Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 190231 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khalid Mohammad Shidiq
"Latar belakang HIV / AIDS adalah penyakit kronis dengan spektrum klinis luas yang membutuhkan perawatan seumur hidup, dan dapat menurunkan kualitas hidup. Belum ada alat sederhana untuk mengevaluasi gejala infeksi HIV dan efek samping pengobatan yang dapat digunakan dalam pengaturan rawat jalan. Pengukuran gejala objektif penting karena berkorelasi dengan kepatuhan pengobatan dan progresifitas penyakit.
Objektif. Untuk menilai keandalan Indeks Gejala HIV versi Indonesia untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS, dan mengetahui profil gejala / pola pasien HIV / AIDS di Indonesia menggunakan Indeks Gejala HIV.
Metode. Ini adalah studi cross sectional pada subyek HIV / AIDS rawat jalan. Subjek direkrut secara acak di klinik HIV Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari September hingga November 2018. Penilaian reliabilitas onaire Questi dilakukan pada 20 subjek, dan evaluasi gejala dilakukan pada 87 subjek. Adaptasi bahasa dari versi bahasa Inggris asli ke bahasa Indonesia dilakukan dengan metode Beaton dan Guillemin. Realibility dari versi Indonesia Indeks Gejala HIV diuji dengan alpha cronbach adalah analisis koefisien, dan validitas internal itu diuji dengan multitrait analisis skala. Indeks Gejala HIV versi Indonesia yang valid dan andal kemudian digunakan untuk membuat profil pola gejala pasien HIV / AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo .
Hasil. Indeks Gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan ( cronbach alpha 0,76) dan valid ( korelasi multitrait > 0,4) untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS. Gejala yang paling umum adalah kelelahan (55,7%), diikuti oleh insomnia (43,3%), pusing dan pusing (42,3%), masalah kulit (42,3%), dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki (39,2%). Keluhan paling jarang adalah demam (15,5%), batuk (20,6%), mual atau muntah (20,6%), diare (21,6%), dan kehilangan nafsu makan (23,7%).
Kesimpulan. Indeks gejala HIV versi Indonesia dapat diandalkan dan valid untuk mengukur gejala pasien HIV / AIDS secara objektif. Gejala yang paling sering adalah kelelahan atau kelemahan, pusing atau sakit kepala ringan, susah tidur, masalah kulit, dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di tangan atau kaki.

Backgrounds. HIV/AIDS is a chronic disease with a wide clinical spectrum which needs a long life treatment, and could decrease quality of life. There is yet a simple tool to evaluate symptoms of HIV infection and treatment s side effect that can be used in outpatient setting. Objective symptoms measurement is important because it is correlated to treatment adherence and progressivity of the disease.
Objective. To assess reliability of Indonesian version of HIV Symptom Index for measuring symptoms of HIV/AIDS patients, and knowing the symptom profile/pattern of HIV/AIDS patients in Indonesia using HIV Symptom Index.
Method. It is a cross sectional study in outpatient HIV/AIDS subjects. Subjects are recruited randomly in Cipto Mangunkusumo Hospital s HIV clinic from September until November 2018. Questionaire reliability assessment was done on 20 subjects, and symptom evaluation is done on 87 subjects. Language adaptation from the original english version into Indonesian was done with Beaton and Guillemin method. Realibility of Indonesian version of HIV Symptom Index was tested by alpha cronbach s a coefficient analysis, and the internal validity was tested with multitrait scaling analysis. The Valid and reliable Indonesian version of HIV Symptom Index is then used to profile the symptom pattern of HIV/AIDS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Result. Indonesian version of HIV Symptom Index is reliable (cronbach alpha 0,76) and valid (multitrait correlation >0,4) to measure symptoms of HIV/AIDS patients. The most common symptom is fatigue (55,7%), followed by insomnia (43,3%), dizziness and lightheaded (42.3%), skin problems (42,3%), and pain, numbness, or tingling in the hands or feet (39,2%). The rarest symptoms are fever (15,5%), cough (20,6%), nausea or vomiting (20,6%), diarrhea (21,6%), and lost of appetite (23,7%).
