Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140230 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Nida Rafida
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kesehatan mental pada masa remaja dengan pendapatan yang diperoleh pada masa dewasa. Menggunakan data IFLS 4 dan 5, penelitian ini menggunakan metode 2-Stage Least Squares (2SLS) untuk memahami hubungan antara kesehatan mental pada usia 16 – 24 tahun dengan pendapatan tahunan masa depan dengan menggunakan kesehatan mental di masa dewasa sebagai variabel instrumen. Skrining gejala depresi diperoleh dari skor CESD-10 dengan nilai cutoff 10. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 925 individu remaja yang aktivitas utamanya bekerja di IFLS 5. Analisis menggunakan metode 2SLS menunjukkan bahwa kesehatan mental remaja memiliki hubungan yang signifikan dengan pendapatan tahunan orang dewasa melalui perannya dalam menentukan tingkat kesehatan mental di masa dewasa. Tidak hanya itu, pada studi ini, ditemukan korelasi positif signifikan terhadap variabel riwayat penyakit kronis.

This study aims to analyze the relationship between mental health during adolescence and the income earned in adulthood. Using IFLS 4 and 5 data, this study uses 2-Stage Least Squares (2SLS) method to understand the association between mental health at age 16 – 24 and the future annual income with adult mental health as its instrument variables. Screening for depressive symptoms was obtained from the CESD-10 score with a cutoff point of 10. The total sample in this study is 925 adolescent individuals whose main activity is working in IFLS 5. Analysis using the 2SLS method shows that adolescent mental health has a significant relationship with adult annual income through its role in determining the level of adult mental health. Moreover, the study also found that having a history of chronic diseases might lead to a higher income."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Nurul Hidayah
"Pandemi Covid-19 menyebabkan sejumlah perubahan di masyarakat. Perubahan tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Hal ini berpengaruh pada kesehatan mental emerging adulthood (18-25) di Indonesia (Kwong dkk., 2021). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan setiap dimensi kepribadian Big Five dengan depresi, kecemasan, dan stress pada emerging adulthood (N = 233). Skala yang digunakan adalah Big Five Inventory (BFI) dan Depression, Anxiety, Stress, Scale-21 (DASS-21). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya dimensi neuroticism yang berhubungan positif dengan depresi, kecemasan, dan stres (r (233) = 0,535 - 0,704). Dimensi extraversion, conscientiousness, dan agreeableness berhubungan negatif dengan depresi, kecemasan, dan stres. Namun, hanya openness yang memiliki hubungan tidak signifikan dengan depresi, kecemasan, dan stres.

The Covid-19 pandemic has caused a number of changes in society. These changes was conducted in order to prevent the spread of the Covid-19 virus. These matters have affected the mental health of emerging adulthood (18-25) in Indonesia. This study aims to examine the relationship of each Big Five personality dimension with depression, anxiety, and stress in emerging adulthood (N = 233) using the Big Five Inventory (BFI) and Depression, Anxiety, Stress, Scale- 21 (DASS-21). The results showed that neuroticism is the only dimension which is positively correlated with depression, anxiety, and stress (r (233) = 0,535 – 0,704). Extraversion, conscientiousness, and agreeableness were negatively correlated with depression, anxiety, and stress. However, only openness had no significant correlation with depression, anxiety, and stress.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deshinta Rahma Dhani
"Masalah kesehatan mental merupakan tantangan dalam proses mencapai tujuan pembangunan di bidang kesehatan. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa kemiskinan akan merugikan kesehatan mental namun sebagian besar penelitian hanya berfokus pada kejadian kemiskinan. Padahal kemiskinan merupakan fenomena yang dinamis dan kedalaman kemiskinan antar individu berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan menggunakan data dari IFLS 4 dan 5, penelitian ini menganalisis pengaruh kedalaman dan dinamika kemiskinan terhadap gejala depresi (CES-D) di Indonesia. Hasil dari model Poisson menemukan bahwa individu yang miskin kronis mengalami gejala depresi lebih banyak daripada mereka yang tidak pernah miskin, bertransisi dari tidak miskin menjadi miskin, dan miskin ke tidak miskin. Walaupun bukan miskin kronis, apabila individu tersebut memiliki riwayat gejala depresi, maka akan meningkatkan kemungkinan menderita gejala di masa depan. Untuk kedalaman kemiskinan, individu yang pernah miskin ekstrim akan memiliki skor CES-D yang lebih tinggi daripada mereka yang miskin tidak ekstim. Sedangkan kedalaman kemiskinan saat ini tidak signifikan. Dengan demikian, dibandingkan dengan kedalaman kemiskinan, dinamika kemiskinan lebih konsisten dalam mempengaruhi gejala depresi yang menunjukkan kesehatan mental merespon kemiskinan dalam jangka panjang dibandingkan jangka pendek.

