Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163131 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fathiyyatul Khaira
"

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan titik potong lingkar lengan atas pada posisi berbaring. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Data diambil dari rekam medis pasien poliklinik radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (n=207) dan dilakukan pengukuran antropometri pada pasien. Titik potong lingkar lengan atas diperoleh dari kurva ROC dan indeks Youden tertinggi. Dari penelitian ini didapatkan perbedaan rata-rata antara lingkar lengan atas pada posisi berdiri dan terlentang adalah 0,13 ± 0,33 cm (p<0,001). Lingkar lengan atas dari keseluruhan subjek memiliki korelasi yang kuat dan signifikan dengan indeks massa tubuh (r=0,932; p<0,001). Nilai AUC lingkar lengan atas untuk mendeteksi malnutrisi adalah 0,97 (95% CI 0,947-0,992; p<0,001). Lingkar lengan atas <23,4 cm menunjukkan sensitivitas 94,7% dan spesifisitas 95,6% untuk pria, dan sensitivitas 95% dan spesifisitas 89% untuk wanita. Sebagai kesimpulan, lingkar lengan atas <23,4 cm dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengukuran untuk mendeteksi malnutrisi, terutama bila indeks massa tubuh tidak dapat diukur.


This study aims to establish a cut-off point for mid-upper arm circumference in the supine position. This is a cross-sectional study. Data were taken from patients at the radiotherapy clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (n=207) by medical records, and anthropometric measurements were performed. The cut-off point of the mid-upper arm circumference was obtained from the ROC curve and the highest Youden’s index. This study found that the mean difference between mid-upper arm circumference in the standing and supine positions is 0.13±0.33 cm (p<0.001). The mid-upper arm circumference from all subjects strongly and significantly correlates to body mass index (r=0.932; p<0.001). The area under the curve of the mid-upper arm circumference for detecting malnutrition was 0.97 (95% CI 0.947–0.992; p<0.001). The mid-upper arm circumference of <23.4 cm presents a sensitivity of 94.7% and a specificity of 95.6% for men, and a sensitivity of 95% and a specificity of 89% for women. In conclusion, the mid-upper arm circumference of <23.4 cm can be used as an alternative measurement to detect malnutrition, particularly when body mass index cannot be measured.
 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahreza Aditya Neldy
"Nilai titik potong lingkar lengan atas (LiLA) untuk diagnosis gizi buruk berdasarkan WHO adalah 11,5 cm. Nilai titik potong ini dinilai kurang sensitif dalam menjaring kasus gizi buruk pada balita. Berbagai nilai titik potong LiLA baru diusulkan dengan nilai diagnostik yang lebih baik namun memiliki interval yang lebar, 12 cm-14,1 cm. Saat penelitian ini dilakukan belum ada data mengenai evaluasi nilai titik potong LiLA 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk pada balita di Indonesia. Diperlukan penelitian untuk mengevaluasi nilai diagnostik LiLA dalam diagnosis gizi buruk dan mencari titik potong yang paling optimal pada balita Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik LiLA dibandingkan dengan indeks BB/TB dalam diagnosis gizi buruk pada balita, mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif nilai titik potong LiLA < 11,5 cm dalam diagnosis gizi buruk dan mencari rekomendasi nilai titik potong LiLA yang memiliki nilai diagnostik yang lebih baik untuk skrining balita dengan gizi buruk. Pengambilan subyek penelitian pada studi diagnostik ini dilakukan secara konsekutif pada bulan Januari-Februari 2020 di RSCM dan Puskesmas Cengkareng Jakarta Barat. Penelitian ini melibatkan 421 subyek. Data dasar, jenis kelamin, usia didapatkan melalui wawancara singkat. Pengukuran antropometri berupa berat badan, tinggi badan/panjang badan dan lingkar lengan atas dilakukan oleh peneliti/asisten peneliti yang memiliki realibilitas pengukuran yang baik. LiLA memiliki nilai diagnostik yang tinggi ditandai dengan AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). Nilai diagnostik LiLA dengan titik potong 11,5 cm memiliki sensitivitas yang rendah. Nilai diagnostik LiLA dengan nilai titik potong 11,5 cm: Se 21% Sp 99,7% NDP 80%, NDN 96%, IY 0,2. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan hasil terbaik dalam identifikasi gizi buruk dengan Se 89%, Sp 87%, NDP 25%, NDN 99% dan IY 0,76. Nilai titik potong LiLA 11,5 cm untuk kasus gizi buruk memiliki sensitivitas yang rendah dan sebaiknya tidak digunakan dalam upaya skrining kasus gizi buruk di masyarakat. Nilai titik potong LiLA 13,3 cm memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dalam upaya skrining gizi buruk pada balita usia 6-59 bulan.

