Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185506 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vanessa Maurizkha
"Bank selaku kreditur seringkali mengalihkan piutang melalui cessie terhadap kredit. Persoalan yang timbul setelah piutang dialihkan identik dengan keterkaitan keabsahan cessie terhadap peralihan jaminan hak tanggungan yang diikatkan pada perjanjian pokok. Timbul perbedaan implementasi hukum pada tiap-tiap perbedaan kondisi. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu mekanisme pengalihan piutang melalui cessie pada bank konvensional menurut hukum Indonesia, perkembangan pengaturan pendaftaran peralihan hak tanggungan karena cessie, dan akibat hukum pengalihan piutang (cessie) terhadap objek jaminan hak tanggungan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 79/Pdt.G/2019/PN Tab dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 754 PK/Pdt/2011. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, penelurusan penelusuran literatur, serta wawancara narasumber dari pihak Bank Konvensional dan Badan Pertanahan Nasional dengan pendekatan kualitatif, dan tipologi penelitian deskriptif. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa Mekanisme pengalihan piutang melalui cessie pada Bank Tabungan Negara (BTN) menurut Pasal 613 KUHPerdata dan Perjanjian Kredit antara BTN dengan debitur dilakukan dilakukan sebagai salah satu cara penyelamatan kredit macet. Cessie telah mengalami perubahan metode dari yang sebelumnya dilakukan secara konvensional dengan beban tanggung jawab pengecekan berkas berada di Kantor Pertanahan saja menjadi secara elektronik yang telah membagi tanggung jawab pengecekan berkas kepada Kantor Pertanahan, Kreditur, dan PPAT. Walaupun hak tanggungan yang terikat pada perjanjian pokok ikut beralih ke kreditur baru secara hukum, tetapi tetap perlu dilakukan serangkaian prosedur administrasi dengan mendaftarkan peralihan hak tanggungan dalam rangka memenuhi syarat publisitas di Kantor Pertanahan tempat jaminan berada.

Banks act as creditors for selling receivables through a cessie to credit. Problems that arise after the transfer of receivables are identical to the relevance of the validity of the cessie to the mortgage guarantee transfer stipulated in the main agreement. There are differences in the legal conscequences in each conditions. The problems discussed in this research are the mechanism through a cessie in conventional banks according to Indonesian law, the development of the regulation on registration of transfer of mortgage, and the legal consequences of the act (cessie) on objects of mortgage guarantee based on the District Court Decision Number 79/Pdt. G/2019/PN Tab and Judicial Review Decision Number 754 PK/Pdt/2011. This research used normative juridical research method which focuses on the use of secondary data in the form of legislation, literatures, as well as interviewing sources from the Conventional Bank and Badan Pertanahan Nasional with a qualitative approach, and descriptive research typology. Based on the analysis, it can be concluded that the mechanism through the cessie at the Bank Tabungan Negara (BTN) according to Article 613 of the Civil Code and the Credit Agreement between BTN and the debtor is carried out as one way of non-performing loan. Cessie has experienced a change from what was previously done conventionally with the responsibility of checking files being handled by the Land Office transformed into using electronic method that divides the responsibility of checking files to the Land Office, Creditors, and PPAT. Even though the mortgage applicable in the main agreement is legally transferred to the new creditor, it still needs to be carried out through registration of transfer of mortgage in order to fulfill the publicity requirements at Badan Pertanahan Nasional where the collateral land is located."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernita Meilani
"Penyehatan perbankan yang sudah hampir mendekati titik akhir dan perkembangan ekonomi akhir-akhir ini yang positif, telah membawa perbankan Indonesia untuk mulai menikmati hasilnya. Akan tetapi, perilaku yang kurang bertanggung jawab dari pemilik dan pengurus bank telah merusak kemajuan dibidang ekonomi khususnya industri perbankan dimana kemudian harus dilanjutkan dengan mencabut izin usaha PT. Bank Dagang Bali. Pencabutan izin usaha bank merupakan salah satu wujud fungsi dari Bank Indonesia dalam rangka pembinaan dan pengawasan perbankan guna memelihara sistem perbankan yang sehat. Dalam penelitian ini, penulis meneliti apakah pengaturan pencabutan izin usaha PT. Bank Dagang Bali telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia atau tidak, dan apa akibat hukum dari Keputusan MA RI Nomor 473K/TUN/2005 bagi para pihak yang terkait. Penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat yuridis-normatif, dimana penelitian mengacu pada norma-norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencabutan ijin usaha PT. Bank Dagang Bali. