Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120879 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Pratama
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah secara litigasi. Hal ini juga didukung dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Namun demikian, terdapat ketidakpastian hukum mengenai kewenangan penyelesaian perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan produk hukum Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, menyatakan bahwa kewenangan untuk menjatuhkan putusan pailit/taflis, sebagai kewenangan Pengadilan/Mahkamah Syar'iyah dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan kepailitan itu sendiri sejatinya secara tegas dinyatakan sebagai kewenangan Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Sehingganya, perkara-perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah, sampai saat ini diadili di Pengadilan Niaga. Adapun pengaturan kepailitan yang digunakan untuk menyelesaikan perkara di Pengadilan Niaga, hingga saat ini tidak memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dengan demikian, sangatlah diperlukan pengaturan kepailitan ekonomi syariah yang secara tegas mengatur tata cara penyelesaian perkara ini sesuai dengan prinsip syariah serta pengadilan yang berwenang menyelesaikannya.

Law of The Republic of Indonesia Number 3 of 2006 on Amendment to Law Number 7 of 1989 on Religious Courts, states the religious court as the only judiciary institution with exclusive jurisdiction to litigate sharia economic based cases. This provision also supported by Regulation of The Supreme Court Number 14 of 2016 on sharia economic cases settlement procedures and Circular Letter of The Supreme Court Number 2 of 2019 on Enactment of 2019 Supreme Court Chamber Plenary Meeting Results as The Guidelines for Court Duties Implementation. However, there is some uncertainty regarding competence or jurisdiction over bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities. The Sharia Economic Law Compilation which is a product of the Supreme Court Regulation, stipulates that the Religious Courts has the authority to issue sharia economic based bankruptcy judgement/Taflis. On the other hand, Law of the Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations and Book II of Implementation of Court Duties and Administration Guidelines, explicitly states that bankruptcy itself is a part of commercial court jurisdiction. Thus, bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities are being settled in commercial court. For that matter, the set of laws that are implemented in commercial court to settle those kinds of bankruptcy cases, are not specifically sharia compliant. Therefore, it is urgent that a sharia compliant law which specifically provides the procedures on these kinds of bankruptcy cases be enacted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Annas Syahdio
"Skripsi ini membahas mengenai kewenangan Pengadilan Niaga dalam kepailitan asuransi syariah menurut UU 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan PKPU yang menjadi sebuah diskursus tersendiri dalam paradigma perluasan kewenangan Pengadilan Agama serta ketentuan kepailitan syariah (taflis) dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Utang menurut hukum kepailitan di Indonesia didefinisikan secara luas mencakup setiap kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, dan utang menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga setiap kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang. Berbeda dengan asuransi konvensional di mana pertanggungan terjadi antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis, dalam asuransi syariah pertanggungan terjadi di antara para pemegang polis dengan perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana tabarru'. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan atas akibat dan penyelesaian perbedaan arti utang secara konvensional dan syariah. Pertanyaan tersebut pernah dihadapi oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan kepailitan terhadap PT Asuransi Syariah Mubarakah yang akan diulas dalam penelitian ini.

This study discusses about the Commercial Court's competence in sharia insurance bankruptcy according to UU 37 of 2004 which has become a discussion under the expansion of Religious Court's competence and sharia bankruptcy (taflis) terms under Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Debt under the Indonesian Bankruptcy Law is defined broadly to include any obligation that is or can be stated in monetary amount, and under Sharia Economic Law Compilation debt is also defined as any obligation that is or can be stated in monetary amount. Contrary to Conventional Insurance where insurance occurs between the policy holder and the Conventional Insurance Company, Sharia Insurance occurs between the policy holder themselves with Sharia Insurance Company acts as the administrator of tabarru' fund. It raises questions as to the implication and adjudication of conventional and sharia debt differences. That question was faced by the Commercial Court at Central Jakarta District Court who checks and decides the bankruptcy of PT Asuransi Syariah Mubarakah which will be further discussed in this study."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Sanjaya
"Penelitian ini menganalis sengketa yang teijadi pada tahun 2004, antara H. F.ffendi bin Rajab (debitur) dengan Bank Bukopin Cabang Syariab Bukittinggi (kreditur). Hubungan hukum kcduanya berawal dari take over yang kemudian diikat dengan aknd pernbiayaan Murabahah. Sengketa muncul ketika teijadi kredit maeet. Pihak Bank Bukopin Syariab tidak menempuh penyelesaian melalui BAMUJ (sesuai dengan aknd), aknn tetapi langsung melalui penetapan Sita Eksekusi melalui Pengadilan Negeri. Kemudian H. Effendi bin Rajab melakukan Perlawanan ke Pengadilan Negeri Bukittinggi. Akan tetapi perlawanannya ditolak. Tahun 2006, saat Undang·undang No. 3 Tabun 2006 Tentang Peradilan Agama berlakn,H. Effendi menggugat Bank Bukopin Cabang Syariab Bukittinggi ke Pengadilan Agama Bukittinggi. Pengadilan Agama pun menerima dan mengabulkan gugatan H. EffendL Akan tetapi di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Padang membatalkan putusan Pengadilan Agama Bukittinggi, dan menyatakan Pengadilan Agama Bukittinggi tidak berwenang mengadili perknra dimaksud. Pada tingkat Kasasi, Mabkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi.
Oleh karena terjadi perbedaan pendapat antar tingkat lembaga peradilan agama, maka. pedu diteliti sengketa apa sesungguhnya yang terjadi dan lembaga penyelesaian manakah yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini. Metode yang digunaknn untuk penelitian ini adalah pendekatan studi kasus, yaitu menitikberatkan penelitian terhadap putusan Mabkamah Agung No. 292 KIAG/2008, yang ditunjang dengan data kepustakaan, Kesimpulannya sengketa yang terjadi dalam kasus lni sebenarnya adalah sengketa kredit macet, yang objek jarninannya diletakkan Sita Eksekusi dan Lelang Eksekusi oleh Pengadtlan Negeri, dan bukan perkara Perbuatan Melawan Hukum. Sedangkan lembaga yang berwenang menyelesaikan permasalaban ini adalah sesuai dengan pilihan penyelesaian sengketa yang tercantum dalam akad Ar/urabahah yaitu BAMUI.

