagai sebuah terobosan penting dalam perfilman Hollywood. Hal ini dapat terjadi karena film ini tidak hanya sebuah film superhero berkulit hitam yang menghibur, namun juga menggambarkan representasi budaya Afrika dan Diaspora Afrika yang positif. Melalui negara fiksi bernama Wakanda, Black Panther membayangkan kembali sebuah bangsa Afrika yang tidak pernah menderita karena kolonialisme dan berkembang sampai potensi maksimumnya dengan bantuan meteorit fiksi bernama vibranium, dan mengisolasi bangsanya dari negara-negara lain. Masyarakat Wakanda menggunakan peralatan tekonologi futuristis, namun masih melestarikan budaya tradisional dan kepercayaan leluhur. Selain itu, film ini juga membahas isu politik dan konsep Afrika Amerika, seperti Nasionalisme Kulit Hitam Revolusioner yang dipopulerkan oleh Black Panther Party, dan impian Pan-Afrikanisme Marcus Garvey. Karena itu, penelitian ini menganalisis unsur-unsur film pada film Black Panther untuk melihat bagaimana film ini digunakan untuk mengkritik Nasionalisme Kulit Hitam Revolusioner Black Panther Party dan Pan-Afrikanisme Marcus Garvey. Kemudian, penelitian ini juga membahas bagaimana film Black Panther merepresentasikan terobosan penting dalam representasi orang Afrika dan Afrika Amerika dalam film-film Hollywood. Temuan yang disajikan dalam penelitian ini menemukan bahwa film Black Panther menggambar dan mengkritik Nasionalisme Kulit Hitam Revolusioner dengan menggunakan karakter Killmonger sebagai kiasan, dan Wakanda adalah kiasan untuk impian Pan-Afrikanisme Marcus Garvey."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Shinta Eka Febriana
"Film merupakan sebuah media penyampaian pesan yang dapat membentuk dan mempengaruhi khalayak berdasarkan muatan pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satu tujuan dalam pembuatan sebuah film ialah merepresentasikan kejadian-kejadian yang ada di dunia nyata dengan menyelipkan ideologi dari para pembuatnya, seperti halnya dengan film Black Panther. Menggunakan metode studi literatur, tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana representasi kelompok kulit hitam yang terdapat dalam film Black Panther. Representasi tersebut dapat dilihat dari segi budaya, bahasa (aksara) dan identitas dari kelompok mereka. Tulisan ini juga menjelaskan bagaimana identitas dari kelompok mereka yang ditampilkan dalam film dan kehidupannya di dunia nyata, serta persepsi dari masyarakat dunia mengenai kulit hitam itu sendiri.
Film is a medium for delivering messages that can shape and influence audiences based on the messages that contained in them. One of the goals in making a film is to represent the events that exist in the real world by using the value of the ideology of the makers, such as discussing the film Black Panther. Using the literature study method, this paper is intended to see how the representation of black skin in the Black Panther film. The representation can be seen in terms of culture, language (script) and the identity of their group. This paper also explains how the identities of their groups are involved in film and life in the real world, as well as peoples perceptions of blacks themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Ra'idah Azyyati Fauziyah
"Tesis ini mengkaji dua film produksi Hollywood, The Great Wall (2016) dan Doctor Strange (2016), yang memperlihatkan gejala supremasi kulit putih di dalamnya. Untuk mengkaji kedua film sebagai teks, tesis ini menggunakan pendekatan cinema studies yang menganalisis aspek naratif dan sinematografis (Boggs & Petrie, 2008). Selanjutnya, digunakan teori semiotik struktural dari Roland Barthes untuk membaca simbol-simbol yang mendukung penghadiran supremasi kulit putih dalam teks. Penelitian ini menunjukkan bahwa logika cerita dibentuk melalui peristiwa-peristiwa penting dalam teks yang memperlihatkan keunggulan tokoh kulit putih. Penokohan tampak di dalam teks melalui konstruksi tokoh kulit putih yang hadir secara dominan dalam tataran peristiwa dan interaksi dengan tokoh lainnya. Tempat-tempat yang dihadirkan di dalam kedua teks tidak sekadar menjadi latar yang melengkapi unsur naratif film, tapi berperan pula sebagai ruang ideologis yang memperlihatkan dominasi tokoh kulit putih. Sementara itu, simbol-simbol dan objek-objek dominan yang hadir di dalam teks dapat dibaca sebagai penanda supremasi kulit putih. Supremasi kulit putih menjadi ideologi teks The Great Wall dan Doctor Strange.
