Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97539 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suci Afrimardhani
"Kemajuan teknologi dan informasi yang berkembang semakin pesat menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus kekerasan seksual. Child grooming merupakan salah satu jenis kekerasan seksual anak yang melibatkan teknologi berbasis internet untuk menemukan dan berinteraksi dengan ‘calon korban’. Untuk melibatkan anak dalam aktivitas seksual, Pelaku pada umumnya memperkenalkan anak dengan konten-konten bermuatan seksual melalui komunikasi digital. Dimana anak dipaksa untuk menuruti perintah pelaku atas dasar ‘hubungan baik’ yang dibangun oleh Pelaku. Maraknya kasus perbuatan child grooming yang terjadi melalui ruang obrolan di media sosial, menimbulkan kegentingan terkait perlukah dibentuk suatu ketentuan khusus mengenai perbuatan child grooming. Bahwa sebagaimana yang ditemukan dari penelitian ini, Indonesia masih menggunakan Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menangani perbuatan child grooming. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode penelitian yang berbentuk yuridis-normatif dan pendekatan case study, penelitian ini mencoba menganalisa penerapan unsur Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia terhadap perbuatan child grooming dan perlu atau tidaknya dilakukan kriminalisasi terhadap perbuatan child grooming. Adapun penelitian ini menemukan bahwa unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak belum cukup efektif digunakan untuk menangani perbuatan child grooming.  Dimana ketentuan dalam Pasal 76E Undang-Undang Perlindungan Anak ini belum secara jelas dan tegas menetapkan serta menggambarkan proses dan sarana-sarana yang digunakan dalam perbuatan child grooming yang dilakukan secara online. Dengan demikian, sebagai upaya melaksanakan perlindungan anak dari ancaman perbuatan grooming maka penting untuk mengkriminalisasi proses grooming itu sendiri, seperti bentuk komunikasi yang dilakukan, serta sarana yang digunakan untuk mempermudah proses grooming itu terjadi. 

Advances in technology and information that are developing rapidly are one of the factors for the increase in cases of sexual violence. Child grooming is a type of child sexual violence that involves internet-based technology to find and interact with potential victims. To involve children in sexual activities, perpetrators generally introduce children to sexually charged content through digital communication. The child is forced to obey the Perpetrator's orders based on the 'good relationship' established by the Perpetrator. The rise of cases of child grooming acts that occur through chat rooms on social media has caused a crunch regarding whether a special provision is needed to be formed regarding child grooming. As found in this study, Indonesia still uses Article 76E of the Child Protection Law to deal with child grooming. Therefore, by using research methods in the form of juridical-normative and case study approaches, this study tries to analyze the application of Article 76E of the Child Protection Law in Indonesia to child grooming and whether or not a child grooming is necessary or not to criminalize child grooming. The study found that the elements regulated in Article 76E of the Child Protection Act have not been effectively used to deal with child grooming. The provisions in Article 76E of the Child Protection Act have not clearly and unequivocally stipulated and described the process and means used in child grooming acts. The act of grooming is therefore important to criminalize the grooming process, such as the form of communication carried out and the means used to facilitate the grooming process. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yuwanda Chairunnisa
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana hukum Islam serta perundangundangan yang bersifat nasional dan internasional memandang mengenai perkawinan di bawah umur, faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan di bawah umur dan dampak yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur serta bagaimana ketepatan hakim dalam menetapkan permohonan dispensasi perkawinan melalui studi penetapan Pengadilan Agama No. 023/Pdt.P/2013/PA.Cbd. Bentuk penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan kepustakaan berupa buku dan peraturan perundang-undangan terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pada prinsipnya Hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974 dan UU No. 35 Tahun 2014 tidak menghendaki adanya perkawinan di bawah umur kecuali ada cukup alasan dan alasan tersebut sifatnya mendesak serta menghindari kerugian yang lebih besar (2) Perkawinan di bawah umur melanggar hak-hak dasar anak yang jaminan pemenuhan haknya dilindungi oleh peraturan perundang-undangan (3) Majelis Hakim dalam memberikan penetapan dispensasi perkawinan dalam penetapan No. 023/Pdt.P/PA.Cbd tidak mengedepankan hak-hak anak karena hanya bersandar pada prosedur formal hukum acara.
This thesis discusses the regulation, causes, and the impact of underage marriage under Islamic Law as well as national and international law. Further, it discusses the implementation of the law in determining marriage dispensation in Islamic Court Stipulation No. 023/Pdt.P/PA/Cbd. This thesis is a normative juridical research, based on literature such as books and related regulations. The result of the research showed that (1) Principally, Islamic Law, Law No. 1 of 1974 and Law No. 35 o 2014 does not recognize underage marriage, except supported by strong reason and there exists an urgent situation or to avoid a bigger loss (2) underage marriage violated fundamental human rights of the child guarenteed under the Law (3) Judges in marriage dispensation stipulation No. 023/Pdt.P/PA.Cbd did not prioritize the rights of the child but only relied on formal procedural law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60943
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Al Ghani Yoneva
"Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang dimiliki dan melekat dalam diri setiap individu manusia dalam suatu Negara. Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Anak merupakan harapan dan apabila sampai saatnya, seorang anak akan menggantikan generasi tua dalam melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian, anak perlu dibina agar mereka tidak salah dalam hidupnya kelak.  Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.  Namun kenyataannya tidaklah demikian, anak sebagai korban perlakukan kekerasan sering terabaikan oleh lembaga-lembaga kompeten dalam sistem peradilan pidana, yang seharusnya memberikan perhatian dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. Hal tersebut tidak seharusnya terjadi, sebab sebagaimanapun korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil, dan dilindungi hak-haknya.

Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak tersebut, maka Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1958 secara aklamasi mensahkan "Declaration of the Right of the Child". Preamble Declaration of the Right of the Child (Mukadimah Deklarasi Hak Anak-Anak) dalam alinea ke 3. Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Rights of the Child) tersebut adalah sebuah konvensi internasional yang mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tujuan perlindungan anak telah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Human rights are the fundamental rights that are possessed and inherent in each human individual in a Contracting State. In LAW No. 39 year 1999 on Human rights, mentioned that human rights is a set of rights inherent to the nature and existence of man as a God almighty being and is his grace which must be respected, held and protected by the state, law, government, and everyone for the dignity and protection of human dignity.

The child is a hope and when it comes to the time, a child will replace the old generation in furthering the wheels of the country's life, thus, the child needs to be built so that they are not wrong in their lifetime. Each child has the right to obtain legal protection from any form of physical or mental violence, abandonment, bad treatment, and sexual harassment during the care of their parents or guardian, or any other party responsible for Care of the child.  But the truth is not the case, the child as a victim of violent abuse is often overlooked by competent institutions in the criminal justice system, which should provide adequate attention and protection based on the law. It is not supposed to happen, because the victim still has the right to be treated fairly, and protected by his rights.

To realize the protection and welfare of the child, the General Assembly of the United Nations on 20 November 1958 is acclamation to confirm the Declaration of the Right of the Child. Preamble Declaration of the Right of the Child, in paragraph 3. The United Nations Convention on the Rights of the Child, is an international convention governing the Civil, political, economic, social, and cultural rights of children and the children. In the Indonesian legislation of the child protection purpose is governed by article 3 of the Law No. 23 of 2002 on child protection."

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naning Marini Sarwo Endah
"ABSTRAK
Anak merupakan generasi penerus dan aset pembangunan. Sebagai generasi penerus, anak harus mendapatkan bimbingan agar dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan mendapatkan perlindungan untuk mendapatkan kebutuhan dan hak-haknya. Bimbingan dan perlindungan terhadap anak menjadi tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Namun apabila anak tersebut melakukan penyimpangan perilaku dalam hal melakukan tindak pidana kesusilaan berupa persetubuhan terhadap anak, maka perlindungan terhadap anak haruslah diberikan kepada baik pelaku dan korban. Perlindungan dan penanganan terhadap anak yang menjadi pelaku ataupun korban dalam tindak pidana kesusilaan ini mempunyai payung hukum yaitu Undang-undang Pengadilan Anak dan Undang-undang Perlindungan Anak serta Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Penanganan anak pelaku dan korban ini haruslah mendapatkan perlakuan khusus dari aparat penegak hukum dari awal proses peradilan pidana sampai penjatuhan putusan hakim baik itu berupa pidana maupun tindakan dan pelaksanaan putusan tersebut.

ABSTRACT
Children are the future generation and development asset. As the next generation, children should receive guidance in order to perform its obligations and to obtain protection needs and rights. Guidance and protection of children is the responsibility of parents, families, communities and countries. However, if the child is doing in terms of deviant behavior with a criminal offense against a child morality in the form of intercourse , the protection of children should be given to both the perpetrator and the victim. Protection and treatment of children who become perpetrators or victims in the criminal acts of decency which has legal protection which are the Juvenile Justice Act and the Child Protection Act also Child Criminal Justice System Act. Handling of child offenders and victims should get special treatment from law enforcement officers from the beginning until the imposition of the criminal justice process decision whether it be criminal or actions and implementation of the decision."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wela Wahyuni Sari
"Tesis ini membahas eksistensi Majelis Kehormatan Notaris dalam memberikan perlindungan terhadap Notaris sebagai pejabat umum. Majelis Kehormatan terdapat dalam Pasal 66 dan 66A Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Majelis Kehormatan Notaris mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Kewenangan memberikan persetujuan atau penolakan ini sebelumnya dimiliki oleh Majelis Pengawas Notaris. Namun kewenangan tersebut dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan putusan No. 49/PUU-X/2012. Dalam hal persetujuan atau penolakan atas permintaan penyidik, penuntut umum dan hakim untuk pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan Notaris diperlukan keobjektifitasan Majelis Kehormatan Notaris dan memberikan indikator yang jelas berkaitan dengan kewenangannya tersebut.

