Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175729 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radistrya Sekaranti Brahmanti
"Pendahuluan Excessive daytime sleepiness / EDS sering dikaitkan dengan penurunan performa kerja dan fatigue pada penerbang sipil. Namun, rekomendasi aeromedis untuk evaluasi EDS saat ini untuk lebih dikaitkan dengan kecurigaan apnea tidur obstruktif / OSA. Dewasa ini, sudah banyak penelitian yang menemukan hubungan antara obesitas dengan EDS terlepas adanya OSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara obesitas dengan EDS pada penerbang sipil di Indonesia dan risikonya terkena OSA.
Metode Penelitian ini menggunakan disain krosseksional dan dilaksanakan di Balai Kesehatan Penerbangan. Responden diminta mengisi kuesioner, termasuk Epworth Sleepiness Scale untuk mengukur EDS dan STOP-Bang untuk menilai risiko OSA, dilanjutkan dengan pengukuran antropometri berupa indeks masa tubuh dan lingkar pinggang untuk indikator obesitas.
Hasil Didapatkan 156 responden dengan hasil prevalensi EDS sebesar 16,7%. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara obesitas dan EDS (p >0,05), tapi prevalensi EDS lebih tinggi pada responden obese berdasarkan lingkar pinggang dibandingkan indeks masa tubuh (17,8% vs 15,6%). Pada penerbang obese dengan EDS, sebagian besar memiliki risiko rendah OSA (83,3% dan 80%).
Kesimpulan Terdapat prevalensi EDS yang meningkat pada penerbang sipil di Indonesia, terutama pada penerbang dengan obesitas sentral. Kejadian EDS tidak dipengaruhi oleh risiko penyakit OSA.

Introduction Excessive daytime sleepiness / EDS is often associated with decreased work performance and fatigue in civil pilots. However, aeromedical recommendations for evaluation of EDS are associated with suspicion of obstructive sleep apnea/OSA. Currently, many studies have found an association between obesity and EDS regardless of OSA. This study aims to determine whether there is a relationship between obesity and EDS in Indonesian civilian pilots, and its risks to get OSA.
Methods This study used a cross-sectional design and was carried out at the Directorate General Civil Aviation Medical. Respondents were asked to fill out questionnaires, including the Epworth Sleepiness Scale to measure EDS and STOP-Bang to assessed the risks to have OSA, followed by anthropometric measurements for body mass index and waist circumference as obesity indicators.
Results We obtained 156 respondents with EDS prevalence of 16.7%. There was no significant relationship between obesity and EDS (p > 0.05), but prevalence of EDS was higher in obese respondents based on waist circumference than body mass index (17,8% vs 15,6%). Most obese pilots with EDS had low risk of OSA (83,3% and 80%).
Conclusion There was an increase of EDS prevalence among Indonesian civilian pilots, especially in pilots with central obesity. The incidence of EDS was not affected by the risk of OSA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maura Octavia
"

Obesitas merupakan keadaan yang terjadi akibat akumulasi lemak yang berlebihan dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga berat badan. Salah satu kelompok masyarakat yang berisiko terhadap obesitas adalah pekerja terutama pekerja kantoran. Para pekerja cenderung tidak memperhatikan pola makan serta melakukan aktvitas fisik yang rendah. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi faktor internal (riwayat keluarga, usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik), faktor eksternal (tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, status perkawinan, dan jenis pekerjaan), dan faktor konsumsi (persen asupan energi, persen asupan protein, dan konsumsi gorengan) terhadap kejadian obesitas pada pekerja di PT Juara Abadi Bersama Tahun 2023. Penelitian dilakukan secara luring selama bulan November – Desember 2023. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan menggunakan metode random sampling untuk mendapatkan 117 responden. Hasil analisis menyatakan bahwa adanya perbedaan proporsi obesitas berdasarkan riwayat keluarga (p value = 0,000), aktivitas fisik (p value = 0,013), asupan energi (p value = 0,001), dan konsumsi gorengan (p value = 0,021). Saran yang diberikan kepada pihak perusahaan serta sivitasnya yaitu untuk lebih aktif dalam mencari informasi terkait gizi dan kesehatan, serta dilakukannya pencegahan terkait obesitas dengan memperhatikan asupan makan yang tepat, melakukan pemantauan terkait status gizi, dan melakukan upaya pencegahan bersama seperti olahraga bersama.