World Health Organization recommends 11,5 cm as cut off value of mid-upper arm circumference (MUAC) to diagnose severe acute malnutrition (SAM) in under-five. Many studies indicate that the recommended cut off value is not sensitive to screen severe acute malnutrition cases. Various new cut off values have been proposed with very wide interval, 12-14.1 cm. When this study started there was no available data regarding diagnostic value of MUAC in diagnosing severe acute malnutrition in under-five in Indonesia. Aims of this study are to evaluate diagnostic value of MUAC in diagnosing SAM compare to WHZ index, to evaluate sensitivity, specificity, positive prediction value, negative prediction value of MUAC with 11,5 cm as standard cut off in diagnosing SAM and to find alternative cut off value that may offer better diagnostic performance. This diagnostic study recruits subjects consecutively in January-February 2020 in Cipto Mangunkusumo hospital and Puskesmas Cengkareng. We collected 421 subjects. Demographic data was obtained by using brief conversation. Physical examination and anthropometric measurement were performed by researcher and research assistant that had been trained, evaluated and proven to have excellence reliability. In general, MUAC has excellent diagnostic value to assess SAM in under-five with AUC 0,939 (CI95% 0,903-0,974). The recommended cut off value has low sensitivity. Proportion SAM using WHZ index and MUAC < 11,5 cm are 4,5% and 1,2%. Diagnostic values MUAC using cut off 11,5 cm are Se 21%, Sp 99,7%, PPV 80%, NPV 96% and YI 0,2. By using 13.3 cm as new cut off value, MUAC will have Se 89%, Sp 87%, PPV 25%, NPV 99% and YI 0,76. We conclude that MUAC using 11,5 cm has low sensitivity to detect SAM cases in population, therefore should not be implemented in the community for screening SAM cases. The new cut of value 13,3 cm has better diagnostic value to screen SAM cases in under-fives."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisa Vinesha
"Massa otot memiliki banyak manfaat, termasuk untuk aktivitas kehidupan sehari-hari dan memengaruhi dalam kinerja olahraga. Selain itu, otot juga berperan sebagai pencegahan dari berbagai kondisi patologis dan penyakit kronis yang umum terjadi. Kemajuan teknologi telah membuat massa otot semakin mudah diukur dengan akurat, namun tidak semua kegiatan dapat mengakses alat ukur massa otot dengan mudah terkait alat ukur yang terbatas dan terbilang mahal.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menciptakan metode alternatif menghitung massa otot berdasarkan ukuran lingkar betis, lingkar otot lengan atas, dan lingkar lengan atas pada karyawan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan total sampel 96 responden.
Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi kuat pada jenis kelamin yang tidak dibedakan antara lingkar otot lengan atas dengan massa otot r = 0,545, korelasi kuat pada laki-laki antara lingkar lengan atas dengan massa otot r = 0,650, serta korelasi kuat pada perempuan antara lingkar betis dengan massa otot r = 0,716. Model prediksi yang paling ideal digunakan adalah Massa Otot kg = 11,964 JK 1,108 LiLA cm 0,07 LOLA cm 5,757 dengan nilai akurasi 0,829 dan pertimbangan akurasi yang tinggi serta kemudahan pengaplikasian di lapangan.

