Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42442 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riky Febriansyah Saleh
"Latar Belakang: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) tercatat sebagai kelainan congenital terbanyak di Indonesia. Adanya perkembangan dalam penelitian menggeser paradigma penanganan CTEV menjadi konservatif dibandingkan operatif. Metode Ponseti dinilai aman dan dan efisien, serta memiliki nilai efektivitas yang tinggi dalam tatalaksana CTEV. Namun, kepatuhan dalam penggunaan orthosis abduksi standar pada CTEV anak usia berjalan masih menjadi tantangan dan mempengaruhi angka relaps yang cukup tinggi. Knee Ankle Foot Orthosis (KAFO) menjadi salah satu orthosis abduksi yang berpotensi untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pada CTEV usia berjalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kejadian ulangan deformitas serta luaran penggunaan KAFO pada CTEV usia berjalan. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain potong lintang. Penelitian dilakukan di poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Februari 2021-Februari 2022. Pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan metode total sampling. Data klinis, radiologis dan laboratorium diambil dari rekam medis, sementara skor PIRANI serta skor NWDPS diukur melalui pemeriksaan fisik dan wawancara terhadap subjek baik secara langsung atau pun melalui telepon. Data pasien dimasukkan ke dalam database pasien CTEV RSCM. Seluruh data dianalisis dan ditabulasikan ke dalam tabel dengan menggunakan SPSS ver. 23. Hasil dan pembahasan: Pada penelitian ini, didapatkan 40 subjek penelitian dengan prevalensi kejadian ulangan deformitas pasca penanganan ponseti adalah 30% pada CTEV usia berjalan. Nilai tengah dari usia subjek penelitian adalah 12 (12-72) bulan dengan mayoritas subjek adalah anak laki-laki (57.5%). Terdapat hubungan bermakna antara usia memulai penggunaan KAFO dengan luaran fungsional (p = 0,047) dan skor PIRANI (p<0,001) pascapenggunaan KAFO. Selain itu, didapatkan adanya hubungan bermakna antara durasipemakaian KAFO dengan luaran fungsional (p = 0,049) dan skor PIRANI (p < 0,001) pascapenggunaan KAFO.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara usia memulai penggunaan KAFO dan durasi pemakaian KAFO dengan luaran fungsional dan skor PIRANI pasca penggunaanKAFO. Hal ini menandakan adanya angka relaps yang lebih tinggi pada anak- anak usia lebihtua atau terlambat dalam penanganan CTEV. Selain itu, penggunaan KAFO sebagai orthosisdalam fase pemeliharaan berpotensi untuk meningkatan kepatuhan dalam penanganan CTEVmetode konservatif pada anak usia berjalan.

Background: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) is reported as the most common congenital abnormalities in Indonesia. Developments in research have shifted the paradigm of treating CTEV to lean towards conservative managements rather than operative ones. The Ponseti method is considered safe and efficient, and has a high effectiveness value in the management of CTEV. However, compliance in children with the use of standard abduction orthosis CTEV of walking age is still a challenge and presumably linked to the high relapse rate of the deformity of the foot. Knee Ankle Foot Orthosis (KAFO) is an abduction orthosis that has the potential to improve comfort and compliance in walking age CTEV. This study aims to determine the prevalence of recurrence of deformity and the outcome of using KAFO in walking age CTEV. Methods: This study is an observational study with a cross-sectional design. The study was conducted at the Orthopedic Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in February 2021-February 2022. The research subjects were taken based on the total sampling method. Clinical, radiological and laboratory data were taken from medical records, while PRANI scores and NWDPS scores were measured through physical examinations and interviews with subjects either in person or by telephone. Patient data was entered into the CTEV RSCM patient database. All data were analyzed and tabulated into tables using SPSS ver. 23.
