Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162807 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardina Yunita Kartikasari
"Kajian ini membahas mengenai citra Indonesia di mata Tiongkok dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS). Dalam sengketa di LCS, Indonesia bukan negara penggugat atau non-claimant state. Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus atau Nine-dashed Line di LCS beririsan dengan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna. Dalam periode 2010-2016, sejumlah insiden sempat terjadi dan menimbulkan ketegangan. Meski bersikeras bahwa kedua negara memiliki tumpang tindih kepentingan di perairan Natuna, Tiongkok tetap memiliki citra positif tentang Indonesia dan Tiongkok cenderung berhati-hati dalam merespon Indonesia dalam isu tersebut. Terkait hal ini, meski sudah banyak penelitian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia, namun hanya sedikit kajian yang menulis secara spesifik mengenai persepsi Tiongkok mengenai Indonesia dalam sengketa LCS. Melalui kerangka analisis teori citra atau image theory dan metode penelitian causal process tracing, kajian ini menunjukkan bahwa citra Indonesia di mata Tiongkok adalah ally image. Dalam ally image, Indonesia dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan, kapabilitas dan dimensi kultural yang relatif sepadan. Hal ini mempengaruhi pilihan strategi yang diambil Tiongkok terhadap Indonesia terkait insiden-insiden yang terjadi di perairan Natuna, di mana Tiongkok lebih mengedepankan hubungan baik dan kemitraan kedua negara. Dalam kaitannya dengan isu sengketa LCS secara umum, Tiongkok memandang Indonesia sebagai teman yang mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

This study analyses Indonesia's image from China's perspective on the South China Sea (SCS) dispute. Indonesia is a non-claimant state in SCS dispute. China's claim on Nine-dashed Line, however, overlaps with Indonesia's EEZ in Natuna islands. Tensions following some incidents occured in Natuna waters within 2010-2016. China insisted two countries have overlaping interest claim in those area, while Indonesia persisted on its position as non-claimant state. Nevertheles, China still perceives Indonesia in positive image and tend to be cautious when dealing with Indonesia on this issue. Although there are many studies on the SCS dispute and China's policy towards Indonesia, few if any of them discuss specificaly on China's perception towards Indonesia in this regard. Adopting image theory as an analytical framework and causal-process tracing on research method, this study figures that China captures Indonesia's image as an ally. In ally image, Indonesia is perceived as an actor who has positive goal compatibility with similar capability and cultural dimension as well. This perception affects the strategic options taken by China against Indonesia regarding the Natuna incidents in which China prioritize good relation and partnership between both countries. While on the SCS issue, China perceives Indonesia as a good friend capable of being fair to the parties in the dispute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Cadhu Wibawa
"Permasalahan Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang belum mencapai titik terang sampai dengan saat ini. Ketegangan kembali menguat setelah munculnya China Threat Teory serta gencarnya kebijakan Belt and Road Initiative oleh pemerintah China yang mencangkup Silk Road Economic dan Maritime Silk Road. Klaim Cina terhadap Kawasan Laut Cina Selatan dengan Nine Dash Line menimbulkan keresahan di negara kawasan ASEAN yang sebagian besar memiliki klaim yang tumpang tindih. Indonesia tidak termasuk sebagai negera penuntut dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan, namun demikian Indonesia turut terkena imbasnya dengan klaim perairan Natuna utara yang diakui Cina sebagai Traditional Fishing Ground. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat ancaman Cina terhadap Indonesia dengna menggunakan metode penilaian ancaman Prunckun untuk menilai persepsi tingkat ancaman dari pihak Indonesia. Peneliti menggunakan metodekualitatif, dengan menganalisis hasil wawancara dengan narasumber secara mendalam tentang respon yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pergerakan yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan. Dalam penelitian ini peneliti berfokus dengan mengkaji respon pemerintah khususnya dari dua sisi komponen strategis yakni aspek kekuatan bersenjata dan aspek ekonomi. Dari dua aspek tersebut dilakukan perbandingan respon untuk melihat konsistensi pemerintah dalam menghadapi ancaman Cina. Dalam penelitian ini didapat bahwa langkah pemerintah dari dua aspek tersebut menunjukkan tidak sejalan. Kemudian Peneliti menggunakan K3N sebagai alat untuk memberikan produk Intelijen sebagai bentuk fungsi intelijen yakni Warning, Forecasting dan Problem Solving.