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan kepustakaan yang didukung dengan hasil wawancara dengan narasumber terkait, kesimpulan yang didapat adalah pencabutan ijin usaha PT. Bank Dagang Bali melalui Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor 6/6/KEP-GBI/2004 tertanggal 8 April 2004 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, dimana pencabutan izin usaha dilakukan setelah upaya-upaya penyelamatan yang dilakukan dengan menempatkan PT. Bank Dagang Bali dalam pengawasan intensif kemudian pengawasan khusus tidak berhasil menyelamatkan bank tersebut, Berta Keputusan MA RI telah memberikan ketidakpastian hukum bagi tiap pihak yang terkait, dalam hal ini Bank Indonesia, PT. Bank Dagang Bali dan Tim Likuidasi. Saran yang penulis ajukan adalah mengefektifkan pengawasan terhadap bank dan membatasi kepemilikan saham oleh satu pihak.

The banking recovery has been undergone in Indonesia is about to reach the final point, while the recent positive economic development also brings opportunities to the Indonesian banks to enjoy the impacts. Nevertheless, several irresponsible attitudes committed by both the owner and the administrators of the banks has hampered the advance on this economic realm, particularly the banking industry, which eventually brought consequence in the form of cancellation of business permit of one of such a bank, in this case, PT. Bank Dagang Bali. This cancellation is one of the manifestations of Bank Indonesia's function to build and supervise the Indonesian banking condition, in order to ensure the "healthiness" of the banking in the country. In this research, the writer scrutinizes whether the act of cancellation conducted by Bank Indonesia has been in accordance to the applicable law in Indonesia, and to identify the the legal impacts of the Republic of Indonesia's Supreme Court Decision No. 473KITUN/2005 for the concerned parties. This research utilizes the juridist-normative method, in which it refers to the legal norms consisted in the law involved in the cancellation of the business permit of PT. Bank Dagang Bali. Meanwhile, the data utilized is secondary ones, taking form in literature materials, supported with in-depth interviews conducted with the resource persons, from which a conclusion was drawn, that is, the cancellation of the business permit of PT. Bank Dagang Bali through the Decision of Governor of Bank Indonesia No. 616IKEP-GBI12004 dated at April 8th 2004 has been in accordance with the applicable law, where the decision to the cancellation was taken after other rescuing efforts conducted by putting the bank in an intensive supervision was of no use in making the bank's condition better, and after considering that the Republic of Indonesia Supreme Court's Decision has brought about a legal uncertainty towards respective involved parties, which in this case refers to the Bank Indonesia, PT. Bank Dagang Bali, and the Liquidation Team. The recommendation the writer would like to suggest is to enhance the effectiveness to a bank and to limit the share ownership on merely one single party.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Hadiningtyas
"Tulisan ini menganalisis dan mengidentifikasi kedudukan Bank dalam kapasitasnya sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah disita oleh Negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dan konsekuensi hukum apabila sita pidana dikecualikan dalam Putusan Tindak Pidana Korupsi. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, yang sumbernya berasal dari hukum positif. Dalam pemberian kredit, Bank mengharuskan adanya jaminan contohnya Hak Tanggungan. Bank sebagai pemegang jaminan mempunyai kedudukan sebagai kreditur separatis, yang mempunyai hak untuk mengeksekusi jaminan dan tidak boleh ada pihak yang menghalang-halanginya. Praktiknya, apabila terdapat Putusan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan adanya penyitaan atas seluruh aset milik terdakwa, menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap Bank sebagai pemegang jaminan yang beritikad baik. Adanya sita pidana di atas sita jaminan, kedudukan yang didahulukan adalah sita pidana karena hukum pidana merupakan ranah hukum publik sehingga kedudukannya harus diprioritaskan demi tercapainya unsur penegakkan hukum yang adil. Konsekuensi hukum yang terjadi apabila sita pidana dikecualikan adalah pertama, aset tersebut dapat dikembalikan kepada Bank sehingga Bank dapat mengeksekusi jaminan dengan cara melakukan upaya keberatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi Bank, kedua apabila upaya keberatan ditolak maka penyitaan atas aset yang sudah ditetapkan oleh pengadilan dapat dijalankan, dengan kata lain penyitaan secara pidana dapat dilakukan demi pemulihan kerugian Negara.