Results and discussion: In this study, there were 40 study subjects with the prevalence of recurrence of deformity after Ponseti treatment was 30% in walking age CTEV. The mean age of the study subjects was 12 (12-72) months with the majority of subjects being boys (57.5%). There was a significant relationship between the age of starting the use of KAFO with functional outcomes (p = 0.047) and the PIRANI score (p <0.001) post-KAFO usage. In addition, there was a significant relationship between the duration of KAFO usage with functional outcomes (p = 0.049) and PIRANI score (p < 0.001) post-KAFO usage. Finally, there was no significant relationship between gender and functional outcome (p = 0.315). and PIRANI score (p = 0.191) post- KAFO usage. Conclusion: There is a significant relationship between the age of starting KAFO use and duration of KAFO use with functional outcomes and PIRANI scores after using KAFO. This indicates a higher relapse rate in older children or late in the treatment of CTEV, in addition to that, the potential for increased adherence to the use of KAFO as an orthosis in the maintenance phase of CTEV treatment in children of walking age is well-marked in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husnul Verdian
"Latar Belakang: Osteosarkoma merupakan jenis tumor tulang ganas paling sering pada anak dan remaja. Sejumlah faktor prognostik telah diketahui mempengaruhi luaran pada osteosarkoma pediatrik, termasuk lokasi dan ukuran tumor primer, adanya metastasis, resektabilitas, keadaan remisi, serta respons kemoterapi yang diperiksa dengan derajat nekrosis tumor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran osteosarkoma pada anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di poliklinik Onkologi Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada bulan Januari 2020-Juni 2021. Pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan metode consecutive sampling. Data klinis, radiologis dan laboratorium diambil dari rekam medis, sementara skor MSTS diukur melalui wawancara terhadap subjek baik secara langsung atau pun melalui telepon. Data pasien dimasukkan ke dalam CRF (Case Report Form) untuk osteosarkoma dari Departemen Orthopaedi dan Traumatologi. Seluruh data dianalisis dan ditabulasikan ke dalam tabel.
Hasil dan pembahasan: Pada penelitian ini, angka kesintasan keseluruhnan kasus osteosarkoma adalah 31,8%, dan rekurensi lokal terjadi pada 18,2% kasus pasien osteosarkoma anak. Metastasis terjadi pada 65,9% kasus dan sebagain besar metastasis ditemukan pada paru. Didapatkan jenis kelamin berhubungan dengan kesintasan pada pasien osteosarkoma (P<0,05). Hubungan kesintasan dengan usia sampel tidak bermakna, namun terdapat hubungan signifikan antara kesintasan dengan alkalin fosfatase, jenis biopsi, lokasi tumor, dan tipe HUVOS. Terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal dengan nilai serum alkaline fosfatase, namun tidak terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal jenis kelamin dan usia, jenis biopsi, tipe HUVOS, dan lokasi tumor. Rata-rata skor MSTS dari 14 subjek penelitian adalah 20,93 ± 3,63. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara metastasis dengan jenis kelamin, usia, alkalin fosfatase, jenis biopsi, tipe HUVOS, dan lokasi tumor. Terdapat hubungan signifikan antara rekurensi lokal dan alkaline fosfatase (P < 0,05). Kesintasan dan metastasis memiliki perbedaan yang signifikan (P < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar alkaline fosfatase terhadap rekurensi lokal pada anak dengan osteosarkoma. Terdapat hubungan yang bermakna antara metastasis dengan kesintasan 5 tahun pada anak dengan osteosarkoma. Hal ini menandakan bahwa angka kesintasan tinggi pada pasien yang tidak mengalami metastasis.

Background: Osteosarcoma is the most frequent malignant bone tumor in children and adolescents. A number of prognostic factors have been known to affect the outcomes of pediatric osteosarcoma, including the location and size of the primary tumor, the presence of metastasis, resectability, remissions, and the chemotherapy response examined by the degree of tumor necrosis. This study aims to determine the outcomes of osteosaroma in children and the factors that influence it.
Methods: This was an observational analytic study with a retrospective cross sectional design. The study was conducted at the Orthopedic Oncology Polyclinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta in January 2020 – June 2021. The research sampling was carried out based on the consecutive random sampling method. Clinical, radiological and laboratory data were documented from medical records, while the MSTS score was measured through interviews on the subject both directly or by telephone. Patient data was inserted into the CRF (Case Report Form) for osteosarcoma from the orthopedic and traumatology department. All data were analysed and tabulated into the table.
Results and Discussion: In this study, the overall 5 years survival rate of osteosarcoma was 31.8%, and the local recurrence is 18.2% of pediatric osteosarcoma patients. Metastases occurred in 65.9% of cases and most of the metastases were found in the lung. It was found that gender was significanced with survival in osteosarcoma patients (P<0.05). The relationship between survival and age was not significant, but there was a significant relationship between survival and alkaline phosphatase, type of biopsy, tumor location, and type of HUVOS. There was a significant relationship between local recurrence and serum alkaline phosphatase, but there was no significant relationship between local recurrence, gender and age, type of biopsy, HUVOS type, and tumor location. The mean of MSTS score of the 14 study subjects was 20.93 ± 3.63. There was no significant difference between metastases by sex, age, alkaline phosphatase, type of biopsy, type of HUVOS, and tumor location. There was a significant relationship between local recurrence and alkaline phosphatase (P < 0.05). There was a significant difference between survival and metastasis (P < 0.001).