Conclusion. Indonesian version of HIV symptom Index is reliable and valid to measure symptoms of HIV/AIDS patiens objectively. Most frequent symotoms are fatigue or weakness, dizzines or lightheaded, insomnia, skin problems, and pain, numbness, or tingling in the hands or feet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khalid Mohammad Shidiq
"Latar belakang. HIV/AIDS merupakan penyakit kronik yang memiliki spektrum klinis yang sangat luas, memerlukan terapi seumur hidup, dan dapat menurunkan kualitas hidup. Belum terdapat alat evaluasi keluhan penyakit dan efek samping pengobatan pasien HIV/AIDS yang sederhana untuk digunakan saat evaluasi di rawat jalan. Pemantauan keluhan secara objektif penting karena berhubungan dengan kualitas hidup dan kepatuhan berobat pasien HIV/AIDS. Belum diketahui apakah pasien HIV/AIDS yang sudah dalam terapi masih memiliki banyak keluhan yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan. Tujuan. Menilai keandalan kuesioner Indeks Simtom HIV untuk menilai keluhan pasien HIV/AIDS, mengetahui profil keluhan pasien HIV/AIDS di Indonesia dengan menggunakan kuesioner Indeks Simtom HIV, mengetahui korelasi keluhan dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada subjek pasien HIV/AIDS yang berobat jalan rutin di poliklinik HIV. Subjek direkrut secara random pada September hingga November 2018 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Uji coba kuesioner dilakukan pada 20, dan evaluasi keluhan dilakukan pada 87 subjek. Sebelum uji coba, dilakukan proses adaptasi bahasa kuesioner Indeks Simtom HIV yang dikembangkan Justice et al ke bahasa Indonesia dengan metode Beaton dan Guillemin. Setelah itu dilakukan uji keandalan dengan analisis Alpha Cronbach's a coefficient, serta uji validitas internal dengan multitrait scaling analysis. Selanjutnya evaluasi keluhan dilakukan pada pasien di unit pelayanan terpadu HIV RS Cipto Mangunkusumo. Bersamaan dengan itu subjek juga dinilai kualitas hidupnya dengan kuesioner WHOQOL-HIV BREF. Dilakukan analisis korelasi keluhan dengan kualitas hidup dengan analisis korelasi spearman. Hasil. Kuesioner Indeks Simtom HIV hasil adaptasi bahasa Indonesia andal (Cronbach alpha 0,760) dan valid (korelasi multitrait >0,4) untuk menilai keluhan pasien HIV/AIDS. Keluhan yang terbanyak dialami subjek adalah kelelahan (55,7%), gangguan tidur (43,3%), pusing/keliyengan (42,3%), masalah pada kulit (42,3%) dan nyeri, mati rasa, atau kesemutan di kaki atau tangan (39,2%), sementara yang paling jarang adalah demam (15,5%), batuk (20,6%), mual (20,6%), diare (21,6%), dan penurunan nafsu makan (23,7%). Korelasi keluhan pasien HIV/AIDS saat rawat jalan dengan kualitas hidup tidak ada (r=-0,245, p=0,022), terdapat korelasi sedang antara keluhan dengan tingkat independensi (r =-0,575, p < 0,001), dan terdapat korelasi lemah dengan domain fisik, sosial, lingkungan, spiritual (r > -0,3, p < 0,05). Kesimpulan. Penggunaan kuesioner Indeks Simtom HIV dalam bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai keluhan pasien HIV/AIDS dengan lebih objektif. Tiga keluhan terbanyak yang dialami pasien HIV yang sudah mendapat terapi antiretroviral adalah kelelahan atau kurang energi, pusing atau keliyengan, dan gangguan tidur, keluhan tersebut berkaitan dengan efek samping terapi antiretroviral. Keluhan pasien HIV/AIDS yang sudah mendapat terapi tidak berhubungan dengan kualitas hidup.

