Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 68080 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia  dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.

Duress on Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary. The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia  dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.

Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary.
The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Matheus Nathanael
"

Munculnya berbagai perdebatan mengenai Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterbatasan rumusan undang-undang yang begitu singkat. Ketentuan mengenai Daya Paksa (Overmacht) pada Pasal 48 KUHP menyebutkan: barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai persyaratan maupun unsur-unsur dari Daya Paksa (Overmacht). Dengan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam menentukan keadaan Daya Paksa (Overmacht). Kedua, mengenai perbandingan konsep Daya Paksa (Overmacht) di negara-negara civil law system (Indonesia & Belanda) dan negara-negara common law system (Britania Raya & Australia). Ketiga, mengenai bagaimana hakim mempertimbangkan Daya Paksa (Overmacht) pada putusan pengadilan pidana di Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia masih sangat beragam. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Daya Paksa (Overmacht) seyogyanya mempertimbangkan dan menguji persyaratan/asas-asas penguji atau elemen-elemen Daya Paksa (Overmacht), yaitu: asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan asas culpa in causa. Selain itu, peran aktif hakim untuk menggunakan sumber hukum lain di samping undang-undang, seperti yurisprudensi dan doktrin juga sangat diperlukan dalam menghasilkan putusan Daya Paksa (Overmacht) yang tepat dan adil.


The emergence of various debates concerning the defense of duress (Overmacht) in Indonesia cannot be separated from the fact that there are not many provisions regarding it. Article 48 of the Indonesian Criminal Code states: anyone who commits an act under duress is not punishable. The law does not provide further elucidation regarding the requirements or elements of duress (Overmacht). By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, on the matters that the judge must consider in determining the state of duress (Overmacht). Second, on the comparison between concepts of duress (Overmacht) in civil law jurisdictions (Indonesia & Netherlands) and common law jurisdictions (United Kingdom & Australia). Third, on how judges in Indonesia adjudicate the defense of duress (Overmacht) in criminal court decisions. This thesis observes that there are still divergent understanding of duress (Overmacht) in Indonesia. Consequently, judges in deciding cases of duress (Overmacht) need to consider and examine the elements of duress (Overmacht), which are: the principle of proportionality, the principle of subsidiarity, and the principle of culpa in causa. Furthermore, the use of other legal sources, such as landmark cases and doctrines, is essential in order to produce a judgment on duress (Overmacht) which is just and proper.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kim Min Soo
"Lemahnya posisi tawar lessee seringkali dimanfaatkan oleh
lessor yang berpotensi merugikan pihak lessee. Lessor
selalu memanfaatkan keunggulan ekonomis dalam melakukan
perjanjian dengan lessee.Perjanjian leasing seringkali
mengandung klausula standar atau klausula eksonerasi yang
merugikan pihak lessee. Pihak lessee tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menerima perjanjian yang dibuat pihak
lessor (take it or leave it). Permasalahan skripsi ini
membahas mengenai kekuatan hukum suatu perjanjian yang
lahir dari adanya penyalahgunaan keadaan (undue influence)
ditinjau dari Hukum Perjanjian Indonesia. Kedua pembahasan
mengenai upaya hukum apa yang dapat ditempuh pihak lesse
yang kepentingannya dirugikan oleh lessor. Bahwa kebebasan
berkontrak sebagaimana diatur dalam KUH-Perdata
keberlakuannya tidaklah absolut. Salah satu yang
membatasinya adalah berupa syarat objektif yaitu kausa
yang halal. Bahwa berdasarkan kausa yang halal perjanjian
yang dibuat tidak boleh memanfaatkan keunggulan ekonmis
berupa penyalahgunaan keadaan yang merugikan pihak lessee.
Dengan demikian perjanjian yang menyalahgunakan keadaan
(penyalahgunaan keunggulan ekonomis) berakibat batal demi
hukum, karena selain tidak memenuhi syarat objektif sahnya
perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1320 (4)
KUH-Perdata juga mengandung kesepakatan semu. Pihak lesse
yang merasa dirugikan secara materil dapat menempuh upaya
hukum berupa pembatalan melalui peradilan perdata dengan
gugatan perbuatan melawan hukum (vide Pasal 1365 KUH
Perdata). Hakim dapat membatalkan sebagian perjanjian
klausula yang dipandang merugikan (tidak adil) atau bahkan
membatalkan seluruh isi perjanjian (void ab initio)."
Depok: [Universitas Indonesia;;, ], 2005
S21139
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dwitazara
"Penelitian ini membahas mengenai rangkaian perbuatan seperti apa yang dapat dikatakan dengan Penipuan dengan membahas definisi Penipuan menurut para ahli dan pertimbangan hakim. Penipuan dalam perjanjian sering terjadi dan menjadi permasalahan hukum antara dua pihak yang saling mengikatkan diri namun adanya fakta yang telah disembunyikan sehingga mempengaruhi keputusan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian. Tujuan khusus dari penulisan ini untuk mengklarifikasi rangkaian perbuatan yang dapat dikatakan sebagai penipuan berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta menganalisa putusan putusan pengadilan mengenai perbuatan perbuatan salah satu pihak yang didalilkan melakukan penipuan dan bagaimana hakim mempertimbangkan suatu penipuan perjanjian tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dan tipe penelitian yang dilakukan dengan menggunakan deskriptif analitis. Kesimpulan dari penulisan ini menjabarkan bahwa penipuan memiliki definisi yang beragam karena dibahas dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Penipuan menurut Common Law, dan penipuan menurut para ahli. Rangkaian perbuatan penipuan adalah perbuatan yang dapat menggerakkan orang lain/ membujuk orang lain dengan alat penggerak seperti akal/ tipu muslihat, karangan perkataan bohong, nama palsu dan keadaan palsu. Serta adanya macam macam pertimbangan hakim mengenai pembuktian dan definisi dari penipuan. Penerapn definisi penipuan dalam hubungan kontraktual dapat diterapkan dalam rancangan Kitab Undang Undang Hukum perdata dan pengadilan dapat memiliki konsep dan pemahaman yang sama mengenai definisi penipuan dan rangkaian perbuatan penipuan.