Conclusion: There was a significant relationship between alkaline phosphatase level and local recurrence in children with osteosarcoma. There was a significant association between metastasis and a 5-year mortality in children with osteosarcoma
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henrico Marindian
"Pendahuluan: Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Salah satu manifestasi infeksi TB ekstrapulmoner adalah TB tulang dengan spondilitis TB merupakan kasus terbanyak, hampir 50 % dari jumlah kasus TB tulang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB terbanyak keenam di dunia dengan insiden 395 per 100.000 penduduk. Penelitian spondilitis TB anak di Indonesia belum banyak dan studi kualitas hidup belum pernah dilakukan.
Metode: Studi merupakan studi potong lintang. Data diperoleh dari rekam medis pasien spondilitis tahun 2012-2016 yang berumur 0-18 tahun, melalui wawancara, pemeriksaan di poliklinik orthoapedi RSCM dan rumah pasien. Kualitas hidup pasien diukur dengan kuesioner PedsQL.
Hasil: Terdapat 46 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Mayoritas pasien masuk dalam kategori remaja (11-18 tahun) 69,6%. Subyek dengan deformitas vertebra sebesar 84,8 % sedangkan 32,6% memiliki defisit neurologis. Bagian vertebra yang paling banyak terinfeksi adalah regio torakal (58,7%). Kualitas hidup subyek penelitian menunjukkan bahwa 43,5% memiliki kategori suboptimal dan yang paling terpengaruh adalah faktor sosial dan sekolah. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara aspek klinis dan kualitas hidup subyek penelitian, namun tenaga kesehatan yang pertama kali didatangi berperan penting mempengaruhi kualitas hidup aspek sosial subyek (p 0,046).
Diskusi: Kualitas hidup pasien spondilitis TB anak di RSCM sebagian besar telah optimal meskipun ada beberapa aspek seperti aspek fisik dan sekolah yang sebagian besar belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena adanya pajanan penyakit kronis dan deformitas residual yang membuat pasien meninggalkan sekolah dan memiliki keterbatasan fisik.

Background: Tuberculosis (TB) infection is important health problem in the world. Most common manifestations of extrapulmonary TB infection is musculoskeletal TB, with spinal TB nearly 50% of musculoskeletal TB. Indonesia is 6th largest contributors of TB cases in the world, with estimated incidence 395 per 100.000 population. Research on child spinal TB in Indonesia is not widely found, and no study has evaluated the quality of life.
Methods: This study was a cross-sectional study. Data was taken from medical records 2012-2016 for children spinal TB patient (0-18 years old), direct interview in orthopaedic outpatient clinic and patient's home. Quality of life was measured using PedsQL questionnaire.
Results: There were 46 subjects that matched inclusion and exclusion criterias. Majority of subjects age group of adolescents (11-18) were 69.6%. Subjects present with vertebral deformity were 84.8% and neurologic deficits in 32.6% subjects. Most commonly affected spine is thoracic region (58.7%). Quality of life evaluation shown 43.5% subjects had suboptimal quality of life, with physical and school aspects most affected. No significant relation between clinical aspects and quality of life but the first visited health workers had significant relation with social aspect quality of life (p 0,046).
Discussions: Quality of life of children with TB spondylitis in RSCM mostly achieves optimal result, although physical and school aspect are suboptimal. It maybe due to chronic disease factors that cause patients frequently leave school for treatment and also residual deformities that cause patients have physical limitations.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henrico Marindian
"Pendahuluan: Infeksi Tuberkulosis TB merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Salah satu manifestasi infeksi TB ekstrapulmoner adalah TB tulang dengan spondilitis TB merupakan kasus terbanyak, hampir 50 dari jumlah kasus TB tulang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB terbanyak keenam di dunia dengan insiden 395 per 100.000 penduduk. Penelitian spondilitis TB anak di Indonesia belum banyak dan studi kualitas hidup belum pernah dilakukan.
Metode: Studi merupakan studi potong lintang. Data diperoleh dari rekam medis pasien spondilitis tahun 2012-2016 yang berumur 0-18 tahun, melalui wawancara, pemeriksaan di poliklinik orthoapedi RSCM dan rumah pasien. Kualitas hidup pasien diukur dengan kuesioner PedsQL.
