Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140958 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ira Agustina
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andre Revalino Agesta
"Dalam hal terjadi kerugian negara, perlu segera dilakukan upaya pemulihan keuangan negara dengan melakukan tuntutan ganti rugi terhadap pelaku kerugian yang dapat dilakukan melalui proses hukum administratif maupun pidana melalui putusan hakim berupa sanksi pidana uang pengganti. Penelitian ini, secara umum bertujuan memberikan gambaran penerapan dan permasalahan uang pengganti dalam kerangka pemulihan keuangan negara menurut hukum keuangan publik. Secara khusus, memberikan pemahaman dan solusi atas akibat pelaksanaan pidana penjara pengganti terhadap pelaksanaan pencatatan kerugian negara dalam laporan keuangan. Mengacu pada konsep sistem hukum Lawrence M. Friedman, sanksi pidana uang pengganti dapat dikatakan sebagai substance dari structure sistem hukum keuangan publik yang berupaya menciptakan legal culture berupa pengembalian kerugian negara oleh yang bersalah. Dalam hal pembayaran uang pengganti tidak dilaksanakan secara sukarela oleh terpidana, maka akan dilakukan penyitaan, bahkan terhadap terpidana dapat dikenakan pidana penjara pengganti. Pelaksanaan pidana penjara pengganti oleh terpidana masih menimbulkan problematika dalam kerangka pemulihan keuangan negara. Pemerintah dalam hal ini perlu memberi pengaturan tegas mengenai pelaksanaan pidana penjara pengganti dan merevisi peraturan terkait pencatatan kerugian negara agar tercipta kepastian hukum dan tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan sanksi pidana uang pengganti maupun pencatatan kerugian negara dalam laporan keuangan.

In the event of loss to the state, It’s urgent to recover state loss immediatelly by imposing indemnity to the perpretrators of losses through a process of administrative and criminal law by judge's decision in the form of compensation of criminal sanctions. This research aims to provide overview of the application and issues of compensation in the framework of state finances recovery within the public finance law. In particular, provide insight and solutions to the implementation of substitute imprisonment to execute recording of state loss in the financial statements. Referring Lawrence M. Friedman legal system, compensation could be defined as a substance of public finance legal system that attempted to create legal culture in the form of indemnification by the guilty. In case the accused doesn’t pay the compensation voluntarily, the wealth can be confiscated or imposed in prison. The execution of substitute imprisonment is still causing problems within the framework of the financial state recovery. The government needs to provide firm arrangements regarding the execution of substitute imprisonment and revise relevant regulations to create legal certainty and there will be no dualism in the execution of compensation as well as the recording of compensation in the financial statements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Aquinas Dewaranu W.
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan valuasi ekonomi sebagai metode penghitungan ganti kerugian terhadap perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Tulisan ini menjabarkan bagaimana kerugian lingkungan diatur, ditafsirkan dan dikaitkan dengan pertanggungjawaban perdata di Indonesia. Kemudian untuk menaksir nominal yang tepat terhadap kerugian tersebut, skripsi ini melihat dan membandingkan penerapan metode valuasi ekonomi di Amerika Serikat dan Indonesia. Bagaimana kedua metode tersebut diterapkan dan diaplikasikan di kedua negara untuk menaksir nilai ekonomi dari lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dari perbandingan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa metode valuasi ekonomi untuk lingkungan hidup sudah diterapkan dengan cukup baik di Amerika Serikat baik dalam tatanan yuridis normatif maupun dalam praktek di pengadilan. Sedangkan di Indonesia, metode valuasi ekonomi untuk lingkungan hidup sudah diadopsi dengan baik pada peraturan perundang-undangan namun belum diterapkan dan diaplikasikan secara maksimal dalam praktek di pengadilan.