Backgrounds. HIV/AIDS is a chronic disease with a wide clinical spectrum which needs a long life treatment, and could decrease quality of life. There is yet a simple tool to evaluate symptoms of HIV infection and treatments side effect that can be used in outpatient setting. Objective symptoms measurement is important because it is correlated to treatment adherence and progressivity of the disease. Whether symptoms in outpatient HIV subjects whom are already treated are correlated to the quality of life is not yet known. Reliability of Indonesian version of HIV Symptom Index for measuring symptoms of HIV/AIDS patients, knowing the symptom profile/pattern of HIV/AIDS patients in Indonesia using HIV Symptom Index, and knowing the correlation between symptoms and quality of life in HIV/AIDS patients. Method. It is a cross sectional study in outpatient HIV/AIDS subjects. Subjects are recruited randomly in Cipto Mangunkusumo National Hospitals HIV  clinic from September until November 2018. Questionaire reliability assessment is done on 20 subjects, and symptom evaluation is done on 87 subjects. Language adaptation from the original english version into Indonesian was done with Beaton and Guillemin method. Realibility of Indonesian version of HIV Symptom Index was tested by alpha cronbachs a coefficient analysis, and the internal validity was tested with multitrait scaling analysis. The Valid and reliable Indonesian version of HIV Symptom Index is then used to profile the symptom pattern of HIV/AIDS patients in Cipto Mangunkusumo National Hospital. Quality of life of the subjects were measured with WHOQOL-HIV BREF questionnaire. Correlation between symptoms and quality of life was analyzed with spearman correlation analysis. Result.  Indonesian version of HIV Symptom Index is reliable (cronbach alpha 0,76) and valid (multitrait correlation >0,4) to measure symptoms of HIV/AIDS patients. The most common symptom is fatigue (55,7%), followed by insomnia (43,3%), dizziness and lightheaded (42.3%), skin problems (42,3%), and pain, numbness, or tingling in the hands or feet (39,2%). The rarest symptoms are fever (15,5%), cough (20,6%), nausea or vomiting (20,6%), diarrhea (21,6%), and lost of appetite (23,7%). Symptoms of HIV/AIDS patients treated with Antiretroviral (ARV) are not correlated with the quality of life (r=0,245, p=0,022) but have a moderate correlation with independence domain (r=0,575, p<0,001), and have a weak correlation with physical, social, environment, and spiritual domains (r>-0,3, p<0,05). Conclusion. Indonesian version of HIV symptom Index is reliable and valid to measure symptoms of HIV/AIDS patiens objectively. Three most frequent symptoms are fatigue or weakness, dizzines or lightheaded, and insomnia. These symptoms are related to side effects of antiretroviral therapy. Symptoms of ARV treated HIV/AIDS patients were not correlated with the quality of life. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58728
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Kusuma
"Kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan karena penyakit infeksi ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas pada segala aspek kehidupan baik fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Masalah psikososial khususnya depresi dan kurangnya dukungan keluarga terkadang lebih berat dihadapi oleh pasien sehingga dapat menurunkan kualitas hidupnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang dan merekrut sampel sebanyak 92 responden dengan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kualitas hidup kurang baik (63,0%), mengalami depresi (51,1%), dukungan keluarga non-supportif (55,4%), berjenis kelamin laki-laki (70,7%), berpendidikan tinggi (93,5%), bekerja (79,3%), berstatus tidak kawin (52,2%), mempunyai penghasilan tinggi (68,5%), berada pada stadium penyakit lanjut (80,4%), rata-rata usia 30,43 tahun, dan rata-rata lama mengidap penyakit 37,09 bulan. Pada analisis korelasi didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup (p=0,000 & p=0,000, α=0,05).
Selanjutnya, hasil uji regresi logistik menunjukkan responden yang mengalami depresi dan mempersepsikan dukungan keluarganya non-supportif beresiko untuk memiliki kualitas hidup kurang baik setelah dikontrol oleh jenis kelamin, status marital, dan stadium penyakit. Selain itu, diketahui pula bahwa dukungan keluarga merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan kualitas hidup dengan nilai OR=12,06.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan intervensi untuk memberdayakan keluarga agar dapat senantiasa memberikan dukungan pada pasien HIV/AIDS dan upaya pencegahan serta penanganan terhadap masalah depresi agar dapat memperbaiki kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

Quality of life of patients with HIV/AIDS become a main concern since this chronic and progressive illness may impact in all aspects of patient?s life: physical, psychological, social, and spiritual. Psychosocial problems especially depression and lack of family support are frequently faced of this patients which effect in reducing their quality of life. The purpose of this study was to identify and to explain the relationship between depression and family support with quality of life in patients with HIV / AIDS. This study used cross-sectional study design, with a total sample is 92 respondents that recruited by purposive sampling technique.
The results showed that the majority of respondents have poor quality of life (63.0%), depression (51.1%), lack of family support (55.4%), male (70.7% ), higher education level (93.5%), work (79.3%), unmarried (52,2%), have higher income (68.5%), in advanced stage of disease (80.4% ), with an average age of 30.43 years, and the average length of illness 37.09 months. Analysis of the correlation showed any significant relationship between depression and family support with quality of life (p=0,000 & p=0,000, α=0,05).
Further analysis with logistic regression test demonstrated that respondents who perceive depressed and family non-supportive are at risk to have poor quality of life after being controlled by gender, marital status, and stage of disease. In addition, this analysis showed that family support is the most influential factors to the quality of life with OR=12,06.