This thesis discussed about a series of fraudulent acts that define as a misrepresentation by defining definition according to the experts and judges considerations. Misrepresentation in agreements often occurs and becomes a legal problem between two parties that mutually binding but there are facts that has been hidden which affect the decision to binding themselves in agreement. The specific purpose of this thesis is to clarify a series of fraudulent acts that can be regarded as a misrepresentation according to the Civil Code and Criminal Law and analysed court decisions which discussed about one of the parties that perform a series of fraudulent acts and how the judges considered a fraud agreement. This research was conducted using the form of normative juridical research and the type of research carried out using analytical descriptive. The conclusion of this thesis was, misrepresentation has a many definitions because it is discussed in the Civil Code, Criminal Code, Fraud based on Common Law, and Fraud based on experts. A series of fraudulent acts are actions that can persuade others with false statement of fact, false representations, false names and false conditions. Moreover, there were a various kinds of judges' considerations regarding proof and definition of misrepresentation. The use of misrepresentation definition in contractual relationships can be applied in the draft Civil Code. Therefore, the court can have the same concept and understanding of the misrepresentation definition and a series of fraudulent acts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Tatanusa, 2005
346.048 Tim h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Khansa Rahmadita
"Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa wanprestasinya salah satu pihak tidak otomatis mengakhiri perjanjian, melainkan pengakhiran perjanjian harus dimintakan kepada hakim. Namun, pada praktiknya para pihak lazim mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata sehingga dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian bisa diakhiri secara sepihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini meliputi pandangan ahli hukum terhadap pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan implementasi klausul pengesampingan 1266 KUH Perdata berdasarkan putusan-putusan pengadilan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Artikel ini menjawab bahwa terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli hukum mengenai dapat atau tidaknya para pihak mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata yang dilihat dari sifat kaidah hukumnya, kasus demi kasus, dan para pihak yang membuat perjanjian. Berdasarkan putusan-putusan pengadilan yang Penulis analisis, sebagian besar hakim menerima implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga kesepakatan para pihak mengenai pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata di dalam perjanjian harus ditaati oleh para pihak yang bersangkutan. Hakim yang menolak implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata berpendapat bahwa pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata melanggar ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata itu sendiri