Obesity is a condition that occurs due to excessive accumulation of fats and lasts for a long time hence the increasing of body weight. Workers are one of the group of people who are at risk of obesity, especially office workers. Workers tend not to pay attention to their diet and carry out low levels of physical activity. This study aims to find the proporstion differences between internal factors (family history, age, gender, and, physical activity) external factors (level of education, level of knowledge, marital status, and work section) and consumption factors (percentage of energy intake, percentage of protein intake, and comsumption of fried foods) towards obesity among workers in PT Juara Abadi Bersama in 2023. This study was conducted offline during November – December 2023. This study uses cross sectional design and random sampling methode to get 117 respondents. The outcome from the analysis stated that there is a proportion differences obesity according to family history (p value = 0,000), activity factor (p value = 0,013), energy intake (p value = 0,000), and fried food consumption (p value = 0,021). Advice given to the company and its community members is to be more active in seeking information related to nutrition and health, as well as to prevent obesity by paying attention to appropriate food intake, monitoring nutritional status, and carrying out joint prevention efforts such as exercising together.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Nadya R V
"Latar Belakang. Obesitas merupakan faktor risiko luaran buruk pada pasien COVID-19. Sampai saat ini studi penilaian hubungan parameter obesitas berupa nilai lemak viseral, lingkar pinggang (LP), indeks massa tubuh (IMT), dan persentase lemak tubuh secara bersamaan dengan luaran COVID-19 menggunakan metode sederhana berupa bioimpedance analyzer (BIA) masih terbatas. Keempat variabel tersebut akan dinilai kemampuannya untuk memprediksi luaran buruk selama perawatan pasien COVID-19.
Metode. Penelitian ini merupakan kohort prospektif dari 261 pasien COVID-19 ringan-sedang di RSUPN Cipto Mangunkusumo rawat inap sejak Desember 2020 hingga Maret 2021. Pasien dilakukan pemeriksaan BIA, LP, dan IMT saat admisi. Dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk menilai kemampuan nilai lemak viseral, persentase massa tubuh, IMT dan LP untuk memprediksi luaran buruk komposit yang mencakup ARDS dan mortalitas.
Hasil. Didapatkan median nilai lemak viseral 10 (setara 100 cm2 ), lingkar pinggang 93 cm, IMT 26,1 kg/m2 , dan persentase lemak tubuh 31,5%. Berdasarkan multivariat regresi logistik, lingkar pinggang secara statistik bermakna sebagai faktor yang berpengaruh terhadap luaran buruk pada pasien COVID-19 [RR 1,04 (IK 95% 1,01-1,08)] bersama dengan derajat COVID-19 [RR 4,3 (IK 95% 1,9- 9,9)], skor NEWS [RR 5,8 (IK 95% 1,1-31)] saat admisi, dan komorbiditas [RR 2,7 (IK 95% 1,1-6,3)].
Kesimpulan. Luaran buruk COVID-19 selama perawatan pasien COVID-19 terkonfirmasi dapat dipengaruhi oleh lingkar pinggang.

Background. Obesity is a risk factor for adverse outcomes in COVID-19 patients. Until now, studies on assessing the relationship between obesity parameters in the form of visceral fat, waist circumference (WC), body mass index (BMI), and body fat percentage simultaneously with COVID-19 outcomes using a simple method such as bioimpedance analyzer (BIA) are still limited. The four variables will be assessed for their ability to predict adverse outcomes during the treatment of COVID-19 patients.
Method. This study is a prospective cohort of 261 mild-moderate COVID-19 subjects at Cipto Mangunkusumo General Hospital who were hospitalized from December 2020 to March 2021. Patients underwent BIA, WC, and BMI examinations upon admission. Multivariate logistic regression analysis was performed to assess the ability of visceral fat, body mass percentage, BMI, and WC to predict poor composite outcomes, including ARDS and mortality.
