Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43322 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fatimah Nur Fajriyyah
"Perjanjian Pernikahan adalah perjanjian tentang properti suami dan istri selama pernikahan, yang menyimpang dari prinsip atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Tesis ini akan membahas bagaimana mengatur pelanggaran perjanjian pernikahan yang dibuat oleh salah satu pihak dan apakah penilaian hakim terhadap keputusan nomor 762 / PDT.G / 2016 / PN.Jkt.Brt juncto nomor 578 / PDT / 2017 / PT. DKI benar dan sesuai dengan unsur-unsur Undang-Undang Melanggar Hukum untuk pelanggaran Perjanjian Pernikahan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan sumber data diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Hasil penelitian yang diperoleh dari pengaturan pelanggaran perjanjian pernikahan yang dibuat oleh salah satu pihak tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata, dan UU Perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, disebutkan dalam Pasal 51 bahwa pelanggaran perjanjian pernikahan dapat menjadi alasan pembatalan pernikahan dan sebagai alasan perceraian. Jika diselidiki lebih lanjut, perjanjian pernikahan pada dasarnya sama dengan perjanjian pada umumnya. Jadi, jika ada pelanggaran dalam perjanjian, itu bisa merujuk ke Buku III KUHPerdata tentang Perjanjian. Selain itu, putusan hakim dalam surat keputusan nomor 762 / PDT.G / 2016 / PN.Jkt.Brt juncto nomor 578 / PDT / 2017 / PT.DKI sesuai dan sesuai dengan unsur-unsur tindakan ilegal atas pelanggaran perjanjian pernikahan. Penulis menyarankan bahwa pemerintah harus mengatur pelanggaran perjanjian pernikahan secara lebih rinci untuk meminimalkan pelanggaran perjanjian pernikahan.

A marriage agreement is an agreement about husband and wife property during a marriage, which deviates from the principle or pattern stipulated by the law. This thesis will discuss how to arrange a violation of the marriage agreement made by one of the parties and whether the judge's assessment of the decision number 762 / PDT.G / 2016 / PN.Jkt.Brt juncto number 578 / PDT / 2017 / PT. DKI is correct and in accordance with the elements of the Law Violating the Law for violations of the Marriage Agreement. The research method used is normative juridical, with data sources obtained through literature study and interviews. This type of research is descriptive research. Research results obtained from the regulation of violations of marriage agreements made by one of the parties are not specifically regulated in the Civil Code, and Marriage Law. In the Compilation of Islamic Law, it is stated in Article 51 that violation of the marriage agreement can be a reason for the cancellation of the marriage and as a reason for divorce. If investigated further, the marriage agreement is basically the same as the agreement in general. So, if there is a violation in the agreement, it can refer to Book III of the Civil Code on the Agreement. In addition, the judge's decision in the decision letter number 762 / PDT.G / 2016 / PN.Jkt.Brt juncto number 578 / PDT / 2017 / PT.DKI is appropriate and in accordance with the elements of illegal actions for violations of the marriage agreement. The author suggests that the government should regulate violations of marriage agreements in more detail to minimize violations of marriage agreements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Gita Novelyani
"Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Akta dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta Otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tidak dihadapan pejabat yang berwenang dan bentuk serta isinya sesuai dengan kehendak para pihak yang membuatnya. Tulisan ini meneliti Putusan Pengadilan Nomor 45/Pdt.G/2020/PN TPG. Permasalahan dalam tulisan ini yaitu tanggungjawab Notaris yang melakukan Waarmerking terhadap Surat Pernyataan yang bertujuan untuk melegalkan Warga Negara Asing memiliki tanah objek sengketa di Indonesia, yang mana itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, yang mana perbuatan Notaris tersebut disebut sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Dalam hal ini Notaris telah melakukan kesalahan dan patut dikenakan sanksi. Maka diharapkan Notaris harus lebih berhati-hati dan seksama dalam melakukan tugas dan jabatannya, dalam hal membuat isi dari Surat Pernyataan yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum.