Hasil: Terdapat 46 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Mayoritas pasien masuk dalam kategori remaja 11-18 tahun 69,6. Subyek dengan deformitas vertebra sebesar 84,8 sedangkan 32,6 memiliki defisit neurologis. Bagian vertebra yang paling banyak terinfeksi adalah regio torakal 58,7. Kualitas hidup subyek penelitian menunjukkan bahwa 43,5 memiliki kategori suboptimal dan yang paling terpengaruh adalah faktor sosial dan sekolah. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara aspek klinis dan kualitas hidup subyek penelitian, namun tenaga kesehatan yang pertama kali didatangi berperan penting mempengaruhi kualitas hidup aspek sosial subyek. 0,046.
Diskusi: Kualitas hidup pasien spondilitis TB anak di RSCM sebagian besar telah optimal meskipun ada beberapa aspek seperti aspek fisik dan sekolah yang sebagian besar belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena adanya pajanan penyakit kronis dan deformitas residual yang membuat pasien meninggalkan sekolah dan memiliki keterbatasan fisik.

Background: Tuberculosis TB infection is important health problem in the world. Most common manifestations of extrapulmonary TB infection is musculoskeletal TB, with spinal TB nearly 50 of musculoskeletal TB. Indonesia is 6th largest contributors of TB cases in the world, with estimated incidence 395 per 100.000 population. Research on child spinal TB in Indonesia is not widely found, and no study has evaluated the quality of life.
Methods: This study was. cross sectional study. Data was taken from medical records 2012 2016 for children spinal TB patient. 18 years old. direct interview in orthopaedic outpatient clinic and patient rsquo. home. Quality of life was measured using PedsQL questionnaire.
Results: There were 46 subjects that matched inclusion and exclusion criterias. Majority of subjects age group of adolescents 11 18 were 69.6. Subjects present with vertebral deformity were 84.8 and neurologic deficits in 32.6 subjects. Most commonly affected spine is thoracic region 58.7. Quality of life evaluation shown 43.5 subjects had suboptimal quality of life, with physical and school aspects most affected. No significant relation between clinical aspects and quality of life but the first visited health workers had significant relation with social aspect quality of life. 0,046.
Discussions: Quality of life of children with TB spondylitis in RSCM mostly achieves optimal result, although physical and school aspect are suboptimal. It maybe due to chronic disease factors that cause patients frequently leave school for treatment and also residual deformities that cause patients have physical limitations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Veny Kartika Yantie
"Latar Belakang: Saat ini masih terdapat perdebatan mengenai usia terbaik untuk dilakukan koreksi total pada tetralogi Fallot (TF). Koreksi lebih dini mempunyai keuntungan serta kerugian. Koreksi total TF saat usia yang terlambat dapat mengakibatkan disfungsi ventrikel kanan dan terkadang disfungsi ventrikel kiri. Parameter disfungsi ventrikel yaitu TAPSE, MPI, franksi ejeksi.
Tujuan: Untuk mengevaluasi durasi QRS, TAPSE, dan lama rawat ICU pasien TF yang dilakukan koreksi total ≤ 3 tahun lebih panjang dibandingkan koreksi total pada usia > 3 tahun.
Metode: Studi kohort retrospektif pada subjek pasien anak dan dewasa yang menjalani koreksi total, minimum pemantauan 6 bulan pasca-koreksi total. Analisis data menggunakan Mann Whitney U Test serta uji Chi square.
Hasil: Sebanyak 358 pasien TF telah menjalani koreksi total sejak 1 januari 2007 sampai 31 Juni 2013 dan sebanyak 52 subjek (18 subjek pada usia koreksi < 3 tahun dan 34 subjek dengan usia koreksi > 3 tahun) dengan median rentang lama pemantauan 24,5 dan 30 bulan. Rentang usia pada kelompok koreksi ≤ 3 tahun 1,8 (0,7-3) tahun dan kelompok koreksi > 3 tahun 5,2 (3,1-25,5) tahun. Rerata waktu PJP 79,1 (27,5) menit dibanding 78,8 (28,7) menit dan rerata aortic cross clamp 35,6 (13,2) dibanding 34,7 (19,1) menit tidak bermakna pada kedua kelompok. Penggunaan ventilator dengan median 1 hari, penggunaan chest tube dengan median 3 hari, lama penggunaan inotropik dengan median 2 hari tidak berbeda pada kedua kelompok. Terdapat abnormalistas rerata pengukuran RVMPI dan LVMPI pada kedua kelompok. Sebagian besar terdapat gangguan irama berupa complete RBBB, dan sekitar 50% didapatkan regurgitasi tricuspid. Residual stenosis pulmonal didapatkan pada 3/34 dan residual DSV pada 2/34 subjek pada koreksi > 3 tahun. Median lama rawat ICU [2 (1-9) hari dibanding 1,5 (1-46) hari, p=0,016] serta median durasi QRS [118 (78-140) ms dibanding 136 (80-190) ms, p=0,039] berbeda bermakna pada kedua kelompok, sedangkan tidak terdapat hubungan antara TAPSE dengan usia koreksi dengan RR 0,85; IK 95% 0,26-2,79 p=0,798.