The South China Sea problem is a problem that has not yet reached the bright spot until now. Tensions have strengthened again after the emergence of China Threat Theory and the incessant Belt and Road Initiative policy by the Chinese government which includes the Silk Road Economic and Maritime Silk Road. China's claim to the South China Sea Area with the Nine Dash Line has caused unrest in ASEAN countries, most of which have overlapping claims. Indonesia is not included as a claimant country in cases of disputes in the South China Sea, however, Indonesia is also affected by the claim that the North Natuna waters are recognized by China as the Traditional Fishing Ground. In this study, the measurement of China's threat level to Indonesia was carried out using the Prunckun threat assessment method to assess the perceived threat level from the Indonesian side. The researcher used a qualitative method, by analyzing the results of interviews with sources in depth about the response made by the Indonesian government to the movements carried out by China in the South China Sea. In this study, researchers focused on examining the government's response, especially from the two sides of the strategic component, namely the aspect of armed power and the economic aspect. From these two aspects, a response was compared to see the consistency of the government in facing the Chinese threat. In this study, it was found that the government's steps from these two aspects showed that they were not in line. Then the researcher used K3N as a tool to provide intelligence products as a form of intelligence function, namely Warning, Forecasting and Problem Solving.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yang Yani
"Penelitian ini memberikan studi mendalam tentang penyesuaian strategis Indonesia di Laut China Selatan dan dampaknya terhadap hubungan Indonesia-China serta stabilitas regional di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat. Penelitian ini mengeksplorasi transisi Indonesia ke kebijakan maritim yang lebih tegas melalui penyebaran informasi, peningkatan militer, dan aliansi diplomatik untuk melawan pengaruh China. Menggunakan pendekatan kualitatif yang didasarkan pada model perubahan kebijakan luar negeri Charles F. Hermann, teori geopolitik, dan pandangan konstruktivis, penelitian ini menyelidiki faktor-faktor internal dan eksternal yang mendorong perubahan ini, termasuk persaingan AS-China dan identitas maritim Indonesia yang sedang berkembang.
Meskipun ada potensi konflik, Indonesia dan China tetap fokus pada solusi diplomatik dan kerjasama ekonomi karena saling ketergantungan ekonomi dan kepentingan mereka dalam stabilitas regional. Disertasi ini menekankan peran penting dialog dan kerjasama yang meningkat antara Indonesia dan China dalam menangani isu-isu keamanan di Laut China Selatan, dengan menyarankan peningkatan keamanan maritim bilateral dan kerjasama ekonomi. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang diplomasi maritim dan penyesuaian strategis, serta menyoroti pentingnya identitas nasional, strategi geopolitik, dan diplomasi internasional dalam menghadapi tantangan sengketa maritim global dan mendorong perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik.

This research provides a detailed study of Indonesia's strategic adjustment in the South China Sea and its effects on Indonesia-China relations and regional stability amidst growing geopolitical tensions. It explores Indonesia's transition to a more assertive maritime policy through information dissemination, military enhancement, and diplomatic alliances to counter China's influence. Utilizing a qualitative approach grounded in Charles F. Hermann's foreign policy change model, geopolitical theory, and constructivist views, it investigates the internal and external factors driving this shift, including US-China rivalry and Indonesia's emerging maritime identity.