Muscle mass has many benefits, including for daily activities and sports performance. In addition, muscle also serves as a prevention of various pathological conditions and chronic diseases are common. Advanced technology makes easier to measure muscle mass accurately, but not all activities can easily access muscle mass measurements with limited and costly measuring instruments.
The purpose of this study is to create an alternative method of calculating muscle mass based on calf circumference, mid upper arm muscle circumference, and mid upper arm circumference on employees of Public Health Faculty, Universitas Indonesia. This study used cross sectional design and samples total in this study are 96 respondents.
The results showed a strong correlation of all samples between mid upper arm muscle circumference and muscle mass r 0,545, strong correlation in males sample between mid upper arm circumference and muscle mass r 0,650, and strong correlation in women samples between calf circumference and muscle mass r 0,716. The most ideal prediction model used is Muscle Mass kg 11,964 JK 1,108 LiLA cm-0,07 LOLA cm 5,757 with correlation value 0,829, high accuracy and applicable in the field.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetya Ismail Permadi
"Latar belakang: Pasien Talasemia Mayor (TM) anak menderita defisiensi nutrisi karena asupan nutrisi yang tidak mencukupi. Penghindaran makanan kaya zat besi seringkali bersamaan dengan pembatasan asupan protein. Asupan mikronutrien termasuk magnesium lebih rendah dibandingkan anak normal. Fungsi otot lebih awal terganggu akibat defisiensi nutrisi daripada massa otot. Penilaian massa otot dan Hand Grip Strength (HGS) menjadi penting untuk mengevaluasi status gizi. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang mengevaluasi hubungan antara HGS dengan asupan kalori, protein dan magnesium, LILA dan massa otot pasien anak TM.
Metode: Penelitian dengan desain studi potong lintang melibatkan 70 pasien TM anak, berusia 6-18 tahun di Pusat Talasemia RSUPN Cipto Mangunkusumo. Status gizi dievaluasi disertai pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Asupan kalori, protein dan magnesium diperoleh melalui metode analisis diet semi-kuantitatif Food Frequency Questionnaires (FFQ) dan Magnesium FFQ (MgFFQ). Kadar Mg serum dinilai dengan menggunakan metode enzimatik-kalorimetri. Massa otot diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan HGS dinilai menggunakan Dinamometer tangan Jamar
Hasil: Status gizi berdasarkan LILA/U sebagian besar berstatus gizi baik 42,9% dan malnutrisi 57,1% yakni gizi kurang (30,0%), gizi buruk (25,7%), dan obesitas (1,4%). Rerata kecukupan energi pada anak TM lelaki 100% (SB 17), sedangkan anak perempuan sebesar 112% (SB 27). Rerata asupan protein dan magnesium pada kedua kelompok lebih tinggi dibanding kebutuhan AKG. HGS berkorelasi kuat dengan massa otot (r=0,82), berkorelasi sedang dengan LILA (r=0,60), dan berkorelasi lemah dengan asupan kalori (r=-0,27), protein (r=-0,33) dan magnesium (r=-0,23), serta kadar magnesium (r=0,26). Hipermagnesemia dijumpai pada 23% subyek penelitian. Simpulan: Lebih dari separuh anak Talasemia mengalami malnutrisi walaupun asupan cukup. HGS berkorelasi dengan asupan nutrisi, LILA, dan massa otot.

Background: Pediatric Thalassemia Major (TM) patients suffer from nutritional deficiencies due to insufficient nutritional intake. Avoidance of iron-rich foods often coincides with limiting protein intake. Micronutrient intake including magnesium is lower than in normal children. Muscle function is impaired earlier due to nutritional deficiencies than muscle mass. Assessment of muscle mass and Hand Grip Strength (HGS) is important for evaluating nutritional status. Until now there has been no research in Indonesia that evaluates the relationship between HGS and calorie, protein, and magnesium intake, LILA, and muscle mass in pediatric TM patients.