Mental health problems are challenges in the process of achieving development goals in the health sector. Previous studies have proven that poverty will harm mental health but most of these studies only focused on the incidence of poverty. Whereas poverty is a dynamic phenomenon and the depth of poverty between individuals is different. Therefore, using data from IFLS 4 and 5 this study examined the effect of depth and dynamic poverty on depression symptoms (CES- D) in Indonesia. The result from the Poisson model found that chronically poor individuals experienced more depressive symptoms than those who were never poor and transiently poor (poor-non poor and non-poor-poor). Although not chronically poor, individuals who have a history of depressive symptoms are more likely to have depressive symptoms in the future. As for the depth of poverty, extremely poor individuals will have higher CES-D scores than those who are not extreme poor. Meanwhile, the current depth of poverty is not significant. Thus, compared to the current depth of poverty, the dynamics of poverty are more consistent in influencing depressive symptoms which indicate mental health responds to poverty in the long term than in the short term."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inne Irmawanti Febriana
"Kecerdasan emosi dan pola asuh orang tua menjadikan remaja memiliki kesehatan jiwa yang baik. Tujuan dari penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara kecerdasan emosi dan pola asuh orang tua dengan kesehatan jiwa remaja. Metode penelitan yang digunakan adalah deskriptif korelatif dan desain cross sectional. Sampel sebanyak 474 siswa SMP di wilayah Bekasi Tambun Selatan yang dipilih melalui Teknik consecutive sampling. Responden mengisi kuesioner Strengths and Difficulties Questionnare (SDQ) untuk masalah kesehatan jiwa, Assessing Emotion Scale (AES) untuk kecerdasan emosi, dan pola asuh orang tua. Analisis data yang digunakan yaitu analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukan52,7% remaja dengan kecerdasan emosi baik dan 47,3% remaja dengan kecerdasan emosi kurang, pola asuh orang tua di wilayah Bekasi Tambun Selatan terdapat pola asuh authoritative 27,0%, pola asuh permissive 24,1%, pola asuh authoritarian 24,5%, dan pola asuh uninvolved 24,55, kesehatan jiwa remaja di wilayah tersebut terdapat 42,8% dengan kategori normal, borderline 25,5%, dan abnormal 31,6%. Didalam penelitian ini tidak tedapat hubungan yang signifikan (p value 0,849) antara kecerdasan emosi dengan kesehatan jiwa remaja, sedangkan terdapat hubungan yang signifikan (p value 0,009) antara pola asuh orang tua dengan kesehatan jiwa pada remaja. Diperlukan pengetahuan secara mendalam mengenai kecerdasan emosi para remaja dan sosialisasi terhadap pemahaman orang tua terkait pola asuh yang digunakan untuk memberikan pemahaman tentang faktor protektif dari kesehatan jiwa remaja.