This paper analyzes the position of the Bank in its capacity as the holder of Mortgage Rights that have been confiscated by the State as a result of corruption and the legal consequences if criminal confiscation is excluded in a Corruption Decision. This paper is prepared using the doctrinal research method, whose sources are derived from positive law. In granting credit, the Bank requires collateral, for example Mortgage Rights. The bank as a security holder has a position as a separatist creditor, which has the right to execute the security and no party may obstruct it. Practice, if there is a Corruption Verdict that states the confiscation of all assets belonging to the defendant, it causes legal uncertainty for the Bank as a good faith security holder. The existence of criminal confiscation above security confiscation, the position that takes precedence is criminal confiscation because criminal law is the realm of public law so that its position must be prioritized in order to achieve elements of fair law enforcement. The legal consequences that occur when criminal confiscation is excluded are first, the asset can be returned to the Bank so that the Bank can execute the guarantee by making an objection as stated in Supreme Court Regulation Number 2 of 2022 concerning Procedures for Settling Objections from Third Parties in Good Faith to Decisions on the Forfeiture of Goods Not Belonging to the Defendant in Corruption Cases which are expected to create legal certainty and legal protection for the Bank, second, if the objection is rejected then the confiscation of assets that have been determined by the court can be carried out, in other words, criminal confiscation shall be carried out for the recovery of State losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuana Berliyanti
"Kasus Bank Bali merupakan contoh nyata untuk melihat apakah hukum akan selalu ditaklukan oleh kekuasaan. Sejak awal terbongkarnya kasus Bank Bali terungkap fakta-fakta yang mengarah bahwa kasus Bank Bali adalah bukan masalah bisnis dan teknis perbankan semata akan tetapi sangat bernuansa politis. Terdapat indikasi dibalik Perjanjian Cessie yang tidak wajar tersebut ada unsur penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan orang-orang atau politik tertentu. Sekitar tahun 2003, muncul permasalahan baru yang juga mengandung ketidakwajaran didalamnya. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, memerintahkan Bank Permata (bank hasil merger Bank Bali dengan dengan 4 (empat) bank lainnya) untuk segera menyerahkan uang yang ada dalam escrow account sebesar Rp. 546.466.116.369,- (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah). Alasan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, eksekusi tersebut dilakukan berdasarkan diktum putusan perkara pidana dengan Terdakwa Joko S. Tjandra yang telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging). Namun, Bank Permata tidak bersedia untuk menyerahkan uang tersebut dengan alasan adanya Surat Keputusan Ketua BPPN No. 4231BPPN/1099 tertanggal 15 Oktober 1999 tentang Pembatalan Perjanjian Pengalihan (Cessie) Tagihan antara PT. Bank Bali, Tbk dengan PT. Era Giat Prima. Kemudian, pada tanggal 8 Maret 2004, Mahkamah Agung Republik Indonesia menjatuhkan putusan dalam perkara perdata antara PT. Era Giat Prima melawan PT. Bank Bali, Tbk dan Bank Indonesia, dimana salah satu diktum putusan tersebut berbunyi: "Menyatakan bahwa dana pada PT. Bank Bali Tbk escrow account No. 0999.045197 atas nama Bank Bali qq PT. Era Giat Prima sebesar Rp. 546.466.116.369 (lima ratus empat puluh enam milyar empat ratus enam puluh enam juta seratus enam belas ribu tiga ratus enam puluh sembilan rupiah) adalah milik PT. Bank Bali, Tbk (Penggugat dalam Rekonpensi/Tergugat I dalam Konpensi)." Jika saja peradilan di Indonesia memiliki kemampuan untuk melihat persoalan secara terintegrasi maka kasus Bank Bali yang sejak awal memiliki tingkat kompleksitas tinggi tidak akan bertambah rumit oleh karena adanya dualisme putusan hakim menyangkut kepemilikan atas uang yang ada dalam escrow account.