Recommendations from this study is necessary to empower family in order to continously giving support to patients with HIV/AIDS and also needs to prevent and resolve problem of depression in order to improve quality of life of patients with HIV/AIDS.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Diafiri
"Latar Belakang: Gangguan kognitif merupakan komplikasi yang umum ditemui pada pasien HIV. Hal ini disebabkan oleh kerusakan neuronal oleh infeksi HIV. Gangguan kognitif dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dengan berkembangnya terapi antiretroviral (ART) terjadi penurunan derajat keparahan gangguan kognitif dan peningkatan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fungsi kognitif dan kualitas hidup hidup pasien HIV setelah ART selama 3 bulan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif bagian dari JacCCANDO study (JAKarta CMV and Candida in HIV patients on ART evaluation in Cardiology, Neurocognitive, Dentistry and Ophtalmology Study) dimana subjek penelitian merupakan pasien HIV dengan imunodefisiensi berat (sel limfosit T CD4 < 200 sel/mL). Data yang digunakan pada penelitian adalah data sebelum dan setelah ART selama 3 bulan. Dilakukan penilaian kognitif lengkap, kualitas hidup (SF-36) serta pemeriksaan laboratorium.
Hasil: Didapatkan 51 subjek dengan rentang usia subjek ialah 19-44 tahun. Didapatkan perbaikan skor (p<0,05) pada median Z kognitif,  Z fluensi, Z eksekutif, Z keterampilan motorik, skor kesehatan fisik dan mental setelah ART 3 bulan. Tidak didapatkan korelasi antara perubahan kognitif dengan kualitas hidup baik kesehatan fisik dan mental.
Kesimpulan: Terdapat perbaikan fungsi kognitif pada domain fluensi, fungsi eksekutif dan keterampilan motorik serta perbaikan kualitas hidup baik kesehatan fisik maupun mental pada pasien HIV naïve setelah pemberian antiretroviral selama 3 bulan.

Background: Cognitive impairment is one of the common complications found in patients with HIV. It is caused by neuronal damaged of HIV infection. Cognitive impairment could influencing the patient's quality of life (QoL). However, the development of antiretroviral therapy (ART) results in a decrease of cognitive impairment severity as well as an increase of QoL. This study aims to investigate the cognitive function and QoL changes in HIV patients after 3 months of ART.
Methods: This is a prospective cohort study and a part of JacCCANDO study (JAKarta CMV and Candida in HIV patients on ART evaluation in Cardiology, Neurocognitive, Dentistry and Ophthalmology Study) where all subjects were HIV patients with severe immunodeficiency (CD4 T-lymphocyte cell < 200 cells/mL). In this study, data was taken before and after antiretroviral therapy for 3 months. Complete cognitive assessment was performed, QoL (SF-36), and laboratory examination.
Result: Fifty-one subjects were gathered in this study. The age range was within 19-44 years old. There also a score improvement (p<0.05) in Z cognitive median, Z fluency, Z executive, Z motoric skills, physical health score and mental health score after 3 months of ART. No correlation was found between cognitive changes and QoL in neither physical health nor mental health.
Conclusion: There was an improvement of cognitive function within fluency domain, executive function, and motoric skills as well as the QoL improvement in both physical and mental health amongst naïve HIV patients after 3 months of antiretroviral therapy. Overall changes of cognitive function did not affect the QoL in both physical and mental.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anyeliria Sutanto
"Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi neurologis yang banyak ditemui pada pasien HIV. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi HIV tersebut ataupun sebagai akibat efek samping terapi antiretroviral, khususnya stavudin. Manifestasi klinis neuropati sangat beragam, salah satunya ialah adanya keluhan nyeri, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh neuropati perifer terhadap kualitas hidup pasien HIV dalam terapi antiretroviral non-stavudin.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi komparatif potong lintang yang melibatkan pasien HIV di RS Cipto Mangunkusumo pada bulan September 2016 hingga September 2017. Kriteria inklusi subjek ialah pasien HIV dewasa dalam terapi antiretroviral non-stavudin selama minimal 12 bulan yang akan dibagi menjadi dua kelompok, berdasarkan brief peripheral neuropathy screening tool BPNST , yaitu kelompok dengan neuropati perifer dan tanpa neuropati perifer. Penilaian depresi dengan Hamilton depression rating scale HDRS dan evaluasi kualitas hidup dengan short form-36 health survey SF-36 . Kuesioner SF-36 mencakup domain kesehatan fisik dan kesehatan mental dengan rentang skor 0-100. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik. Data dianalisis dengan SPSS 20.0.