Notary is a public official authorized to make an authentic deed. Deeds can be divided into 2 (two) types, namely authentic deeds and private deeds. An authentic deed is a deed made by an authorized official in a form that has been determined by law and has perfect evidentiary power, while a private deed is a deed made not before an authorized official and the form and contents are in accordance with the wishes of the parties involved. make it. This paper examines Court Decision Number 45/Pdt.G/2020/PN TPG. The problem in this paper is the responsibility of the Notary who carries out Waarmerking on the Statement Letter which aims to legalize Foreign Citizens owning disputed land in Indonesia, which is contrary to Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations, which acts The notary is referred to as an unlawful act. In this case the Notary has made a mistake and deserves to be penalized. It is hoped that the Notary must be more careful and thorough in carrying out his duties and positions, in terms of making the contents ofthe Statement Letter containing elements of unlawful acts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Nur Fajriyyah
"Penelitian ini membahas mengenai akibat hukum terhadap pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dalam Putusah Mahkamah Agung nomor 3034 K/Pdt/2018. PPAT merupakan pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum hendaknya bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak. PPAT hendaknya selalu mengikuti prosedur pembuatan akta sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kriteria perbuatan melawan hukum oleh PPAT dan akibat hukum terhadap pembuatan akta jual beli yang dibuat secara melawan hukum. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3034 K/Pdt/2018 jo Putusan Pengadilan Negeri Praya Nomor 17/Pdt.G/2017/Pn.Pya. Di dalam kasus ini PPAT disebut melakukan perbuatan melawan hukum dikarenakan membuat Akta Jual Beli secara melawan hukum dengan memuat nilai transaksi dan luas tanah yang dijadikan objek jual beli berbeda dengan yang telah disepakati sebelumnya oleh para pihak. Hal ini bermula saat PPAT tidak hadir di kantor dan menyuruh Penggugat dan Turut Tergugat selaku penjual untuk menandatangani 2 lembar blanko akta jual beli kosong dan 1 lembar kwitansi kosong melalui stafnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan bentuk hasil penelitian berupa data yang deskriptif didasarkan pada metode pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian adalah PPAT terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena telah memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum dan akibat hukum dari pembuatan akta jual yang dibuat oleh PPAT menjadi batal demi hukum.

This study discusses the legal consequences of making a sale and purchases deed by PPAT which contains elements of unlawful acts in the Supreme Court Decision number 3034 K/Pdt/2018. PPAT is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or Ownership Rights on Flat Units. PPAT in carrying out their duties as public officials should work with a full sense of responsibility, independence, honesty, and impartiality. PPAT should always follow the procedure for making the deed in accordance with the applicable laws and regulations. The main problem in this study is the criteria for unlawful acts by PPAT and the legal consequences of making a sale and purchase deed made against the law. The problems discussed in this study are contained in the Supreme Court Decision Number 3034 K/Pdt/2018 in conjunction with the Praya District Court Decision Number 17/Pdt.G/2017/Pn.Pya. In this case, the PPAT is said to have committed an unlawful act because it made a Sale and Purchase Deed against the law by containing the transaction value and the area of land used as the object of sale and purchase which was different from what was previously agreed upon by the parties. This started when PPAT was not present at the office and ordered the Plaintiff and Co-Defendant as the seller to sign two (2) blank deeds of sale and 1 blank receipt through his staff. To answer these problems, a normative juridical research method is used with the form of research results in the form of descriptive data based on a qualitative approach method. The result of the research is that PPAT is proven to have committed an unlawful act because it has met the criteria for an unlawful act and the legal consequences of making a deed of sale made by PPAT are null and void."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kei Hapetua
"Akta perjanjian perkawinan wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun pada praktiknya terdapat persoalan dimana para pihak yang terdiri dari 2 (dua) pihak, salah satu penghadapnya, yaitu WNA tidak mengerti bahasa Indonesia. Dalam hal ini Notaris digugat oleh penghadap WNA dengan surat gugatannya yang diputus oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. yang menyatakan bahwa akta perjanjian perkawinan yang dibuat Notaris tersebut batal dengan segala akibat hukumnya. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai pelanggaran oleh Notaris terhadap akta perjanjian perkawinan yang merugikan warga negara asing dan alasan pembatalan akta perjanjian perkawinan para pihak dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian doctrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris adalah Notaris tidak menerjemahkan atau menjelaskan isi akta dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan tidak juga memanggil seorang penerjemah resmi untuk menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut, sehingga Notaris melanggar kewajiban jabatannya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan akta perjanjian perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi kekuatan hukum pembuktian lahiriah dan materiil. Selain memperhatikan pembuatan akta perjanjian perkawinan dalam UUJN, perlu melihat undang-undang terkait dalam pembuatannya, dalam hal ini Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenai harta bersama dan kepemilikan hak atas suatu tanah, sehingga tidak ada kontradiksi pada substansi pasal-pasalnya yang dapat merugikan WNA. Dengan dibatalkannya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka keadaan menjadi seperti semula dan harta tersebut menjadi harta campur bersama antara WNA dan WNI, sehingga para pihak wajib melepaskan hak milik tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan hak tersebut hapus karena hukum dengan tanah jatuh kepada negara.  Berdasarkan hal tersebut, Notaris harus memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta dan perbuatan hukum yang akan dilakukan sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, sehingga para penghadap dapat teredukasi dengan baik dengan segala akibat-akibat hukum yang akan terjadi di kemudian hari.