Results. The median value of visceral fat was 10 (equivalent to 100 cm2 ), WC was 93 cm, BMI was 26.1 kg/m2 , and body fat percentage was 31.5%. Based on multivariate logistic regression, WC was statistically significant as a factor influencing poor outcomes in COVID-19 patients [RR 1.04 (95% CI 1.01-1.08)] along with COVID-19 degree of severity [RR 4.3 (95% CI 1.9-9.9)], NEWS score [RR 5.8 (95% CI 1.1-31)] at admission, and comorbidities [RR 2.7 (95% CI 1.1) - 6.3)].
Conclusion. During the hospitalization of confirmed COVID-19 patients, poor outcomes can be affected by waist circumference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Nabilah Qonitah
"Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kondisi kadar glukosa darah yang tinggi karena ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin secara normal atau untuk memproduksi insulin yang cukup. Dalam kurun waktu 5 tahun, prevalensi diabetes melitus pada penduduk berusia ≥ 15 tahun meningkat dari 6,9% pada tahun 2013 menjadi 8,5% pada tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh obesitas terhadap DM tipe 2 di Indonesia, dengan desain penelitian kohort retrospektif. Data yang digunakan berasal dari IFLS-1 dan IFLS-5 dengan sampel sebesar 4.707 dan dianalisis menggunakan uji cox regression. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 7,4% sampel mengalami diabetes tipe 2. Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat pengaruh obesitas dan umur pada tahun 1993 terhadap kejadian DM tipe 2 tahun 2014; dan terdapat hubungan antara konsumsi fast food, konsumsi soft drink, konsumsi buah, aktivitas fisik, dan wilayah tempat tinggal pada tahun 2014 dengan DM tipe 2. Sedangkan, konsumsi cemilan gorengan, konsumsi cemilan manis, konsumsi sayur dan status gizi pada tahun 2014, kebiasaan merokok pada tahun 1993, tidak berhubungan yang bermakna dengan DM tipe 2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah status gizi obesitas berisiko 5,62 kali terkena DM tipe 2 dibandingkan dengan status gizi normal setelah dikontrol oleh variabel usia, status gizi tahun 2014, dan wilayah tempat tinggal sebagai confounding

Type 2 diabetes mellitus (DM) is a disease characterized by high blood glucose levels due to the body's inability to use insulin normally or to produce enough insulin. Within 5 years, the prevalence of diabetes mellitus in the population aged 15 years and above increased from 6.9% in 2013 to 8.5% in 2018. This study aims to determine the effect of obesity on type 2 DM in Indonesia, with a research design retrospective cohort. The data used comes from IFLS-1 and IFLS-5 with a sample of 4,707 and analyzed using cox regression test. The results of this study showed that 7.4% of the sample had type 2 diabetes. The results of the bivariate analysis showed that there was an effect of obesity and age in 1993 on the incidence of type 2 diabetes in 2014; and there is a relationship between consumption of fast food, consumption of soft drinks, consumption of fruit, physical activity, and area of ​​residence in 2014 with type 2 DM. Meanwhile, consumption of fried snacks, consumption of sweet snacks, consumption of vegetables and nutritional status in 2014, habits smoking in 1993, was not significantly associated with type 2 diabetes. The conclusion of this study is that the nutritional status of obesity has a 5.62 times risk of developing type 2 diabetes compared to normal nutritional status after controlling for variables of age, nutritional status in 2014, and the area of residence as confounding."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita
"Studi tentang obesitas dari berbagai sudut pandang telah banyak dibahas dalam literatur ilmu kesehatan. Akan tetapi, studi yang membahas obesitas dari sisi karakter kota masih sangat terbatas, terutama untuk negara berkembang. Untuk melengkapi gap literatur, studi ini memberikan pembuktian empiris hubungan kausal antara obesitas dan karakter kota berupa urban sprawl. Skor indeks risiko gempa dan elevasi digunakan sebagai instrument variable (IV) untuk mengatasi masalah endogenitas dalam mengestimasi parameter. Hasil estimasi dengan metode 2SLS menunjukkan bahwa peningkatan satu persen indeks sprawl akan menurunkan 3,6% poin indeks massa tubuh dan 0,4% poin likelihood peningkatan status obesitas. Konsisten dengan hasil estimasi tersebut, studi ini menemukan bahwa semakin sprawl suatu area, maka peluang individu melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki dan bersepeda semakin meningkat, intensitas individu mengkonsumsi makanan sehat meningkat, dan intensitas konsumsi makanan yang tidak sehat semakin menurun. Berdasarkan hasil temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mengendalikan tingkat obesitas masyarakat dapat dilakukan dengan melakukan perubahan pada struktur kota (lingkungan) dengan meningkatkan fasilitas yang dapat mendukung aktivitas fisik masyarakat, seperti jogging track, jalur khusus sepeda, atau taman untuk berolahraga terutama di aera yang padat residensial.