Article 1266 of the Indonesian Civil Code stipulates that the event of default does not automatically terminate the contract, but termination of a contract shall be requested to the Judge. However, in practice, the parties usually set aside Article 1266 of the Indonesian Civil Code so one party entitles to terminate the contract unilaterally. The main issues discussed in this article are the opinion of legal experts about the waiver of Article 1266 of the Indonesian Civil Code and the implementation of the waiver clause of Article 1266 of the Indonesian Civil Code based on court decisions using a normative juridical research method. This article explains that there are different opinions from legal experts regarding whether or not the parties can waive Article 1266 of the Indonesian Civil Code, judging from the nature of the legal rule, the cases, and the parties of the contract. Based on the court decisions that have been analyzed, most of the judges accepted the implementation of such waiver clause using Article 1338 paragraph (1) of the Indonesian Civil Code as the legal basis. Judges who do not accept the implementation of such waiver clause considered it a violation of Article 1266 of the Indonesian Civil Code itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avisena Ilma Rachmasari
"ABSTRAK
Sejak Reformasi 1998 hingga tahun 2017, jumlah kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia meningkattajam dari 9 kasus menjadi lebih dari 88 kasus. Dalam kasus-kasus tersebut Pasal 156a KUHP menjadi pasalyang sering digunakan baik dalam amar putusan hakim. Skripsi ini membahas sejarah dan perkembangan delikpenodaan agama dalam hukum pidana di Indonesia yang diatur dalam Pasal 156a KUHP dan Undang-UndangNo. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Permasalahan yangkerap muncul dalam penerapan Pasal 156a KUHP di pengadilan adalah mengenai tidak jelasnya tolak ukurperbuatan sebagai dasar terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana penodaan agama. Untuk menganalisis masalahtersebut, dilakukan penelitian normatif dengan berfokus pada analisis peraturan perundang-perundangan pidana,pendapat ahli hukum, dan putusan pengadilan. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesimpangsiuran terkaitmodel penanganan kasus penodaan agama di Indonesia. Selain itu, terdapat perbedaan dalam pemaknaan Pasal156a KUHP di kalangan akademisi maupun praktisi yang memaknai konstruksi pasal ini sebagai gabungan unsurtindak pidana yang bersifat kumulatif dan yang memaknainya secara alternatif. Dalam praktiknya di pengadilan,hakim cenderung menerapkan Pasal 156a KUHP dengan konstruksi huruf a dan huruf b dalam pasal tersebutsecara alternatif namun tanpa pertimbangan hukum yang memadai. Kata Kunci: penodaan agama, penistaan, pasal 156a KUHP, analisis putusan, hukumpidana

ABSTRACT
The number of blasphemy cases have increased significantly from only 9 cases in the New Order 1967 1998 tomore than 88 cases in the post Reformation era. Those cases have brought people to jail using article 156a ofIndonesian Criminal Code KUHP . This thesis discusses the history and the development of blasphemy lawwhich is regulated in the article 156a of the Indonesian Criminal Code and Law No. 1 PNPS of 1965 onPrevention of Misuse and or Blasphemy. The implementation of the law has brought problems related to theunclear criteria to elucidate the elements of the blasphemous acts. To analyze the problem, the author conducteda normative research focusing on the analysis of the criminal provision, jurists opinion, and a number of courtdecisions. This research shows that there is an inconsistency to handle blasphemy cases in Indonesia. There aretwo dominant views among the academics as well as the practitioners in defining blasphemy as it is stipulated inthe article of 156a Indonesian Criminal Code. The first view believes that the construction of the article is ldquo adouble offence rdquo double opzet in which all its elements should be proven while the other side interprets the aand b elements in the article alternatively. This thesis concludes that the judges tend to apply article 156a byinterpreting the a and b elements in the article alternatively without some adequate legal arguments. Keywords blasphemy defamation of religion article 156a Indonesia rsquo s Criminal Code verdict analysis criminal law. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Kamajaya
"Sebab atau alasan halal adalah salah satu persyaratan hukum perjanjian dan merupakan kondisi obyektif di mana jika ini tidak terpenuhi akan menghasilkan perjanjian nol dan batal. Penyebab atau alasan halal (Sebab yang Diizinkan) perlu dikaitkan dengan pasal 1335 KUH Perdata yang menyatakan bahwa ketika suatu sebab dilarang, salah, dan tidak ada, sehingga perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum di negara lain kata-kata tidak mengikat. Artikel 1337 KUH Perdata menjelaskan tentang yang dilarang sebab, yaitu sebab yang bertentangan dengan aturan pemerintahan, kesopanan dan publik memesan. Mengenai kata sebab, hukum, kesopanan, dan ketertiban umum, itu tidak lebih jauh diuraikan, oleh karena itu adalah tugas yurisprudensi untuk mengklarifikasi, tetapi bisa saja terlihat bahwa ada perbedaan pendapat di antara para sarjana hukum. Selain itu, kata-kata aturan pemerintahan, kesopanan dan ketertiban umum tidak banyak dibahas oleh ahli hukum. Makalah ini akan menganalisis elemen-elemen ini berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia Indonesia. Metode penelitian ini adalah yuridis-normatif dan deskriptif

