Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157425 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rismawati
"Tulisan ini mengkaji tentang mitos dan realitas yang tergambar dalam film pendek Lamun Sumelang karya Ludy Oji Prastama tahun 2019. Film ini telah mendapat beberapa penghargaan dari Piala Maya 2019. Mitos dan realitas sosial yang digambarkan dalam film ini berlatar belakang masyarakat Gunung Kidul yang masih percaya kepada mitos antara lain pulung gantung, memberi tumbal manusia, dan arwah orang yang bunuh diri akan gentayangan, namun dilandasi dengan suatu argumentasi bahwa kepercayaan terhadap mitos bukan semata-mata dikarenakan masyarakat Gunung Kidul masih percaya terhadap mitos-mitos itu, melainkan dikarenakan kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan hingga situasi kesehatan menjadi terdampak karena ketidakmampuan finansial. Jadi, permasalahan yang perlu dikaji adalah bagaimana representasi mitos dan realitas sosial masyarakat Gunung Kidul yang terkandung dalam film pendek Lamun Sumelang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan wawasan dan refleksi pada masyarakat tentang mitos dan realitas sosial masyarakat Gunung Kidul. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra dari Sapardi Djoko Damono dan pendekatan representasi Stuart Hall untuk menganalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga mitos, yaitu dan dua realitas sosial, yaitu kesehatan dan ekonomi yang terdapat dalam film pendek Lamun Sumelang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa kepercayaan mistis yang digambarkan dalam film ini sangat berkaitan erat dengan kondisi dan situasi persoalan masyarakatnya.

This paper study about myths and realities reflected in the Lamun Sumelang short movie created by Ludy Oji Prastama in 2019. This movie has received several awards from Piala Maya 2019. The myths and social realities reflected in this movie are set in the background of the Gunung Kidul people who still believe in myths, including pulung gantung, giving human sacrifices, and the spirits of people who commit suicide will be overwhelmed, however, it is based on an argument that belief in myths is not solely because the people of Gunung Kidul still believe in these myths, but because of poor socioeconomic conditions until the health situation becomes affected due to financial incompetence. Thus, the problem that needs to be studied is how the representation of the myths and social realities of the Gunung Kidul community contained in the short movie Lamun Sumelang. This study aims to provide insight and reflection on the community about the myths and social realities of the Gunung Kidul community. This research is a qualitative research using the literary sociology approach from Sapardi Djoko Damono and the Stuart Hall representation approach to analyze. The results showed that there are three myths, namely and two social realities, namely health and economics contained in the short film Lamun Sumelang. Based on the results of this research, it can be stated that the mystical beliefs depicted in this film are closely related to the conditions and situation of the problems of the community."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mila Aprilia
"Penelitian ini mengkaji naskah Cariyos Dhusun Kutha Liman Boten Kenging Kalebetan Priyantun (selanjutnya disingkat: CDKL). CDKL merupakan naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan kode koleksi NB 1075. Selain memuat mitos mengenai larangan, dalam teks CDKL juga terdapat cerita mengenai asal usul Desa Kutaliman. Berdasarkan hal tersebut, didapati masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana Desa Kutaliman diasumsikan sebagai desa larangan yang disampaikan dalam teks CDKL? Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif larangan serta realitas sosial masyarakat Desa Kutaliman yang dikemukakan teks CDKL. Penelitian ini hanya berdasarkan pada satu naskah yaitu naskah CDKL dan dilakukannya langkah kerja filologi yang meliputi inventarisasi naskah; deskripsi naskah; dan suntingan teks. Untuk mengetahui isi teks dikaji dengan mengacu pada klasifikasi Motif Indeks Stith Thompson (1946). Klasifikasi motif cerita dalam teks CDKL bertujuan untuk membantu mendeskripsikan ragam motif cerita yang digunakan. Hasil Penelitian menunjukan bahwa teks CDKL memiliki dua motif cerita sebagai penanda mitos larangan di Desa Kutaliman yaitu B221.4 Land of Elephants dan C900 Punishment for Breaking Taboo. Keberadaan mitos mengenai dilarangnya aparatur sipil untuk mengunjungi Desa Kutaliman merupakan bentuk dari pemanfaatan potensi lingkungan Desa Kutaliman oleh masyarakatnya.