Methods: This research with a cross-sectional study design involved 70 pediatric TM patients, aged 6-18 years at the Thalassemia Center of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Nutritional status is evaluated by measurement of mid-upper arm circumference (MUAC). Calorie, protein, and magnesium intake was obtained through semi- quantitative dietary analysis methods Food Frequency Questionnaires (FFQ) and Magnesium FFQ (MgFFQ). Serum Mg levels were assessed using the enzymatic calorimetric method. Muscle mass was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) and HGS was assessed using a Jamar hand dynamometer.
Results: Nutritional status based on LILA/U was mostly good nutritional status 42.9% and malnutrition 57.1%, namely undernutrition (30.0%), poor nutrition (25.7%), and obesity (1.4%). The average energy adequacy for TM boys is 100% (SD 17), while for girls it is 112% (SD 27). The average intake of protein and magnesium in both groups was higher than the RDA requirements. HGS is strongly correlated with muscle mass (r=0.82), moderately correlated with LILA (r=0.60), and weakly correlated with calorie intake (r=-0.27), protein (r=-0.33), and magnesium (r=-0.23), as well as magnesium levels (r=0.26). Hypermagnesemia was found in 23% of study subjects.
Conclusion: More than half of Thalassemia children experience malnutrition despite adequate intake. HGS correlates with nutritional intake, MUAC, and muscle mass.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasetya Ismail Permadi
"Latar belakang: Pasien Talasemia Mayor (TM) anak menderita defisiensi nutrisi karena asupan nutrisi yang tidak mencukupi. Penghindaran makanan kaya zat besi seringkali bersamaan dengan pembatasan asupan protein. Asupan mikronutrien termasuk magnesium lebih rendah dibandingkan anak normal. Fungsi otot lebih awal terganggu akibat defisiensi nutrisi daripada massa otot. Penilaian massa otot dan Hand Grip Strength (HGS) menjadi penting untuk mengevaluasi status gizi. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang mengevaluasi hubungan antara HGS dengan asupan kalori, protein dan magnesium, LILA dan massa otot pasien anak TM.
Metode: Penelitian dengan desain studi potong lintang melibatkan 70 pasien TM anak, berusia 6-18 tahun di Pusat Talasemia RSUPN Cipto Mangunkusumo. Status gizi dievaluasi disertai pengukuran lingkar lengan atas (LILA). Asupan kalori, protein dan magnesium diperoleh melalui metode analisis diet semi-kuantitatif Food Frequency Questionnaires (FFQ) dan Magnesium FFQ (MgFFQ). Kadar Mg serum dinilai dengan menggunakan metode enzimatik-kalorimetri. Massa otot diukur menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan HGS dinilai menggunakan Dinamometer tangan Jamar.
Hasil: Status gizi berdasarkan LILA/U sebagian besar berstatus gizi baik 42,9% dan malnutrisi 57,1% yakni gizi kurang (30,0%), gizi buruk (25,7%), dan obesitas (1,4%). Rerata kecukupan energi pada anak TM lelaki 100% (SB 17), sedangkan anak perempuan sebesar 112% (SB 27). Rerata asupan protein dan magnesium pada kedua kelompok lebih tinggi dibanding kebutuhan AKG. HGS berkorelasi kuat dengan massa otot (r=0,82), berkorelasi sedang dengan LILA (r=0,60), dan berkorelasi lemah dengan asupan kalori (r=-0,27), protein (r=-0,33) dan magnesium (r=-0,23), serta kadar magnesium (r=0,26). Hipermagnesemia dijumpai pada 23% subyek penelitian. Simpulan: Lebih dari separuh anak Talasemia mengalami malnutrisi walaupun asupan cukup. HGS berkorelasi dengan asupan nutrisi, LILA, dan massa otot.

Background: Pediatric Thalassemia Major (TM) patients suffer from nutritional deficiencies due to insufficient nutritional intake. Avoidance of iron-rich foods often coincides with limiting protein intake. Micronutrient intake including magnesium is lower than in normal children. Muscle function is impaired earlier due to nutritional deficiencies than muscle mass. Assessment of muscle mass and Hand Grip Strength (HGS) is important for evaluating nutritional status. Until now there has been no research in Indonesia that evaluates the relationship between HGS and calorie, protein, and magnesium intake, LILA, and muscle mass in pediatric TM patients.