The study of obesity from various perspectives has been widely discussed in the health science literature. However, studies that discuss obesity in terms of urban character are still very limited, especially for developing countries. To complete the literature gap, this study provides empirical evidence of a causal relationship between obesity and urban form in terms of urban sprawl. The earthquake risk and elevation scores are used as instrument variables (IV) to solve the endogeneity problem in estimating parameters. The estimation results using the 2SLS method find that a one percent increase in the sprawl index will decrease 3.6% body mass index points and 0.4% likelihood of increasing obesity status. Consistent with the results, this study found that the more sprawl an area, the chances of individuals doing physical activities such as walking and cycling increased, the intensity of individuals consuming healthy food increased, and the intensity of consumption of unhealthy foods decreased. Based on these findings, it can be concluded that to combat the obesity rate can be done by making changes to the structure of the city (environment) by increasing facilities that can support the physical activities of the community, such as jogging tracks, bicycle lanes, or parks to exercise, especially in areas that residential solid."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hansa Nurhaida
"ABSTRAK
Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia yang perlu diperhatikan karena angka penderita obesitas (IMT >30) meningkat secara signifikan setiap tahun. Penderita obesitas perlu lebih waspada karena kemungkinan komorbiditas penyakit lain meningkat, termasuk salah satunya adalah stroke. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya stroke yang dapat diukur serta dipengaruhi status obesitas adalah nilai viskositas darah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara obesitas sebagai faktor risiko stroke dengan viskositas darah. Pada penelitian ini juga digunakan alat baru portable untuk mengukur viskositas darah yaitu Mikrokapiler Digital.
Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional dari data sekunder 194 rekam medik pasien yang melakukan pemeriksaan kesehatan pada Pos Binaan Terpadu (Posbindu) Kelurahan Pisangan Timur dibawah binaan Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas pada bulan Januari dan Maret 2015. Data dianalisis dengan menggunakan uji kolerasi spearman dan uji chi-square. Pada uji kolerasi spearman antara obesitas dengan nilai viskositas darah tidak ditemukan adanya hubungan kolerasi yang signifikan dengan nilai p 0,304. Jika data numerik diolah secara kategorik dengan uji chi-square, tidak didapatkan adanya hubungan antara obesitas dan peningkatan viskositas darah dengan nilai p 0,719.
Hasil tersebut dapat terjadi karena pada penelitian ini faktor perancu lain diabaikan. Sehingga pada pasien non obesitas masih ada kemungkinan pengaruh hal hal lain seperti hipert.

ABSTRACT
Obesity is one of the health problem that need be considered because the numbers of obese people (BMI> 30) increased significantly every year. Obese people have greater possibility of other co-morbidities diseases, including stroke. One of the causes of stroke that can be measured and influenced the status of obesity is the value of blood viscosity. Therefore, this study aimed to explore the relationship between obesity as a risk factor of stroke and blood viscosity. In this study, researcher also used Mikrokapiler Digital, a new portable instrument for measuring the viscosity of the blood.
This research was conducted with a crosssectional design. This research using 194 medical records from patients who performed medical check up on the Pos Binaan Terpadu(Posbindu) Kelurahan Pisangan Timur under the guidance of the Department of Community Medicine.
The medical check up held in January and March 2015. Data were analyzed using Spearman correlation test and chi-square test. In the Spearman correlation test between obesity and blood viscosity value did not reveal any significant correlation relationship with a p-value 0.304. When the numerical data converted into categorical data and analyzed using the chi-square test, it also shows no association between obesity and increased blood viscosity with a p-value 0.719.