This study examines the script of Cariyos Dhusun Kutha Liman Boten Kenging Kalebetan Priyantun (next abbreviated: CDKL). CDKL is a collection manuscript of the National Library of the Republic of Indonesia with collection code NB 1075. In addition to carrying myths about the ban, in the CDKL text there is also a story about the origin of the village of Kutaliman. Based on that, the main problem found in this study is how the Kutaliman Village is assumed as the forbidden village presented in the CDKL text? Therefore, this study aims to find out the motives of the prohibition as well as the social reality of the village community I put forward the text CDKL. This research is based only on one manuscript is the manuscript CDKL and carried out philological work steps that include inventory of manuscript; manuscript descriptions; and editing of text. To find out the content of the text studied by reference to the Stith Thompson Index Motive Classification (1946). The classification of story motifs in the CDKL text aims to help describe the variety of story motives used. The results of the research showed that the CDKL text had two narrative motifs as a marker of the myth forbidden in the village of Kutaliman: B221.4 Land of Elephants and C900 Punishment for Breaking Taboo. The existence of the myth about the prohibition of civilian equipment to visit Kutaliman Village is a form of the potential exploitation of the Kutaliman village environment by its people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hamidi
"BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkenalan saya dengan nama Abdulkadir Jailani bukan suatu hal yang baru, melainkan suatu pertemuan yang sudah lama berlangsung. Sejak kecil saya telah mengenal nama tokoh ini dengan akrab. Setiap habis panen kakek saya selalu menyelenggarakan pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani yang kami sebut nadar. Peristiwa seperti ini dapat berulang lagi sebelum panen musim mendatang, jika ada peristiwa luar biasa seperti, sembuh dari sakit keras atau ada anggota keluarga yang terlepas dari musibah yang besar. Demikian juga tatkala salah seorang saudara saya ada yang menikah, sunatan anak laki-laki, atau memperingati tujuh bulan kandungan anak pertama, maka pembacaan riwayat hidup Abdulkadir Jailani kembali digelar.
Penyelenggaraan nadar ini sangat disukai anak-anak karena pada peristiwa ini biasanya banyak makanan yang enak-enak. Untuk nadar biasanya nenek saya menghidangkan makanan yang lebih banyak dan lebih khusus dari makanan yang dihidangkan dalam acara tahlilan biasa. Kesukaan lain pada acara ini adalah berkumpul bersanta teman dan tetangga dalam suasana yang menyenangkan. Sebelum acara dimulai, anak-anak dapat bergurau dengan leluasa asal saja suara kami tidak melebihi suara orang tua-tua yang juga sedang berbincang-bincang. Gurauan kami ini akan terhenti seketika, kalau acara akan dimulai.
Bertahun-tahun kemudian, tepatnya setelah penataran Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UI pada tahun 1987, timbul pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tidak terpikirkan. Mengapa nadar kali itu begitu mengakar pada masyarakat kami dengan latar belakang penyelenggaraan yang berlainan, tetapi dengan satu tata cara yang sama? Pertanyaan ini muncul karena tradisi pembacaan riwayat hidup ini bukan hanya dilaksanakan oleh tetangga-tetangga satu kampung, melainkan juga dilakukan oleh tetangga-tetangga di luar kampung kami. Pertanyaan lain yang muncul mengikuti pertanyaan pertama adalah tentang tokoh utamanya. Mengapa riwayat hidup yang dibaca itu riwayat hidup Abdulkadir Jailani dan bukan riwayat hidup Nabi Muhammad? Bukankah Nabi Muhammad merupakan tokoh ideal yang semua perilaku hidupnya harus dicentoh oleh setiap muslim?