This research analyzes a dispute occurring in 2004, between H. Effendi bin Rajah (debtor) and Bank Bukopin Syariab Branch of Bukittinggi (creditor). Their legal relation was started from a take over which was subsequently bound by a Murabahah financing agreement. The dispute arose when bad debt occurred. Bank Bukopin Syariab did not procure settlement through BAMUI (pursuant to the agreement), but directly through a foreclosure decision through the District Court. Thereafter H. Effendi bin Rajah filed an objection to the District Court ofBukittinggi, but his objection was rejected In 2006, when Law No. 3 of 2006 regarding Religious Court took effect, H. Effendi sued Bank Bukopin of Syariab Bmnch of Bukittinggi to Religious Court of Bukittinggi. The Religious Court accepted and granted the suit of H. Effendi. However, at the appeal !evethe Religious High Court of Padang cancelled the ruling of the Religious Court of Bukittinggi, and declared that the Religious Court ofBukittinggi had no jurisdiction to try the concerned court case, At Cassation level, the Supreme Court confirmed the High Court's ruling.
Since there was different opinion among religious courts. it is necessary to examine what the real case is and which dispute settlement institution has the jurisdiction to examine and try this court case. Method used in this research is case study approach, which gives emphasis to examining the rrding of the Supreme Court No. 292 K/AGI2008, supported by bibHographical data. The conclusion is that the dispute in this court case is actually a dispute of bed debt, the collateral of which was put in Foreclosure and Foreclosure Sale by District Court but not as illegal action. While the institution that has the jurisdiction to settle this matter is in accordance with the choice of
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33543
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adzikra Yastadzi Sidik
"ABSTRAK
Dalam sistem asuransi syariah, setiap peserta bermaksud tolong-menolong satu sama lain dengan menyisihkan iuran kebajikan tabarru. Dalam perusahaan asuransi syariah saat perusaahan tidak membayar klaim nasabah maka hal tersebut bukanlah sebuah utang karena perusahaan hanya bersifat mengelola dana maka tidak sepatutnya terjadi kepailitan dalam perusahaan asuransi syariah. Dari hal tersebut dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu apakah dana tabarru dalam konsep perjanjian hukum asuransi syariah dapat diartikan sebagai utang yang dijadikan sebagai dasar kepailitan, bagaiman landasan hukum OJK dalam mengajukan permohonan pailit perusahaan Asuransi Syariah Mubarakah, dan apakah pengadilan niaga berwenang mengadili perkara kepailitan perusahaan Asuransi Syariah Mubarakah Penelitian ini dilakukan dengan meneliti perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan kepailitan perusahaan asuransi serta melakukan observasi dan wawancara kepada orang yang ahli di bidang perasuransian syariah. Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa Perusahaan Asuransi Mubarakah tidak dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena konsep yang digunakan oleh Perusahaan Asuransi Syariah ialah Takaful. Saran yang dapat penulis berikan ialah seharusnya pembuat Undang-Undang memberikan pengertian yang lebih jelas dan lebih terperinci terhadap ketentuan utang, seharusnya OJK sebelum mengajukan permohonan pailit terhadap debitor harus menelaah lebih lanjut mengenai prinsip dasar yang digunakan suatu perusahaan, para kreditor dan OJK seharusnya harus mengerti mengenai kewenangan mutlak suatu pengadilan dalam mengadili suatu perkara dalam perkara ekonomi syariah khususnya asuransi syariah yang berwenang mengadili perkaranya ialah pengadilan agama bukan pengadilan niaga.