Hasil: Didapatkan subjek sebanyak 29 orang pada kelompok neuropati perifer dan 58 orang pada kelompok tanpa neuropati perifer. Rentang usia subjek ialah 23-59 tahun dengan median kadar sel limfosit T CD4 yang lebih rendah 406 sel/mm3 vs. 540 sel/mm3 dan persentase riwayat terapi isoniazid yang lebih tinggi 62,1 vs. 37,9 pada kelompok neuropati perifer. Karakteristik demografis usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, status pernikahan dan karakteristik klinis jumlah sel limfosit CD4 terakhir tidak mempengaruhi kualitas hidup pada kedua kelompok, baik dengan maupun tanpa neuropati perifer. Tidak didapatkan perbedaan skor SF-36 yang bermakna pada kedua kelompok. Tampak median skor SF-36 yang lebih rendah pada subjek dengan nyeri neuropatik pada ekstremitas bawah skor kesehatan fisik 77,5 vs. 85,31 dan depresi skor kesehatan fisik 80 vs. 94,37 dan skor kesehatan mental 75 vs 89,68 untuk kelompok neuropati, skor kesehatan fisik 78,75 vs. 90,31 dan skor kesehatan mental 70,72 vs 88,75 untuk kelompok tanpa neuropati . Viral load RNA HIV berkorelasi negatif terhadap skor SF-36 pada kelompok dengan neuropati perifer skor kesehatan fisik, rs = -0,376 dan skor kesehatan mental, rs = -0,308.
Kesimpulan: Neuropati perifer tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV dalam terapi antiretroviral non-stavudin.Kata Kunci: antiretroviral non-stavudin, HIV, kualitas hidup, neuropati perifer.

Background Peripheral neuropathy is one of the most common neurologic complications in patients with HIV, which is caused by the HIV infection itself or as the side effect of antiretroviral therapy ART , particularly the usage of stavudine. Patients with neuropathy might complain various clinical manifestations, including pain, which could significantly affect patients quality of life. Aim of this study was to evaluate the role of peripheral neuropathy to quality of life of patients with HIV receiving non stavudine antiretroviral therapy.
Materials and Method This was a cross sectional internal comparison study which were done to HIV patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during September 2016 to September 2017. Inclusion criteria were HIV adult patients with non stavudine antiretroviral therapy for minimum of 12 months which will be divided into two groups, based on brief peripheral neuropathy screening tool BPNST , as neuropathy group and non neuropathy group. Diagnosis of depression by Hamilton depression rating scale HDRS , and evaluation of quality of life was based on 36 item short form survey SF 36 . The SF 36 assessed physical health PH and mental health MH domain with score ranged from 0 to 100, in which higher score represents better quality of life. Data was analyzed using SPSS 20.0.
Results There were 29 subjects with peripheral neuropathy and 58 subjects without peripheral neuropathy. Age of the subjects was ranging from 23 to 59 years old, with lower median of CD4 lymphocyte count 406 cells mm3 vs. 540 cells mm3 and higher percentages of isoniazid therapy 62.1 vs. 37.9 in neuropathy group. Demographic characteristics age, sex, education level, employment, marital status and clinical characteristic CD4 lymphocyte count was not affecting the quality of life, both in neuropathy group and non neuropathy group. No significant difference was found from SF 36 score in both groups. There were lower SF 36 score median in subjects with neuropathic pain in lower extremities PH score 77.5 vs. 85.31 and depression PH score 80 vs. 94.37 and MH score 75 vs 89.68 in neuropathy group, PH score 78.75 vs. 90.31 and MH score 70.72 vs 88.75 in non neuropathy group. Viral load was negatively correlated with SF 36 score in subjects with peripheral neuropathy PH score, rs 0,376 and MH score, rs 0,308.
Conclusion Peripheral neuropathy did not affect the quality of life of HIV patients receiving non stavudin antiretroviral therapy."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Samjunanto
"Latar Belakang: Infeksi HIV/AIDS merupakan penyakit yang kronis dan tidak dapat disembuhkan namun gejalanya masih dapat dikendalikan. Oleh karena itu, kualitas hidup menjadi luaran terapi yang penting untuk diperhatikan. Berbagai faktor psikosial seperti stigma, citra diri, gangguan depresi, risiko bunuh diri dan mekanisme koping merupakan faktor yang diduga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS dan dapat diintervensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stgima, citra diri, gangguan depresi, risiko bunuh diri dan mekanisme koping terhadap kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subjek penelitian diambil dengan menggunakan consecutive sampling pada pasien dewasa yang berobat di poliklinik khusus HIV/AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juni 2023. Instrumen swaperiksa digunakan untuk menilai variabel kualitas hidup (WHOQOL-Bref), stigma (Berger HIV Stigma Scale), mekanisme koping (Brief-COPE) dan citra diri (RSES). Wawancara semi terstruktur juga dilakukan untuk menilai gangguan depresi (MINI-ICD) dan risiko bunuh diri (CSSRS). Analisis regresi liner multipel digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan luaran kualitas hidup.