Emotional intelligence and parenting style make teenagers have good mental health. The purpose of this study was to identify the relationship between emotional intelligence and parenting style with adolescent mental health. The research method used is correlative descriptive and cross sectional design. A sample of 474 junior high school students in the Bekasi Tambun Selatan area were selected through the consecutive sampling technique. Respondents filled out the Strengths and Difficulties Questionnare (SDQ) for mental health problems, the Assessing Emotion Scale (AES) for emotional intelligence, and parenting styles. The data analysis used was univariate analysis and bivariate analysis with the chi square test. The results showed that 52.7% of adolescents with good emotional intelligence and 47.3% of adolescents with less emotional intelligence, parenting parents in the Bekasi Tambun Selatan region had authoritative parenting 27.0%, permissive parenting 24.1%, parenting authoritarian 24.5%, and uninvolved parenting 24.55, adolescent mental health in the region is 42.8% in the normal category, 25.5% borderline, and 31.6% abnormal. In this study there was no significant relationship (p value 0.849) between emotional intelligence and adolescent mental health, while there was a significant relationship (p value 0.009) between parenting style and mental health in adolescents. In-depth knowledge of adolescents' emotional intelligence is needed and socialization of parents' understanding of parenting styles is used to provide an understanding of the protective factors of adolescent mental health."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Ayu Anggraeni
"Perubahan rutinitas dan pembatasan interaksi sosial yang terjadi selama pandemi Covid-19 turut memperburuk kesehatan mental seseorang (Kudinova et al., 2021). Perceived social support dapat melindungi seseorang dari masalah kesehatan mental. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan kedua variabel selama pandemi Covid-19 pada individu emerging adulthood yang berusia 18-25 tahun dan merupakan Warga Negara Indonesia yang tinggal di Indonesia. Menggunakan metode korelasional, hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan masalah kesehatan mental memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perceived social support r (249) = -,417 p < ,001, dimana tiap sumber dan kombinasi perceived social support yang tinggi dapat menurunkan tingkat masalah kesehatan mental individu emerging adulthood selama pandemi Covid-19.

Changes in routine and restrictions on social interaction that occurred during the Covid-19 pandemic also worsened a person's mental health (Kudinova et al., 2021). Perceived social support can protect a person from mental health problems. The aim of this study is to find out the relationship between the two variables during the Covid-19 pandemic in emerging adulthood who are 18-25 years old and are Indonesian citizens living in Indonesia. Using the correlation method, the results showed that mental health problems had a significant negative correlation with perceived social support r (249) = -,417 p < .001, where each source and combination of perceived social support could reduce the level of mental health problems."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putrie Kusuma Wardhani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara peer attachment dan mental health pada anak jalanan usia remaja. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur peer attachment yaitu bagian peer attachment dari Inventory of Parent and Peer Attachmnet Revised (IPPA-R) yang dikembangkan oleh Armsden dan Greenberg (2009), sedangkan mental health diukur dengan Mental Health Continuum Short Form (MHC-SF) yang dikembangkan oleh Keyes (2002). Penelitian ini melibatkan 60 anak jalanan dengan rentang usia 12 hingga 18 tahun yang ditemui peneliti di Jakarta, Depok, dan Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara peer attachment dan mental health pada anak jalanan usia remaja (r = +0,423, n = 60, p < 0,01, one tailed). Dengan demikian, semakin tinggi peer attachment yang dimiliki anak jalanan usia remaja, semakin tinggi pula mental health yang dimilikinya.

ABSTRACT
This research was conducted to investigate the relationship between peer attachment and mental health of adolescent street children. The instrument that was used to measure peer attachment was peer attachment part of Inventory of Parent and Peer Attachment Revised (IPPA-R) developed by Armsden and Greenberg (2009), while mental health was measured by Mental Health Continuum Short Form (MHC-SF) developed by Keyes (2002). This study involved 60 street children with age of 12 until 18 years old in Jakarta, Depok, and Bogor area. The result showed that peer attachment and mental health has a significant positive correlation (r = +0,423, n = 60, p < 0,01, one tailed). Therefore, the higher peer attachment a street children has, the higher his mental health.
"
2015
S60777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Rakhmaningrum
"Pandemi COVID-19 memberikan dampak psikologis pada individu di seluruh level usia termasuk remaja. Di masa ini remaja rentan mengalami distres psikologi yang kemudian dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatan mentalnya. Dengan sumber distres yang tidak terhindarkan di masa pandemi ini, kajian untuk melihat faktor protektif yang dapat bertindak sebagai buffer hubungan distres psikologi dengan kesehatan mental remaja dirasa perlu untuk dilakukan. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam hal ini adalah resiliensi. Penelitian ini melihat peran resiliensi terhadap hubungan antara distres psikologi dan kesehatan mental pada remaja. Penelitian ini merupakan menggunakan desain korelasional dan kuantitatif dengan teknik non probability sampling dengan target partisipan adalah remaja berusia 11-19 tahun. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner untuk mengukur kesehatan mental (Mental Health Continuum - Short Form), distres psikologi (K10), dan resiliensi (Resilience Scale – 14) secara onlinemelalui google form dengan jumlah sampel yang didapatkan sebanyak 390 orang. Hasil analisis multiple regression menunjukkan bahwa distres psikologi dan resiliensi memiliki sumbangan sebesar 40,5 persen terhadap kesehatan mental remaja setelah mengontrol jenis kelamin, usia, dan domisili. Analisis moderasi menggunakan PROCESS menemukan bahwa resiliensi secara signifikan memoderasi hubungan antara distres psikologi dengan kesehatan mental pada remaja (t = 2,038 dan p = < 0,05).