This thesis examines two Hollywood films, The Great Wall (2016) and Doctor Strange (2016), which show symptoms of white supremacy in them. To study the two films as texts, this thesis uses a cinema studies approach which analyzes narrative and cinematographic aspects (Boggs & Petrie, 2008). Next, Roland Barthes' structural semiotic theory is used to read symbols that support the presence of white supremacy in the text. This research shows that the logic of the story is formed through important events in the text that show the superiority of white characters. Characterization appears in the text through the construction of white characters who are dominantly present at the level of events and interactions with other characters. The places presented in the two texts do not just serve as backgrounds that complement the film's narrative elements, but also act as ideological spaces that show the dominance of white characters. Meanwhile, the dominant symbols and objects present in the text can be read as markers of white supremacy. White supremacy is the ideology of the texts of The Great Wall and Doctor Strange."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Avita Nadhilah Puteri, auhor
"Warna merupakan aspek visual pembentuk film yang sangat penting. Warna dalam film tidak hanya hadir sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai simbol yang dapat dimaknai. La Haine merupakan film hitamputih atau monokrom, yang dirilis pada masa teknologi film berwarna sudah muncul. Film ini menceritakan kerasnya kehidupan di banlieue dan bagaimana perilaku anak muda di sana. Tulisan ini membahas makna warna hitam-putih dalam film ini dengan menganalisis aspek naratif dan aspek sinematografis. Hasil analisis menunjukkan bahwa makna warna hitam-putih memiliki relasi dengan tokoh dalam film La Haine.
Color is an important visual aspect of a film. Color in film is not only presented as a complement, but also as a symbol which has a meaning. La Haine is a monochrome film, which was released in a time when the technology of making colored-film was already discovered. This film narrates about how hard it is to live in a banlieue and how the youth who lives there behave. This paper discusses about the meaning of the black and white color by analyzing the narrative and cinematographic aspects. The result of the analysis shows that the black and white color has a relation with the characters of the film."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Farul Ivan Pradana
"[Penerapan fotografi hitam dan putih saat ini, sudah berbeda dengan adanya fotografi digital yang menggunakan berbagai macam warna pada foto. Perkembangan teknologi fotografi digital dalam faktor warna, optik dan resolusi memungkinkan foto mendekati gambaran realitas. Bagaimana halnya dengan fotografi hitam dan putih saat ini? Pada skripsi ini akan dibahas lebih dalam mengenai teknologi digital fotografi hitam dan putih dan penerapannya dalam fotografi arsitektur.
, At this time, the implementation of black and white photography is different in the presence of digital photography that using different colors on the photo. The development of digital photography technology in term of color, optics and resolution allows photograph become the picture of reality. What about the black and white photography at the moment? In this thesis will be discussed more in the digital technology of photography in black and white and the application in architectural photography.]"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S61814
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Pandu Arlingga
"Penelitian ini tentang pengunaan narasi penyelamat kulit putih di produk media massa seperti film. Fokus riset ini adalah bagaimana naratif penyelamat kulit putih memperkuat whiteness-keputihan sebagai norma dan melakukan penandaan social terhadap minoritas di sebuah negara multikultural seperti Amerika Serikat. Sebagai riset kualitatatif sekunder, penelitian ini adalah sebuah analysis film terhadap Green Book (2018) melalui teknik perfilman yang digunakan seperti mise-en-scene yang membentuk gaya dan sosok film tersebut. Riset ini telah menemukan bahwa narasi white savior--penyelamat kulit putih memperkuat keputihan dengan menggambarkan rasisme melalui perspektif seorang kulit putih; menyampaikan bahwa rasisme adalah sebuah hasil dari ketidaksadaran dibanding sebuah ketidakadilan sistemis; dan membuatkan karakter minoritasnya diselamatkan oleh karakter utama yang kulit putih. Minoritas ditandai secara social dengan penggunaan stereotip dan cara lain. Salah satu rekomendasi untuk riset ini adalah riset primer tentang persepsi para penonton film dengan narasi penyelamat kulit putih.
This paper is about the use of white savior narratives in mass media products such as film. The focus of this research is to see how white savior narratives in film reinforce the whiteness as the norm and socially mark minorities in a multicultural society such as the United States. As a secondary qualitative research, this paper is a film analysis of Green Book (2018) through its chosen film techniques such as mise-en-scene that creates its form and style. The research has found that white savior narratives reinforce whiteness by presenting racism through the perspective of a white main character; presenting racism as a ignorance rather than a systemic injustice; and having the minority character saved by the white main character. Minorities are socially marked through the use of stereotypes and other ways. One of the recommendations for this paper is primary research towards audience perception of white savior narratives in film."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Firma Nanda Lestari
"Penelitian ini mencoba menganalisis kontra-stereotipe dari orang kulit hitam dan kulit putih pada film Black or White (2014). Bagaimana mereka digambarkan akan menjadi fokus pada penelitian ini. Dengan menggunakan analisis tekstual, penelitian ini menemukan bahwa orang kulit hitam digambarkan sebagai orang yang berpendidikan, berkualitas dan sukses. Sementara, orang kulit putih digambarkan sebagai orang yang tidak baik, pecandu alkohol dan penurut. Penelitian ini berkontribusi pada studi tentang representasi ras dengan memperlihatkan bahwa film ini menghadirkan kontra-stereotipe antara orang kulit hitam dan kulit putih, yang mana itu berarti diskriminasi ras masih terdapat pada masyarakat.