Despite potential conflicts, Indonesia and China have maintained a focus on diplomatic solutions and economic cooperation due to their mutual economic dependencies and interest in regional stability. The dissertation emphasizes the critical role of increased Indonesia-China dialogue and cooperation in addressing South China Sea security issues, suggesting improved bilateral maritime security and economic collaboration. It contributes to the understanding of maritime diplomacy and strategic adjustments, highlighting the importance of national identity, geopolitical strategy, and international diplomacy in navigating the challenges of global maritime disputes and advocating for peace and stability in the Asia-Pacific region.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akila Paravathi Pilihanto
"Penggunaan strategi zona abu-abu oleh Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan merupakan pendekatan yang disengaja yang bertujuan untuk memajukan klaim teritorialnya sambil menghindari konflik militer langsung. Strategi ini melibatkan penggunaan cara-cara nonmiliter, seperti mengerahkan kapal penjaga pantai, membangun pulau-pulau buatan, dan memanfaatkan milisi maritim, untuk menegaskan kendali atas wilayah-wilayah yang disengketakan. Dengan tetap berada di bawah ambang batas peperangan konvensional, Tiongkok bertujuan untuk memperkuat posisinya tanpa memprovokasi pembalasan yang signifikan dari para penggugat saingan atau kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat. Taktik zona abu-abu memungkinkan Tiongkok untuk mengonsolidasikan klaim teritorialnya, menjaga rute perdagangan maritim yang penting, dan mengamankan sumber daya alam yang berharga, semuanya sambil meminimalkan risiko meningkatnya ketegangan. Pendekatan ini juga mendukung tujuan geopolitik dan ekonomi Tiongkok yang lebih luas, termasuk mengejar dominasi regional dan peremajaan nasional. Melalui strategi zona abu-abu, Tiongkok berupaya untuk membentuk kembali tatanan regional, menantang norma-norma internasional, dan memproyeksikan kekuatan dengan cara yang membatasi intervensi eksternal dan mempertahankan fleksibilitas strategisnya.

China's use of a gray-zone strategy in the South China Sea is a deliberate approach aimed at advancing its territorial claims while avoiding direct military conflict. This strategy involves employing non-military means, such as deploying coast guard vessels, constructing artificial islands, and utilizing maritime militias, to assert control over contested areas. By staying below, the threshold of conventional warfare, China aims to strengthen its position without provoking significant retaliation from rival claimants or external powers like the United States. The gray-zone strategy allows China to consolidate its territorial claims, safeguard crucial maritime trade routes, and secure valuable natural resources, all while minimizing the risks of escalating tensions. This approach also supports China’s broader geopolitical and economic goals, including the pursuit of regional dominance and national rejuvenation. Through the gray-zone strategy, China seeks to reshape the regional order, challenge international norms, and project power in a way that limits external intervention and preserves its strategic flexibility."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Pangestu
"Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai mengapa China bertindak asertif terhadap Vietnam di dalam kasus sengketa di Laut China Selatan. Tindakan China terhadap Vietnam di kasus Laut China Selatan merupakan sebuah anomali. Ketika berhadapan dengan negara Asia Tenggara lainnya, China tidak bertindak asertif dibandingan ketika China berhadapan dengan Vietnam. China masih mengedepankan negosiasi dalam berhadapan dengan negara lain. Tetapi jika berhadapan dengan Vietnam, China lebih mengedepankan sikap asertifnya. Untuk mencoba menganalisis sikap China terhadap Vietnam tersebut, penulis menggunakna konsep offense-defense balance milik Jervis. Konsep tersebut menyatakan bahwa ketika suatu negara meningkatkan keamanannya maka keamanan negara lain akan berkurang. Namun efek tersebut dapat dikurangi oleh 2 indikator yaitu keuntungan ofensif dan defensif serta pembedaan senjata ofensif atau defensif. Keuntungan ofensif terjadi ketika teknologi alutsista dapat menetralisir keuntungan geografis yang ada. Keuntungan defensif terjadi ketika teknologi alutsista tidak bisa menetralisir keuntungan geografis. Sedangkan pembedaan senjata ofensif dan defensif dapat dilihat dari 3 variabel yaitu mobilitas, daya tembak dan kemampuan menyerang tiba-tiba. Dari hasil analisis, tindakan China untuk bertindak lebih asertif kepada Vietnam disebabkan karena China dan Vietnam sama-sama memiliki keuntungan ofensif dan alutsista yang mereka miliki dapat dibedakan antara yang memiliki kemampuan ofensif dan kemampuan defensif. Oleh sebab itu dalam hubungan China dan Vietnam terjadi hubungan yang memungkinkan terjadinya aksi asertif oleh salah satu negara.