Bank Bali case is one of the real examples to see whether law will always be conquered by power. Since the beginning Bank Bali case was disclosed there were facts which aimed that Bank Bali case was not only business and banking technical problem but it was very political. There was an indication behind the uncommon Cessie Agreement that there was an element of abuse of power for the interest of certain people or politic. Around year 2003, a new problem existed which contained uncommon matter in it. The District Prosecutor Office of South Jakarta, ordered Bank Permata (bank as a result of the merger of Bank Bali with the other 4 banks) to give the money which was in the escrow account in the amount of Rp. 546.466.116.369, - (five hundred forty six billion four hundred sixty six million one hundred sixteen thousand and three hundred sixty nine rupiah). The reason of the District Prosecutor Office of South Jakarta was the execution was done based on the ruling of the criminal case with Joko S. Tjandra as the defendant who was declared free from all legal charges (onslag van rechtverfolging). However, Bank Permata refused to give the said money with the reason that there was a Ruling Letter from the Head of BPPN No. 423/BPPN/1099 dated 15 October 1999 concerning the Cancellation the Cessie Agreement of the Receivables between PT. Bank Bali, Tbk and PT. Era Giat Prima.Further, on 8 March 2004, The Supreme Court of the Republic of Indonesia declared its ruling in the civil case between PT. Era Giat Prima against PT Bank Bali, Tbk and Bank Indonesia, where one of the rulings said that: "to declare the funds in PT. Bank Bali, Tbk escrow account No. 0999.045197 in the name of Bank Bali qq PT. Era Giat Prima in the amount of Rp. 546.466.116.369,- (five hundred forty six billion four hundred sixty six million one hundred sixteen thousand and three hundred sixty nine rupiah) was owned by PT. Bank Bali,Tbk (as Plaintiff in Rekonpensi/Defendant I in Konpensi)". If only the judicature in Indonesia has the capacity to see the case wholly then the case of Bank Bali which since the beginning has the complexity will not be as complicated as there is a dualism of the judge ruling which relate to the ownership of the money in the escrow account.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imara Sungkar
"Perkembangan teknologi berpengaruh terhadap keamanan pada sistem pembayaran di Indonesia. Kegiatan penatausahaan sumber dana berupa penerbitan kartu anjungan tunai mandiri dan kartu debit dari Penyedia Jasa Pembayaran (“PJP”) akan memunculkan kejahatan-kejahatan pada kartu dan mesin ATM. Secara keseluruhan dalam pelaksanaannya telah berjalan dengan baik, namun terdapat kendala seperti terjadinya kejahatan card trapping yang dialami oleh konsumen pengguna jasa pada putusan Nomor 149/Pdt.G/2021/PN DPs. Oleh karena itu, skripsi ini membahas mengenai perlindungan konsumen, dalam hal terjadinya card trapping pada mesin ATM. Bentuk penelitian pada skripsi ini adalah yuridis-normatif yang menelaah dan menganalisis ketentuan hukum serta bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan perlindungan konsumen dalam sistem pembayaran oleh penyelenggara yaitu Bank, dalam hal terjadinya card trapping. Dan tipologi penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan mendeskripsikan pelaksanaan peraturan perundang-undangan untuk memecahkan sebuah masalah. Kesimpulan yang didapat atas penelitian skripsi ini adalah (1) pengaturan perlindungan konsumen pada alat pembayaran menggunakan kartu sebagai salah satu instrument pembayaran dari PJP terhadap card trapping adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta ketentuan pelaksanaannya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 22/23/PBI/2020 beserta ketentuan pelaksanannya, Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/6/PBI/2021 tentang PJP beserta ketentuan pelaksanaannya, PBI Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran yang telah disempurnakan dengan PBI Nomor 22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia beserta ketentuan pelaksanaannya; dan (2) Implementasi pengaturan perlindungan konsumen terkait card trapping pada ATM yang diselenggarakan oleh Bank dan belum dilaksanakan dengan cukup baik. Dari hasil penelitian skripsi ini, penyelenggara perlu memberikan kepastian mengenai penanganan dan penyelesaian terhadap pengaduan nasabah agar penanganan sengketa antar Bank dengan Nasabah bisa diselesaikan dengan tercapainya kesepakatan antar kedua belah pihak.