Simpulan: Pasien TF yang dilakukan koreksi total ≤ 3 tahun memiliki durasi QRS lebih pendek, TAPSE yang tidak lebih baik dibandingkan dengan koreksi > 3 tahun, dan waktu rawat ICU lebih panjang.

Background: Timing for correction in patients with tetralogy of Fallot (TF) is controversial. Repair at < 3 years old shows good myocardial performance. Late repair can shows prolonged QRS duration, ventricular dysfunction with parameters myocardial performance index (MPI) and TAPSE, but longer intensive care unit (ICU) stays.
Aims: To evaluate QRS duration, right ventricle function measured by TAPSE, ICU length of stays (LOS) of patients after correction TF which is repaired in age ≤ 3 versus > 3 years old.
Methods: Cohort retrospective study was performed in children and adults who were underwent correction with minimal follow up was 6 months. The TAPSE and QRS duration was evaluated during follow up. We compared using Mann Whitney U test and Chi square test analyses.
Results: Among 358 children recruited, there were 52 subject completed the study, 18 in correction age ≤ 3 years old group and 34 at age > 3 years old group who underwent total correction since January 2007 – June 2013. Age when underwent total correction ranging from 7 months – 25 years old, with follow up data was took at 24-30 months after discharge. There were abnormalities at right ventricle and left ventricle MPI, but weren’t different between groups. There were a significant difference between ICU LOS [2 (1-9) days vs. 1.5 (1-46) days p=0.016] and QRS durations [118 (78-140) ms vs 136 (80-190) ms, p=0.039]. Aged repaired didn’t increase risk of having abnormality TAPSE (RR 0.85; 95% CI 0.26-2.79; p = 0.798).
Conclusion: TF total correction at ≤ 3 years old has shorter QRSdurations at follow up and longer ICU LOS. Correction at > 3 years old didn’t proven as a risk to have abnormality TAPSE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manaster, B.J.
New York: Mamirsys, 2007
612.98 MAN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pardamean, David Tua
"Latar Belakang: Chronic Limb Threatening Ischemia (CLTI) adalah bentuk terberat dari penyakit arteri perifer kronis . Sekitar 25% dari pasien dengan CLTI akan berisiko mengalami amputasi tungkai mayor dalam 1 tahun. Sistem skoring Wound, Ischemia, and foot Infection (WIfI) dipakai untuk memprediksi angka amputasi selama 1 tahun. Tindakan revaskularisasi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk pemulihan perfusi pada bagian tubuh atau organ yang mengalami iskemia baik dengan cara bedah terbuka atau secara endovaskular
Tujuan: Untuk mengetahui korelasi antara tindakan revaskularisasi dengan perubahan amputation rate pada pasien CLTI dengan skor WIfI
Metode: Desain yang digunakan adalah desain kohort retrospektif. Penelitian ini dilakukan di Divisi Bedah Vaskuler dan Endovaskuler Departemen Medik Ilmu Bedah dan Unit Rekam Medik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama periode Oktober hingga Desember 2020 dengan mengumpulkan data seluruh pasien CLTI yang menjalani perawatan dan tata laksana selama tahun 2009-2019.
Hasil: Total sampel 312, sampel terbanyak berjenis kelamin pria 182 (58,3%) sedangkan wanita sebanyak 130 (41,7%) dengan rerata usia 58 tahun. Komorbid yang tersering adalah diabetes (82,1%). Sebaran skor WIfI derajat sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi secara berurutan adalah 20 (6,4%), 30 (9,6%), 112 (35,9%), 150 (48,1%). Sebaran tatalaksana adalah amputasi mayor 147 (47,1%), revaskularisasi 80 (25,6%), amputasi minor 42 (13,5%), debridement 28 (9%) dan perawatan luka 15 (5%). Terdapat korelasi bermakna (p<0,001; RR 0.029 (0.004-0.207)) antara tindakan revaskularisasi terhadap perubahan amputation rate selama 1 tahun pada pasien CLTI. Terdapat korelasi yang bermakna (p=0,001; RR 0.061 (0.008-0.44)) antara tindakan revaskularisasi dengan penurunan amputation rate pada pasien CLTI dengan skor WIfI derajat sedang.
