Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130853 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Putri Afiffah
"Harga diri rendah kronik merupakan perasaan tidak berharga dan rendah diri yang berkepanjangan pada seseorang akibat penilaian negatif terhadap dirinya. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ners ini untuk menganalisis penerapan pemberian asuhan keperawatan generalis dengan kegiatan terapi seni melukis bebas pada Tn. H usia 41 tahun dengan harga diri rendah kronik dan diagnosa media skizofrenia paranoid. Penilaian harga diri diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). Implementasi keperawatan yang dilakukan berfokus pada melatih kemampuan klien dan memasukkan latihan kemampuan ke dalam jadwal harian berikut dengan intervensi yang diberikan yaitu art therapy melukis bebas. Art therapy melukis sebagai salah satu kegiatan positif yang dilatih untuk mengekspresikan perasaan melalui media seni. Hasil dari karya ilmiah akhir ini menunjukkan bahwa klien mengalami penurunan tanda dan gejala harga diri rendah. Penerapan terapi seni melukis bebas dapat diadaptasi sebagai pengembangan standar asuhan keperawatan jiwa dengan diagnosis harga diri rendah kronik.

Chronic low self-esteem is a prolonged feeling of worthlessness and low self-esteem in a person due to a negative assessment of oneself. The purpose of writing this final scientific paper for nurses is to analyze the application of generalist nursing care with free painting art therapy activities to Mr. H 41 th year old with chronic low self-esteem and medical diagnosis of paranoid schizophrenia. Self-esteem was measured using the Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES). The nursing implementation that is carried out focuses on training the client's abilities and incorporates skills training into the daily schedule with the intervention given, namely free painting art therapy. Art therapy painting as a positive activity that is trained to express feelings through art media. The results of this final scientific paper show that the clients experience a decrease in signs and symptoms of low self-esteem. The application of free painting art therapy can be adapted as a standard for the development of mental nursing care with a diagnosis of chronic low self-esteem."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edwina Khairat
"Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa dengan peningkatan kasus setiap tahun di Indonesia. Skizofrenia tergolong pada penyakit multifaktorial dengan adanya interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik heritabilitas tinggi, sehingga faktor genetik memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan lingkungan. Skizofrenia digolongkan menjadi lima tipe berdasarkan gejala yang mendominasi. Tipe paranoid menjadi tipe skizofrenia yang terbanyak dibandingkan tipe lainnya. Gen-gen yang berperan pada skizofrenia umumnya gen-gen yang berhubungan dengan neurotransmitter dan hasil studi Genome Wide Association Study (GWAS) di Asia Timur dengan nilai Minor Allele Frequency (MAF) rendah. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui adanya hubungan antara varian pada gen DTNBP1, COMT, GPM6A, RASSF1 dengan skizofrenia tipe paranoid pada pasien di Sumatera Barat, Indonesia. Sampel pada penelitian ini terdiri dari 100 orang pasien skizofrenia tipe paranoid dan 100 orang sampel kontrol/non skizofrenia. Metode yang digunakan untuk analisis genotipe varian gen adalah dengan Restriction Enzyme Length Polymorphism (RFLP) dan Amplification Refractory Mutation System (ARMS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa varian pada gen GPM6A memiliki hubungan yang signifikan dengan kasus skizofrenia tipe paranoid di Sumatera Barat, Indonesia pada alel A dengan nilai p value 0,002 dan rasio odd 1,604 (1,076-2,390). Sehingga dapat disimpulkan bahwa gen GPM6A memiliki potensi sebagai kandidat marka genetik pasien skizofrenia tipe paranoid di Sumatera Barat, Indonesia.