Hasil: Dari 207 subjek penelitian yang diteliti, didapatkan hubungan yang bermakna antara stigma diri dengan kualitas hidup pada ranah kesehatan fisik (B:-0.15; IK95%: -0.23– -0.07), hubungan sosial (B:-0.19, IK95%:0.27– -0.10) dan lingkungan (B:-0.12; IK95% -0.20– -0.04). Didapatkan hubungan yang bermakna antara citra diri dengan kualitas hidup pada ranah kesehatan fisik (B:1.12; IK95%:0.71– 1.67), psikologis (B:1.73; IK95%:1.21– 2.26), hubungan sosial (B:0.91, IK95%:0.35– 1.46) dan lingkungan (B:1.27; IK95%:0.77– 1.77). Didapatkan hubungan yang bermakna antara gangguan depresi dengan kualitas hidup pada ranah kesehatan fisik (B:-4.59; IK95%:-7.41– -1.77), psikologis (B:-5.64; IK95%:-8.72– -2.56),  dan hubungan sosial (B:-4.92, IK95%:-8.17– -1.66). Didapatkan hubungan yang bermakna antara mekanisme koping dengan kualitas hidup pada ranah kesehatan fisik (B:5.97; IK95%:1.71–10.24), psikologis (B:9.65; IK95%:4.99– 14.31), hubungan sosial (B:12.99, IK95%:8.07– 17.91) dan lingkungan (B:10.79; IK95%:6.39– 15.18) Koefisen determinasi pada penelitian ini sebesar 43.5-54.4%.
Simpulan: Terdapat hubungan antara stigma, gangguan depresi, risiko bunuh diri, citra diri dan mekanisme koping terhadap tiap ranah kualitas hidup pada pasien dengan HIV/AIDS. Citra diri dan mekanisme koping yang berfokus pada masalah menjadi faktor protektif sedangkan stigma dan gangguan depresi menjadi faktor risiko.

Background: HIS/AIDS is a chronic incurable yet controllable diseases. Thus, quality of life is a pivotal clinical outcame that must be evaluated other than its morbidity and mortality. Some psychosocial factors, such as  stigma, self-esteem, depressive disorder, sucidality, and coping mechanism, are prominent indicators that affect quality of life and could be intervened. This study aim to elaborate the relationship of stigma, self-esteem, depressive disorder, sucidality, and coping mechanism to the quality of life in patient with HIV/AIDS.
Method: A cross-sectional study was conducted in June 2023 in outpatient HIV/AIDS clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. Consecutive sampling was used in adult patients. Self rating instrument was used to measure quality of life (WHOQOL-Bref), stigma (Berger HIV Stigma Scale), coping mechanism (Brief-COPE) and self esteem (RSES). Semi-structured interview was used to assess depressive disorder (MINI-ICD) and suicide risk (CSSRS). Multiple linear regression was used to explore the relationship between the independent variables and quality of life.
Results: There are 207 respondents in this study. The results showed significant relationship between stigma and quality of life in physical health (B:-0.15; CI95%:-0.23– -0.07), social relationship (B:-0.19, CI95%:0.27– -0.10) and environment domains (B:-0.12; CI95% -0.20– -0.04) There was a significant relationship between self esteem and quality of life in physical health domain (B:1.12; CI95%:0.71– 1.67), psychological (B:1.73; CI95%:1.21– 2.26), social relationship (B:0.91, CI95%:0.35– 1.46) and environment domains (B:1.27; CI95%:0.77– 1.77). Significant relationships were found between depressive disorder and quality of life in physical health domain (B:-4.59; CI95%:-7.41– -1.77), (B:-5.64; CI95%:-8.72– -2.56), and social relationship domains (B:-4.92, CI95%:-8.17– -1.66). There was a significant relationship between coping mechanism and quality of life in physical health domain (B:5.97; CI95%:1.71–10.24), psychological (B:9.65; CI95%:4.99– 14.31), social relationship (B:12.99, CI95%:8.07– 17.91)  and environment domains (B:10.79; CI95%:6.39– 15.18). The determinant coefficient in this study were 43.5-54.4%.