These results happen because in this study other confounding factors are ignored. So that the nonobese patients can possibly influenced by other factors which can increase the viscosity value such as hypertension, diabetes mellitus and dyslipidemia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tahapary, Dicky Levenus
"Obesitas sentral di dunia dan Indonesia terus meningkat. Dislipidemia pada obesitas sentral merupakan kelainan metabolik yang paling sering ditemui, paling awal muncul, dan hubungannya paling kuat dengan komplikasi kardiovaskular. Penelitian mengenai obesitas sentral dan dislipidemia, di daerah rural Indonesia sangatlah terbatas. Belum ada penelitian yang menilai kontribusi leptin, adiponektin, dan resistin terhadap dislipidemia pada obesitas sentral secara bersamaan.
Tujuan: Mengetahui prevalensi obesitas sentral dan dislipidemia di kecamatan Nangapanda, NTT. Selain itu juga mengevaluasi hubungan antara obesitas sentral dengan kadar TG, K-HDL, K-LDL, leptin, adiponektin, dan resistin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang menganalisis data sekunder penelitian Sugarspin yang dilakukan di 3 desa di Kecamatan Nangapanda, NTT. Kriteria inklusi adalah seluruh pasien yang tercatat dan sesuai periode penelitian yang berusia >18 tahun dan <60 tahun. Sedangkan kriteria eksklusi bila terdapat komponen data yang tidak lengkap, kadar TG lebih dari 400 mg/dl, dan menggunakan terapi obat dislipidemia, steroid, dan kontrasepsi hormonal. Hasil: Prevalensi obesitas sentral di kecamatan Nangapanda, NTT sebesar 31.2%
(40% pada perempuan dan 17.0% pada laki-laki). Sedangkan prevalensi
dislipidemia sebesar 70.9% (71.6% pada perempuan dan 69.9% pada laki-laki). Pada subyek dengan obesitas sentral, proporsi dislipidemia sebesar 88.2% (87.0% pada perempuan dan 92.9% pada laki-laki). Obesitas sentral yang dinilai dengan lingkar pinggang, baik pada perempuan maupun laki-laki berkorelasi positif dengan kadar TG dan kadar K-LDL, serta berkorelasi negatif dengan kadar K-HDL. Obesitas sentral, baik pada perempuan maupun laki-laki, berkorelasi positif dengan kadar leptin dan negatif dengan kadar adiponektin. Korelasi negatif sangat lemah didapatkan antara obesitas sentral dengan kadar resistin hanya pada laki-laki. Didapatkaan korelasi positif antara kadar leptin dengan kadar TG dan kadar KLDL, serta korelasi negatif dengan kadar K-HDL, baik pada perempuan maupun laki-laki. Didapatkan korelasi positif yang lemah antara kadar adiponektin dengan kadar K-HDL baik pada perempuan maupun laki-laki. Kadar resistin berkorelasi negatif sangat lemah dengan kadar HDL hanya pada perempuan.
Simpulan: Prevalensi obesitas sentral dan dislipidemia di 3 desa di kecamatan Nangapanda, NTT sebagai salah satu daerah rural di Indonesia cukup tinggi sehingga memerlukan perhatian khusus. Leptin nampaknya memegang peranan penting dalam patofisiologi terjadinya dislipidemia pada obesitas sentral.

Background: The global trend of central obesity has increased dramatically as well
as in Indonesia. Dyslipidemia is the most common and the earliest metabolic
disease component that concurrently found in central obesity. Moreover,
dyslipidemia in central obesity was remarked to have the strongest correlation with
the risk of cardiovascular complication. Studies regarding central obesity and
dyslipidemia in rural area in Indonesia were limited. In addition, there was no study
that observed the contribution of leptin, adiponectin, and resistin in dyslipidemia
and central obesity concurrently.
Objective: This study aims to determine the prevalence of central obesity and
dyslipidemia in Nangapanda district, East Nusa Tenggara and to evaluate the
correlation between central obesity and triglyceride, HDL-C, LDL-C, leptin,
adiponectin, and resistin levels.