Schizophrenia is a mental disorder with an increasing incindence every year in Indonesia. Schizophrenia is classified as a multifactorial disease with the interaction between environmental factors and high heretability genetic factors, thus genetic factors have a greater influence compared to the environment. Schizophrenia is divided into five types based on dominating symptoms. Paranoid types is the major type of schizophrenia compared to other types. The genes that play a role in schizophrenia are generally genes associated with neurotransmitters and Genome Wide Association Study (GWAS) in East Asia with low Minor Allele Frequency (MAF) scores. The aim of this study was to elucidate the association between variance in the genes DTNBP1, COMT, GPM6A, RASSF1 in paranoid schizophrenia patients in West Sumatra, Indonesia. One hundred paranoid schizophrenia patients and control/non-schizophrenia samples were included. Genotyping analysis was performed with Restriction Enzyme Length Polymorphism (RFLP) and Amplification Refractory Mutation System (ARMS). The results showed that variant of the GPM6A gene had a significant association with paranoid schizophrenia in West Sumatra, Indonesia in A allele with p value 0.002 and odd ratio 1.604 (1.076-2.390). In conclusion, the GPM6A gene has the potential as a genetic marker candidate of paranoid schizophrenia patients in West Sumatra, Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prianto Djatmiko
"Latar belakang: Penilaian terhadap masalah beban perawatan (burden of care) yang dialami anggota keluarga yang berperan sebagai care-giver penderita skizofrenia merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan skizofrenia yang berkesinambungan dan berbasis pada lingkungan keluarga dan masyarakat (community-based psychiatric care). The Burden Assessment Schedule (BAS) dari the Schizophrenia Research Foundation (SCARF) di India merupakan instrumen yang baik dalam menilai beban perawatan karena meliputi penilaian terhadap komponen beban objektif maupun subjektif yang merefleksikan persepsi care-giver selama merawat penderita skizofrenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh alat ukur penilaian beban perawatan pada anggota keluarga penderita skizofrenia yang berperan sebagai care-giver dalam Bahasa Indonesia yang valid dan reliabel.
Metoda: Penelitian ini merupakan suatu uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen the Burden Assessment Schedule (BAS) versi Bahasa Indonesia yang meliputi validitas diskriminan, validitas konstruksi, reliabilitas test-retest, reliabilitas inter-observer serta reliabilitas konsistensi internal. Responden penelitian adalah 94 care-giver penderita artritis reumatoid dan 97 care-giver penderita skizofrenia yang datang di RSCM Jakarta dari bulan Oktober 2004 hingga Jull 2005. Analisis statistik dilakukan dengan perangkat lunak program SPSS 13.0 for Windows.
Hasil: Hasil analisis diskriminan menunjukkan kemampuan diskriminasi yang baik dari seluruh items instrumen BAS dengan sensitivitas 85,1%; spesifisitas 89,4% dan akurasi sebesar 87,9%. Nilai titik potong (cult-off score) instrumen BAS pada skor 22. Analisis faktor menunjukkan 5 underlying construct dari ke-20 items instrumen yang sesuai dengan konstruk teori instrumen BAS asli. Reliabilitas eksternal instrumen BAS menunjukkan tidak ada perbedaan nilai antara uji pertama dengan uji ulangnya. Nilai cronbach's alpha instrumen BAS dengan 20 items adalah: 0,886.
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa instrumen BAS versi Bahasa Indonesia memiliki validitas dan reliabilitas yang baik dan dapat digunakan untuk menilai beban perawatan pada care-giver penderita skizofrenia.

Background: The assessment of burden of care experienced by family member role as care-giver of schizophrenia patients has became an important factor in continuing management of schizophrenia in term of community-based psychiatric care. the Burden Assessment Schedule (BAS) from the Schizophrenia Research Foundation (SCARP) India, is considered a good instrument because it assess both objective and subjective burden components of burden of care reflected by the care-giver's perception in caring schizophrenia patients.
Objective: The main goal of this study is to obtain the valid and reliable instrument to assess the burden of care experienced by the family of schizophrenia patients in Bahasa Indonesia.
Method: This is the validity and reliability study of the Burden Assessment Schedule in Bahasa Indonesia version consist of discriminant validity, construct validity, test-retest reliability, Inter-observer reliability and internal consistency reliability. The total numbers of respondents are 94 care-givers of Rheumatoid Arthritis patient and 97 care-givers of Schizophrenia patients. All participants were recruited from Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta in period October 2004 to July 2005. The statistical analysis was conducted using SPSS 13.0 for Windows software program.
