Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114046 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Luthfi
"Penelitian ini membahas kelengkapan unsur argumen dalam Debat Cawapres Pilpres 2019, terhadap kalimat-kalimat argumentasi yang diujarkan calon wakil presiden nomor urut 01, Makruf Amin, dan calon wakil presiden nomor urut dua, Sandiaga Salahudin Uno. Penelitian ini mengkaji kecenderungan argumen kedua cawapres tersebut berdasarkan kelengkapan unsur argumen.
Tujuan penelitian ini ialah mengetahui kecenderungan argumentasi yang diujarkan oleh kedua cawapres menggunakan Teori Argumentasi Stephen Toulmin (1979) sebagai kerangka referensi untuk menentukan indikator dalam analisis kelengkapan unsur argumen. Berdasarkan 6 unsur argumen dalam wacana argumentatif yang ditemukan oleh Toulmin, terdapat 3 unsur argumen yang wajib hadir dalam wacana argumentatif, yaitu claim, ground, dan warrant. Pada data Debat Cawapres Pilpres 2019 dianalisis apakah argumentasi yang dilancarkan oleh kedua cawapres menghadirkan ketiga unsur argumen wajib itu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Sumber data yang ditranskipsi berasal dari video yang terdapat di YouTube. Video tersebut diunggah oleh Channel Resmi Kompas TV pada 17 Maret 2019. Hasil penelitian menunjukkan Sandiaga Uno paling banyak mengucapkan kalimat yang hanya merupakan claim saja, sebanyak 16 kali, sedangkan Makruf Amin sebanyak 9 kali. Berdasarkan kelengkapan struktur argumen Toulmin, Makruf Amin adalah yang paling lengkap memenuhi semua klasifikasi. Sementara itu, Sandiaga Uno paling banyak mengutarakan kalimat yang merupakan claim.
This study discusses the completeness of the argument elements in the 2019 Presidential Election Debate Debate, against the sentences of the arguments that are spoken by vice presidential candidate number 01, Makruf Amin, and vice presidential candidate number two, Sandiaga Salahudin Uno. This study examines the tendency of the two vice presidential arguments based on the completeness of the argument elements.
The purpose of this study is to determine the tendency of the arguments put forward by the two running mates using Stephen Toulmin`s Argumentation Theory (1979) as a reference frame for determining indicators in the analysis of the completeness of the argument element. Based on the 6 elements of argument in argumentative discourse found by Toulmin, there are 3 elements of argument that must be present in argumentative discourse, namely claim, ground, and warrant. In the 2019 Presidential Election Debate Debate data it is analyzed whether the arguments made by the two vice presidents present the three elements of compulsory arguments.
The method used in this research is qualitative method. The source of the transcribed data comes from videos found on YouTube. The video was uploaded by the Kompas TV Official Channel on March 17, 2019. The results showed that Sandiaga Uno said the most sentences which were only claims, as many as 16 times, while Makruf Amin was 9 times. Based on the complete structure of Toulmin`s argument, Makruf Amin is the most complete fulfilling all classifications. Meanwhile, Sandiaga Uno said the most claims."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kristo Roland Pattiapon
"Pemisahan waktu pemungutan suara dalam pemilihan umum presiden dengan pemilihan legislatif sering menghasilkan pemerintahan yang terbelah pada pemerintahan dalam sistem presidensial. Kondisi tersebut dikarenakan hasil yang tidak kongruen antara hasil dari pemilihan presiden dengan hasil dari pemilihan legislatif. Komposisi yang terbentuk memunculkan presiden seringkali tidak didukung oleh kekuatan suara mayoritas di parlemen dan hal tersebut dapat menyebabkan pemerintahan yang tidak stabil dan efektif. Ditambah kondisi multipartai yang tumbuh seiring jalannya pemerintahan presidensialisme diIndonesia. Maka dari itu ide desain pemilihan umum serentak memungkinkan akan menghasilkan efek ekor jas bagi partai politik yang terpilih di dalam pemiihan umum legislatif. Efek ekor jas tersebut merupakan suatu kondisi pemilih yang cenderung memiliki kesamaan dalam memilih partai politik yang mengusung calon presiden yang didukungnya, sehingga komposisi partai politik yang lolos di parlemen akan kongruen dan Presiden terpilih memiliki dukungan mayoritas. Penerapan ambang batas presiden dalam konteks pemilihan umum serentak bertujuan untuk membatasi jumlah kandidat calon presiden sehingga nantinya fragmentasi partai politik di parlemen tidak semakin banyak dengan demikian pemilihan umum serentak dapat berlangsung secara efektif dan dapat menghasilkan stabilitaspemerintahan.