The COVID-19 outbreak has psychological impact on individuals at all ages including adolescents. At this very time, adolescents are prone to experiencing psychological distress which has a negative impact on their mental health. With a potential source of stress that cannot be avoided during this pandemic, a study to look at protective factors that can act as a buffer for the relationship between psychological distress and adolescent mental health during this pandemic is deemed necessary. One factor presumed to play a role is resilience. The aim of this study is to look at the role of resilience in the relationship between psychological distress and mental health in adolescents. This research uses correlational and quantitative design with non-probability sampling techniques, the target participants are adolescents aged 11-19 years. The research was conducted by distributing questionnaires to assess mental health (Mental Health Continuum - Short Form), psychological distress (K10), and resilience (Resilience Scale - 14) via google form and obtained 390 samples. Multiple regression analysis showed that psychological distress and resilience contributed 40,5 percent to adolescent mental health after controlling for gender, age, and domicile. Moderation analysis using PROCESS found that resilience significantly moderated the relationship between psychological distress and mental health in adolescents (t = 2.038 and p = <0.05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatik Sumiyati
"Penelitian sebelumnya yang mengevaluasi dampak penggunaan clean cooking energy (CCE) di negara berkembang masih berfokus pada kesehatan fisik dan belum banyak yang membahas dampaknya terhadap kesehatan mental. Penelitian ini mencoba mengisi research gap dengan menganalisis dampak transisi energi memasak terhadap kesehatan mental di Indonesia menggunakan data longitudinal dan menerapkan metode estimasi yang saling melengkapi yaitu Propensity Score Matching dan Difference-in-Difference (PSM–DID) untuk mengatasi bias karena mekanisme seleksi yang mungkin menghalangi untuk mengidentifikasi causal effect. Hasilnya menunjukkan bahwa transisi energi memasak secara signifikan dapat meningkatkan kesehatan mental individu yang dapat terlihat dari penurunan skor Center for Epidemiological Studies Depression (CESD), dan penurunan probabilitas individu mengalami depresi. Efeknya lebih menonjol pada pada wanita dan individu yang tinggal di perkotaan. Penelitian ini juga membahas tentang jalur potensial transisi energi memasak bersih dan kesehatan mental melalui mediator status kesehatan fisik dan partisipasi sosial.