Methods: This research with a cross-sectional study design involved 70 pediatric TM patients, aged 6-18 years at the Thalassemia Center of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Nutritional status is evaluated by measurement of mid-upper arm circumference (MUAC). Calorie, protein, and magnesium intake was obtained through semi- quantitative dietary analysis methods Food Frequency Questionnaires (FFQ) and Magnesium FFQ (MgFFQ). Serum Mg levels were assessed using the enzymatic calorimetric method. Muscle mass was measured using Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) and HGS was assessed using a Jamar hand dynamometer.
Results: Nutritional status based on LILA/U was mostly good nutritional status 42.9% and malnutrition 57.1%, namely undernutrition (30.0%), poor nutrition (25.7%), and obesity (1.4%). The average energy adequacy for TM boys is 100% (SD 17), while for girls it is 112% (SD 27). The average intake of protein and magnesium in both groups was higher than the RDA requirements. HGS is strongly correlated with muscle mass (r=0.82), moderately correlated with LILA (r=0.60), and weakly correlated with calorie intake (r=-0.27), protein (r=-0.33), and magnesium (r=-0.23), as well as magnesium levels (r=0.26). Hypermagnesemia was found in 23% of study subjects.
Conclusion: More than half of Thalassemia children experience malnutrition despite adequate intake. HGS correlates with nutritional intake, MUAC, and muscle mass.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Adaptasi psikologis merupakan hal yang penting bagi pasien kanker dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian ini membahas mengenai gambaran adaptasi psikologis pada pasien kanker. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif sederhana. Sampel pada penelitian ini berjumlah 92 orang pasien kanker di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Responden mengisi kuesioner berupa data demografi dan 25 pernyataan yang merujuk pada Mental Adjustment to Cancer (MAC). Teknik sampling yang digunakan adalah sampling incidental. Hasil menunjukkan reaksi psikologis maladaptif sebesar 58,7% ; tingkat kecemasan tinggi sebesar 56,5% ; koping adaptif sebesar 65,2% ; harapan mengenai masa depan yang tinggi sebesar 76,1% ; upaya peningkatan kesehatan adaptif sebesar 92,4%. Berdasarkan kelima variabel tersebut, diperoleh data bahwa sebesar 41,3% pasien memiliki adaptasi psikologis adaptif; dan 58,7% pasien rnemiliki adaptasi psikologis maladaptif (mean = 2,97%). Berdasarkan hasil penelitian, perlu dilakukan penelitian lebih Ianjut mengenai adaptasi psikologis pada dua kelompok (responden yang menderita kanker dan responden yang tidak menderita kanker), namun masih berada dalam residen yang sama dan memiliki rentang usia yang sama. Sehingga faktor-faktor lain selain penyakit dan efek pengobatan kanker yang dapat mempengaruhi adaptasi psikologis pada pasien kanker seperti faktor sosioekonomi, kecemasan dalam menghadapi masa tua dan berduka akibat ditinggal oleh anggota keluarga dapat terkontrol.