Halal reason or reason is one of the legal requirements of the agreement and constitutes objective conditions where if this is not met it will produce zero agreement and cancel. Halal causes or reasons (Permitted Causes) need to be linked article 1335 of the Civil Code which states that when a cause is prohibited, wrong, and no, so the agreement does not have legal force in another country words are not binding. Article 1337 of the Civil Code explains what is prohibited cause, which is a cause that is contrary to government rules, politeness and the public order. Regarding the words of cause, law, politeness, and public order, it is not further outlined, therefore it is the duty of jurisprudence to clarify, but it is possible There seems to be differences of opinion among legal scholars. Other than that, the words of government, politeness and public order are not much discussed bylawyer. This paper will analyze these elements based on court decisions in Indonesia Indonesia. This research method is juridical-normative and descriptive."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanty Arwa Ghianni
"Skripsi ini membahas mengenai ketentuan hukum mengenai perjanjian sewa guna usaha (leasing) dan akibat hukum yang timbul dari wanprestasi lessee dalam perjanjian sewa guna usaha (leasing) pada praktiknya merujuk pada pendapat Hakim-Hakim dalam Putusan-Putusan Pengadilan di Indonesia dan disesuaikan dengan teori yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman konsep dan ketentuan hukum mengenai Perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing) serta akibat hukum terhadap lessee yang wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan bentuk penelitian hukum yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder yang memfokuskan pada studi dokumen dan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan. Hasil penelitian ini adalah mengenai akibat hukum jika debitur wanprestasi dalam perjanjian leasing yang merujuk pada pertimbangan Hakim. Jika lessee wanprestasi dengan tidak melakukan pembayaran angsuran sesuai yang telah diperjanjikan, maka kreditur (lessor) dapat melakukan penarikan kembali barang/obyek sewa guna usaha. Namun setelah penarikan dilakukan penjualan untuk menutupi hutang debitur (lessee) di mana hal tersebut keliru dengan konsep jaminan kebendaan. Selain kekeliruan dan ketidakseragaman pendapat Hakim terhadap akibat hukum yang timbul, terdapat pula ketidakseragaman pendapat Hakim mengenai kepemilikan barang/obyek sewa guna usaha yang juga berkaitan dengan konsep penjaminan

This bachelor thesis discusses the legal provisions regarding lease agreement (leasing) and the legal consequences arising from default of lessee in leasing agreement (leasing) in practice referring to the opinions of Judges in Court Decisions in Indonesia and adjusted to the prevailing theory. This study aims to provide an understanding of the concepts ang legal provisions regarding leasing agreement and the legal consequences for lessee who are in default in the leasing agreement. This research is a descriptive study with the form of juridical-normative legal research using secondary data which focuses on document studies and data obtained from library materials. The results of this study are about the legal consequences if the debtor defaults in the lease agreement which refers to the Judge's consideration. If lessee is in default by not making the installment payments as agreed, the creditor (lessor) can withdraw the goods / objects of the lease. However, after the withdrawal is made, the sale is made to cover the debtor's debt (lessee), which is mistaken for the concept of a material guarantee. In addition to errors and disagreements in judges 'opinions regarding the legal consequences, there are also disagreements in judges' opinions regarding ownership of leased goods / objects which are also related to the concept of guarantee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>