Sebelum kedua pertanyaan ini menemukan jawaban yang tepat, tiba-tiba muncul jawaban yang lain dari Imran AM lewat bukunya Kitab Manakib Syekh Abdul Qadir Jaelani Merusak Aqidah Islam (1984). Seperti yang sudah tergambar dari judulnya, buku ini berisi sorotan pengarang atas kitab yang selama ini selalu dibaca di kampung saya. Secara garis besar buku ini terbagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama, membahas istilah manakiban, wali, karamah, nazar, tawasul, tabaruk, hakikat, dan syariat. Istilah-istilah ini dibahas satu persatu mulai dari pengertiannya sampai dengan penentuan hukumnya sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, dia mengartikan manakib sebagai riwayat hidup yang memiliki hubungan dengan sejarah kehidupan orang-orang besar atau tokoh-tokoh penting (Imran, 1984:3). Hukum membaca manakib menurut Imran dilarang oleh agama, jika pembacaan tersebut mempunyai niat yang berlebih-lebihan, seperti mengharap dagangan cepat laku atau untuk mengusir makhluk halus (1984:6). Bagian kedua berisi koreksi Imran terhadap isi cerita manakib Abdulkadir. Tidak kurang dari 19 bagian cerita yang dibahas serta tiap bagian dikoreksi sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, dia mengoreksi kebiasaan Abdulkadir tidak tidur, tidak makan, dan minum dalam waktu yang lama. Imran mempertanyakan kebenaran kebiasaan Abdulkadir ini. Menurutnya, ajaran seperti ini tidak ada dalam syariat Islam (1984:91). Tentu saja pembahasan seperti ini tidak diharamkan. Artinya orang bisa saja berpendapat tentang sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, pendapat tersebut bukan satu-satunya pendapat. Pandangan ini hanya?
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Aulia
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi kesenjangan kelas sosial yang terdapat dalam film Серебряные Коньки/Sepatu Luncur Perak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Untuk menggambarkan kesenjangan kelas sosial yang terdapat dalam film Серебряные Коньки/Sepatu Luncur Perak, teori yang digunakan adalah teori representasi milik Stuart Hall. Gambaran kesenjangan kelas sosial yang terdapat dalam film tersebut dianalisis melalui enam adegan melalui penggunaan konsep stratifikasi sosial. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat kesenjangan kelas sosial yang dilihat dari indikator power (kekuasaan), privilege (hak istimewa), dan prestige (nilai kehormatan) yang hanya dimiliki oleh kelompok kelas atas. Indikator tersebut berdampak pada timbulnya kekerasan, diskriminasi, dan perbedaan gaya hidup pada masyarakat kelas bawah. Kesenjangan kelas sosial yang direpresentasikan melalui film Серебряные Коньки/Sepatu Luncur Perak menggambarkan adanya permasalahan sosial yang disebabkan oleh perbedaan posisi sosial seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

The aim of this research is to find out the representation of the social class inequality in the movie Cеребряные Kоньки/Silver Skate. The method used in this research is the qualitative descriptive method. In order to describe the social classs inequality in the movie Cеребряные Kоньки/Silver Skate, the representation theory of Stuart Hall is used. The representation of the social class inequality in this movie is analyzed in six scenes through the use of the social stratification concept. Based on this research, it can be known that there is a social class inequality that is seen from the indicators of power, privilege, and prestige, which the upper-class group only owns. Those indicators influenced the rise of violence, discrimination, and difference in lifestyle of the lower class. The social class inequality that is represented through the movie Cеребряные Koньки/Silver Skate describes the social issues resulting from the social position of a person in social life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nanny Sri Lestari
"ABSTRAK
Mitos Dewi Sri adalah sebuah cerita kepercayaan rakyat yang sudah sangat tua atau lama. Mitos atau cerita Dewi Sri dikenal di kalangan masyarakat Jawa baik secara lisan maupun tertulis. Pada cerita lisan yang tersebar di kalangan masyarakat luas terdapat berbagai macam versi namun Intil ceritanya tetap sama. Bentuk penyebaran lainnya adalah secara tertulis dalam bentuknya naakah cerita. Dalam naskah--naskah lama cerita Dewi Sri tidak berdiri sendiri tetapi bergabung dengan atau termasuk dalam suatu bagian cerita yang besar, namun seperti halnya dalam cerita lisan inti ceritanya tetap sama.