Simpulan: Tindakan revaskularisasi menurunkan amputation rate pada pasien CLTI dengan skor WIfI derajat sedang.

Background: Chronic Limb Threatening Ischemia (CLTI) is the most severe form of peripheral arterial disease. Approximately 25% of patients with CLTI will be at risk of having a major limb amputation within 1 year. The Wound, Ischemia, and Foot Infection (WIfI) scoring system was used to predict the amputation rate for 1 year. Revascularization is an action performed to restore perfusion to parts of the body or organs that experience ischemia either by open surgery or endovascular.
Objective: To determine the correlation between revascularization measures and changes in amputation rate in CLTI patients with WIfI score.
Method: The design used was a retrospective cohort design. This research was conducted in the Vascular and Endovascular Surgery Division of the Department of Medical Surgery and the Medical Records Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital during the period from October to December 2020 by collecting data on all CLTI patients who underwent treatment and management during 2009-2019.
Results: Total sample was 312, most samples were male 182 (58.3%), while female as much as 130 (41.7%) with an average age of 58 years. The most common comorbid was diabetes (82.1%). The distribution of the WIfI score of very low, low, medium and high degrees was 20 (6.4%), 30 (9.6%), 112 (35.9%), 150 (48.1%), respectively. The treatment distribution was major amputation 147 (47.1%), revascularization 80 (25.6%), minor amputation 42 (13.5%), debridement 28 (9%) and wound care 15 (5%). There was a significant correlation (p <0.001; RR 0.029 (0.004-0.207)) between revascularization measures and changes in amputation rate for 1 year in CLTI patients. There was a significant correlation (p = 0.001; RR 0.061 (0.008-0.44)) between revascularization measures and a decrease in amputation rate in CLTI patients with moderate WIfI scores.
Conclusion: Revascularization reduces the amputation rate in CLTI patients with moderate WIfI score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Fajrin Armin F.
"Pendahuluan: Malunion adalah komplikasi jangka panjang yang sering terjadi pada fraktur suprakondiler humerus yang bila tidak ditatalaksana dengan tepat dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Osteotomi korektif dengan teknik lateral closed wedge osteotomy, merupakan teknik yang sering digunakan karena sederhana dan relatif mudah. Studi mengenai luaran klinis, fungsional dan radiologis pasca osteotomi korektif masih sedikit, khususnya di Indonesia. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif, dengan metode total
sampling pada tahun 2012-2017 di Rumah Sakit Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian luaran klinis dengan Mitchell and Adams Criteria, luaran fungsional dengan Mayo Elbow Performance Score (MEPS), dan luaran radiologis dengan Baumann Angle, Metaphyseal-diaphyseal angle, Humero-ulnar angle, Humero-capitellar angle, dan anterior humeral line pra dan pascaoperasi. Hasil: Terdapat 15 pasien yang diikut sertakan dalam penelitian dengan umur rata-rata 7,7 tahun, mayoritas laki-laki dan pada sisi sebelah kiri. Median interval waktu antara fraktur hingga osteotomi korektif adalah 11,2 bulan dengan rata-rata followup adalah 24,9 bulan. Luaran klinis berdasarkan Mitchell and adams criteria didapatkan kriteria good hingga excellent sebanyak 14 pasien (93,3%) dan hanya 1 pasien (6,7%) dengan hasil unsatisfactory. Luaran fungsional berdasarkan MEPS didapatkan kategori good hingga excellent sebanyak 14 pasien (93,3%), dan kategori fair sebanyak 1 pasien (6,7%). Terdapat perbaikan parameter radiologis yang bermakna yang diukur dengan baumann angle, metaphyseal-diaphyseal angle, humero-ulnar angle, humero-capitellar angle dan anterior humeral line. Terdapat korelasi yang kuat antara perbaikan baumann angle dengan Mitchel and Adams criteria dan terdapat korelasi yang moderat antara perbaikan metaphyseal-diaphyseal angle dengan MEPS. Kesimpulan: Tindakan osteotomi korektif dengan teknik lateral closed wedge osteotomy pada malunion fraktur suprakondiler humerus memberikan luaran klinis, fungsional dan radiologis good hingga excellent. Baumann angle dan Metaphyseal-diaphyseal angle dapat digunakan sebagai parameter untuk memprediksi luaran klinis dan fungsional pasca osteotomi korektif.