Result: All items of the BAS instrument in Bahasa Indonesia version have a good validity. The sensitivity score is 85.1% while the specificity is 89,4% and the accurate- are 87,9%. The cut-off score of the instrument is 22. The factor analysis shows that the BAS instrument in Bahasa Indonesia version has 5 underlying construct of their 20 items in line with of the theoretical construct of the original version of the BAS instrument. The assessment of the external reliability of the BAS instrument shows that there are no differences in score between the first trial and the retest result. The Cronbach's alpha score of the BAS instrument with 20-items are 0,886.
Conclusion: This study shows that the BAS instrument in Bahasa Indonesia version has a good validity and reliability and can be used to assess the burden of care in care-giver of the schizophrenia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destia Anggraini Rahmawati
"ADHF (Acute decompensated heart failure) merupakan suatu kondisi gagal jantung dengan perubahan mendadak pada jantung untuk berkontraksi, sehingga mengancam nyawa dan dapat menyebabkan edema paru. Gagal jantung dapat dikategorikan menurut nilai ejeksi fraksi, salah satunya heart failure with reduce ejection fracktion (HFrEF) dengan nilai EF ≤40%. Tanda klinis ADHF salah satunya edema pada tungkai. Hal ini terjadi karena kegagalan LV untuk berkontraksi sehingga menyebabkan aliran balik dengan penumpukan cairan diparu, kemudian kembali ke RV dan keluar melalui atrium kanan ke seluruh tubuh, salah satunya ke tungkai. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi edema tungkai yaitu ankle pumping exercise. Intervensi ini dilakukan selama 3 hari dengan frekuensi 10 kali/jam, kemudian dievaluasi selama 6 jam dengan metode pitting edema. Hasil intervensi menunjukkan terdapat perubahan derajat edema tungkai dari +3/+3 menjadi +1/+2. Hasil karya ilmiah ini diharapkan menjadi salah satu alternatif intervensi untuk mengurangi edema tungkai.

ADHF (Acute decompensated heart failure) is a condition of heart failure with sudden changes in the heart to contract, so it is life threatening and can cause pulmonary edema. Heart failure can be categorized according to the value of the ejection fraction, one of which is heart failure with reduced ejection fracture (HFrEF) with an EF value of ≤40%. One of the clinical signs of ADHF is edema in the legs. This occurs due to the failure of the LV to contract causing backflow with a buildup of fluid in the lungs, then back into the RV and out through the right atrium to the rest of the body, including the legs. The intervention to treat leg edema is ankle pumping exercise. This intervention was carried out for 3 days with a frequency of 10 times/hour, then evaluated for 6 hours using the pitting edema. The results of the intervention showed that there was a change in the degree of leg edema from +3/+3 to +1/+2. The results of this scientific work are expected to be an alternative intervention to reduce leg edema."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khafifah Sri Lestari
"Insomnia merupakan salah masalah tidur yang paling sering ditemukan pada usia lanjut. Faktor risiko terjadinya insomnia diantaranya faktor psikososial, lingkungan, dan faktor perubahan fisiologi lansia. Insomnia yang tidak tertangani dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup lansia. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis penerapan evidence-based practices berupa intervensi unggulan dalam mengatasi insomnia lansia di PSTW Budi Mulia 01 Cipayung. Intervensi tersebut yaitu teknik relaksasi: warm footbath yang dilakukan selama 15-20 menit, dengan frekuensi 2 minggu. Hasil karya ilmiah ini menunjukkan skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) menurun pada lansia setelah dilakukan intervensi pada tiga lansia. Berdasarkan hasil tersebut, terapi warm footbath dapat menjadi pilihan dalam mengatasi insomnia pada lansia. Penulis merekomendasikan adanya penerapan teknik relaksasi warm footbath yang dilakukan secara rutin pada malam hari saat lansia akan tidur.