Technological developments affect the security of the payment system in Indonesia. Administration of sources of funds in the form of issuing automated teller machines and debit cards from Payment Service Providers (“PSP”) will lead to crimes on cards and ATM machines. Overall, the implementation has gone well, but there are obstacles such as the occurrence of card trapping crimes experienced by consumer on the verdict Number 149/Pdt.G/2020/PN Dps. Therefore, this thesis discusses consumer protection in payment instruments using cards, in the event of card trapping at ATM machines. The form of research in this thesis is juridical-normative reviewing and analysing legal provisions and other library materials related to consumer protection in the payment system by the organizer, namely the Bank, in the event of card trapping. The conclusions obtained from this thesis research are (1) the regulation of consumer protection on payment instruments using cards as one of the payment instruments from PJP against card trapping is Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions and their implementing provisions, Bank Indonesia Regulation (PBI) Number 22/23/PBI/2020 and their implementing provisions, Bank Indonesia Regulation (PBI) Number 23/6/PBI/2021 concerning PSP and their implementing provisions, PBI Number 16/1/PBI/2014 concerning Consumer Protection for Payment System Services has been refined by PBI Number 22/20/PBI/2020 concerning Bank Indonesia Consumer Protection and its implementing provisions; and (2) Implementation of consumer protection regulations related to Card trapping at ATMs held by the Bank and has not been implemented properly. From the results of this thesis research, the organizers need to provide certainty regarding the handling and settlement of customer complaints so that the handling of disputes between banks and customers can be resolved by reaching an agreement between the two parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami
"Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia atas Hak Merek pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, di latar belakangi banyaknya para usahawan yang membutuhkan dana cukup besar untuk menjalankan kegiatan usahanya, sehingga dengan adanya kredit diharapkan menjadi modal usaha, namun untuk mendapatkan kredit pihak debitur harus menyerahkan jaminan. Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan beberapa pokok permasalahan antara lain Bagaimana eksistensi Hak Merek sebagai jaminan fidusia dalam pemberian kredit?, Adakah perlindungan hukum terhadap Bank BNI 46 yang terikat dalam suatu perjanjian pemberian jaminan berupa Hak Merek? dan Apakah upaya eksekusi yang dilakukan Bank BNI 46 untuk mengambil pelunasan hutang Debitor jika terjadi wanprestasi?
Dalam menganalisis masalah penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normative. eksistensi Hak Merek dapat diketahui dari ada atau tidaknya nilai dari Hak Merek dan Hak Merek harus telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HAKI dengan bukti pendaftaran Sertipikat Merek, sehingga Bank BNI 46 mendapat perlindungan hukum apabila Hak Merek tersebut telah terdaftar dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HAKI, karena hanya Hak Merek terdaftar saja yang dilindungi Undang-Undang dan akan membawa akibat hukum pada pihak ketiga. Hak Merek yang sudah terdaftar memudahkan Bank BNI 46 mengeksekusi untuk mengambil pelunasan hutang Debitur jika terjadi wanprestasi dengan mendaftarkan Akta Jaminan Fidusia atas Hak Merek pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan mencatatkan pengalihan Hak Merek dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HAM menjadi alas nama pemegang hak Baru (Bank BNI 46) dan mengeksekusi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas disimpulkan eksistensi Hak Merek sebagai jaminan kredit dapat diterima Bank BNI 46 apabila Hak Merek mempunyai nilai dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek di Dirjen HAKI, Bank BNI 46 mendapat perlindungan hukum karena Hak Merek tersebut telah terdaftar, sehingga memudahkan eksekusi dengan mendaftarkan dan mencatatkan pengalihan Hak Merek dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HAKI menjadi atas nama Bank BNI 46. Dalam perkembangan hendaknya semua Hak atas Kekayaan Intelektual dapat dijadikan jaminan kredit Berta Pemerintah segera membuat peraturan yang mengatur tata cara pembebanan Hak atas Kekayaan Intelektual supaya jelas pengaturannya.