Separation of the time of voting in presidential elections with legislative elections often results in a divided government in a presidential system. This condition is due to the incongruent results between the results of the presidential election and the results of the legislative elections. The composition formed to bring up a president is often not supported by the power of the majority vote in parliament and this can lead to an unstable and effective government. Coupled with multiparty conditions that have grown along with the presidential government in Indonesia. Therefore, the idea of a simultaneous general election design that will produce coattail effects for the political parties elected in the legislative election. The coattail effect is a condition of voters who tend to have similarities in choosing political parties that carry the presidential candidates they support,so that the composition of political parties that qualify in parliament will be congruent and the elected President has majority support. The application of presidential threshold in the context of simultaneous general elections aims to limit the number of candidates for presidential candidates, later the fragmentation of political parties in the parliament does not increase, so that simultaneous general elections can take place effectively and can produce governmentstability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Fajar
"Isu penistaan agama yang ilakukan oleh petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Ahok Tjahaja Purnama menjelang Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Perdebatan tersebut ramai terjadi di media sosial, menunjukkan adanya kontestasi pro dan kontra terkait penetapan Ahok sebagai penista agama di ranah pidana. Kontestasi wacana di media sosial tersebut terus berlangsung sehingga menyebabkan polarisasi yang berpotensi menyebabkan terjadinya perpecahan di masyarakat. Dari kajian-kajian sebelumnya, diketahui bahwa terjadinya kontestasi dapat disebabkan oleh ekspresi kebangkitan identitas kepentingan pragmatis elit politik serta perkembangan media baru. Namun, studi-studi tersebut cenderung membahas kontestasi secara parsial dan tidak melihat adanya keberagaman aktor serta kepentingan yang melatarbelakanginya. Maka, dalam menjelaskan kontestasi wacana penistaan agama di media sosial, tulisan ini berargumen bahwa kontestasi wacana penistaan agama di media sosial disebabkan oleh adanya isu identitas yang di bingkai melalui media sosial dengan tujuan untuk memobilisasi pemilih dalam pemilihan. Pihak-pihak yang berkontestasi dalam pemilihan menggunakan strategi pembingkaian framing dengan memanfaatkan aktor-aktor di media sosial relawan, buzzer dan juga selebritis mikro sehingga menyebabkan terjadinya aktivitas saling membingkai di media sosial.