Insomnia is one of the most common sleep problems in the elderly. Risk factors for insomnia include psychosocial, environment, and physiological changes in the elderly. Untreated insomnia can have an impact on decreasing the quality of life of the elderly. This writing aims to analyze the application of evidence-based practices in the form as maintain intervention in dealing for older persons with insomnia at PSTW Budi Mulia 01 Cipayung. The intervention is a relaxation technique: warm footbath which is carried out for 15-20 minutes, with a frequency of 2 weeks. The results of this case study show that the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)’s score declined in three older persons women after intervention. Based on these results, warm foot bath therapy can be an option in dealing with insomnia in elderly. The author recommends the application of a warm footbath that can be done on a regular basis everyday at night when the elderly are going to sleep.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andrian Purwo Sulistyo
"Latar belakang: Sebuah penelitian di Rumah Sakit (RS) Norwegia (2012) menemukan 67,7% perawat dengan pola kerja gilir 3-rotasi mengalami insomnia. Banyak penelitian dilakukan tentang kerja gilir dan hubungannya dengan kesehatan, sehingga pola rotasi yang direkomendasikan tersedia, tetapi masih ada pola lain diterapkan, termasuk oleh pekerja rumah sakit. Pola kerja gilir iregular memiliki risiko terjadinya insomnia lebih besar. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pola kerja gilir 3-rotasi dengan insomnia pada pekerja RS.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain komparatif potong-lintang. Data sekunder dari 234 pekerja RS dengan pola kerja gilir 3-rotasi regular dan iregular diikutertakan dalam penelitian ini, yang memenuhi kriteria inklusi. Variabel yang dianalisis adalah faktor individu, seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan higiene tidur juga faktor pekerjaan, seperti profesi, masa kerja, dan unit kerja.
Hasil: Prevalensi insomnia klinis pada pekerja RS dengan pola kerja gilir 3-rotasi adalah 29.9%. Ketika insomnia ringan (pra-klinis) diikutsertakan, maka prevalensi insomnia adalah 55.5%. Variabel berhubungan dengan insomnia adalah: pola kerja gilir 3-rotasi (ROsesuaian 0.34; IK 95% 0.18 - 0.66), pekerjaan sampingan (ROsesuaian 0.46; IK 95% 0.22 - 0.99;), indeks higiene tidur (ROsesuaian 8.84; IK 95% 4.41 - 17.74). Variabel lain tidak berhubungan secara signifikan dengan insomnia preklinis-klinis.
Kesimpulan: Prevalensi insomnia preklinis-klinis adalah 55.5% di antara pekerja RS dengan pola kerja gilir 3-rotasi. Indeks higiene tidur adalah faktor paling dominan terkait dengan insomnia (ROsesuaian 8.84).
Background: A study in the Norwegian Hospital (2012) found 67.7% of nurses with 3-rotational shift work patterns had insomnia. Many studies exist on shift work and it’s association with health, there fore recommended shift patterns are available, but still other patterns are implemented, including among hospital workers. Irregular shift work patterns have a greater risk of insomnia. This study aims to determine association of 3-rotational shift work patterns with insomnia in hospital workers.
Method: This study used a cross-sectional comparative design. Secondary data from 234 hospital workers with regular and irregular 3-rotational shift work patterns were included in the study, who meet the inclusion criteria. Variables analyzed were individual factors, like age, gender, marital status and sleep hygiene also occupational factors, like profession, work period and work unit.
Results: The prevalence of clinical insomnia in hospital workers with 3-rotational shift work patterns was 29.9%. When light insomnia (pre-clinical) were included, the prevalence of insomnia was 55.5%. Variables associated with light - severe insomnia were: 3-rotational shift work patterns (ORadj 0.34; 95% CI 0.18 - 0.66), side jobs (ORadj 0.46; 95% CI 0.22 - 0.99), sleep hygiene index (ORadj 8.84; 95% CI 4.41 - 17.74). Other variables were not significantly related to insomnia.