This study tries to explain why China acts assertively towards Vietnam in the case of disputes in the South China Sea. China's action against Vietnam in the South China Sea case is an anomaly. When dealing with other Southeast Asian countries, China is not as assertive as when China is dealing with Vietnam. China is still prioritizing negotiations in dealing with other countries. But when it comes to Vietnam, China puts forward its assertiveness. To try to analyze China's attitude towards Vietnam, the author uses Jervis' offense-defense balance concept. The concept states that when a country increases its security, the security of other countries will decrease. However, this effect can be reduced by 2 indicators, namely offensive and defensive advantages and the differentiation of offensive or defensive weapons. Offensive advantage occurs when defense equipment technology can neutralize the existing geographic advantage. Defensive advantage occurs when defense equipment technology cannot neutralize geographical advantages. While the distinction between offensive and defensive weapons can be seen from 3 variables, namely mobility, firepower and the ability to attack suddenly. From the results of the analysis, China's action to act more assertively towards Vietnam is because China and Vietnam both have offensive advantages and their defense equipment can be distinguished between those with offensive capabilities and defensive capabilities. Therefore, in the relationship between China and Vietnam, there is a relationship that allows assertive action by one of the countries."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peggy Puspa Haffsari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas peran kepemimpinan Indonesia dalam upaya pengelolan
sengketa Laut Cina Selatan (LCS). Tujuan penelitian ini adalah
memahami peran negara dalam kawasan dan pengaruhnya pada dinamika
keamanan di tingkat regional secara komprehensif. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan model deduktif. Kerangka analisis menggunakan
konsep kepemimpinan dalam pendekatan kekuatan regional dan kerangka
keamanan (Regional Powers and Security Freamwork-RPSF). Terdapat lima
komponen yang menjelaskan perilaku pemimpin regional antara lain
keterlibatan dalam proses inisiasi (prosess-initiation), keterlibatan dalam
pembingkaian isu (issue framing), pertimbangan kepentingan (interest
consideration), membangun institusi (institutional development) dan
penyebaran kekuatan (deployment of power). Hasil penelitian secara umum
mendapatkan bahwa peran Indonesia dalam upaya pengelolaan sengketa LCS
cukup aktif namun berdampak terbatas. Peran Indonesia dikatakan aktif terlihat
dari telah banyak kerja sama dan diplomasi yang dilakukan Indonesia selama
dua puluh enam tahun. Peran Indonesia berdampak terbatas karena ditemukan
kendala pada tiap praktek peran kepemimpinan Indonesia dalam mendorong dan
mendukung terciptanya solusi internal penyelesaian sengketa LCS dari pihakpihak
yang bersengketa.

ABSTRACT
This thesis discusses the role of Indonesian leadership in the effort of managing
the South China Sea (LCS) disputes. The purpose of this study is to understand
the role of the state in the region and its influence on the dynamics of regional
security. This study is a qualitative reseacrh with the deductive model. the
analytical framework uses the concept of leadership in regional and security
approaches (Regional Powers and Security Framework-RPSF). There are five
components that explain the role of initiation, initiation proceedings, discussions
in framing issues, considerations of interests, institutional development, and
power dissemination. This research finds out that Indonesian role in LCS dispute
is quite active but limited impact. The active role of the Indonesian leadership
wants to create and maintain an environtement that is fulfilled the absence of
open conflict in the LCS. The role of Indonesia has limited impact because it
finds obstacles in every practice of Indonesia's leadership role in encouraging
and supporting the creation of internal dispute solution of LCS from the parties."