ABSTRACT
Within the Takaful system, each participant intends to help each other by setting aside the contribution fee tabarru. In the Takaful company when the company does not pay the customer 39 s claim then it is not a debt because the company is only fund managing it is not proper for bankruptcy in sharia insurance company. From this matter can be drawn some formulation of the problem is whether the tabarru funds in the concept of sharia insurance law agreement can be interpreted as the debts that serve as the basis of bankruptcy, how OJK legal foundation in applying for insolvency company Insurance Sharia Mubarakah, and whether commercial courts have the authority to adjudicate corporate bankruptcy cases Asuransi Syariah Mubarakah This research is conducted by examining the legislation, books related to bankruptcy insurance company and make observations and interviews to people who are experts in the field of Islamic Insurance. The researcher concludes that Mubarakah Insurance Company can not be declared bankrupt by Commercial Court because the concept used by Sharia Insurance Company is Takaful. The author 39 s suggestion is that the lawmakers should provide a clearer and more detailed understanding of the terms of the debt, should the OJK before applying for bankruptcy to the debtor should further explore the basic principles used by a company, the creditors and OJK should have to understand regarding the absolute authority of a court in prosecuting a case in a sharia economic case, especially sharia insurance which has the authority to adjudicate its case is a religious court not a commercial court. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hoff, Jerry
Jakarta: Tatanusa, 2000
346.078 HOF it
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Muhammad Aziz
"Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur tata cara untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif, tetapi di dalam praktik masih ditemui berbagai permasalahan yang menyebabkan hak kreditor tidak terpenuhi. Actio Pauliana adalah hak yang diberikan undang-undang kepada kurator untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaan yang diketahui oleh debitor perbuatan tersebut akan merugikan kreditor.
Skripsi ini membahas tentang putusan Actio Pauliana dalam suatu perkara kepailitan. Putusan Actio Pauliana tersebut dilakukan atas perbuatan direksi yang menyebabkan berkurangnya harta perseroan dan harta pailit yang merugikan para kreditor. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan secara deskriptif melalui bahan-bahan kepustakaan dan analisis terhadap putusan pengadilan. Hasil menunjukkan Actio Pauliana adalah perkara yang berkaitan dengan pemberesan harta pailit, sehingga Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan tersebut.

Law of The Republic of Indonesia Number 37 year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts has arranged management procedures to facilitate the business community in their efforts to settle their debt obligations in a fair, speedy, open and effective manner, but still in practice will be met various problems which causing rights of the creditors not fulfilled. Actio Pauliana is a right by law for a receiver on nullifying any non obligatory acts of debtor towards the asset which known by debtor would cause such loss to the creditor.
This thesis research contains analysis of court decisions about Actio Pauliana in bankruptcy case. This research represent descriptive analytical research which using normative juridical. Method which used to analyze and to process data are qualitatif. Research result showed that in Actio Pauliana is related to finishing bankruptcy property, so that commercial court have the jurisdiction to examine and adjudicate Actio Pauliana case.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Demadevina
"[ABSTRAK
Skripsi ini membahas dua permasalahan: alasan mengapa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia perlu memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional; dan bagaimana seharusnya mengatur penambahan kewenangan tersebut. Hasil penelitian ini adalah: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia perlu mendapatkan kewenangan ini demi menjalankan prinsip negara hukum yang dianut Republik Indonesia, melindungi Hak Asasi Manusia, menegakkan supremasi konstitusi, menjalankan checks and balances, memenuhi esensi pendirian mahkamah konstitusi di dunia, menjalankan fungsi pengujian konstitusional secara utuh, dan secara empiris banyak kasus yang bersubstansi pengaduan konstitusional sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; dan penambahan kewenangan tersebut hanya bisa dilakukan dengan amandemen undang-undang dasar.

ABSTRACT
, This thesis mainly discusses two problems: the urgency of giving the
jurisdiction for constitutional court of Republic of Indonesia over constitutional
complaint; and how the jurisdiction is supposedly given. This thesis concludes
that: constitutional court should have jurisdiction over constitutional complaint in
order to implement the principles of ‘rule of law’, protect human rights, uphold
the supremacy of constitution, maintain checks and balances function, fulfill the
essence of establishing constitutional court, and completely implement the
function of constitutional review, and empirically there has been many cases in
constitutional court of Republic of Indonesia that contain constitutional complaint
substance; and the only way to give the jurisdiction to constitutional court of
Republic of Indonesia is to amend the constitution.]
"
Universitas Indonesia, 2015
S57693
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Demadevina
"Skripsi ini membahas dua permasalahan: alasan mengapa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia perlu memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan konstitusional; dan bagaimana seharusnya mengatur penambahan kewenangan tersebut. Hasil penelitian ini adalah: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia perlu mendapatkan kewenangan ini demi menjalankan prinsip negara hukum yang dianut Republik Indonesia, melindungi Hak Asasi Manusia, menegakkan supremasi konstitusi, menjalankan checks and balances, memenuhi esensi pendirian mahkamah konstitusi di dunia, menjalankan fungsi pengujian konstitusional secara utuh, dan secara empiris banyak kasus yang bersubstansi pengaduan konstitusional sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; dan penambahan kewenangan tersebut hanya bisa dilakukan dengan amandemen undang-undang dasar.