The legal review conducted towards the fiduciary guarantee over the brand right of PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. was caused by the immense number of the entrepreneurs needing huge amount of capital to run or expand their business. The credit provided by the bank is definitely expected to be an aid for them to do the thing mentioned. However, in attaining a credit, an applicant should fill the requirements, such as that the applicant should hand a guarantee to the creditor. Such a matter inspires the formulation of several problems to be addressed in this research, that are: how is the existence of the Brand Right as a fiduciary guarantee in a credit grant? Is there any legal protection towards Bank BNI 46 which is bound by a guarantee grant agreement in form of Brand Right, and what would be the execution effort conducted by Bank BNI 46 to take the payment, in case the debtor commit a violation to the agreement?
In analyzing this matter, the writer applies a juridical normative approach method. We can trace whether a brand right exist or not by identifying whether there is any value of the brand right, and by figuring out whether the brand right also have been registered in the General List of Brand on the Directorate General of Intellectual and Property Rights (IPR), since it is only the registered brand right which is to be protected by the law, as well as is able bring a legal impact to the third party. A registered brand right will ease Bank BNI 46 to take the debt payment for the debtors in case of any hitch, by registering the fiduciary guarantee certificate on brand right to the fiduciary registration office, and by registering the transfer of the brand right to the new owner into the general list of brand in the Directorate General of IPR. Bank BNI 46 has been legally protected since it has registered, which enables it to execute such a thing by registering the transfer in the general list of brand in the directorate general of trips on behalf of Bank BNI 46.
As for recommendation, the writer would like to suggest that all Intellectual Property Rights should be able and allowed to be a credit guarantee, while the government should formulate a law regulating the mechanism of the imposing of rights of the IPR in order to ensure the clearness of the procedure as well as the effectiveness."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bako, Ronny Sautma Hotma
"ABSTRAK
Hubungan bank dan nasabah menjadi sorotan tajam akhir-akhir ini sebagai akibat dari Paket 28 Oktober 1988 (PAITO 88) yang mengakibatkan jumlah bank meningkat dengan tajam demikian juga dengan meningkatnya dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan nasional. Melalui peningkatan jumlah bank dan dana masyarakat , maka meningkat pula produk-produk perbankan yang diikuti oleh variasi-variasi dari produk-produk perbankan.
Nasabah mempunyai ketertarikkan tersendiri atas produk-produk perbankan tersebut, karena adanya iming-iming hadiah yang diberikan oleh sejumlah bank terhadap para deposan.
Di balik hubungan bank dan nasabah ini, terlihat berdasarkan hasil penelitian, kedudukan dari deposan mulai dipertanyakan karena belum memadainya peraturan perundang-undangan di bidang perbankan yang dapat melindungi kepentingan dari para deposan. Kasus Bank Surma merupakan suatu contoh tersendiri, bahwa betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi para deposan yang diberikan oleh bank.
Salah satu sebab kurangnya perlindungan hukum bagi para deposan yaitu karena lemahnya bargaining position yang dimiliki oleh para deposan. Hal ini disebabkan klausul-klausul yang sudah baku yang diterapkan oleh perbankan terhadap perjanjian baku yang terdapat pada setiap penbukaan rekening tabungan dan deposito.