Methods: This study was cross-sectional study that analyzed secondary data from
Sugarspin that was conducted in three sub-district in Nangapanda district, East
Nusa Tenggara. Inclusion criteria were all subjects recorded in Sugarspin database
within specific study period, aged > 18 years and < 60 years. Exclusion criteria
were incomplete data, subjects who had triglyceride level > 400 mg/dl, as well as
consumed lipid lowering agent, steroid and hormonal contraception.
Results: The prevalence of central obesity and dyslipidemia in Nangapanda
district, East Nusa Tenggara was 31.2% (40% female and 17.0% male) and 70.9%
(71.6% female and 69.9% male), respectively. In subjects with central obesity, the
proportion of dyslipidemia was 88.2% (87.0% female and 92.9% male). Central
obesity that was remarked by waist circumference measurement had positive
correlation with triglyceride and LDL-C level while had negative correlation with
HDL-C level. Central obesity, both in female and male, had positive correlation
with leptin level and had negative correlation with adiponectin level. A very weak
negative correlation was found between central obesity and resistin level only in
male. While, a positive correlation was found between leptin level and triglyceride
as well as LDL-C level, a negative correlation was found between leptin level and
HDL-C level, both in female and male. In addition, a weak positve correlation
between adiponectin and HDL-C level was found in female and male. Resistin level
had a very weak negative correlation only in female.
Conclusions: Prevalence of central obesity and dyslipidemia in three sub-districts
in Nangapanda district, East Nusa Tenggara, a rural area in Indonesia, was high.
The growing prevalence required attention due to its cardiovascular risk. Leptin
was seemingly played an important role in pathophysiology of dyslipidemia in
central obesity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sifa Aulia Wicaksari
"

Prevalensi kegemukan/obesitas meningkat setiap tahun secara global termasuk Indonesia. Salah satu fokus masalah oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah tingginya konsumsi energi dari gula yang berdampak pada pengingkatan berat badan, kerusakan gigi, dan penyakit tidak menular. Dewasa ini, sebanyak 10,9% orang dewasa di Indonesia mengonsumsi energi dari gula melebihi anjuran dari WHO. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui hubungan antara index massa tubuh (IMT) dan konsumsi minuman berpemanis pada usia dewasa muda di Universitas Indonesia, disesuaikan dengan faktor-faktor lain seperti status sosiodemografi, asupan energi total dan aktivitas fisik. Pengambilan data dilakukan secara consecutive di Universitas Indonesia, Jawa Barat, Indonesia selama bulan Maret – Juni 2019, terhadap 161 mahasiswa Universitas Indonesia yang tinggal di asrama. IMT diperoleh dari pengukuran berat dan tinggi badan, sedangkan konsumsi minuman berpemanis diperolah menggunakan catatan minuman 7 hari. Kuesioner terstruktur, 24–hours recall dan kuesioner aktivitas fisik internasional digunakan untuk menilai sosio-demografi, asupan energi dan aktivitas fisik. Analisis data menggunakan SPSS versi 20. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 24,2% memiliki status gizi lebih/ obesitas dan 11,8% responden mengonsumsi gula tambahan di minuman lebih dari 50 gram per hari. Sebagian besar responden memiliki mengonsumsi energi tidak cukup dan aktivitas fisik rendah. Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor perancu lain, IMT secara signifikan berhubungan konsumsi minuman berpemanis berdasarkan asupan gula tambahan (β=1,810; interval kepercayaan 95% 0,014 – 3,606; p=0,048, adj R2=0,028). Oleh karena itu, seluruh program edukasi perlu menambahkan materi tentang cara menurunkan konsumsi minuman berpemanis.