This research attempts to analyse the counter-stereotype of Blacks and Whites in Black or White (2014). How Blacks and Whites are portrayed will be the focus of this study. By using textual analysis, this study finds that Blacks are represented as educative, qualified and successful. Meanwhile, Whites are portrayed as bum, alcoholic and submissive. This study contributes to the study of racial representation by showing that this film represents counter-stereotype of Blacks and Whites, which means racial discrimination still exists in the society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Naura Nazifah
"
ABSTRAKSnow White atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Putri Salju adalah salah satu karakter fiksi yang pertama kali muncul dalam kumpulan dongeng milik Grimm Bersaudara. Penggambaran mengenai karakteristik seorang putri yang melekat pada karakter Snow White dalam dongeng membuat masyarakat memiliki konsep atau imaji seorang putri. Namun seiring perkembangan zaman, banyak dongeng yang menjadi acuan adaptasi untuk berbagai film, salah satunya film Snow White and the Huntsman produksi Hollywood sebagai hasil adaptasi dari dongeng Schneewittchen dalam kumpulan dongeng karya Grimm Bersaudara. Namun berbeda dengan karakter Snow White yang sudah dikenal masyarakat melalui dongeng, karakter Snow White dalam film mengalami perluasan yang cukup terlihat. Secara khusus, penelitian ini akan membahas mengenai perluasan karakter yang dialami oleh tokoh Snow White dalam film versi Hollywood serta bagaimana peran Hollywood dalam industri perfilman nasional dan internasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan teori representasi Stuart Hall, dan mitos dari Roland Barthes serta teori Gender."
2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Steffanie Olivia Suyanto
"Pada tahun 2016, kasus kopi sianida mendapatkan perhatian luas hingga ke kancah internasionalyang kemudian diangkat menjadi film dokumenter oleh Netflix dengan judul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Film ini mempertanyakan proses pidana yang telah selesai berjalan. Persepsi baru yang berbeda dari wacana dominan masa lalu pun mulai bermunculan hingga menimbulkan pertanyaan besar dari publik terkait kebenaran kasus dan keadilan untuk Jessica. Penulisan ini berfokus pada reaksi sosial nonformal (kaji ulang masyarakat) terhadap reaksi sosial (film dokumenter). Film dokumenter ini memicu reaksi sosial nonformal dalam bentuk video pada media baru, seperti YouTube. Unit analisis tulisan ini adalah narasi dari beberapa video konten buatan pengguna yang mengulas film Ice Cold pada media sosial YouTube. Narasi-narasi tersebut dianalisis menggunakan konsep encoding dan decoding dari Stuart Hall, dilengkapi dengan analisis pembingkaian narasi (pembingkaian semantik, kognitif, dan komunikatif). Perspektif yang digunakan untuk mencermati konteks ini adalah kriminologi budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa narasi film dokumenter Ice Cold dapat diterima dengan baik oleh penonton dengan posisi dominan dan negosiasi. Dari reaksi penonton, terlihat kepanikan moral terhadap sistem peradilan pidana, dengan pandangan bahwa Jessica tidak bersalah sehingga terjadi demonisasi terhadap pihak Mirna sebagai setan rakyat yang baru.
In 2016, the cyanide coffee case received widespread international attention and was later made into a documentary by Netflix titled "Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso." This film questions the completed criminal process. New perceptions that differ from the dominant discourse of the past began to emerge, raising significant public questions regarding the truth of the case and justice for Jessica. This paper focuses on non-formal social reactions (public reviews) to social reactions (the documentary film). The documentary triggers informal social reactions in the form of videos on new media platforms, such as YouTube. The unit of analysis in this paper is the narratives of several user-generated video contents that review the documentary "Ice Cold" on YouTube. The narratives are analyzed using Stuart Hall's concept of encoding and decoding, complemented by narrative framing analysis (semantic, cognitive, and communicative framing). The perspective used to examine this context is cultural criminology. The results of the analysis show that the narrative of the documentary "Ice Cold" can be well received by audiences with dominant and negotiated positions. From the audience's reaction, there is a moral panic towards the criminal justice system, viewing Jessica as innocent and resulting in the demonization of Mirna's side as the new folk devil."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library