Cerita Dewi Sri versi lisan dan tulisan ini memiliki satu keunikan jika diperhatikan secara seksama. Keunika tersebut terletak pada versi pengembangan garis besar ceritanya. Pengembangan versi cerita bertumpu pada sebelas hal. Pertama, Dewi Sri berasal dari kahyangan. Kedua, Dewi Sri istri Raden Sedana. Ketiga, Dewi Sri, memiliki kecantikan yang sempurna. Keempat, Dewi Sri sebagai istri Raden Sedana, menghadapi persoalan dengan raksasa Kala. Kelima, Dewi Sri dan Raden Sedana melarikan diri ke hutan untuk menghindari raksasa kala. Keenam, Dewi Sri dan Raden Sedana bersembunyi di hutan. Ketujuh, Dewi Sri dan Raden Sedana berjanji membalas budi rakyat yang telah menolong mereka berdua. Kedelapan, Dewi Sri dan Raden Sedana, akhirnya mati karena sakit. Kesembilan, setelah kematian Dewi Sri dan Raden Sedana dari tempat kuburnya muncul tanaman yang sangat berguna bag' manusia. Ke sepuluh, raksasa Kala eangat marah dan menjelma menjadi binatang perusak tanaman rakyat. Kesebelas, Dewi memohon pada dewata agar mau menolong rakyat. Pada bagian yang kesebelas ini versi pengembangan ceritanya banyak sekali.
Dewi Sri memang bukan mahluk manusia. Dewi Sri adalah mahluk supernatural dari Jenis perempuan. Kemudian menjelma ke bumi juga sebagai mahluk perempuan lagi, kebetulan juga dengan nama Sri. Dewi Sri membalas budi manusia yang menolongnya dengan cara meninggalkan tanaman yang berguna bagi umat manusia. Ketika sudah meninggalkan bumi kembali ke dunia supernatural, masyarakat mengenangnya dengan membuat kegiatan upacara. Kegiatan upacara mengenang jasa Dewi Sri ini, akhirnya berkembang menjadi kegiatan ritual budaya.
Sementara itu di sisi lain dalam masyarakat Jawa dikenal suatu konsep budaya yang sudah tertanam kuat, bahwa perempuan Jawa yang baik adalah perempuan yang mampu melaksanakan ma lima. Ma lima adalah konsep masyarakat Jawa tentang perempuan Jawa yang ideal, artinya seorang perempuan Jawa harus mampu, pertama, masak yaitu mengolah bahan makanan yang sehat untuk keluarganya. Kedua, masak yaitu merawat penampilan jasmaninya dengan baik agar tetap sehat. Ketiga, manak artinya melahirkan dan merawat anak-anaknya dengan baik. Keempat, mrantasi yaitu mampu mengatasi segala masalah dengan cekatan dan baik. Kelima manembah, yaitu menyembah kepada Tuhan dengan baik sesuai dengan ajaran agamanya. Konsep ini dikenal dan tertanam dengan baik pada setiap perempuan Jawa, baik itu yang berpendidikan tinggi maupun yang berpendidikan rendah.

Ketika situasi jaman berubah, konsep yang dikenal oleh masyarakat Jawa tidak mengalami perubahan. Tetapi keadaan fisik social masyarakat mengalami perubahan yang besar sesuai dengan menggelegarnya era industrialisasi di seluruh. Indonesia dengan pusatnya di Jawa. Kota besar selalu dipenuhi oleh kegiatan industri yang dilapisi oleh sarana sampingan yang selalu menarik perhatian orang untuk melihat. Akibatnya arus perhatian penduduk juga terarah pada keadaan ini. Banyak perempuan Jawa yang.ikut suaminya atau keluarganya masuk ke kota. Sementara tinggal di kota persoalan yang dihadapi tidak lama seperti ketika di desa.
Keadaan ini tidak menimbulkan perubahan yang banyak bagi perempuan Jawa yang sudah mengenal konsep ma lima. Satu dari kelima unaur konsep ma lima yang dianggap dapat membantu keluarga dalam memecahkan kesulitan hidup di perkotaan adalah ma yang keempat yaitu mrantasi. Wujud nyatanya dilakukan dengan melanjutkan tradisi berjualan rempah-rempah. Jika di desa hal ini dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, maka di kota perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah melakukannya dengan dipandu oleh suatu pemikiran yaitu harus mendapatkan keuntungan nyata secara ekonomis, karena hal ini sangat berarti banyak bagi keluarganya.