Conclusion: There is relationship relationship of stigma, self-esteem, depressive disorder, sucidality, and coping mechanism with the quality of life in patient with HIV/AIDS in each domains. Stigma and depressive disorder are risk factors while self-esteem and problem focused coping mechanism are the protective factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fallon Victoryna
"Kualitas hidup merupakan indikator penting bagi kesehatan dan banyak aspek kehidupan ODHA LSL. Kualitas hidup dapat terganggu karena berbagai kondisi stres yang dialami ODHA LSL. Stres pada ODHA LSL terjadi karena masalah yang terkait dengan penyakit dan status orientasi seksual. Kondisi stres yang terus menerus terjadi, dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup.
Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara tingkat stres dengan kualitas hidup ODHA LSL di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan metode purposive sampling, jumlah sampel penelitian 176 responden. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner Perceived Stress Scale dan WHOQOL-HIV BREF. Rata-rata responden berusia dewasa awal 18-40 tahun, berpendidikan menengah SMP-SMA, sebagian besar bekerja, terbanyak sebagai karyawan swasta, dan rata-rata terdiagnosis HIV selama 12 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat stres dengan kualitas hidup ODHA LSL p=0,021. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya memperhatikan aspek psikososial ODHA LSL, mengembangkan intervensi yang berkontribusi lebih positif dalam menurunkan stres serta mengidentifikasi faktor-faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup ODHA LSL.

Quality of life is an important indicator for health and many aspects of MSM living. Quality of life can be disrupted due to various stress conditions experienced by PLWHA MSM. Stress on MSM is due to problems related to disease and sexual orientation status. Stressful conditions that occur continuously can have an impact on the decline in quality of life.
The purpose of this study was to see the relationship between stress level and quality of life of PLWHA in Medan City. This research uses cros sectional design with purposive sampling method, the number of research sample is 176 respondents. The instruments used are the Perceived Stress Scale questionnaire and WHOQOL HIV BREF. The average early adult respondents 18 40 years old, middle schooled SMP SMA, mostly worked, most were private employees, and were on average diagnosed with HIV for 12 months.
The result of this research that there is a correlation between stress level and quality of life of PLWHA p 0,021. This study recommends the importance of taking into account the psychosocial aspects of PLWHA MSM, developing interventions that are more positive in reducing stress and identifying other factors that affect the quality of life of PLWHA.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Triana S
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Terapi ARV pada ODHA diharapkan dapat menurunkan angka kematian dan
kesakitan serta menekan penularan HIV. Untuk mencapai tujuan MDG’s tahun 2015,
diharapkan 90% ODHA sudah mendapatkan terapi ARV secara teratur. RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru telah memberikan terapi ARV sejak tahun 2004 tetapi belum
pernah diteliti pengaruh ARV terhadap survival pasiennya.
Metode :
Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dengan 319 sampel dan
dilakukan selama Mei-Juni 2013. Data penelitian diperoleh melalui data rekam medis
RS. Data dianalisis dengan menggunakan analisis survival metode Kaplan-Meier dan
dilanjutkan dengan analisis multivariate
Hasil:
Penelitian menunjukkan bahwa pasien yang memakan ARV secara teratur
memiliki survival yang lebih baik. Pasien yang tidak memakan ARV atau memakan
ARV tetapi tidak teratur, memiliki risiko kematian sebesar 42,5 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan pasien yang memakam ARV secara teratur. (p=0,01, 95%CI:
13-138). Jumlah kematian selama pengamatan hanya 5,8% pada kelompok yang
teratur memakan ARV, sedangkan pada kelompok yang tidak mencapai 28%. Faktor
lain yang turut meningkatkan survival adalah jumlah CD4 pada awal pengobatan
>100 sel/mm³(p=0,01, HR=4,39, 95% CI(1,8-10,5). Walaupun kurang bermakna
secara statistik, perlu mempertimbangkan pemberian ARV pada stadium klinis awal
sebagai faktor yang turut meningkatkan survival ODHA mengingat stadium klinis
dapat diperiksa di semua layanan kesehatan. (p=0,07, HR=2.3, 95%CI 0,9-5.6).
Faktor pendidikan secara statistik juga bermakna membedakan survival pasien.
Dalam penelitian ini stadium klinis dibuktikan sebagai confounding.
Hal yang disarankan adalah meningkatkan cakupan penemuan dan tatalaksana
dini kasus HIV/AIDS dengan melakukan pelacakan pada semua kasus mangkir,
meningkatkan kepatuhan memakan ARV dan mengupayakan pendampingan kasus
secara maksimal.
ABSTRACT
Background:
ARV for HIV or AIDS patients is a hope to reduce the mortality, morbidity
and to prevent the transmissions. To achieve the MDG the minister of health need to
cover 90% AIDS people with ARV adherently. RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
have giving the therapy for AIDS patients since 2004, but have never studied the
survival analysis and another factors that contribute to yet.