The issue of religious blasphemy carried out by DKI Jakarta Governor, Basuki 39 Ahok 39 Tjahaja Purnama before elections of DKI Jakarta in 2017 had become a heated debate among the people of Indonesia. The debate is rife in social media, indicating the existence of pros and contras contestation related to Ahok 39s determination as a religious blasphemy defendant in the criminal realm. Contestation of discourse in social media continues to cause polarization that has the potential to cause division in society. From previous studies, it is known that the occurrence of contestation can be caused by the expression of identity resurgence the pragmatic interests of the political elite as well as the development of new media. However, these studies tend to discuss partial cause and do not see any diversity of actors and the underlying interests. Thus, in this paper argues that the discourse contestation of religious blasphemy in social media is caused by the issue of identity that is framed through social media with the aim to mobilize voters in the election. Election winning parties use framing strategies by utilizing actors in social media volunteers, buzzers and micro celebrities, leading to framing activities in social media.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rojali
"Penelitian yang berjudul Debat Capres Pemilu 2019: Analisis Kelengkapan Unsur Argumen dalam Wacana Argumentatif berisi analisis kelengkapan unsur argumen dalam segmen visimisi dan debat inspiratif dalam Debat Capres Kedua Pemilu 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memaparkan kelengkapan unsur argumen dalam setiap ujaran masing masing capres dalam debat capres kedua Pemilu 2019. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data analisis bersumber dari tayangan Debat Capres Kedua yang disiarkan oleh Kompas TV secara daring sebagai data penelitian. Kemudian, penulis membuat transkripsi ortografis untuk dijadikan bahan analisis. Setiap argumen dianalisis dengan
menggunakan teori unsur argumen yang dikemukakan oleh Toulmin (2003) dan Renkema (2004). Hasil analisis menunjukkan bahwa baik Prabowo maupun Jokowi telah menyampaikan argumen yang sahih dan tidak sahih di dalam visi-misinya. Dalam segmen debat inspiratif, Jokowi menyampaikan satu argumen yang sahih dan satu argumen yang tidak sahih, sedangkan
Prabowo menyampaikan satu argumen yang sahih. Kesahihan argumen kedua capres ditandai oleh kehadiran tiga unsur utama, yakni klaim, data, dan landasan. Adapun unsur besar-kecil klaim hampir selalu hadir dalam argumen kedua calon. Sementara itu, ketidaksahihan argumen
kedua calon ditandai oleh ketidakhadiran unsur data dalam mendukung klaim dan landasan yang diungkapkan.

ABSTRACT
Research entitled "The 2019 Presidential Election Debate: Analysis of Argument Elements
Completeness in Argumentative Discourse" contains an analysis of the elements completeness
of the argument in the vision-mission segment and inspirational debate in the Second Election
Presidential Election 2019. This research aims to analyze and describe the completeness of the
elements of the argument in each statement of each candidate in the second 2019 presidential
election debate. This study uses descriptive qualitative methods. Analysis data sourced from
the Second Presidential Debate program broadcast by Kompas TV online as research data.
Then, the authors make orthographic transcriptions to be used as material for analysis. Each
argument is analyzed using the elemental argument theory proposed by Toulmin (2003) and
Renkema (2004). The analysis showed that both Prabowo and Jokowi had made valid and
invalid arguments in their vision. In the inspirational debate segment, Jokowi delivered one
valid argument and one invalid argument, while Prabowo made a valid argument. The validity
of the two candidates arguments is marked by the presence of three main elements, namely
claim, data, and warrant. Qualifier elements of the claim are almost always present in the arguments of both candidates. Meanwhile, the invalidity of the arguments of the two candidates was marked by the absence of data element in support of the claim and warrant that were disclosed."
2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hastian Suhastaman
"ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk melihat bentuk, isi dan efektivitas wacana informatif berbahasa Arab dalam iklan tenaga kerja wanita Indonesia yang beredar di internet pada 2018. Diambilnya topik ini karena masih banyak dari iklan tersebut yang kurang informatif karena terlalu sederhana ataupun menggunakan bahasa lokal. Korpus penelitiannya adalah iklan berbahasa Arab pada beberapa portal khusus tenaga kerja dan juga media sosial. Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitik dengan mengumpulkan dan mencatat, kemudian dideskripsikan dan dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sepuluh sampel iklan yang beredar, iklan tersebut memiliki berbagai macam model, mulai dari berbentuk satu baris hingga yang berbaris-baris, mulai dari teks hitam putih sampai yang menggunakan foto atau kartun berwarna, mulai dari bentuk seperti puisi sampai yang berbentuk eksposisi, mulai dari yang berisi informasi sederhana sampai yang lengkap, mulai dari yang dibuat oleh perseorangan sampai yang dibuat oleh agen. Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jika dilihat dari teori tentang iklan, maka ada iklan yang memang masih belum sesuai dengan kriteria umum periklanan dan ada juga yang sudah sesuai. Akan tetapi, itu merupakan hal yang umum, karena tampaknya iklan tersebut hanya ada di Negara Arab saja, dan kriterianya tentu harus disesuaikan dengan karakteristik bangsa Arab itu sendiri.