Psychological adjustment in patients with cancer is important to improve their quality of ife. With quantitative method and descriptive design, this study investigated a psychological adjustment in patients with cancer. 92 participants of cancer patients in RSUPN Cipro Mangunkusumo incidentally recruited with appropriate criteria Based on the Mental Adjustment to Cancer (MAC) Scale of the short form 25-items psychological adiustment survey; 58,7% patients with cancer have maladaptive adjustment (mean = 2,97%). This result identified by five variables, with result for each variable are: 58,7% psychological response is maladaptive; 56,5% anxiety level is high; 76,1% have high expectation; and 92,4% participant have adaptive endeavours to improve their health. Further research is needed to control other factors beside disease and its treatment that may influence psychological adjustment in patients with cancer. These factors such as socioeconomic; anxiety in face of old period; and being grievous caused abandoned by spouse or family member, controlled by compare two groups (people with and without cancer) in the some residence and age."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
TA5916
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dayu Satriani
"Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan tumor ganas saluran cerna dan menjadi penyebab kematian keempat terbanyak akibat penyakit keganasan di seluruh dunia. Gejala klinik KKR sering tidak spesifik mengakibatkan sebagian besar kasus terdiagnosis pada stadium lanjut. Kolonoskopi masih digunakan sebagai baku emas penegakan diagnosis KKR, namun terdapat kendala akses pasien untuk kolonoskopi akibat keterbatasan fasilitas. Pemeriksaan darah samar merupakan metode penapisan awal KKR yang relatif murah dan tidak invasif. Pemeriksaan darah samar yang sering dilakukan menggunakan metode guaiac-based FOBT (gFOBT) atau Fecal Immunochemical Tes (FIT). Sistem skoring Asia Pasific Colorectal Cancer Screening (APCS) merupakan suatu cara untuk meningkatkan efisiensi penapisan pasien berdasarkan data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita neoplasma kolorektal, dan riwayat merokok. Saat ini di Indonesia belum diketahui peran kombinasi sistem skoring APCS dan pemeriksaan darah samar feses untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penapisan karsinoma kolorektal di Indonesia. Penelitian ini menganalisis kombinasi pemeriksaan darah samar feses dan skor APCS dibandingkan dengan histopatologi sebagai baku emas. Penelitian ini memeriksa 78 pasien tersangka KKR yang diperiksa darah samar feses metode gFOBT dan FIT, dihitung skor APCS dan dilakukan biopsi kolonoskopi. Pemeriksaan FIT memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi dibandingkan metode gFOBT. Hasil uji diagnostik kombinasi pemeriksaan darah samar feses dengan skor APCS ≥ 2 menunjukkan kombinasi skor APCS dengan metode FIT memiliki nilai spesifisitas, prediksi positif, prediksi negatif yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi metode gFOBT dan skor APCS ≥ 2.

Colorectal carcinoma (CRC) is a malignant tumor of the digestive tract and the fourth cause of death due to malignancy throughout the world. The clinical symptoms of CRC are not specific resulting in advanced stage when first diagnosed. Colonoscopy is used as the gold standard for the diagnosis of CRC, but there are difficulties for patient to access colonoscopy due to limited facilities. Occult blood test is relatively cheap and non-invasive initial screening methods. Occult blood test is often done using the guaiac-based (gFOBT) or Fecal Immunochemical Test (FIT) methods. The Asia-Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) scoring system is a tool to increase patient screening efficiency based on risks factor developed in the Asia-Pacific region, including age, sex, family history of colorectal neoplasm, and smoking history. At present the role of the APCS scoring system and fecal occult blood test to increase effectiveness and efficiency of colorectal carcinoma screening in Indonesia is still unknown. This study was aimed to analyze the combination of feccal occult blood test with APCS score showed in accordance with histopatology results. FIT has better predictive value compared to gFOBT. Combination of APCS score ≥ 2 and FIT is also gives higher specificity, positive predictive value, and negative predictive value compared when combined with gFOBT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hubert Andrew
"Kanker payudara adalah kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Dengan prevalensi sebesar 30–50%, nyeri kanker adalah salah satu komplikasi kanker tersering yang dapat menurunkan mutu hidup penderitanya. Nyeri kanker, yang merupakan sejenis nyeri campuran, dapat diakibatkan oleh perjalanan penyakit atau terapi antikanker. Umumnya nyeri kanker ditangani dengan pemberian opioid dengan/tanpa adjuvan. Namun, opioid memiliki efek samping yang bersifat dose-dependent sehingga penggunaannya harus tepat guna agar memaksimalkan manfaatnya sekaligus meminimalisasi risikonya. Studi ini meneliti efek dari pemberian adjuvan gabapentin terhadap intensitas nyeri dan dosis opioid pasien dengan nyeri kanker payudara. Data rekam medis dari 58 pasien dengan nyeri kanker payudara dari dua rumah sakit rujukan di Jakarta diinklusi untuk studi kohort retrospektif ini. Data yang diambil meliputi profil klinis pasien, derajat nyeri, dan dosis opioid. Analisis statistik tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan dalam median intensitas nyeri maupun median dosis opioid antara kelompok pasien dengan nyeri kanker payudara yang menerima adjuvan gabapentin dengan yang tidak. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan peran gabapentin sebagai adjuvan dalam tata laksana nyeri kanker. Penelitian-penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbanyak jumlah pasien dan mengendalikan faktor-faktor perancu seperti status opioid dan pemberian adjuvan lain.