The prevalence of overweight–obesity is increasing globally every year, including Indonesia. One global concern by World Health Organization (WHO) related to overweight–obesity was high energy intake from sugar resulting on weight gain, tooth decay, and non-communicable diseases. Recently, more than 10.9% of Indonesian adults consumed energy from SSB exceeding WHO recommendation. This cross sectional study aimed to assess the association between body mass index (BMI) and SSB consumption among young adults in Universitas Indonesia, adjusted to sociodemographic status, total energy intake (TEI) and physical activity level (PAL). Data collection was conducted in Universitas Indonesia, West Java Indonesia during March–June 2019. College students living in dormitory were enrolled 161 students consecutively as respondents. Weight and height measurement was obtained for calculating the BMI, while SSB consumption was obtained by 7–days fluid record. Structured questionnaire, 24–hours recall and short international physical activity questionnaire were used for assessing sociodemographisc status, TEI and PAL. Data analysis used SPSS version 20. The result found 24.2% of respondents were overweight-obese; 11.8% of respondents consumed added sugar in SSB more than 50 g/day. More respondents had inadequate TEI and low PAL. In multivariate analysis, BMI was significantly associated with SSB consumption based on added sugar (β=1.810, 95% 0.014–3.606 of CI, p=0.048, adj R2=0.028). It is necessary to include how to reduce SSB cosumption in all education program.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Shofia
"ABSTRAK
Nama : Nur ShofiaProgram Studi : Ilmu Kesehatan MasyarakatJudul : Studi Validasi Cut-Off Point Obesitas menurut IMT dan Lingkar Pinggang dengan Gold Standard Persentase Lemak Tubuh pada Usia 19-45 Tahun Di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Tahun 2018Pembimbing : Triyanti, SKM, M.ScObesitas merupakan faktor risiko dari berbagai penyakit tidak menular. IMT indeks massa tubuh dan lingkar pinggang adalah indikator antropometri yang sering digunakan untuk mendefinisikan status obesitas. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa setiap populasi memerlukan cut-off point IMT dan lingkar pinggang yang berbeda untuk mengidentifikasi status obesitas. Studi ini bertujuan untuk menentukan cut-off point optimal dari IMT dan lingkar pinggang terhadap status obesitas pada pria dan wanita dewasa di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Sebanyak 272 subjek usia 19-45 tahun pria, n=116; wanita, n= 156 berpartisipasi dalam pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, dan persentase lemak tubuh. Persentase lemak tubuh diukur menggunakan BIA bioelectrical impedance analysis Omron HBF-212. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cut-off point IMT dan lingkar pinggang dari Kementerian Kesehatan Indonesia memiliki nilai sensitivitas yang rendah dalam mengidentifikasi status obesitas pada subjek penelitian. Cut-off point optimal IMT dan lingkar pinggang bagi pria dan wanita dalam penelitian ini berturut-turut adalah 24.60 kg/m2; 24.05 kg/m2; 82.60 cm; dan 76.00 cm. IMT adalah indikator antropometri yang paling baik untuk menentukan status obesitas pada pria, sedangkan pada wanita adalah lingkar pinggang. Hasil penelitian ini sebaiknya digunakan sebagai evaluasi penentuan cut-off point obesitas menurut IMT dan lingkar pinggang bagi pria dan wanita dewasa di Fakultas Syari rsquo;ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.Kata kunci:Obesitas; IMT; lingkar pinggang; persentase lemak tubuh; cut-off point.

ABSTRACT
Name Nur ShofiaStudy Program Master of Public Health Title The Validation Study of Obesity Cut off Point according to BMI and Waist Circumference with Body Fat Percentage Gold Standard in 19 45 year old Adults in The Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2018Counsellor Triyanti, SKM, M.ScObesity is a risk factor for non communicable diseases. BMI body mass index and waist circumference WC have been extensively used to define obese status. Several studies have raised that BMI and WC cut off points may be different among various populations. The objective of this study was to determine optimal cut off points for BMI and WC to identify obesity in men and women from Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. A total of 272 subjects aged 19 45 years men, n 116 women, n 156 were assessed for weight, height, WC, and body fat percentage BF . BF was determined using BIA bioelectrical impedance analysis Omron HBF 212. The existing BMI and waist circumference cut off points from Ministry of Health of Indonesia showed low sensitivity to identify obesity in our subjects. The optimal cut off points for BMI and WC for determination of obesity in men and women were 24.60 kg m2 24.05 kg m2 82.60 cm and 76.00 cm, respectively. In conclusion, BMI is the most predictive for men to define obese status, while WC is for women. These research findings should be used to evaluate new cut off points for BMI and WC to define obesity optimally in men and women in Sharia and Law Faculty of Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.Key words Obesity BMI waist circumference body fat percentage cut off point."
[Depok;Depok, Depok]: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>