ABSTRACT
This paper aims to look at the form, content and effectiveness of Arabic informative discourse in the advertisements of Indonesian female workers circulating on the Internet. The topic of Indonesian female workers working in Arabia is addressed in this paper because there are still many of these advertisements that are less informative because they are too simple or use local language. Advertisements in Arabic on the Internet is used as a research corpus used in this paper. The method used in this research is analytical descriptive method by collecting, recording, describing and analysing the data related to the research topic. From the results of the study it was found that some consist of a line only and some have many lines, some consist of black and white text while some use colourful photographs or cartoons, some are in the form of a poem and some are exposition, some display simple information and others have more complete information. Overall, it can be concluded that from the perspective of advertising theories, there are advertisements that are still not in accordance with the general criteria of advertising while some are already appropriate. However, it seems that this kind of advertising exists only in Arab countries."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Margono
"Indonesia adalah negara dengan banyak etnis atau multietnis dan multikultur. Etnis Tionghoa yang hanya merupakan salah satu etnis dari banyak multietnis di Indonesia, sering memperoleh penyosokan negatif. Sehingga terbentuk suatu presepsi dalam masyarakat Indonesia. Dalam Penelitian yang dilakukan oleh Arief Budiman tentang presepsi masyarakat terhadap etnis Tionghoa di jawa tengah menunjukan bahwa sentimen terhadap etnis Tionghoa di masyarakat hanya berada di tataran prasangka. Presepsi yang dimiliki masyarakat berbeda dengan realitas yang dihadapinya. KOMPAS menjadi bahan penelitian ini karena jaringan dan kerjasamanya yang luas dengan media di daerah bisa menjadi salah satu kekuatan yang sangat panting untuk membuat masyarakat berpikir mengenai kenasionalisannya dan juga membentuk imagined community. Imlek adalah perayaan tahun baru Cina berdasarkan perhitungan peredaran bulan dan matahari. Suatu tradisi, budaya, adat istiadat yang dilakukan turun temurun sebagian etnis Tionghoa.
Berdasarkan latar belakang dan pemikiran diatas maka masalah penelitian dirumuskan adalah bagaimana keadaan politik sosial dan budaya mempengaruhi tema pemberitaan KOMPAS mengenai imlek (dan Tionghoa) dari waktu ke waktu. Dan tujuan Mengetahui representasi serta tema pemberitaan KOMPAS mengenai imlek (dan etnis Tionghoa). Harapannya agar tesis ini dapat menjadi menjadi bahan refleksi pemberitaan Tionghoa di surat kabar dan mampu memberikan rekomendasi kepada KOMPAS, sehubungan dengan merepresentasi Tionghoa.
Penelitian ini adalah merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan Metodologi Penelitian Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis), dengan pendekatan analisis multilevel. Level pertarria adalah pendekatan sosial, budaya dan ekonomi. Level kedua adalah analisis wacana organisasi media seperti keadaan mental, interaksi atau keadaan sosial sehubungan dengan etnis Tionghoa di Indonesia.. Pada level teks asumsinya adalah penciptaan makna dapat melibatkan safah satu atau keseluruhan mulai dari struktur kalimat, preposisi, implikasi, presuposisi, bagaimana seseorang digambarkan dan lain-lain. Untuk mengaitkan teks dengan dua level lainnya digunakan analisis antar teks ( intertextualy analysis).