This thesis discusses the existence of Honorary Council of Notary in giving protection to Notary as public official. The Honorary Council is contained in Articles 66 and 66A of Law Number 2 Year 2014 Concerning Amendment to Law No. 30 Year 2004 Concerning Position of Notary. The Honorary Council of Notary has the authority to perform the notary's guidance and the obligation to grant approval or refusal for the interest of the investigation and judicial process, for taking photocopies of the deed ministry and the calling of a Notary to attend the examination relating to the Notary's deed or protocol. The authority to grant this approval or refusal was previously owned by the Notary Supervisory Board. However, the authority was abolished by the Constitutional Court based on the decision. 49 / PUU-X / 2012. In the case of approval or rejection at the request of the investigator, the public prosecutor and judge for taking photocopies of the Minutes of Notary and Notary's invocation are required to objectify the Notary Public Council and provide clear indicators in relation to such authority."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrawan Saputra
"Dalam tindak pidana perdagangan anak, anak sebagai korban sangatlah dirugikan baik secara kejiwaan, fisik, dan mental. Seharusnya mereka mendapatkan perlindungan, pengawasan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan orang-orang disekelilingnya. Sebelum ditetapkannya UUPA dan UUTPPO,sanksi pidana terhadap pelaku/traffickerperdagangan anak dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan ditetapkannya Undang-Undang tersebut telah memunculkan aspek-aspek hukum terhadap anak, khususnya bagi perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak diantaranya bentuk perawatan medis, psikologis dan konseling termaksut penampungan dan pemulangan ke daerah asal korban, sanksi pidana yang lebih berat bagi pelaku/trafficker, serta mendapatkan ganti rugi/restitusi terhadap korban. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-empiris berupa studi kepustakaan yaitu meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan pedoman-pedoman, dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan: perlindungan hukum dan penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan anak dalam peraturan perundang-undangan, praktek dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak, upaya dalam mengoptimalkan perlindungan hukum dan penanggulangan terhadap tindak pidana perdagangan anak. Terdapat sejumlah pasal didalam KUHP terhadap tindak pidana perdagangan anak, serta dalam UUPA dan UUTPPO kemudian memberikan Rehabilitasi, konseling, psikologis, dan pemberian retitusi/kompesansi terhadap korban, Praktek perlindungan hukum tindak pidana perdagangan anak Kepolisianmengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak MABES POLRI membentuk Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Daerah (Propinsi), KPAI melakukan pengawasan terhadap kinerja penegak hukum, individu masyarakat, maupun institusi pemerintahan dalam penyelenggaraan perlindungan hukum terhadap anak dalam kasus tindak pidana perdagangan anak serta bekerjasama dengan instansi lembaga penegak hukum dan lembaga setingkat dengan KPAI. LPSK memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan/atau korban(Perdagangan anak) seperti perlindungan fisik/non fisik dan penjagaan kepada saksi dan/atau korban (Perdagangan anak) sampai ke pengadilan, sedangkan gugus tugas TPPO Menko menetapkan Peraturan Menteri Koordinasi Bidang Kesejahteraan Nomor 25/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2009 Tentang Pemberantasan Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009-2014, dengan disusunnya RUU KUHP 2013 diharapkan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap korban perdagangan anak, baik secara konkret dimasa yang akan datang.