This thesis explains about implementation of economic valuation as a method in apprising environmental damages caused by tort. This thesis explores the adjustment and the interpretation of environmental damages, and its relation with the environmental civil liability, in regulations and courts in Indonesia. Later, to find out the nominal damages that needs to be covered, this thesis is comparing the economic valuation method implementation in United States of America and Indonesia. How does this method is implemented in both countries, to economically assess the environmental and natural resources value especially for the purpose of legal remedy. The conclusions from this comparative study are: economic valuation method for environmental and natural resources is fairly well implemented in USA, both in the federal acts and regulations and also in judicial practice, while on the other hand, economic valuation method is still poorly implemented in Indonesia, especially in judicial practice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62698
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alika Putri Fachira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep pencemaran nama baik dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dengan melakukan perbandingan antara peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dan Australia. Definisi pencemaran nama baik tidak secara spesifik dijelaskan dalam KUHPerdata Indonesia. KUHPerdata hanya mengatur tentang upaya hukum pencemaran nama baik yang dicantumkan dalam Pasal 1372-1380. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan melawan hukum ini juga tidak seragam, ada yang menyebutnya sebagai pencemaran nama baik, sementara dalam beberapa sumber yang lain, termasuk KUHPerdata, menyebutnya sebagai penghinaan. Sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut, korban memiliki hak untuk menggugat pelaku dan menuntut pertanggungjawaban untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan pemulihan nama baik serta kehormatannya. Sementara di Australia, pencemaran nama baik diatur secara spesifik dalam undang-undang yang dikenal sebagai Defamation Act 2005 dan Model Defamation Amendment Provisions 2020. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dikenal sebagai tort yang umumnya digolongkan dalam ranah hukum perdata. Walaupun Australia merupakan negara federal, tetapi undang-undang tersebut berlaku nasional karena mengikat seluruh negara bagian serta wilayah teritorinya. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan suatu perbandingan hukum terkait konsep pencemaran nama baik sebagai suatu perbuatan melawan hukum antara Indonesia dan Australia dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan berbentuk doktrinal. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi baik persamaan maupun perbedaan pengaturan terkait konsep pencemaran nama baik di kedua negara tersebut.

This paper analyzes how the concept of defamation is considered as a tort, by comparing the laws and regulations in Indonesia and Australia. The definition of defamation is not specifically explained in the Indonesian Civil Code. The Civil Code only regulates the remedy of defamation which is included in Articles 1372-1380. The term used to describe this unlawful act is also inconsistent, some refer to it as defamation, while some other sources, including the Civil Code, refer to it as an insult. Because of these actions, the victim has the right to claim the actor and prosecute for liability to obtain compensation according to the provisions in Article 1365 of the Civil Code because it is considered an unlawful act and to restore his good reputation and honor. Meanwhile in Australia, defamation is specifically regulated in a law known as the Defamation Act 2005 and the Model Defamation Amendment Provisions 2020. Defamation is a legal act known as a tort which is generally classified as a civil law. Although Australia is a federal state, the law applies nationally because it applies to all states and territories. Therefore, as an inspirational function, this research conducts a legal comparison related to the concept of defamation as an unlawful act between Indonesia and Australia by employing a doctrinal comparative approach. Through this research, both similarities and differences in the regulation of the concept of defamation in both countries can be identified."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus Evan Aldyputra
"Perkembangan teknologi informasi memberikan kemudahan dalam mengakses segala jenis informasi. Hal ini mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru yang dikenal dengan nama cyber crime. Dalam menghadapi akibat dari perkembangan tersebut, berbagai negara di dunia melakukan perkembangan dalam kebijakan hukumnya melalui pembuatan ketentuan yang dikenal dengan nama cyber law.
Indonesia merupakan salah satu negara yang melakukan perkembangan seperti itu, melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) terdapatlah sebuah cyber law di Indonesia. Walaupun demikian, Undang-Undang tersebut dapat dikatakan memiliki kekurangan-kekurangan dalam pengaturannya. Salah satu kekurangan tersebut adalah dalam hal mengenai penyebaran informasi yang memiliki muatan penghinaan. Menurut penulis, ketentuan yang mengatur penyebaran dengan muatan informasi seperti itu dapat menjadi masalah dalam penerapannya apabila tidak terdapat kejelasan dalam perumusannya. Oleh karenanya, untuk melihat sejauh mana ketentuan tersebut dapat menjadi masalah dilakukanlah penelitian ini.
Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa ketentuan mengenai penyebaran informasi yang bermuatan penghinaan dalam Undang-Undang ITE dapat menjadi suatu masalah. Walaupun dari segi perumusannya dapat dijelaskan unsur-unsur yang dimilikinya, namun dari segi batasannya ketentuan tersebut terlalu luas pengaturannya sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan dalam penerapannya.