Tesis ini membuktikan pandangan bahwa rasialisme hadir dalam berbagai bentuk, ada dalam bentuk keseharian dalam masyarakat, ada juga dalam bentuk hirarki masyarakat. Racist Discourse (Wacana rasial) menurut Teun A. van Dijk adalah suatu bentuk praktek diskriminasi sosial yang berada (manifest) dalam teks, pembicaraan dan komunikasi. Bersamaan dengan praktek diskriminasi nonverbal, wacana mendukung atau memperkuat praktek anti rascal di dalam suatu masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mengekspresikan, konfirmasi atau legitimasi opini, prilaku dan ideologi golongan etnis yang dominan.
Hasil Penelitian ini menunjukan teks pemberitaan KOMPAS mengenal imlek dan Tionghoa sangat dipengaruhi konteks soslal, politik dan ekonomi dalam masyarakat indonesia. Kebijakan pemerintah yang semakin terbuka kepada etnis Tionghoa, termasuk terbuka untuk merayakan Imlek secara bebas juga memepengaruhi tulisan-tulisan KOMPAS yang semakin terbuka mengungkap adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Tahun 1965 - 1966 tidak ada berita, liputan suasana perayaan imlek di Indonesia ataupun cerita mengenai Imlek. Pada masa orde barukarakter minoriti dipresentasikan dengan suatu stereotip tertentu. Sampai masuk ke era reformasi (pasca orde baru) karakter minoriti dipresentasikan sebagai orang baik, terhormat atau orang jahat. Sejak bergulirnya reformasi pemberitaan KOMPAS sehubungan dengan imlek dan Tionghoa menjadi semakin bersifat anti rasial KOMPAS selain mengintrepretasikan dan mengoreksi juga mengkritik dan meminta sejumlah pembenahan di bidang hukum, kewarganegaran.
Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis pribumi dari masa ke masa selalu berada dalam lingkungan persaingan, dendam, curiga. Hal ini akan selalu menimbulkan prasangka-prasangka dan kehidupan bemegara yang tidak sehat, dan rentan terhadap prilaku diskriminasi. Secara sederhana bisa diasumsikan bahwa apabila kita bisa mengubah stereotipe dan prasangka yang ada, maka kita pun bisa menghapuskan, atau paling tidak, mengubah dampak dari katagori-katagori pembeda yang dibuat atas dasar stereotip dan prasangka tersebut. Untuk itu etnis Tionghoa dalam membaca atau memaknai tulisan di media massa perlu berpikir positif. Membubuhkan profiling (penyosokan) yang relevan membutuhkan pemikiran dan standard baku dalam penulisannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Taufik Rahman
"Seiring dengan "runtuhnya" rezim Orde Baru, fokus studi hubungan Islam dan negara mengarah pada masalah partisipasi umat Islam dalam agenda konsolidasi demokrasi. Studi ini mengambil fokus pada analisis wacana hubungan Islam dan demokrasi yang dikembangkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam kerangka penguatan masyarakat sipil (civil society).
Konsep civil society yang digunakan mengikuti pendekatan Robert W Hefner yang lebih dekat dengan terminologi "masyarakat warga" atau "masyarakat kewargaan" yang memiliki ruang di antara individu (keluarga) dan negara. Untuk kasus Indonesia, Hefner melihat adanya kecenderungan mengarah pada "civic pluralist" atau "civil Islam" sebagai kelompok yang berlawanan dengan Regimist Islam (Islam Politik) yang disebut Gellner sebagai musuh bebuyutan dari pluralisme dan kebebasan sipil.
Kerangka teori yang digunakan mengikuti perspektif kritis Habermas mengenai evolusi sosial. Dalam hubungannya dengan subjek penelitian yang ingin melihat wacana J1L mengarah pada "civic pluralist," menghasilkan kerangka pikir mengenai evolusi sosial melalui tiga tahap sebagai berikut
Pertama, tahap interaksi melalui simbol-simbol, agama dipandang sebagai sistem simbol harus memberikan sebuah kerangka ideal normatif berkenaan dengan kebebasan, martabat individual, hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri, dan prosedur yang mengatur koordinasi interaksi di antara berbagai kelompok; Kedua, pada tahap tuturan yang dideferensiasikan dengan pernyataan-pernyataan. Hasil elaborasi simbol keagaman dijadikan sebagai sebuah "patokan" evaluasi untuk memperoleh peran sosial tertentu; Ketiga perbincangan (diskursus) argumentatif. Terdapat hipotesis antara kesadaran moralitas dari agama dengan peran sosial sebagai warga negara. Target yang hendak dicapai adalah sebuah struktur hukum yang dilembagakan dan struktur penjelasan moral yang mengikat.