Situasi selanjutnya adalah perempuan Jawa yang tinggal di daerah perkotaan dan berjualan rempah-rempah di pasar. Pertama, perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah di pasar pada ummnya memang menikmati pendidikan formal yang sangat terbatas. Tetapi dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan rumah-tangga mereka, mereka mendapat pendidikan informal yang terns menerus. Jadi secara tidak langsung mereka memiliki satu pengetahuan tentang keperluan rumah-tangga, dalam segi tertentu misalnya untuk segi ramuan tradisional, seperti kecantikan dan kesehatan. Kedua, pengalaman berjualan membantu meningkatkan pemahaman mereka terhadap maters rempah-rempah yang
diperdagangkan. tetapi hal ini sekaligus merupakan malapetaka yang berujung saringan nasib dan rejeki bagi mereka. Maksudnya bagi perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah sebagai pemula Bering terjadi, mereka tidak mampu mengelola barang dagangannya dan akhirnya tidak mampu berjualan lagi karena kehabisan modal.
Ketiga, dart basil situaai ini perempuan Jawa yang mampu bertahan adalah pereempuan Jawa yang bernasib balk mampu nnenemukan jalan keluarnya. Misalnya dengan mengurangi volume maters dagangan tetapi meragamkan materi dagangan. Terutama materi dagangan yang mampu bertahan hingga satu bulan lebih. Dengan cara demikian mereka berharap agar mereka dapat memperpanjang waktu penjualan dan masih dapat melakukan transaksi dagang, Berta memperkecil resiko kerugian akibat materi menjadi busuk.
Keempat, situasi ini membuat perempuan Jawa berada pada satu keadaan yang sangat menjepit. Di satu sisi mereka harus membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Di nisi yang lain pengetahuan mereka secara formal sangat minim. Situasi ini menggiring perempuan Jawa pada satu titik pandang bahwa kegiatan yang mereka lakukan ini harus dapat dipertahankan dan sekaligue dapat memberikan jalan keluar bags" pemehuhan - kebutuhan rumah-tangga.
Kelima, sesuatu yang harus dipertahankan ini bagi perempuan Jawa yang berjualan rempah-rempah di pasar, bukan hanya dihitung secara kemampuan berfikir tetapi juga harks-ada pemberian dart Tuhan Yang Maha Kuaaa. Dengan kepasrahan ini, perempuan Jawa berusaha memohon kepada Tuhan agar diberi peruntungan yang balk. Hal ini mengingatkan mereka kepada Dewi Sri yang telah memberikan kemammuran pada manusia.
Dari situasi yang terus menerus mengalami perubahan akhirnya terjadi suatu keadaan yang menggiring pada suatu ?pandangan masyarakat bahwa perempuan Jawa yang ideal adalah perempuan Jawa yang mampu mrantasi. Artinya tidak hanya sebagai ibu rumah-tangga, tetapi juga mampu membantu menutupi keperluan rumah-tangganya dengan bekerja di luar rumah. "
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Mina Elfira
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Syadiah
"ABSTRAK
Mitos; sebuah bentuk ide yang telah ada dan mengatur pola pikir masyarakat sejak zaman dahulu hingga saat ini. Mitos dimaknai oleh setiap individu berdasarkan pengalaman yang dialaminya masing-masing. Pemaknaan mitos ini bukan dilihat dari suatu hal yang benar atau salah, melainkan dilihat dari konteks yang sedang diperlukan. Oleh karena itu, pemaknaan di dalam mitos tersebut bersifat plural dan berkembang. Sehingga, pemaknaan di dalam mitos tidak ada yang bersifat tunggal. Selain itu, pemaknaan dalam mitos juga memiliki nilai pragmatis karena pemaknaan mitos yang bersifat plural ini harus dihasilkan dari proses logic yang memiliki konsekuensi praktis dan tidak bisa begitu saja untuk dimaknai. Proses pemaknaan dalam mitos secara logic ini dapat dilihat dari pemikiran semiotik Charles Sanders Peirce melalui proses triadyc yang diciptakannya. Proses triadyc tersebut memiliki tiga unsur, seperti representament, object, dan interpretant. Ketiga unsur ini sangat berkaitan untuk melihat proses pemaknaan pada sebuah mitos. Dengan demikian, di dalam tulisan ini berupaya untuk melihat proses dan juga bentuk mitos yang kini dijadikan sebagai tanda dan sekaligus dijadikan sebagai bahasa sosial di dalam kehidupan masyarakat.Mitos; sebuah bentuk ide yang telah ada dan mengatur pola pikir masyarakat sejak zaman dahulu hingga saat ini. Mitos dimaknai oleh setiap individu berdasarkan pengalaman yang dialaminya masing-masing. Pemaknaan