Conclusion: Prevalence of insomnia preclinical - clinical was 55.5% among hospital workers with 3-rotational shift work. Sleep hygiene index is the most dominant factor associated with insomnia (ORadj 8.84). "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bellinda Fitri Amara
"Acute decompensated heart failure (ADHF) mengacu pada timbulnya gejala dan/atau tanda-tanda gagal jantung yang cepat atau bertahap. Dispnea saat aktivitas adalah salah satu gejala dominan pada klien dengan gagal jantung yang menyebabkan penurunan kualitas hidup klien dengan mengurangi kemandirian/ kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penulisan ini yaitu memaparkan hasil analisis asuhan keperawatan dengan menggunakan penerapan pursed lip breathing dan posisi semi-fowler untuk mengurangi keluhan sesak, menurunkan laju pernapasan, dan meningkatkan saturasi oksigen pada klien dengan ADHF sehingga kemandirian dalam melakukan aktivitas dapat meningkat. Evaluasi dilakukan menggunakan pulse oximetry, perhitungan laju pernapasan selama satu menit, serta perasaan subjektif pada keluhan sesak yang dirasakan klien. Hasilnya, terdapat penurunan laju pernapasan, penurunan keluhan sesak dan peningkatan saturasi oksigen setelah latihan pursed lip breathing dan posisi semi-fowler diimplementasikan. Kesimpulannya, latihan pursed lip breathing dengan posisi semi-fowler terbukti efektif menurunkan laju pernapasan, meningkatkan saturasi oksigen, dan meredakan keluhan sesak napas pada klien dengan ADHF.

Acute decompensated heart failure (ADHF) refers to the rapid or gradual onset of symptoms and/or signs of heart failure. Dispnea on exertion is one of the dominant symptoms in patients with heart failure which causes a decrease in the patient's quality of life by reducing independence/ability to perform daily activities. The purpose of this paper is to describe the results of the analysis of nursing care using the application of pursed lip breathing and semi-Fowler's position to reduce complaints of shortness of breath, decrease respiratory rate, and increase oxygen saturation in clients with ADHF so that independence in carrying out activities can increase. Evaluation was carried out using pulse oximetry, calculating the respiratory rate for one minute, as well as subjective feelings of shortness of breath felt by the client. As a result, there is a decrease in respiratory rate, a decrease in complaints of shortness of breath and an increase in oxygen saturation after the pursed lip breathing and semi-Fowler position exercises are implemented. In conclusion, the pursed lip breathing exercise in the semi-Fowler position has been shown to be effective in reducing respiratory rate, increasing oxygen saturation, and relieving shortness of breath in clients with ADHF."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pina Pudiyanti
"Pada pasien gagal jantung konsumsi garam harian dibatasi untuk mencegah penumpukan cairan dan memperburuk gejala penyakitnya. Kepatuhan dan pengetahuan pasien terhadap diet rendah garam dapat ditumbuhkan melalui pendidikan kesehatan yang diberikan oleh perawat. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi hubungan pendidikan kesehatan yang dilakukan perawat dengan tingkat kepatuhan dan pengetahuan pasien gagal jantung tentang diet rendah garam yang dipersepsikan perawat. Desain penelitian ini menggunakan cross sectional, teknik non probability sampling, menggunakan uji chi square dan regresi logistik pada 152 perawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan kesehatan yang dilakukan perawat dengan tingkat kepatuhan dan pengetahuan pasien gagal jantung tentang diet rendah garam yang dipersepsikan perawat (p value 0,000; α < 0,005). Kepatuhan dan pengetahuan pasien tentang diet rendah garam akan meningkat dengan diberikannya pendidikan kesehatan yang baik oleh perawat agar pasien dapat meningkatkan kesehatan yang optimal.