Introduction: Malunion is a late complication that often occurs after supracondylar humeral fractures This condition if not managed properly will cause such complications that potentially reduce the patient's quality of life. Corrective osteotomy by lateral closed wedge osteotomy is a technique that is often used due to it simplicity and relatively easy. Only few studies have reported clinical, functional and radiological outcomes in cases of malunion of supracondylar humeral fractures after corrective osteotomy, particularly in Indonesia. Methods: This study used a retrospective cohort design, with a total sampling method in period of 2012-2017 at the Cipto Mangunkusumo Central National Hospital. We assess clinical outcome by Mitchell and Adams Criteria, functional outcome by Mayo Elbow Performance Score (MEPS), and radiological outcomes by Baumann Angle, Metaphyseal-diaphyseal angle, Humero-ulnar angle, Humero-capitellar angle, and anterior humeral line, pre and postoperatively Results: There were 15 patients included in the study with an average age of 7.7 years, the majority were men and affected on the left side. The median of time interval between fracture to correction osteotomy was 11.2 months with a mean time of follow-up was 24.9 months. Clinical outcome after correction osteotomy based on Mitchell and adams criteria showed good to excellent criteria as many as 14 patients (93.3%) and only 1
patient (6.7%) with unsatisfactory results. While the functional outcomes based on MEPS showed good to excellent categories of 14 patients (93.3%), and the fair category was 1 patient (6.7%). There were a significant radiological improvement measured by baumannn angle, metaphyseal-diaphyseal angle, humero-ulnar angle, humero-capitellar
angle and anterior humeral line. There was a strong correlation between baumann angle improvement with Mitchel and Adams criteria and there was a moderate correlation
between the improvement of Metaphyseal-diaphyseal angle and MEPS. Conclusion: Corrective osteotomy by lateral closed wedge osteotomy on malunion supracondylar humeral fracture showed good to excellent clinical, functional and radiological outcomes. Baumann angle and Metaphyseal-diaphyseal angle can be used as parameter to predict clinical and functional outcomes after corrective osteotomy.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dedy Alkarni
"Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas primer pada anak-anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil dan kelangsungan hidup pada pasien osteosarkoma pasca operasi di RSCM Jakarta dari tahun 2010 hingga 2022 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek adalah pasien osteosarkoma femoralis distal yang menjalani disartikulasi pinggul atau amputasi transfemoral pada 2010-2020. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi karakteristik pasien, kelangsungan hidup, metastasis dan skor MSTS.
Hasil: Jumlah subjek penelitian adalah 42. Subjek amputasi transfemoral lebih tua dibandingkan disartikulasi pinggul (p=0,048). Insiden metastasis lebih banyak pada amputasi dibandingkan dengan disartikulasi pinggul (p=0,001). Subjek disartikulasi pinggul memiliki diameter tumor yang jauh lebih besar daripada subjek amputasi transfemoral (p=0,031).
Pembahasan: Hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan kelangsungan hidup terjadi karena diameter tumor terkait dengan kejadian metastasis  dan kejadian metastasis terkait dengan kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor MSTS dan jenis amputasi karena kedua kelompok subjek menggunakan kruk, faktor sosial ekonomi untuk membuat prostesis, dan kesulitan dalam mencapai ukuran tunggul yang ideal dalam kasus tumor.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan metastasis dengan kelangsungan hidup dan diameter tumor dengan metastasis.

Pendahuluan: Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas primer pada anak-anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil dan kelangsungan hidup pada pasien osteosarkoma pasca operasi di RSCM Jakarta dari tahun 2010 hingga 2022 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Subjek adalah pasien osteosarkoma femoralis distal yang menjalani disartikulasi pinggul atau amputasi transfemoral pada 2010-2020. Data yang dikumpulkan dan dianalisis meliputi karakteristik pasien, kelangsungan hidup, metastasis dan skor MSTS.
Hasil: Jumlah subjek penelitian adalah 42. Subjek amputasi transfemoral lebih tua dibandingkan disartikulasi pinggul (p=0,048). Insiden metastasis lebih banyak pada amputasi dibandingkan dengan disartikulasi pinggul (p=0,001). Subjek disartikulasi pinggul memiliki diameter tumor yang jauh lebih besar daripada subjek amputasi transfemoral (p=0,031).