Penelitian ini menggunakan paradigma interpretif dengan pendekatan hermeneutika. Langkah teknis yang digunakan meliputi dua langkah pokok. Pertama, memahami keseluruhan wacana III., lalu mengklasifikannya dan mengambil fokus pada dua masalah pokok: makna "liberal" dalam Islam Liberal dan memahami argumen penolakan negara syariat sebagai implikasi langsung dari pemahaman keagamaan secara liberal. Kedua, menganalisisnya dengan menggunakan kerangka konsep evolusi perkembangan masyarakat menuju civic pluralist, seperti dikemukakan di atas.
Tema penelitian: (1) JIL adalah kelanjutan dari gerakan neo-modernisme Islam, baik secara isi maupun metodologi; (2) Wacana yang dikembangkan JIL selama 2001-2003, meliputi empat agenda pokok: kebebasan berpendapat; merumuskan sebuah teologi untuk negara modern sekular; emansipasi perempuan; dan mencari sebuah bentuk teologi untuk merumuskan hubungan harmonis antar umat beragama. Terdapat sebuah kerangka logis dan alur argumentasi yang dikembangkan bahwa dengan bersikap liberal dalam pengertian bebas berpendapat akan melahirkan sebuah sikap beragama yang inklusif, toleran, plural dan sekular. (3) Secara umum wacana JIL dalam perspektif teori evolusi Habermas masih berada dalam tahap interaksi melalui simbol, di mana tuturan dari tindakan masih terkait dengan kerangka kerja sebuah bentuk komunikasi tunggal yang bersifat memerintah. Di mana tindakan-tindakan, motif-motif (harapan-harapan tingkah laku), dan subjek-subjek tindakan masih merujuk pada struktur umum tindakan. Hal ini berlaku baik ketika memposisikan liberalitasnya maupun ketika beragumen mengenai penolakan negara syariat.
Dalam perspektif civic pluralist pola keberagarnaan JIL di atas bisa dibaca sebagai langkah "pesiapan" dengan mempersiapkan sejumlah sikap yang liberal, plural, toleran, dan sekular bagi perumusan nilai-nilai atau kultur baru sebagai warga negara dari sebuah masyarakat yang multikultur. Dengan rumusan sikap di atas, maka memungkinkan JIL menjadi semacam kelompok civil religion-dalam pengertian Bellah yang merujuk sejarah kebangsaan Amerika-untuk kasus Indonesia.
Implikasi Teoretik: Meski JIL sudah menggunakan sebuah media (www.islamib.com) yang bisa disebut sebagai public sphere, respon dan kritik yang diterima JIL tidak semuanya berjalan dalam sebuah proses dialog yang terbuka. Bahkan gesekan ini pada akhirnya hanya menghasilkan perbedaan secara diametral antara Islam Liberal dan Islam Fundamental. Atau antara Islam Liberal dengan Postradisionalis (POSTRA) Islam. Dan debat melebar keluar, tidak dalam dimensi wacana tapi melanjut ke arah tudingan politis: siapa dibalik dan kekuatan politik ideologi apa di balik masing-masing kelompok. Hal ini sepertinya tidak diantisipasi oleh Habermas yang berjalan terlalu linear dalam menentukan proses perubahan sosial. Sedangkan pada Hefner hanya disediakan pemetaan mana yang civic/civil dan mana yang uncivic/uncivil."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14376
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indraswari Pangestu
"Penelitian ini membahas pandangan dan keberpihakan mahasiswa di Indonesia yang diutarakan dalam teks opini, terhadap pelegalan pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat. Teori analisis wacana kritis dari Norman Fairclough diterapkan sebagai alat analisis utama. Adapun teori argumentasi dari Toulmin dan teori metafungsional dari Halliday digunakan untuk menunjang analisis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis opini menggunakan elemen argumen yang dinyatakan oleh Toulmin, yakni klaim, data, landasan, dukungan, modalitas, dan sanggahan. Selain itu, penulis teks juga memilih diksi dan menyusun gramatika untuk menekankan kebenaran. Terdapat tiga data yang digunakan untuk analisis. Berdasarkan ketiga analisis tersebut, dua mahasiswa dianggap cenderung berpihak kepada pelegalan pernikahan sesama jenis dan satu mahasiswa dianggap cenderung mendebat isu yang sama.