Development of information technology provides easy access to all kinds of information, this resulted in the emergence of new crime known as cyber crime. To face the consequences of these developments, many countries around the world develop a new legal policy known as cyber law.
Indonesia is one of the country that did such a development, through The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act (Law Number 11, 2008) cyber law exist in Indonesia. However, it can be said that the Act has flaws in its regulation. One of these is in the case regarding the spread of information that contains defamation. According to the authors, such policy could be a problem in practice if there is no clarity in the concept. Therefore, this research was conducted to see how far the policy can be a problem.
From the results of research, it can be said that Dissemination Policy of Defamation in The Criminalization, Information and Electronic Transaction Act can become a problem. Although it can be explained in terms of concept, but in terms of usage it is too broad that making it possible to abuse in its implementation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30572
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jyestha Widyakti Herawanto
"Sistem Investor-State Dispute Settlement (ISDS) dikenal dengan sifatnya yang asimetris, yang dianggap lebih mengutamakan perlindungan hak-hak investor dan membebankan kewajiban yang besar bagi negara tempat suatu investasi dilakukan (host state). Dalam perkembangannya, sistem ISDS seperti demikian kemudian dikritik dan mendorong upaya reformasi dari negara-negara yang tergabung dalam PBB melalui United Nations Commission on International Trade Law Working Group III (UNCITRAL WG III). Salah satu upaya reformasi yang dilakukan adalah untuk menjawab kritik terkait kurangnya mekanisme untuk menangani counterclaim dari host country yang menjadi pihak tergugat (respondent state) dalam suatu perkara ISDS. Skripsi ini membahas (i) apakah bilateral investment treaty (BIT) Indonesia telah efektif dalam menyediakan counterclaim sebagai mekanisme pembelaan yang dapat digunakan oleh Indonesia dalam menghadapi gugatan arbitrase investasi internasional dan (ii) hal-hal apa saja yang mempengaruhi pertimbangan majelis arbitrase investasi dalam menerima atau menolak counterclaim. Skripsi ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kasus yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: pertama, BIT Indonesia belum secara efektif menyediakan counterclaim sebagai mekanisme pembelaan yang dapat digunakan oleh Indonesia dalam forum ISDS karena tiga alasan, yakni (a) eksistensi consent terhadap counterclaim dalam BIT Indonesia masih ambigu; (b) terdapat ketidakpastian hukum terkait kriteria “hubungan yang dekat” antara counterclaim dengan gugatan utama; dan (c) walaupun terdapat ketentuan baru mengenai kewajiban investor, ketentuan tersebut berkontradiksi dengan klausul ISDS yang menutup kemungkinan counterclaim bagi Indonesia. Selanjutnya, terdapat setidaknya empat hal yang menentukan pertimbangan majelis arbitrase untuk menerima atau menolak counterclaim, yakni pertama, cakupan atau ruang lingkup “sengketa” (dispute) berdasarkan BIT yang berlaku; kedua, legal standing untuk mengajukan gugatan arbitrase berdasarkan klausul ISDS; ketiga, klausul applicable law dalam BIT; dan keempat, pasal yang berkaitan dengan kewajiban investor.