Breast cancer is the most prevalent cancer in Indonesia. With a prevalence of 30–50%, cancer pain is a frequent complication of cancer which may lower patient quality of life. Cancer pain, a type of mixed pain, may develop from cancer progression or anticancer therapy. Opioids with/without adjuvants are usually administered to manage cancer pain. However, opioids are associated with dose-dependent side effects. Hence, the administration of opioids should be efficient to maximize benefit and minimize risks. This research studied the effect of adjuvant gabapentin administration on the severity of pain and opioid dose of patients with breast cancer pain. This retrospective cohort study included medical records from 58 patients with breast cancer pain from two tertiary hospital in Jakarta. Patients’ clinical profile, pain severity level, and opioid doses were collected. Statistical analyses did not find a significant difference in median pain severity level and median opioid dose between patients with breast cancer pain who received gabapentin and those who do not. Further research is warranted to determine the role of gabapentin as adjuvant in the management of cancer pain. Future studies should increase the sample size and control confounders such as opioid status and the administration of other adjuvants."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragi, Indika Royani
"Pendahuluan. Para penderita HIV diketahui memiliki risiko kanker yang lebih tinggi di banding populasi umum, dan kondisi itu mempengaruhi morbiditas dan mortalitas populasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran prevalensi ADC dan NADC selama 8 tahun terakhir di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia.
Metode. Penelitian ini menggunakan 149 sampel yang diambil secara konsekutif. Karakteristik demografis yang dinilai yaitu jenis kelamin, usia, faktor risiko, CD4+, terapi ARV, stadium kanker dan obat ARV yang diberikan.
Hasil. Dari seluruh pasien didapatkan Limfoma Non Hodgkin (LNH) sebagai kanker terbanyak, yaitu 45 pasien (30%) dari seluruh kanker dan diikuti kanker serviks sebanyak 30 (20%) pasien. Kanker tipe NADC terbanyak meliputi kanker tipe sarkoma dan kanker hati sebanyak masing masing 10 (6%) dari seluruh kasus. Sebanyak 119 (79,9%) pasien memiliki usia kurang dari 50 tahun dan 82 (55,03%) dalam terapi ARV. CD4+ pada 102 (68,46%) pasien berada dibawah 200 sel/uL dan CD4+ > 350 sel/uL dimiliki oleh 16 (17,45%) pasien.
Simpulan. Pada penelitian kami, didapatkan ADC lebih banyak dari NADC (87 vs 62). Peningkatan terapi ARV, skrining kanker dini dan tatalaksana komorbiditas akan membantu peningkatan kualitas hidup dan kesintasan terkait kanker pada pasien HIV.

Introduction. Patients with HIV are known to possess a higher risk of malignancy compared to the general population. The purpose of this study was to get an overwiew of the prevalence of ADC and NADC over the last 8 years at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods. This study used 149 samples consecutively. Demographic characteristics assessed were sex, age,risk factors, CD4+, ARV therapy, malignancy stadium and ARV consumed.
Results. Of all patients, Non-Hodgkin’s Lymphoma (LNH) was the most common malignancy with 45 patients (30%) of all cancers, followed by cervical cancer with 30 patients (20%). Most common NADC included sarcoma type cancer and liver cancer each with 10 patients (6%) of all cases. One-hundred and nineteen patients (79.9%) were younger than 50 years old and 82 patients (55.03%) were taking ARV therapy. Serum CD4+ count in 102 patients (68.46%) were <200 cells/uL and 16 patients (17.45%) had CD4+ count >350 cells/uL.