Previous studies evaluating the impact of clean cooking energy (CCE) use in developing countries have focused on physical health and not much on the impact on mental health. This study tries to fill the research gap by analyzing the impact of cooking energy transition on mental health in Indonesia using longitudinal data and applying complementary estimation methods namely Propensity Score Matching and Difference-in-Difference (PSM-DID) to overcome biases due to selection mechanisms that may prevent identifying causal effects. The results show that the cooking energy transition can significantly improve individuals' mental health as evidenced by a decrease in Center for Epidemiological Studies Depression (CESD) scores and a decrease in the probability of individuals experiencing depression. The effects were more pronounced in women and individuals living in urban areas. This study also discusses the potential pathways of clean cooking energy transition and mental health through the mediators of physical health status and social participation.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septiana Arini
"[Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perceived social support dan kesehatan mental pada anak jalanan usia remaja. Perceived social support diukur menggunakan Multidimensional Scale of Perceived Social
Support (MSPSS) yang dikembangkan oleh Zimet, Dahlem, Zimet, dan Farley (1988) sedangkan kesehatan mental diukur menggunakan Mental Health Continuum-Short Form (MHC-SF) yang dikembangkan oleh Keyes (2002). Penelitian ini melibatkan anak jalanan usia remaja sebanyak 60 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara perceived social support dan kesehatan mental pada anak jalanan usia remaja (r
= 0,377, n = 60, p < 0,01, two tailed).;This study was conducted to investigate correlation between perceived social support and mental health among adolescent street children. Perceived social support was measured by Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS) that developed by Zimet, Dahlem, Zimet, and Farley (1988) and mental health was measured by Mental Health Continuum-Short Form (MHCSF) that developed by Keyes (2002). A sample 0f 60 adolescent street childrens participated in this study. The result show positive and significant correlation between perceived social support and mental health (r = 0,377, n = 60, p < 0,01, two tailed).;This study was conducted to investigate correlation between perceived social
support and mental health among adolescent street children. Perceived social
support was measured by Multidimensional Scale of Perceived Social Support
(MSPSS) that developed by Zimet, Dahlem, Zimet, and Farley (1988) and
mental health was measured by Mental Health Continuum-Short Form (MHCSF)
that developed by Keyes (2002). A sample 0f 60 adolescent street childrens
participated in this study. The result show positive and significant correlation
between perceived social support and mental health (r = 0,377, n = 60, p < 0,01,
two tailed), This study was conducted to investigate correlation between perceived social
support and mental health among adolescent street children. Perceived social
support was measured by Multidimensional Scale of Perceived Social Support
(MSPSS) that developed by Zimet, Dahlem, Zimet, and Farley (1988) and
mental health was measured by Mental Health Continuum-Short Form (MHCSF)
that developed by Keyes (2002). A sample 0f 60 adolescent street childrens
participated in this study. The result show positive and significant correlation
between perceived social support and mental health (r = 0,377, n = 60, p < 0,01,
two tailed)]"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S60742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amyra Luthfia Mumpuni
"Adiksi media sosial merupakan suatu perilaku individu yang tidak dapat mengontrol diri sendiri untuk penggunaan media sosial sehingga terlalu banyak menghabiskan waktu dan usaha untuk mengakses yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari. TikTok menjadi salah satu media sosial yang memiliki peningkatan pengguna semenjak pandemi COVID-19 dan mayoritas penggunanya adalah remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adiksi media sosial TikTok dengan masalah kesehatan jiwa pada remaja di Jakarta Selatan. Metode penelitian menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan metode Cross Sectional kepada 292 siswa SMAN 49 Jakarta, SMAN 70 Jakarta, dan SMAN 90 Jakarta. Adiksi media sosial TikTok diukur dengan kueisoner Bergen Social Media Addiction Scale (BSMAS) (t>1,96) dan masalah kesehatan jiwa diukur dengan Depression, Anxiety, and Stress Scale (DASS-21) (ɑ = 0,894). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar remaja masih termasuk dalam kategori adiksi media sosial TikTok ringan serta kecemasan normal, depresi normal, dan stres normal. Uji korelasi antara adiksi media sosial TikTok dengan masalah kesehatan jiwa diukur menggunakan uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p 0,001 < ɑ). Hasil tersebut menunjukkan bahwa jika adiksi media sosial TikTok tinggi, maka tingkat masalah kesehatan jiwa yang dirasakan akan cenderung tinggi. Penelitian selanjutnya dapat menganalisis tiap aspek perilaku adiksi media sosial TikTok dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat adiksi media sosial TikTok dengan cakupan populasi yang lebih luas.

Social media addiction is a behavior of individual who cannot control themselves so they spend too much time and effort to access which can interfere daily activities TikTok became one of social media that has increased users during pandemic of COVID-19 and major of users are adolescent. This study aims to determine the correlation between social media addiction of TikTok and mental health problems in adolescent in South Jakarta. The study method is a quantitative with cross sectional method to 292 students of SMAN 49 Jakarta, SMAN 70 Jakarta, and SMAN 90 Jakarta. TikTok social media addiction was measured by the Bergen Social Media Addiction Scale (BSMAS) ) (t>1,96), meanwhile mental health problems was measured by the Depression, Anxiety, and Stress Scale (DASS-21) (ɑ = 0,894). The results showed that most of the adolescent were included in the category of low in the social media addiction also still category normal for anxiety, depression, and stress. The correlation between TikTok social media addiction and mental health problems was measured by Chi Square showed that there is significant relationship (p 0,001 < ɑ). These results indicate that if TikTok’s social media addiction is high, then the perceived level of mntal health problems will tend to be high. Further study can analyze each aspect of behavior of social media addiction and examine more about the factors that influence TikTok social media addiction with wider population scope."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>