Menghadapi permasalahan dari hubungan bank dan nasabah terhadap produk tabungan dan deposito, meialui tesis ini penulis berusaha nenjawab permasalahan yang terdapat dalam masyarakat perbankan melalui pendekatan secara yuridis, dengan prinsipnya melakukan penelitian hukum yang nornatif, bercorak kuantitatif, multidisipliner dan perbandingan hukum."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sri Darmadi Sudibyo
"Kemiskinan yang mengakibatkan kerugian dalam berbagai segi kehidupan perlu penanganan secara tepat, agar keadaan tersebut dapat segera teratasi. Timbulnya kemiskinan tersebut diakibatkan karena belum adanya pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Untuk itu agar ketimpangan tersebut dapat dikurangi maka diperlukan suatu kebijakan redistribusi pendapatan.
Salah satu kebijakan yang telah ditempuh di Indonesia dalam rangka redistribusi pendapatan adalah melalui Pelaksanaan Proyek Kredit Mikro (PKM) yang telah dimulai pada akhir tahun 1995 dan berakhir tahun 2000. PKM tersebut merupakan proyek bersama antara Bank Indonesia dengan Asian Development Bank.
Sumber dana PKM berasal dari pinjaman lunak _+ Asian Development Bank scbesar 60 % dan 40 % dari Bank Indonesia yang seluruhnya berjumlah _+ US $ 42,5 juta.
Berkenaan dengan itu, menarik kiranya dilakukan kajian terhadap pelaksanaan PKM dimaksud, untuk memperoleh gambaran mengenai : implikasi PKM terhadap pendapatan peserta proyek, apakah jenis kelamin dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan, seberapa besar dampak yang diberikan oleh PKM terhadap pendapatan midterm nasabah mikro, bagaimana mengatasi faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaan PKM, serta bagaimana perm Bank Indonesia dalam pemberdayaan BPR untuk mengembangkan pengusaha kecil dan mikro.
Metodologi penelitian yang digunakan terdiri dari Analisis Beda Rata-rata serta Model Regresi Log Linier. Model i.ni dapat digunakan untuk memproyeksikan peluang peningkatan pendapatan nasabah midterm mikro sehubungan dengan adanya PKM. Variabel-variabel penting yang diduga mempengaruhi pendapatan midterm nasabah ini adalah : pendapatan baseline nasabah mikro, pinjaman baseline (PKM), jenis kelamin serta tingkat pendidikan.
Sumber data berasal dari Biro Kredit Bank Indonesia, disamping itu somber data juga berasal dari kepustakaan melalui laporan dan jurnal ilmiah serta informasi lainnya yang relevan yang ada di Bank Indonesia.
Dari hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kenaikan pendapatan sebelum & scsudah mengikuti PKM sebesar 29,49 %, hasil tersebut telah memperhitungkan tingkat inflasi dan tingkat suku bunga.
Sesuai hasil individual tes yang dihasilkan diketahui bahwa jenis kelamin dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada pendapatan midtermnya.
Pengusaha Mikro mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan perekonomian nasional. Karena memiliki keunggulan dalam kesempatan berusaha dan penyerapan tenaga kerja.
Terkait dengan peran Bank Indonesia dalam pemberdayaan BPR untuk pengembangan usaha kecil dan mikro dapat dilaksanakan melalui pengaturan di sektor perbankan (khususnya BPR) dalam hal penyaluran kredit."
2003
T7350
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryati Rizal
"Krisis ekonomi 1997 semakin menyadarkan bahwa fondasi perekonomian akan semakin kuat, bila perekonomian rakyat diperkuat. Karena sebagian besar rakyat Indonesia tinggal di pedesaan, maka konsekuensinya, perekonomian desa harus diperkuat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dibangun lembaga keuangan pedesaan yang mampu menjadi perantara keuangan pedesaan.