Pembahasan: Hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan kelangsungan hidup terjadi karena diameter tumor terkait dengan kejadian metastasis dan kejadian metastasis terkait dengan kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor MSTS dan jenis amputasi karena kedua kelompok subjek menggunakan kruk, faktor sosial ekonomi untuk membuat prostesis, dan kesulitan dalam mencapai ukuran tunggul yang ideal dalam kasus tumor.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara diameter tumor dan metastasis dengan kelangsungan hidup dan diameter tumor dengan metastasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Harry Jonathan
"Pendahuluan: Ekstrofi buli merupakan suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menutupnya dinding anterior dari rongga abdomen disertai kandung kemih yang membuka dengan manifestasi pada sistem traktus urinarius dan muskuloskeletal. Meskipun tatalaksana ekstrofi berkembang pesat, studi mengenai luaran klinis pasien ekstrofi buli masih jarang dilakukan. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membahas mengenai luaran anatomis dan fungsional pasien ekstrofi buli pada tahun 2011-2017.
Metode: Studi penelitian ini adalah studi kohor retrospektif melalui penulusuran data rekam medis dari tahun 2011 hingga 2017 dan dilakukan di bulan Januari 2017. Seluruh pasien diperiksa untuk luaran klinis di poliklinik orthopaedi. Luaran anatomis dinilai dengan mengukur presentasi aproksimasi pubis pada foto pelvis. Sementara itu, luaran fungsional dinilai dengan menggunakan kuesioner Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL 4.0).
Hasil: 19 pasien ekstrofi buli dengan rerata usia 4,8±2,4 tahun kontrol rutin ke poli orthopaedi. Data yang dikumpulkan terdiri dari jenis kelamin laki-laki 11 (57,9%); perempuan 8 (42,1%), tipe ekstrofi buli (17 (89,5%); ekstrofi kloaka (2 (10,5%), anomali organ terkait yaitu epispadia 2 (10,5%); hipospadia 1 (5,3%); sisanya tidak kelainan tambahan 16 (84,2%), metode fiksasi gips 10 (52,6%); eksternal fiksasi 9 (47,4%), periode pasca operasi ≤36 bulan 10 (52,6%); >36 bulan 9 (47,4%), median usia operasi 6 bulan dengan kisaran 1-71 bulan, median nilai presentase aproksimasi 78,5% dengan kisaran 65-98,1%, rerata skor PedsQL setelah operasi 97,2±1,6. Terdapat hubungan bermakna antara usia operasi dan diastasis setelah operasi terhadap presentase aproksimasi dan skor PedsQL setelah operasi (p<0,05).
Diskusi: Luaran anatomis dan fungsional pada pasien ekstrofi buli menunjukkan hasil yang baik. Faktor usia operasi dan diastasis setelah operasi mempengaruhi nilai presentase aproksimasi dan kualitas hidup pasien ekstrofi buli.

Introduction: Bladder extrophy is an embryologic malformation that results in complex deficiency of the anterior midline, with urogenital and skeletal manifestations. Despite advances in management of bladder extrophy, the study of the patient outcome is rarely done. In Indonesia, there are no studies concerning about the anatomical and functional outcome of bladder extrophy patients in 2011-2017.
Method: A cohort retrospective study of the hospital medical records from 2011 to 2017 was performed in January 2017. The patients were assesed for the clinical outcome in orthopaedic outpatient clinic. Data of patients with bladder exstrophy managed by anterior and posterior innominate osteotomy were analysed. The anatomical outcome was assessed by calculating the percentage pubic approximation and the functional outcome was assessed by using Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL 4.0) and compared with those of typical peers.
Result: Nineteen children age 4,6±2,3 years presented to outpatient clinic for a routine control. Data was collected for gender man 11 (57,9%); woman 8 (42,1%), bladder extrophy 17 (89,5%); cloacal extrophy 2 (10,5%), epispadia 2 (10,5%); hipospadia 1 (5,3%); not having other congenital organ anomaly 16 (84,2%), fixation method slabs 10 (52,6%); external fixation 9 (47,4%), post operation period ≤36 months 10 (52,6%); >36 months9 (47,4%), the median of age at operation 6 months old with range from 1-71 m, the median of aproximation percentage 78,5% with range 65-98,1%, the mean of PedsQL score post operation 97,2±1,6. There was a significant correlation between age at operation and diastasis post operation to aproximation percentage and PedsQL score (p<0,05).
Discussion: The clinical outcome of the bladder extrophy patients shows good result that's measured by percentage pubic approximation and PedsQL score. Age at operation and diastasis post operation affect aproximation percentage and quality of life of bladder extrophy patient."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>