In the crime of child trafficking, child as a victim is harmed either psychological, physical, and mental. They should have get the protection, control and affection from both parents and the people around them.Prior to the enactment of the BAL and UUTPPO, criminal sanctions against perpetrators / traffickers Of Child Trafficking was using the Criminal Code (Criminal Code). With the enactment of the Act has led to the legal aspects of the child, particularly the legal protection for victims of trafficking Such Asmedical treatment, psychological counseling and referred to the shelter and repatriation of victims to their hometown, more severe criminal sanctions for perpetrators / traffickers, as well as the redress/ restitution to the victim. By using the method of a juridical-empirical study of literature that examined the documents in the form of literature books, regulations and guidelines, as well as conducting interviews with sources. This study aims to answer the problems: legal protections and countermeasures against child trafficking crime in legislation, practice in law enforcement against child trafficking crime, in an effort to optimize the legal protection and countermeasures against the crime of trafficking in children. There are a number of articlesin the Criminal Code against the crime of trafficking in children, as well as articles of criminal sanctions for perpetrators /traffickers in BAL and UUTPPOSuch Asmedical treatment, psychological counseling and referred to the shelter and repatriation of victims to their hometown, more severe criminal sanctions for perpetrators / traffickers, as well as the redress/ restitution to the victim, Police Chief issued Regulation No. 10 Year 2007 on the Organization and Work of Women and Children's Services Unit. Police Headquarter established Women and Children Services(PPA) at the Regional Police (province), KPAI to supervise the performance of law enforcement, individual communities, and government agencies in the implementation of the legal protection of children in cases Of Child Trafficking and cooperate with law enforcement agencies and with institutionsin the same level withWitness and Victim Protection Agencies (LPSK) protectionof physical/non-physicalandsafeguardstowitnessand/orvictim(Trafficking) goes to courtwhile the task force of TPPO sets by Coordinating Minister for People’s Welfare with RegulationNo.25/KEP/MENKO/KESRA/VIII/2009 ByOn Combating Trafficking in Persons (PTPPO) and Exploitation Child Sexual (ESA) from 2009 to 2014, with the formulation of the Criminal Code Bill 2013 is expected to provide better protection to victims of child trafficking,both in concrete terms in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35429
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
[Place of publication not identified]: UNICEF Indonesia, 2002
346.017 5 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Prahesti Sekar Kumandhani
"Dalam negara kesatuan, peraturan daerah sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan sekaligus wujud aktualisasi penyelenggaraan otonomi daerah perlu diawasi oleh pemerintah pusat. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai pengawasan peraturan daerah semakin ketat dan bervariasi bahkan melibatkan 3 (tiga) cabang kekuasaan di tingkat pusat. Berbagai macam pengaturan yang tidak sinkron pada tingkat pusat menjadi persoalan utama pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah dan menghambat perwujudan suatu peraturan daerah yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab ketepatan sporadis pengaturan pengawasan peraturan daerah, menganalisis keterlibatan antar lembaga yang mengawasi peraturan daerah, serta menemukan desain pengawasan peraturan daerah yang komprehensif. Secara normatif, berbagai pengaturan dalam pengawasan peraturan daerah ditemukan problem inkonsistensi hukum yang saling tumpang tindih bahkan melampaui kewenangan. Secara kelembagaan, ego sektoral antar kementerian masih tinggi sehingga koordinasi sulit dijalankan, keterlibatan DPD selaku lembaga legsilatif tingkat pusat dalam mengawasi peraturan daerah tidak tepat, dan kewenangan antara Mahkamah Agung dan pemerintah pusat tidak seharusnya dipertentangkan karena memiliki ranah yang berbeda. Menjawab persoalan tersebut, diperlukan kesatuan pengaturan mengenai pengawasan peraturan daerah dalam bentuk Undang-Undang, pentingnya menegaskan fungsi pengaturan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dengan membentuk suatu pusat pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menertibkan peraturan perundang-undangan dari pusat hingga daerah, serta perlu dipertegas tujuan penyelenggaraan negara untuk kepentingan nasional bukan untuk kepentingan daerah atau terbatas untuk kepentingan pusat. Dengan demikan, bandul desentralisasi dan sentralisasi dapat berayun setimbang saling mendukung dan melengkapi sehingga kedua hal tersebut tidak harus dipertentangkan satu sama lain.
.....In a unitary state, regional regulations as part of the hierarchy of laws and regulations as well as the actualization of the implementation of regional autonomy need to be supervised by the central government. After the enactment of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government, the regulation regarding the supervision of regional regulations has become more stringent and varied, even involving 3 (three) branches of power at the central level. Various kinds of arrangements that are not synchronized at the central level are the main problems for local governments in carrying out regional autonomy and hinder the realization of a quality regional regulation in accordance with the needs of the community. This research is intended to answer the sporadic accuracy of the regulation or supervision of regional regulations, analyze the involvement of institutions that oversee regional regulations, and find a comprehensive design of supervision of regional regulations. Normatively, various arrangements in the supervision of regional regulations are found to be inconsistent in the law that overlaps and even exceeds the authority. Institutionally, the sectoral ego between ministries is still high so that coordination is difficult to carry out, the involvement of the DPD as a legislative institution at the central level in supervising regional regulations is inappropriate, and the authority between the Supreme Court and the central government should not be contested because they have different domains. Responding to this problem, it is necessary to have a unified regulation regarding the supervision of regional regulations in the form of a law, the importance of affirming the regulatory function of the President as the holder of the highest government power by establishing a center for the formation of laws and regulations to regulate laws and regulations from the center to the regions and needs to be emphasized. the purpose of state administration is for the national interest, not for the regional interest or limited to the central interest. Thus, the pendulum of decentralization and centralization can swing in balance to support and complement each other so that the two things do not have to be contradicted with each other."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>