Salah satu lembaga keuangan yang diharapkan dapat menjalankan fungsi tersebut di atas adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pembatasan wilayah operasional BPR yang hanya di pedesaan/kecamatan secara teoritis akan mendorong BPR menjangkau masyarakat desa, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong aktivitas perekonomian desa. Dengan demikian, BPR dapat diharapkan sebagai lembaga keuangan yang mempunyai peran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan, yang dalam jangka panjang akan memperkuat perekonomian desa/rakyat.
Kemampuan BPR memenuhi harapan yang dibebankan, sangat ditentukan oleh kinerja dan peran BPR. Kinerja BPR yang semakin baik akan memungkinkan BPR meningkatkan perannya. Sebaliknya peran BPR yang semakin besar, dapat meningkatkan kinerjanya, karena tercapainya skala usaha yang lebih efisien. Untuk melihat bagaimana kenyataan sebenarnya, maka studi tentang peran dan kinerja BPR di Sumatera Barat ini dilakukan dengan menggunakan analisi deskriptif dan regresi baik dengan menggunakan data time series 1991-2002 maupun cross section 2001 dan 2002.
Dengan menggunakan analisis deskriptif, hasil studi menunjukkan bahwa kinerja BPR di Sumatera Barat relatif baik di ukur dari angka CAR, ROA, ROE dan NPL. Angka-angka tersebut umumnya lebih baik dari standar yang ditetapkan BI. Peran BPR diukur dari share volume usaha, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kerdit yang disalurkan dan pengaruh terhadap penyaluran kredit maupun jumlah nasabah (rekening) yang berhasil dijangkau, juga sangat mengesankan. Misalnya saja pertumbuhan volume usaha, jumlah dana yang dihimpun dan nilai nominal kredit yang disalurkan selama periode 1991-2002 adalah beberapa kali lipat pertumbuhan volume usaha dan jumlah kredit yang disalurkan Bank Umum.
Dengan menggunakan analisis regresi dapat ditarik beberapa kesimpulan:
- BPR di Sumatera Barat telah menjalankan fungsi intermediasinya dengan baik, karena dana yang dihimpun dan modal disetor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap jumlah kredit yang disalurkan ke beberapa sektor ekonomi.
- Perkembangan BPR di Sumatera Barat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian makro dan sebaliknya BPR mempunyai peran siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena perannya yang signifikan terhadap penyaluran kredit konsumsi, investasi dan modal kerja.
- BPR di Sumatera Barat umumnya melakukan strategi internal financing, yaitu mengandalkan pembiayaan usaha terutama dari hasil laba operasional. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan peran BPR dipengaruhi oleh pertumbuhan kinerjanya.
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikemukakan bahwa prospek usaha BPR di Sumatera Barat sangat baik. Kesimpulan ini makin diperkuat oleh fakta bahwa struktur perekonomian Sumatera Barat, sangat didominasi oleh kegiatan produksi pertanian dan jasa yang umumnya berskala kecil-menengah.
Jenis-jenis usaha tersebut merupakan pasar yang sangat potensil bagi berkembangnya produk BPR. Meskipun kinerja, peran dan prospek BPR di Sumatera Barat, sangat baik, namun ada beberapa permasalahan yang dapat menjadi kendala. Salah satu masalah terbesar adalah komitmen pemilik/pengelola BPR. Pertama, masih banyak BPR yang belum memenuhi ketentuan, BI. Dua ketentuan yang paling banyak dilanggar adalah LDR dan permodalan. Sampai Desember 2002, dari 104 BPR, sekitar 39 BPR yang angka LDR-nya melebihi 115% atau melebih batas maksimum yang ditetapkan BI. Sementara itu masih ada 6 BPR yang sama sekali belum menyetorkan modal dan 32 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal disetor.
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah inefisiensi pengelolaan. Masalah ini ditunjukkan dari masih kecilnya skala usaha BPR, dimana sampai Desember 2002, masih separuh BPR memiliki skala usaha lebih kecil dari Rp l miliar. Angka CAR rata-rata yang sangat tinggi juga memberikan indikasi inefisiensi pengelolaan, karena angka tersebut mengindikasikan cukup besarnya dana atau sumber daya keuangan BPR yang menganggur."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>