The marriage agreement deed must be made in the Indonesian language. However, in practice, there are problems where the parties consist of two  parties and one of the opponents, namely the foreigner, does not understand Indonesian. In this case, the Notary was sued by the foreign plaintiff with his lawsuit, which was decided by the Panel of Judges at the Denpasar District Court in Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. stating that the marriage agreement deed made by the notary is null and void with all the legal consequences. The problems in this study regarding violations by a notary of the marriage agreement deed that harm foreign citizens and the reasons for canceling the marriage agreement deed of the parties are related to Denpasar District Court Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. This study uses a form of doctrinal research. The results of the study show that the violation committed by the Notary is that the Notary does not translate or explain the contents of the deed in a language understood by the appearer and does not also call an official translator to translate or explain the contents of the deed, so that the Notary violates his position obligations in Article 16 paragraph (1) letter a of the Notary Office Law (UUJN) and the deed of the marriage agreement becomes null and void because it does not fulfill the legal force of proof outwardly and material. In addition to paying attention to the making of the marriage agreement deed in the UUJN, it is necessary to look at the relevant laws in making it, in this case Article 35 of the Marriage Law (UUP) and Article 21 of the Basic Agrarian Law (UUPA) regarding joint property and ownership of rights to a land, so that there are no contradictions in the substance of the articles that could harm foreigners. With the cancellation of the marriage agreement deed made by the parties, the situation will return to normal, and the property will become joint property between the foreigner and the Indonesian citizen, so that the parties are obliged to relinquish these ownership rights within a period of one  year, and these rights are nullified because the law with land falls to the state. Based on this, the Notary must provide legal counseling related to the making of the deed and legal actions that will be carried out as per Article 15 paragraph (2) letter e UUJN, so that appearers can be properly educated with all the legal consequences that will occur in the future."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diza Faraskhansa
"Skripsi ini membahas pembatalan perkawinan poligami yang dilakukan karena ketiadaan izin istri pertama yang dilakukan saat suami yang bersangkutan telah meninggal dunia. Perkawinan poligami boleh dilakukan apabila memenuhi persyaratan yang berlaku sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 58 KHI. Penelitian ini merupakan penilitian dengan metode yuridis normatif dan tipologi yang bersifat deskriptif analitis.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan hukum poligami dengan memalsukan identitas istri, bagaimana pengaturan pembatalan perkawinan yang telah putus karena kematian dan bagaimana pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan pada putusan Pengadilan Agama Pandeglang Nomor 241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg.
Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perkawinan poligami yang dilakukan dengan memalsukan identitas istri adalah bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI sehingga dapat dilakukan pembatalan terhadapnya. Pembatalan perkawinan yang dilakukan setelah suami meninggal dunia ialah sama saja dengan yang masih hidup namun dalam praktiknya harus menyertakan beberapa syarat tertentu dan pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Agama Pandeglang Nomor 241/Pdt.G/ 2012/PA.Pdlg sudah tepat.

The focus of this study is to examine the annulment of marriage caused by the absence of permission from the first and legal wife to do a polygamous marriage which the annulment itself happened by the time the husband already passed away. Polygamy in Indonesia is legal to be done if the marriage fulfills the requirements which are stated in Article 5 of Marriage Law and Article 58 Compilation of Islamic Law. In conducting this research, the writer uses juridicial-normative library research methods with analytical descriptive typology.
The problems in this thesis are how is the legal status of a polygamous marriage which done by falsifying the legal wife's identity, the regulation of polygamous marriage annulment done by the time the husband has passed away and whether the judge's sentence of Religious Court of Pandeglang No.241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. is already correct and appropriate.