In patients with heart failure, daily salt intake is limited to prevent fluid buildup and worsen the symptoms of the disease. Patient adherence and knowledge to a low salt diet can be grown through health education provided by nurses. The purpose of this study was to identify the relationship between nurses' health education and the level of compliance and knowledge of heart failure patients about the low salt diet perceived by nurses. The research design used cross sectional, non-probability sampling technique, using chi square test and logistic regression on 152 nurses at Harapan Kita Heart and Blood Vessel Hospital, Jakarta. The results showed that there was a significant relationship between health education performed by nurses with the level of compliance and knowledge of heart failure patients about the low salt diet perceived by nurses (p value 0.000; α <0.005). Patient compliance and knowledge about a low-salt diet will increase with the provision of good health education by nurses so that patients can improve their optimal health."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Joko Purwanto
"Self-care pasien gagal jantung merupakan fokus utama strategi non farmakologi dalam menurunkan angka morbiditas, mortalitas, rehospitalisasi dan meningkatkan kualitas hidup. Kemampuan self-care pasien jantung masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengenali faktor yang berhubungan dengan kemampuan self-care pasien gagal jantung. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yang melibatkan 132 responden. Analisa data menggunakan analisis deskriptid, uji Chi Square dan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki kemampuan self-care maintenance yang tidak adekuat, tetapi memiliki kemampuan self-care monitoring dan self-care management yang adekuat. Karakteristik sosisodemografik responden menunjukkan bahwa sebagian besar dewasa akhir yang berumur 46-65 tahun, laki laki, berpendidikan tinggi, penghasilan yang cukup; dan secara karakteristik klinis memiliki derajat gagal jantung kelas fungsional NYHA 2, FEVki > 50 %, lama sakit > 3 tahun dan memiliki ko-morbid ringan. Sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan baik, efikasi diri adekuat, tidak depresi dan dukungan pelaku rawat di keluarga yang adekuat. Terdapat hubungan yang signifikan antara derajat gagal jantung, lama sakit, ko-morbid dan efikasi diri dengan kemampuan self-care maintenance, dimana derajat gagal jantung adalah faktor yang paling dominan. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat gagal jantung, ko-morbid, pengetahuan dan dukungan pelaku rawat di keluarga dengan kemampuan self-care monitoring, dimana faktor yang paling dominan adalah derajat gagal jantung. Terdapat hubungan yang bermakna antara efikasi diri dan dukungan pelaku rawat di keluarga dengan kemampuan self-care management, dimana efikasi diri adalah faktor yang paling dominan. Perlunya dilakukan intervensi keperawatan spesifik terkait gagal jantung pada pasien untuk meningkatkan kemampuan self-care.

Self-care of heart failure patients is a main focus of non-pharmacological strategies to decrease morbidity, mortality, rehospitalization, and improve quality of life. Self-care ability of heart failure patients is still low. This study aims to identify factors related to self-care ability of patients with heart failure. This is a quantitative study with a descriptive analytic design using a cross sectional approach involving 132 respondents. Data were analyzed using descriptive analytic, Chi Square and logistic regression test. The results showed that most of the respondents have inadequate self-care maintenance, but have adequate self-care monitoring and self-care management abilities. Sociodemographic characteristics indicated that most of the respondents are late adulthood aged 46-65 years, male, have a fairly high income; and clinically characterized by a degree of heart failure NYHA functional class 2, LVEF > 50%, duration of illness > 3 years and have mild co-morbidities. Most of the respondents have a good level of knowledge, adequate self-efficacy, are not depressed and have adequate support from caregivers in their families. There is a significant relationship between the degree of heart failure, duration, co-morbidities and self-efficacy with self-care maintenance ability, whereas the degree of heart failure is the most dominant factor. There is a significant relationship between the degree of heart failure, co-morbidities, knowledge and support of caregivers in the family with the self-care monitoring ability, meanwhile the most dominant factor is the degree of heart failure. There is a significant relationship between self-efficay and caregiver support in the family with self-care management ability, and self-efficacy is the most dominant factor. Specific nursing interventions related to heart failure need to be carried out to improve self-care abilities."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Fidi Astuti
"Pendahuluan: Andrografolida, konstituen aktif utama diisolasi dari Andrographis paniculata yang digunakan untuk terapi artritis reumatoid. Namun, senyawa ini memiliki bioavailabilitas oral yang rendah. Masalah ini dapat diatasi dengan memformulasikan andrografolida dalam etosom melalui pemberian transdermal.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil farmakokinetik, bioavailabilitas relatif, dan efektivitas sediaan transdermal etosom andrografolida pada hewan model artritis reumatoid.