This study discusses the views and alignments of the students in Indonesia. Their opinion is expressed inside their text about the legalized same-sex marriage in the United States. The theory of critical discourse analysis of Norman Fairclough is applied as the main analysis tool. Toulmin's theory of argumentation and Halliday?s metafunctional theory are also being used to support the analysis.
The results showed that authors used the elements of argumentation expressed by Toulmin, such as claim, ground, warrant, backing, qualifier, and rebuttal. In addition, the author of the text also chose a unique diction and compiled-grammar to emphasize the truth. There are three data used for the analysis. Based on the analysis, two students considered likely to side with the legalization of same-sex marriage and one student is considered likely to debate the same issue.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S61766
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thaufan Ardi Arafat
"Dalam dunia politik dewasa ini, penggunaan media sosial sebagai media untuk menyampaikan dukungan politik dan untuk berkampanye sudah menjadi hal yang sangat sering dilakukan. Twitter adalah salah satu dari media sosial yang sering digunakan untuk kampanye, hal ini karena kelebihan Twitter yang bersifat formal dan beruntun secara waktu. Namun Twitter juga memiliki kelemahan seperti tidak adanya keterangan demografis sehingga susah untuk diolah. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu pola demografi dari pendukung masing-masing pasangan calon Presiden Indonesia 2019 pada Twitter berbahasa Indonesia.
Dalam mencari demografi, penelitian ini menggunakan metode klasifikasi teks dan menggunakan kamus nama dan jenis kelamin. Kamus nama dan jenis kelamin yang digunakan berasal dari data pemilih tetap KPU. Label demografi yang digunakan antara lain, laki-laki, perempuan, generasi Z, generasi milenial, generasi X+, luar jawa dan jawa. Untuk menentukan pilihan dukungan, penelitian ini menggunakan metode sentimen analisis yang cocok digunakan untuk kalimat pendek yaitu metode SentiStrength.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pengguna Twitter yang aktif berbincang berkaitan dengan politik pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia 2019 adalah perempuan dengan kategori umur milenial atau rentang umur 25-39 tahun.

In today’s political world, the use of social media as a medium to convey political views and using it for campaign has become a very common thing. Social media can be used to express one’s expression both in supporting a political party and someone who is running for politics. Twitter is one of the social media that is often used for campaign, this is because of Twitter’s unformal and chronological feature. But Twitter also has weakness such as the absence of demographic information. Therefore this study aims to find out the demographic patterns of supporter of each Indonesian Presidential candidate 2019 on Indonesian language Twitter.
For searching the demographics, this study using text classification method and dictionary of names and genders. The dictionary comes from KPU permanent voter data. Demographic labels used in this study consist of male, female, generation Z, millennial generation, generation X+, outside Java and Java. To determine the political preference, this study uses the sentiment analysis method that is suitable for short sentences, namely the SentiStrength method.
The results of this study indicate that the majority of Twitter users who actively talk related to the politics of 2019 Presidential and Vice Presidential elections are women with millennial age categories or 25-39 years old.
"
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>