Conclusion. In our study, the number for ADC was larger than NADC (87 vs 62). Increasing ARV therapy, early cancer screening and management of comorbidities will help improve the quality of life and cancer-related survival in HIV patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitrinilla Alresna
"Latar Belakang: Rapid Emergency Medicine Score (REMS) merupakan sistem skor yang sudah tervalidasi dengan baik dalam memprediksi mortalitas selama rawat untuk pasien non bedah yang mengunjungi instalasi gawat daruat (IGD). Namun penggunaanya pada populasi usia lanjut yang umumnya menunjukkan tanda vital normal walaupun kondisi medik berat masih belum diketahui. Kami bertujuan untuk mengevaluasi performa REMS dengan menambahkan nilai kadar natrium dan lingkar lengan atas yang rendah dalam memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien usia lanjut non bedah yang datang ke IGD.
Tujuan: Untuk mengetahui nilai tambah kadar natrium dan lingkar lengan atas pada skor REMS dalam memprediksi mortalitas di rumah sakit pada pasien usia lanjut non bedah yang datang ke IGD.
Metode: Studi kohort prospektif dengan subjek penelitian pasien usia ³60 tahun, non bedah, yang datang ke IGD RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) periode September- Oktober 2018. Subjek diikuti sampai diketahui luaran selama rawat di rumah sakit. Uji Hosmer-Lemeshow dan kurva ROC digunakan untuk mengetahui performa kalibrasi dan diskriminasi dari REMS dan modifikasi REMS.
Hasil: Dari 272 subjek, median usia adalah 66 tahun (rentang 7). Insiden kematian selama rawat di rumah sakit sebesar 22,1%. Nilai Area Under Curve (AUC) untuk REMS adalah 0,72 (95% CI 0,56-0,74), dan modifikasi REMS dengan menambahkan kadar natrium dan lingkar lengan atas adalah 0,79, p=,000 (IK95% 0,72-0,85), dengan nilai performa kalibrasi menggunakan uji Hosmer-Lemeshow yaitu p=0,759.
Simpulan: Kadar natrium dan lingkar lengan atas memiliki nilai tambah pada skor REMS dalam memprediksi mortalitas selama rawat di rumah sakit pada pasien usia lanjut non bedah yang datang ke IGD RSCM.

Background. Rapid Emergency Medicine Score (REMS) is a well validated scoring system in predicting in-hospital mortality for non-surgical patients visiting Emergency Department (ED). None has been known about its use in elderly population who frequently shows normal vital signs despite of severe condition. We aim to evaluate the performance of REMS by adding value of sodium level and mid-upper arm circumference (MUAC), to predict in hospital mortality of elderly visiting ED in Indonesia.
Objective. To evaluate added value of sodium serum level and mid-upper arm circumference to REMS in predicting in-hospital mortality for non-surgical elderly patients visiting Emergency Department (ED).
Methods. A prospective cohort study in non-surgical elderly aged 60 years or older visiting ED of Cipto Mangunkusumo hospital (RSCM) between September to October 2018 was performed. Subjects were followed during hospitalization for outcome assesment. Hosmer-Lemeshow test and area under receiving operating characteristic (ROC) curve were used to determine the calibration and discrimination of REMS and modified REMS.
Results. From the 272 partcipants, the median age was 66 years (range 10). The incidence of in-hospital mortality was 22.1%. The area under curve (AUC) score of REMS was 0,72 (95% CI 0.65-0.80), and the modified REMS by adding sodium level and mid-upper arm circumference was 0.79, p=.000 (IK95% 0.72-0.85), with calibration performance using Hosmer-Lemeshow test showed p=0,759.
Conclusion. Serum sodium level and mid-upper arm circumference have added value to REMS in predicting in-hospital mortality of non-surgical elderly patient visiting RSCM ED.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>