2018
T49046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Widian
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang topik kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah dan terus berperan sebagai fasilitator dialog dalam isu sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia selalu berusaha mengubah nuansa sengketa menjadi lebih kooperatif. Hal ini didukung oleh posisi dasar Indonesia yang bukan sebagai negara klaim di perairan tersebut. Namun, sejak tahun 2009, saat Tiongkok menegaskan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia terlihat menegaskan kebijakannya untuk menyatakan kedaulatannya di wilayahnya yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan, walaupun Indonesia tidak mengubah posisi dasarnya dalam isu sengketa tersebut. Hal ini mengindikasikan suatu persepsi ancaman yang dirasakan Indonesia akibat perilaku Tiongkok sehingga Indonesia merasa harus menegaskan kedaulatannya. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan apa saja faktor yang mungkin dapat mengancam Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Dalam menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan merujuk pada teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat oleh Steven Walt dan konsep Perimbangan Intensitas Ringan. Untuk mengaplikasikan teori dalam analisis, data-data dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Dalam analisis, penelitian ini menemukan bahwa perilaku Tiongkok di wilayah Indonesia yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 2009 memberikan persepsi ancaman bagi Indonesia terkait keamanan wilayahnya dan mendorong Indonesia melakukan perimbangan terhadap ancaman tersebut, walau Indonesia tetap memposisikan diri bukan sebagai negara klaim. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan perimbangan terhadap ancaman yang dihasilkan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

ABSTRACT
AbstractThis research talk about Indonesian Policy in The South China Sea. Since 1990s, Indonesia has been played a role of dialogue falisitator in the South China Sea Disputes. Indonesia always tried to change the disputes environtment to become more cooperative. This role is supported by Indonesia rsquo a posisition as non claimant states in the issue. However, since 2009, when China rsquo s claim assertiveness rised, Indonesia seems to affirm its policy to assert its sovereignity in its territory that which intersects with The South China Sea, eventhough Indonesia still maintain its non claimant status. This indicated that Indonesia already feels some threat perseptions because of China rsquo s assertiveness and policy so that Indonesia urge to reaffirm its sovereignty in its territory. Seeing this, the question arises as to what factors might threaten Indonesia in the South China Sea and how these factors influence Indonesia 39 s policies in the South China Sea. In answering this question, this research will refer to the theory of the Balance of Threat by Steven Walt and the concept of Low Intensity Balancing. To apply the theory in analysis, the data in this research will use qualitative research method with deductive approach. In the process, the study found that China rsquo s behavior in Indonesian territory intersecting with the South China Sea since 2009 provided a threat perception for Indonesia and encouraged Indonesia to balance the threat, although Indonesia remained positioned as a non claimant country. Thus, this study concluded that Indonesia has use balancing policy to balance the threat produced by China in the South China Sea. "
2018
T51184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Auditya Firza Saputra
"Kehadiran klaim nine-dash-line Republik Rakyat China membuat suasana politik di wilayah Laut Cina Selatan memanas akibat sengketa wilayah yang tak kunjung terselesaikan sejak dekade 1970 hingga saat ini. Masalah ini berkembang seiring ditemukannya potensi kekayaan alam di wilayah perairan Kepulauan Paracel. Kondisi ekonomi Vietnam yang sedang dilanda krisis global pasca perang saudara dan unifikasi menjadikan kepentingan potensi ekonomis yang terkandung di Paracel sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi. Di sisi lain, Hukum Internasional mengakui status kepemilikan suatu Pulau kepada negara tertentu melalui praktik pemenuhan asas okupasi efektif. Asas ini merupakan suatu preseden yang berkembang dari waktu ke waktu sejak kasus Putusan Arbitrase Las Palmas hingga kasus Putusan Sipadan dan Ligitan. Lewat metode okupasi yang efektif suatu kedaulatan negara dimanifestasikan lewat tindakan-tindakan damai yang secara terus menerus dalam periode penguasaan negara atas wilayah sengketa.