The Investor-State Dispute Settlement (ISDS) system is known for its asymmetrical nature, which is deemed to prioritize the protection of investor rights and, on the other hand, impose large obligations on the host state. Over the course of its development, such an ISDS system was later criticized and encouraged reform efforts from the member states of the United Nations through the United Nations Commission on International Trade Law Working Group III (UNCITRAL WG III). One of the reform efforts is aimed to address criticism related to the lack of mechanisms to handle counterclaims from the host country, which is the respondent state in an ISDS case. This thesis discusses (i) whether Indonesia's bilateral investment treaty (BIT) has been effective in providing counterclaims as a defense mechanism that can be used by Indonesia in the face of international investment arbitration claims and (ii) what are the factors that influence the consideration of investment arbitration tribunals in accepting or rejecting counterclaims. This thesis uses a doctrinal research method with a case approach which results in the following conclusions: first, the Indonesian BIT has not effectively provided counterclaims as a defense mechanism that can be used by Indonesia in the ISDS forum for three reasons, namely (a) the existence of consent to counterclaims in the Indonesian BIT is still ambiguous; (b) legal uncertainty pertaining the “close connection” criteria between the counterclaim and the primary claim; and (c) although there are new provisions regarding investor obligations, these provisions contradict the ISDS clause which closes the possibility of counterclaims for Indonesia. Furthermore, there are at least four things that determine the consideration of the arbitral tribunal to accept or reject a counterclaim, namely first, the scope of the “dispute” under the applicable BIT; second, legal standing to file an arbitration claim based on the ISDS clause; third, the applicable law clause in the BIT; and fourth, the existence of a provision relating to investor obligation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Estheralda
"Komunikasi dan informasi merupakan kebutuhan yang fundamental sifatnya bagi manusia dalam kehidupan modern dewasa ini. Melalui informasi manusia memperoleh pengetahuan, pendidikan maupun hiburan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari informasi yang merupakan produk dari dunia pers. Dalam penyajian suatu informasi bagi dunia pers seringkali terjadi suatu penulisan atau pemuatan berita yang dirasakan merugikan pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan huKum khususnya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sering sulit untuk dibuktikan bahwa telah terjadi penghinaan tersebut. Hal. ini disebabkan dalam KUH Perdata "sendiri tidak terdapat definisi yang jelas dari penghinaan tersebut. Sehingga para sarjana seperti Wirjono Prodjodikoro misalnya mengatakan bahwa · titik berat dari soal penghinaan berada dalam lapangan dunia perasaan yang bersifat sekonyong-konyong dan biasanya tidak memberikan kesempatan berpikir secara tenang dan tenteram apakah sebetulnya isi dari perkataan orang yang dikatakan menghina itu. Tetapi hal yang nyata ialah bahwa pada waktu kata-kata itu diucapkan, sudah ada kesan dari ucapan itu dan mungkin perasaan seseorang sudah tertusuk waktu itu, padahal ia belum sempat berpikir tentang apakah maksud sebenarnya dari ucapan itu. Pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan batasan-batasan tertentu dalam praktek di pengadilan. Dalam dunia pers sendiri telah ditentukan batasan-batasan bagi wartawan dalam menyajikan suatu berita yaitu Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers, untuk menghindari penulisan yang bersifat menghina dan/atau mencemarkan nama baik. Dalam praktek di pengadilan, pemberitaan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan umum tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan menurut pasal 1376 KUH Perdata. Contohnya adalah berita-berita mengenai KKN yang perlu diketahui masyarakat seperti informasi mengenai dugaan KKN yang dilakukan pejabat negara, kolusi dengan pihak swasta dan konglomerat dan nepotisme dengan keluarga pejabat negara adalah berita yang masuk dalam pengertian kepentingan umum. Dalam pemberitaan mengenai kepentingan umum tidak ternyata adanya maksud untuk menghina sehingga bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dalam hal penghinaan dan/atau pencernaran nama baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmala Sari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang pertanggungjawaban pers media cetak terhadap
pemberitaan yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik ditinjau dari
UU Pers dan KUHP, hak jawab yang dilakukan oleh pers media cetak, dan
pemberitaan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas praduga
tidak bersalah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif yang bersumber pada bahan pustaka atau data-data sekunder dan
wawancara terhadap narasumber sebagai penunjang data sekunder.
Pertanggungjawaban pers menurut hukum positif di Indonesia terdapat dua
sistem yaitu sistem KUHP dan UU Pers. KUHP menganut sistem
pertanggungjawaban penyertaan dan sistem menurut UU Pers dapat dilihat
berdasarkan UU lama dan baru. Berdasarkan UU lama yaitu UU nomor 11 tahun
1966 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 4 tahun 1967 dan UU No. 21
tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, menganut sistem
pertanggungjawaban fiktif dan successif (urutan atau air terjun (water fall
system)), sedangkan berdasarkan UU baru yaitu UU nomor 40 tahun 1999
tentang Pers, memakai sistem pertanggungjawaban fiktif yang menempatkan
bidang usaha dan bidang redaksi yang akan bertanggungjawab bila terjadi tindak
pidana pers. Cara penyelesaian terhadap pemberitaan yang mencemarkan nama
baik dapat dilakukan dengan menggunakan Lembaga Hak Jawab sebagaimana
diatur dalam pasal 15a UU No. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pers dan Pasal 5 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers serta Pasal
11 Kode Etik Jurnalistik. Terhadap efektifitas hak jawab ini terdapat dua
pandangan berbeda, pendapat pertama menyatakan Hak Jawab sifatnya alternatif,
artinya walaupun Hak Jawab tidak digunakan namun pihak yang dirugikan tetap
tidak kehilangan haknya untuk melakukan tuntutan pidana maupun perdata.