The conclusion of the problems are polygamous marriage which done by falsifying the legal wife's identity is prohibited and againsts Marriage Law and Compilation of Islamic Law, so that polygamous marriage can be annulled. The annulment of marriage which done after the husband has passed away is basically the same as the same as the normal one, but there are some requirements to be fulfilled and the judge?s sentence of Religious Court of Pandeglang No.241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. is already correct and appropriate.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62768
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisya Nibiya
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan kewenangan lainnya. Notaris dapat merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah yang juga berwenang membuat akta autentik, salah satunya adalah akta jual beli. Apabila seorang yang terikat dalam perkawinan melakukan jual beli atas suatu objek, maka harus diperhatikan terlebih dahulu apakah objek tersebut merupakan harta bersama atau harta bawaan dan dalam perkawinan tersebut terdapat perjanjian kawin. Oleh sebab itu, jual beli yang obyeknya merupakan harta bersama tidak dapat dilakukan antara suami dan isteri. Dalam penelitian ini telah ditemukan pelanggaran yang dilakukan Notaris selaku PPAT dalam membuat akta jual beli. Sehingga permasalahan yang dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimana kedudukan hukum akta jual beli antara suami dan ister yang terikat oleh perkawinan tanpa perjanjian kawin yang telah dibuat Notaris/PPAT serta bagaimana akibat hukum pembuatan akta jual beli terhadap pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah tipe penelitian yuridis normatif dengan tipe deskriptif analitis. Simpulan dari penelitian dalam tesis ini adalah Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya harus tetap bekerja dalam kerangka hukum yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, apabila terjadi pelanggaran seperti membuat akta yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka dapat mengakibatkan akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan dan akta menjadi batal demi hukum. Dan akibat hukum terhadap akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT dalam pembuatan akta jual beli yang dilakukan antara suami dan isteri tanpa perjanjian perkawinan menyebabkan akta jual beli tersebut menjadi tidak sah dan batal demi hukum.

Notary is a public official authorized to make an authentic deed and other authorities. Notary can also serve as a Land Act Making Officer (PPAT) who is also authorized to make authentic acts, one of which is the sale and purchase act. If a person who is bound in a marriage makes a sale and purchase of an object, then it must first be considered whether the object is joint property or inheritance and there is a marriage agreement. In this study, violations have been found by the Notary as PPAT in making sale and purchase deeds. The problem in this thesis are how is the legal position of the sale and purchase deed between husband and wife who are bound by a marriage without a marriage agreement that has been made by a Notary/PPAT and what is the legal consequences of making a sale and purchase deed for third parties. In conclusion, the Notary / PPAT in carrying out his position must continue to work within the legal framework as stipulated in Law Number 40 of 2004 concerning the Position of Notary Public, if there is a violation such as making deeds that are not in accordance with the law and regulations of the law it may result in the deed become null and void. The legal consequence of the deed made by the Notary / PPAT in making the sale and purchase deed causes the sale and purchase deed to be invalid and null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tampubolon, Oloando Kristi
"Suatu akta perdamaian dibuat karena para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan jalan damai dalam hal ini seperti pembagian harta bersama. Kekuatan akta perdamaian sama dengan Putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Menjadi permasalahan jika ternyata salah satu pihak mengabaikan perdamaian tersebut dan mengugat ke Pengadilan. Dalam hal ini seperti masalah pembagian Harta Bersama berdasarkan Akta Perjanjian Perdamaian No. 344 dan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 666/Pdt.G/2016/PN.Bks Jo. Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 460/Pdt.G/2013/PN.Bks.  Permasalahannya adalah terdapat dua produk hukum tersebut sama-sama mengatur mengenai pembagian harta bersama sehingga terjadi dualisme pembagian. Adapun bentuk hasil penelitian adalah deskriptif-analitis, dimana dilakukan analisa untuk dapat memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena yang terjadi berdasarkan data-data dan fakta-fakta yang ada, kemudian dari fenomena tersebut didapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah. Mengenai keberlakuan pembagian harta bersama seharusnya pembagian yang diberlakukan adalah Akta Perjanjian Perdamaian No. 344, akan tetapi terdapat asas hukum yang menyatakan lex fosterior derograt legi a priori yang artinya hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama, sehingga yang terbaru yang berlaku, yakni Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 666/Pdt.G/2016/PN.Bks Jo. Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 460/Pdt.G/2013/PN.Bks. Bila pada akhirnya pembagian yang baru diterapkan, sebaiknya segala tindakan yang berkaitan dengan Pembagian Harta Bersama yang dulu dilakukan tetap harus dipertimbangkan jika dilakukan pembagian yang baru.