The presence of nine dash line claim by People?s Republic of China driven tensions to heat up the South China Sea as result of the unsettle territorial dispute since the 1970?s decades to present. The situations have developed since the discovery of oil potentials and other natural resources contained in the Paracels seas by States. Vietnam?s conditions is currently falling under the global economic crisis as a result of the Vietnam war and unification of the South and North Vietnam that produce the interests for such natural exploration of the Paracels waters. In the other side, International Law approves the right of territory of an island belong to the State that has exercised the practices of effective occupations principle. The principle is valid as a precedent that developed from time to time since the Las Palmas arbitration case until the Sipadan and Ligitan islands disput ruled out by the International Court of Justice. Through exercising the method of such effectivites, a sovereign state is recognsed its will to manifest the acts of peaceful display in a continual control over the dispute islands.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64511
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luna Puspita
"Fokus dari skripsi ini adalah untuk membahas prinsip perbatasan maritime dan penerapannya pada Sengketa Laut Cina Selatan, khususnya pada batas maritim negara penuntut. Skripsi ini juga menguraikan lebih lanjut mengenai posisi Indonesia di dalam sengketa tersebut. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai Sengketa Laut Cina Selatan dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai negara penutut yang mana yang memiliki klaim paling sah di Laut Cina Selatan.

The focus of this thesis is to discuss the maritime boundaries principle and applying the principle in the South China Sea Dispute regarding the maritime boundaries of the Claimant States. The thesis also elaborates more about Indonesia's position in the dispute. The purpose of this thesis is to give a more thorough understanding about the South China Sea Dispute, and discuss further regarding which claimant state has the most legitimate claim in the South China Sea.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56468
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khadijah
"Pesatnya aktivitas pelayaran menyebabkan sengketa teritorial dan maritim yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya hak untuk berlayar, khususnya bagi kapal perang. Penguasaan secara de facto oleh Tiongkok atas fitur-fitur laut di Spartly, Paracel dan Scarborough Shoal dapat berimplikasi pada keberlakuan hukum domestik Tiongkok yang membatasi hak lintas damai kapal perang asing di laut teritorial dan aktivitas militer asing di ZEEnya. Klaim Tiongkok ini ditentang oleh Amerika dengan cara mengirimkan kapal perangnya untuk berlayar di perairan yang masih bersengketa tersebut di bawah misi FONOP. Dalam meneliti permasalahan ini, Penulis menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif.
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah klaim Tiongkok tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional, dengan demikian hak lintas damai tidak berlaku di perairan sekitar fitur-fitur yang diklaim negara tersebut dan kapal asing tetap dapat berlayar di bawah rezim kebebasan navigasi yang tertuang dalam Pasal 58 1 UNCLOS. Oleh sebab itu, seharusnya Amerika mengirimkan kapal perangnya untuk melakukan kebebasan navigasi. Selain itu, Tiongkok tidak berhak mengklaim ZEE dari fitur-fitur yang diklaimnya tersebut sehingga kebijakan atas aktivitas militer tidak dapat diterapkan. Tiongkok adalah negara yang telah meratifikasi UNCLOS, maka seyogyanya negara tersebut mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut.

Territorial and maritime disputes occurring in the South China Sea have raised awareness among international communities regarding the impediment of navigational rights. China rsquo s de facto control on the sea features such as Spartly, Paracel and Scarborough Shoal possibly implies the enforcement of Chinese domestic laws that limit the innocent passage of foreign warships in territorial sea and foreign military activities in EEZ. However, America opposes Chinese claims by sending its warships to sail near disputed waters under FONOP mission. The research method used in this thesis is yuridis normatif.
The conclusions derived from the problem are, Chinese claims cannot be justified by international law, therefore the right of innocent passage is not applicable in the waters surrounding the claimed features and foreign warships are able to sail under the regime of freedom of navigation provisioned in Article 58 1 UNCLOS. Therefore, America should have sent its warships under the freedom of navigation regime. On the other hand, China is not capable of claiming EEZ derived from the features, therefore the country cannot restrict military activities in the region. Moreover, as member of UNCLOS, China has obligation to follow the rules set up in the convention.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>