Pendapat kedua menyatakan hak jawab wajib digunakan sebelum mengajukan
tuntutan atau gugatannya kepengadilan karena hak menggugat belum muncul
sebelum dilaksanakannya hak jawab. Dalam pers, asas praduga tidak bersalah
bermakna tidak boleh menghakimi dalam semua kasus pemberitaan. Pers tidak
boleh menyatakan seseorang bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang
tetap. Kewenangan pers dalam hal ini hanyalah terbatas pada penyampaian fakta
atau kenyataan bahwa “menurut pengadilan” orang tersebut bersalah, namun
stempel kesalahannya sendiri bukanlah dari pers.

ABSTRACT
This thesis discusses the responsibility of the news print media press that
indicated the existence of the offense libel in terms of the Press Law and the
Penal Code, the right of reply a made by the print press and news which can be
categorized as a violation of the presumption of innocence. The research method
used is normative which is based on library materials or secondary data and
interviews of the informant as supporting secondary data. Responsibility the press
by positive law in Indonesia, there are two systems, namely systems Penal Code
and the Press Law. Penal Code adopts the inclusion and responsibility systems
under the Press Law can be seen by the old and new law. Under the old law,
namely Law number. 11 of 1966 as amended by Act number. 4 of 1967 and Law
number. 21 of 1982 on Basic Provisions of Press, is adopting a fictitious
responsibility and successif (sequence or waterfall (water fall system)), while the
new law is based on Law number 40 of 1999 on Press, using fictitious
responsibility system that puts the field business and editorial fields that will be
responsible in the event of criminal offenses committed by the press. How
resolution against libel can be performed using Right of Reply Institutions as
stipulated in article 15a of Law number. 21 of 1982 on Basic Provisions of Press
and Article 5, paragraph (2) of Law number. 40 of 1999 on Press and Article 11
of the Code of Journalistic Ethics. The effectiveness of the right of reply, there
are two different views,The first opinion expressed Right of Reply of its
alternatives, meaning that although the Right of Reply is not used, but the injured
party still does not lose its right to conduct criminal or civil charges. The second
opinion states the right of reply shall be used before submitting a claim or lawsuit
to court for the right to sue has not appeared before the implementation of the
right of reply. In press the presumption of innocence means should not be judge
in all cases of the news. Press should not declare someone guilty before a court
decision remains. The authority of press in this case is limited to the submission
of the fact or the fact that "according to the court" the person is guilty, but the
stamp itself is not the fault of press"
2013
T33743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Theresia Lamtarida
"Pencemaran nama baik merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum. Dalam penulisan ini, terdapat dua permasalahan utama yakni bagaimana pencemaran nama baik diatur sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan penerapan konsep ganti rugi yang terjadi dalam perkara terkait. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif.
Berdasarkan hasil analisis ini, Pasal 1365 KUHPerdata merupakan pasal yang tepat untuk digunakan, karena adanya perluasan perbuatan melawan hukum. Pencemaran nama baik adalah perbuatan yang telah melanggar hak subyektif dan harus diberikan ganti rugi agar nama baik pihak yang terhina menjadi pulih. Dengan demikian, suatu pencemaran nama baik perlu penggantian kerugian dan pemulihan nama baik dan kehormatan korban.

Defamation is an act that is against the law. In this writing, there are two main issues: how defamation regulated as a unlawful act and the application of the concept of damages that occur in related case. This study uses normative juridical research.
Based on the results of this analysis, Article 1365 of Civil Code is the right article to use because it consist of the expansion of unlawful act. Defamation is an act that violated the rights of subjective and should be compensated so that the good name of the party who insulted be recovered. Thus, a defamation needs a compensation for loss and recovery of good name and the honor of the victim.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>