This thesis mainly discusses two problems: the urgency of giving the jurisdiction for constitutional court of Republic of Indonesia over constitutional complaint; and how the jurisdiction is supposedly given. This thesis concludes that: constitutional court should have jurisdiction over constitutional complaint in order to implement the principles of ‘rule of law’, protect human rights, uphold the supremacy of constitution, maintain checks and balances function, fulfill the essence of establishing constitutional court, and completely implement the function of constitutional review, and empirically there has been many cases in constitutional court of Republic of Indonesia that contain constitutional complaint substance; and the only way to give the jurisdiction to constitutional court of Republic of Indonesia is to amend the constitution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58266
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Hendrika
"Forum Arbitrase merupakkan forum penyelesaian sengketa yang acapkali dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perjanjian perdagangan karena alasan-alasan efektivitas dan biayanya yang murah. Namun dengan perkembangan perekonomian dunia yang diiringi dengan kebebasan para pihak dalam hal menerapkan Pilihan Forum, hasil penyelesaian sengketa demikian berpotensi untuk mengandung unsur-unsur asing sebagai akibat dari para pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, terletak pada wilayah hukum yang berbeda, dan/atau bahkan memilih forum Arbitrase asing yang tunduk pada ketentuan hukum yang berlainan dari pihak dalam perjanjian perdagangan tersebut. Kemudian dalam keberlakuannya, putusan Arbitrase dapat dimintakan permohonan pembatalannya ke pengadilan negeri. Meskipun demikian, Indonesia yang memiliki ketentuan hukum Arbitrase nya sendiri, yakni UU No, 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS), serta negara anggota New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (Konvensi New York 1958), menjadi subjek terhadap dua ketentuan pembatalan putusan Arbitrase yang berbeda. Dalam pengaturannya, ketentuan pembatalan UUAAPS hanya dapat berlaku bagi putusan Arbitrase nasional, sedangkan Konvensi New York 1958 berlaku bagi Putusan Arbitrase Internasional. Kendati demikian, suatu putusan Arbitrase dapat mengandung unsur asing, dan hal ini seringkali mengundang interpretasi yang turut berpengaruh pada penerapan UUAAPS dan Konvensi New York 1958. Kenyataan ini merupakan salah satu ruang lingkup kajian Hukum Perdata Internasional karena dalam hal penentuan kewenangan oleh pengadilan negeri dalam perkara pembatalan putusan Arbitrase yang mengandung unsur asing, timbul pertanyaan “Pengadilan negara manakah yang berwenang untuk mengadili pembatalan putusan Arbitrase yang mengandung unsur asing tersebut?” Melalui penelitian yuridis-normatif, skripsi ini akan menganalisis praktik kewenangan mengadili oleh pengadilan negeri di Indonesia sehubungan dengan penerapan pasal-pasal pembatalan Arbitrase yang ada

As one of the dispute resolution forums, arbitration, is often chosen by the parties to resolve commercial agreement disputes due to its effectiveness and cost efficiency. However, as the world’s economy develops, accompanied by the freedom in implementing the choice of forum, the results of such dispute resolution potentially contain foreign elements due to the parties being subject to different legal systems, being located in different jurisdictions, and/or even choosing a foreign arbitration which has different legal system from the parties involved in the commercial agreement. Notwithstanding aforementioned explanation, arbitration award can be requested for its annulment to the district court. Nevertheless, Indonesia with its own Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Arbitration Law), while also participating as the member states of the New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention 1958), is subject to two different provisions for arbitral award annulment. For example, the provisions for the arbitral award annulment in UUAAPS is only applicable for national arbitral award, while the annulment provision in New York Convention 1958 applies to foreign arbitral award. However, an arbitral award may contain foreign elements, which often results in different interpretations in its implementation and influences the application of the Arbitration Law and the New York Convention 1958. This event falls within the scope of Private International Law’s studies because it raises the question of "Which district court has the authority to adjudicate the annulment of arbitral awards containing the foreign elements?" Through normative-juridical research, this undergraduate thesis will analyse the practice of Indonesian district court’s authority in adjudicating the annulment of said arbitral award in relation to the application of existing arbitration annulment regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>