mitos ini bukan dilihat dari suatu hal yang benar atau salah, melainkan dilihat dari konteks yang sedang diperlukan. Oleh karena itu, pemaknaan di dalam mitos tersebut bersifat plural dan berkembang. Sehingga, pemaknaan di dalam mitos tidak ada yang bersifat tunggal. Selain itu, pemaknaan dalam mitos juga memiliki nilai pragmatis karena pemaknaan mitos yang bersifat plural ini harus dihasilkan dari proses logic yang memiliki konsekuensi praktis dan tidak bisa begitu saja untuk dimaknai. Proses pemaknaan dalam mitos secara logic ini dapat dilihat dari pemikiran semiotik Charles Sanders Peirce melalui proses triadyc yang diciptakannya. Proses triadyc tersebut memiliki tiga unsur, seperti representament, object, dan interpretant. Ketiga unsur ini sangat berkaitan untuk melihat proses pemaknaan pada sebuah mitos. Dengan demikian, di dalam tulisan ini berupaya untuk melihat proses dan juga bentuk mitos yang kini dijadikan sebagai tanda dan sekaligus dijadikan sebagai bahasa sosial di dalam kehidupan masyarakat.

ABSTRACT
Myth A form of ideas that has existed and set the mindset of people since ancient times until today. Myth is interpreted by each individual based on the experience experienced by each. The meaning of this myth is not seen from something right or wrong, but viewed from the context that is needed. Therefore, the meaning in the myth is plural and evolving. Thus, the meaning in myth doesn rsquo t exist singularly. In addition, the meaning of the myth also has a pragmatic value because the meaning of this myth that is plural must be generated from the logic process that has practical consequences and can rsquo t simply to be interpreted. This logical meaning in mythology can be seen from Charles Sanders Peirce 39 s semiotic thought through the triadyc process he created. The triadyc process has three elements, such as representament, object, and interpretant. These three elements are closely related to seeing the process of meaning in a myth. Thus, in this paper seeks to see the process and also the form of myth that is now used as a sign and simultaneously serve as a social language in the life of society."
2017
S69890
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand
"ABSTRAK
Penelitian ini mengeksplorasi representasi sosial tentang agama melalui dua studi. studi 1 menggunakan pendekatan struktural dan studi 2 menggunakan pendekatan dialogis. studi 1 tahap pertama menemukan core representasi sosial tentang agama melalui perbandingan antara "orang beragama" dan " orang tiak beragama", baik secara eksplisit maupun implisit. sedangkan studi 1 tahap kedua mengidentifikasi tiga atribut termasuk central core dan empat atribut termasuk peripheral, disertai tiga prinsip organisasinya. studi 2 menunjukkan diskusi memunculkan antinomi pada representasi sosial tantang agama melalui empat aspek, yaitu: konseptualisasi agama, aspek transendental agama, perbandingan aspek transendental antaragama, dan toleransi antaragama. sebagai hasil tambahan studi 2, ekspresi linguistik "saya sejujurnya..." ditengarai mengidentifikasikan konflik nilai antara individu dan masyarakat.

ABSTRACT
This study explores social representation of religion through two studies. Study 1 uses a structural approach and Study 2 uses a dialogical approach. the first phase 1 study found the core social representation of religion through a comparison between "religious people" and "non-religious people", both explicitly and implicitly. while the second stage study identifies three attributes including central core and four attributes including peripherals, along with three organizational principles. Study 2 shows that discussion raises antinomies on social representation against religion through four aspects, namely: conceptualization of religion, transcendental aspects of religion, comparison of interreligious transcendental aspects, and interreligious tolerance. as a result of additional study 2, the linguistic expression "I honestly ..." was suspected of identifying the conflict of values ​​between individuals and society."
2010
T38229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pramoedya Ananta Toer, 1925-2006
Jakarta: Lentera Dipantara, 2003
810.9 PRA r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>