ABSTRACT
A peace deed was made because the parties agreed to resolve the existing problems peacefully in this matter such as the distribution of shared assets. The power of a peace certificate is the same as a court decision that has permanent legal force. It becomes a problem if it turns out that one of the parties ignored the peace and sued the Court. In this case such as the problem of the distribution of Joint Assets based on the Deed of Peace Agreement No. 344 and Decision of the Bekasi District Court No. 666/Pdt.G/2016/PN. Bks Jo. Decision of Bekasi District Court No. 460/Pdt.G/2013/PN.Bks. The problem is that there are two legal products that together regulate the distribution of shared assets so that there is a dualism of division. The form of the results of the study is descriptive-analytical, where analysis is carried out to be able to provide an overview of the phenomena that occur based on the data and facts that exist, then from these phenomena obtained the meaning and implications of a problem. Regarding the implementation of the sharing of shared assets, the distribution that should be applied is the Deed of Peace Agreement No. 344, but there is a legal principle that states lex fosterior derograt legi apriori which means that the new law defeats the old law, so the latest one applies, namely Bekasi District Court Decision No. 666/Pdt.G/2016/PN.Bks Jo. Decision of Bekasi District Court No. 460/Pdt.G/2013/PN.Bks. If in the end the new division is applied, it is better that all actions relating to the Sharing of Joint Assets that were previously carried out must still be considered if a new division is carried out.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52116
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ghazalah Ibrahim
"Penelitian ini membahas mengenai tidak dilakukannya pelunasan hutang terhadap Hak atas Tanah yang dijadikan jaminan sebagai pelunasan hutang yang dimulai dengan Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan dibebani dengan Hak Tanggungan, namun AW selaku Debitur tidak diberikan salinan Perjanjian Kredit Modal Kerja tersebut dari Bank B Kantor cabang Kalianda sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 35/POJK.05/2018 tahun 2018 tentang Peyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor 5/Pdt.G/2019/PN Kla. Yang menjadi pokok permasalahan adalah akibat hukum dari Bank B kantor cabang Kalianda yang tidak menyerahkan salinan perjanjian pembiayaan kepada Debitur sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan dampak terhadap Hak Tanggungan yang bersifat accessoir yang merupakan ikutan dari perjanjian pokok Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan hasil penelitian bersifat preskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa Bank B Kantor cabang kalianda wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian AW yang disebabkan tidak diberikannya Salinan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari Bank B yang merupakan akibat dari terdapatnya Perbuatan Melawan Hukum dan Hak Tanggungan tetap berlaku, namun akibat dari melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Bank B Kantor cabang kalianda dapat dikenakan sanksi Administratif.

This research discusses the non-repayment of debts on Land Rights which are used as collateral as repayment of debts starting with a Working Capital Credit Agreement with Mortgage Rights, but AW as a Debtor is not given a copy of the Working Capital Credit Agreement from Bank B, the Kalianda branch office as which is regulated in Article 35 of the Financial Services Authority Regulation number 35 / POJK.05 / 2018 of 2018 concerning Business Operation of Financing Companies based on the Decision of the Kalianda District Court Number 5 / Pdt.G / 2019 / PN Kla. The main problem is the legal consequences of Bank B, the Kalianda branch office, not submitting a copy of the financing agreement to the debtor as stipulated in the Financial Services Authority Regulation and the impact on Mortgage which is accessoir which is a part of the main agreement. To answer this problem, legal research is conducted. with a normative juridical approach, using secondary data obtained by library research and analytical prescriptive research results. The results of the analysis show that Bank B Kalianda branch office is obliged to be responsible for the debtor's losses, AW caused by not providing a copy of the Working Capital Credit Agreement from Bank B and the Mortgage is still valid, but as a result of violating the provisions of the Financial Services Authority Regulation, Bank B Branch offices Kalianda may be subject to administrative sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ghazalah Ibrahim
"Penelitian ini membahas mengenai tidak dilakukannya pelunasan hutang
terhadap Hak atas Tanah yang dijadikan jaminan sebagai pelunasan hutang yang
dimulai dengan Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan dibebani dengan Hak
Tanggungan, namun AW selaku Debitur tidak diberikan salinan Perjanjian Kredit
Modal Kerja tersebut dari Bank B Kantor cabang Kalianda sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 35/POJK.05/2018 tahun 2018
tentang Peyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan berdasarkan Putusan Pengadilan
Negeri Kalianda Nomor 5/Pdt.G/2019/PN Kla. Yang menjadi pokok permasalahan
adalah akibat hukum dari Bank B kantor cabang Kalianda yang tidak menyerahkan
salinan perjanjian pembiayaan kepada Debitur sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan dan dampak terhadap Hak Tanggungan yang bersifat accessoir
yang merupakan ikutan dari perjanjian pokok Untuk menjawab permasalahan tersebut
maka dilakukan penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, mempergunakan
data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan hasil penelitian bersifat
preskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa Bank B Kantor cabang kalianda
wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian AW yang disebabkan tidak diberikannya
Salinan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari Bank B yang merupakan akibat dari
terdapatnya Perbuatan Melawan Hukum dan Hak Tanggungan tetap berlaku, namun
akibat dari melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Bank B Kantor
cabang kalianda dapat dikenakan sanksi Administratif.