Method:
This study is a cohort retrospective design, with 319 samples. Take place in
Arifin Achmad Hospital Of Pekanbaru, Riau Province in May-June 2013. The
resource are medical record of HIV/AIDS patiens in VCT clinic. Was analyse by
Kaplan-Meier survival analysis and then for further use multivariate analyses.
Result:
The study show that the survival of patiens who take ARV adherently is
higher than the other one. The patients who no used ARV adherently will have
mortality rate 42,5 times than the patients that used ARV addherently. (p=0,01,
95%CI: 13-138). The deaths amount only 5,8% on the adherently ARV patients, but
at another side, the deaths amount increase by 28%. Another factor that contribute to
increase the survival are CD4 amounts at the beginning of therapy that >100
sel/mm³(p=0,01, HR=4,39, 95% CI(1,8-10,5). We need to consider the clinical of
AIDS stadium as one of factor that contribute to increase the survival too if use ARV
at the beginner of clinical stadium. (p=0,07, HR=2.3, 95%CI 0,9-5.6). The educations
level has the value statistically to distinguish the survival. In this study, the clinical
stadium is a confounder.
We sugest to improve the early detection and prompt treatment by tracking
the lost of follow up patients, increase the adherent of ARV and by mentoring
or”buddy” programe for all HIV cases."
2013
T35661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reuwpassa, Jauhari Oka
"Jumlah kasus HIV yang semakin meningkat setiap tahunnya. Status gizi pada penderita HIV/AIDS merupakan salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh berbagai negara berkembang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pasien HIV/AIDS di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2012.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cros seksional, sampel dihitung menggunakan rumus satu proporsi sehingga diperoleh jumlah sampel 96 responden. Sampel dipilih dengan metode acak sederhana (simple random sampling) dan data diperoleh dari catatan rekam medis pasien.
Dari 91 pasien, proporsi pasien yang berstatus gizi baik atau lebih 74% dan gizi kurang 26%. Prevalensi Rasio (PR) untuk variabel jumlah T-CD4 11,88 (CI85% 1.683-83,911), status hemoglobin (PR=2,34, Ci95% 0.879-6,224), umur (PR=2,46 CI95% 1.076-5,622), jenis kelamin (PR=0,741, CI95% 0.369-1,486), pendidikan (PR=7,33, CI95%1,050-51,223), pekerjaan (PR=1,283, 0,683-2,580), status pernikahan (PR=0,80, CI95% 0,391-1,638), status ART (PR=0,517, CI95% 0,264-1,012), lama ART (PR=2,98, CI95% 1,219-7,286), Infeksi oportunistik (PR=1,60, CI95% 0,667-3.851), pengguna narkoba (PR=1,431, CI95% 0,711-2,881) dan konsumsi alkohol (PR=1,648, CI95% 0,830-3,274).
Pasien yang memiliki status gizi baik atau lebih, lebih banyak dibandingkan pasien yang memiliki status gizi kurang. Penelitian lebih lanjut tentang status gizi masih perlu dilakukan.

The numbers of HIV cases are increasing every year. Poor nutritional status in patients with HIV/AIDS is one of the issues.
The purpose of this study to know the description of the nutritional status of patients with HIV/AIDS in RSUPN Cipto Mangunkusumo 2012.
Design study in this research is cross sectional. The numbers of respondents were 96 samples. The sample was selected by simple random method (simple random sampling) and data collected from medical records of patient.
Of 91 patients, the proportion of patients who were normal or overweight BMI 74% and 26% were underweight. Prevalensi Rasio (PR) for each variable T-CD4 (PR=11,88, CI85% 1.683-83,911), hemoglobin status (PR=2,34, Ci95% 0.879-6,224), age (PR=2,46 CI95% 1.076-5,622), sex (PR=0,741, CI95% 0.369-1,486), education status (PR=7,33, CI95%1,050-51,223), work status (PR=1,283, 0,683-2,580), marital status (PR=0,80, CI95% 0,391-1,638), ART status (PR=0,517, CI95% 0,264-1,012), ART duration (PR=2,98, CI95% 1,219-7,286), opportunistic infection (PR=1,60, CI95% 0,667-3.851), illicit drugs (PR=1,431, CI95% 0,711-2,881) and alcohol consumption (PR=1,648, CI95% 0,830-3,274).
The amount of patients with good nutritional status more than patients with less nutritional status and patients with more nutrition. More research on the nutritional status still needs to be done.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>