Metode: Metode hidrasi lapis tipis digunakan untuk memformulasikan etosom andrografolida. Karakterisasi etosom meliputi ukuran partikel, indeks polidispersitas, potensial zeta, dan efisiensi penjerapan. Pada uji farmakokinetik, digunakan GE, GNE dan SO dosis 50 mg/kgbb kemudian sampel plasma diambil dari sinus retro-orbital dengan 10 titik pengambilan dalam 24 jam. Parameter farmakokinetik dianalisis dengan KCKT fase terbalik. Pada uji aktivitas antiartritis, GE dosis 25, 50, dan 100 mg/kg diberikan secara transdermal pada tikus uji yang diinduksi CFA 0,1 mL. Selama fase induksi dan setelah pemberian obat, manifestasi klinis artritis dipantau menyeluruh.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan etosom dengan ukuran partikel 76,35±0,74 nm, zeta potensial -40,17±1,03 mV dan efisiensi penjerapan 97,87±0,23%. Studi farmakokinetik menghasilkan Cmax pada GE, GNE, dan SO berturut-turut adalah 53,07±4,73; 27,34±1,48; dan 11,72±0,74 μg/mL, AUC0-∞ masing-masing 152,10±16,53; 77,15±12,28; dan 23,20± 3,46 μg.jam/mL. Tmax rute transdermal dicapai jam ke-6 sementara rute oral jam ke-2 setelah pemberian sediaan. Hasil uji aktivitas antiartritis mengungkapkan, GE 50 dan 100 mg/kgbb menunjukkan persentase penghambatan edema hampir serupa dengan metotreksat 0,135 mg, subkutan.
Kesimpulan: Hasil penelitian disimpulkan bahwa GE 50 mg/kgbb menghasilkan peningkatan Cmax, Tmax dan AUC0-∞. Bioavailabilitas relatif dicapai sebesar 655,60% pada rute transdermal dibandingkan dengan rute oral. Hasil uji aktivitas antiartritis, GE 50 mg/kg secara efektif mengurangi volume edema, diameter kaki, dan skor artritis tikus model yang diinduksi CFA.

Intoduction: The main active constituent isolated from Andrographis paniculata, andrographolide, is used to treat rheumatoid arthritis. This compound, however, has a low oral bioavailability. This issue can be solved by incorporating andrographolide into ethosomes for transdermal administration.
Aim: This study was designed to determine the pharmacokinetic profile, relative bioavailability, and efficacy of andrographolide ethosomal transdermal preparations in animal models of rheumatoid arthritis.
Method: Andrographolide was prepared into ethosomal dosage forms before being characterized in terms of particle size, polydispersity index, zeta potential, and entrapment efficiency. In the pharmacokinetic test, plasma sampels were collected from the retro-orbital sinus at 10 collection points over the course of 24 hours using GE, GNE, and SO at a dose of 50 mg/kg each. Reverse-phase HPLC was used to assess pharmacokinetic parameters. In the anti-arthritic activity test, GE doses of 25, 50, and 100 mg/kg were administered transdermally to rats induced by 0.1 mL CFA. The clinical manifestations of arthritis are closely monitored during the induction phase and after drug administration.
Result: According to the results, the ethosomes with a particle size of 76.35±0.74 nm, a zeta potential of -40.17±1.03 mV, and an entrapment efficiency of 97.87±0.23%. Pharmacokinetic studies revealed that the Cmax in GE, GNE, and SO was 53.07±4.73, 27.34±1.48, and 11.72±0.74 μg/mL, and the AUC0-∞ was 152,10±16,53; 77,15±12,28; and 23,20± 3,46 μg.jam/mL, respectively. The transdermal route had a Tmax of 6 hours, while the oral route had a Tmax of 2 hours after administration of the preparation. GE 50 and 100 mg/kg inhibited edema with nearly the same percentage as methotrexate 0.135 mg subcutaneously, according to the anti-arthritis activity test.
Conclusion: The researchers concluded that GE 50 mg/kg caused an increase in Cmax, Tmax, and AUC0-∞. The transdermal route has a relative bioavailability of 655.60% compared to the oral route. The anti-arthritis activity study showed that GE 50 mg/kg effectively reduced edema volume, paw diameter, and arthritis scores in CFA-induced rat models.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>