This research discusses the non-repayment of debts on Land Rights which are
used as collateral as repayment of debts starting with a Working Capital Credit
Agreement with Mortgage Rights, but AW as a Debtor is not given a copy of the
Working Capital Credit Agreement from Bank B, the Kalianda branch office as which is
regulated in Article 35 of the Financial Services Authority Regulation number 35 /
POJK.05 / 2018 of 2018 concerning Business Operation of Financing Companies based
on the Decision of the Kalianda District Court Number 5 / Pdt.G / 2019 / PN Kla. The
main problem is the legal consequences of Bank B, the Kalianda branch office, not
submitting a copy of the financing agreement to the debtor as stipulated in the
Financial Services Authority Regulation and the impact on Mortgage which is accessoir
which is a part of the main agreement. To answer this problem, legal research is
conducted. with a normative juridical approach, using secondary data obtained by
library research and analytical prescriptive research results. The results of the analysis
show that Bank B Kalianda branch office is obliged to be responsible for the debtor's
losses, AW caused by not providing a copy of the Working Capital Credit Agreement
from Bank B and the Mortgage is still valid, but as a result of violating the provisions of
the Financial Services Authority Regulation, Bank B Branch offices Kalianda may be
subject to administrative sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanakarita Hutami
"Skripsi ini membahas tentang pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat ketika perkawinan berlangsung pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengatur kembali perjanjian perkawinan di Indonesia yang memberikan perluasan terhadap jangka waktu pembuatan perjanjian perkawinan yang sebelumnya tidak dapat dibuat setelah perkawinan dilangsungkan menjadi dapat dibuat setelah perkawinan dilangsungkan. Namun, dalam prakteknya masih banyak pihak-pihak yang tidak mengetahui mengenai peraturan baru tersebut yang menyebabkan dilakukannya tindakan hukum yang berlebihan sehingga tujuan diputuskannya putusan tersebut tidak tercapai. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipologi deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dapat mempermudah pihak-pihak yang sebelumnya belum membuat perjanjian perkawinan sebelum perkawinan berlangsung menjadi dapat dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut sehingga para pihak mendapatkan kembali hak-haknya yang sebelumnya hilang karena tidak dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Oleh karena itu sangat dibutuhkannya penyebaran informasi mengenai pembaruan peraturan perjanjian perkawinan di Indonesia.

This thesis discusses the entering into a marriage agreement when marriage takes place after the Constitutional Court Decree No. 69 PUU XIII 2015 which re regulates marriage agreements in Indonesia providing extensions to the period to enter into a marriage agreement, in which before the issuing of this Decree, a marriage agreement was not able to be entered into after marriage but currently a marriage agreement is able to be entered into after marriage. However, in practice there are still many parties who are not aware of the new regulation causing excessive legal action to be made resulting in the purpose of the Decree to not be reached. This research is a qualitative research with descriptive typology. The result of this research is that the Constitutional Court Decree shall be able to facilitate the parties that have not entered into a marriage agreement before marriage therefore the marriage agreement can be made in order for the parties to obtain their previously lost rights as a result for not entering into a marriage agreement beforehand. Therefore, it is highly necessary to spread information regarding the renewal of the marriage agreement regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>