Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97591 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Purnama Hidayat
"Latar belakang: Kematian akibat pneumonia komunitas dilaporkan paling sering pada kelompok lanjut usia. Tingginya kegagalan terapi pada kelompok ini yang berkaitan dengan keterlambatan diagnosis, keparahan penyakit, infeksi bakteri atipikal, multipatogen, multiresisten, dan kondisi multikomorbiditas. Dengan memprediksi kegagalan terapi pada kelompok ini, klinisi dapat menyusun strategi yang lebih agresif untuk mencapai keberhasilan terapi. Namun mengingat respon klinis lanjut usia yang lebih lambat, parameter pencapaian stabilitas klinis dini (<3 hari) tidak dapat digunakan pada kelompok usia ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan klinis yang dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia.
Metode: Penelitian menggunakan desain kohort prospektif menggunakan data primer pada subjek pneumonia komunitas lanjut usia yang menjalani perawatan inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Dilakukan pemeriksaan status klinis awal sebagai nilai dasar, dilanjutkan dengan pemantauan klinis hari pertama (24 jam setelah mendapatkan antibiotik) dan pemantauan klinis hari ke-tiga (72 jam setelah mendapat antibiotik). Hasil keluaran kegagalan terapi dinilai bila terdapat eskalasi antibiotik dan kematian dalam 14 hari pemantauan.
Hasil: Sebanyak 231 subjek dimasukan dalam penelitian, 21 subjek mengalami drop out. Dari 210 subjek, kegagalan terapi dijumpai pada 111 subjek (52,9%). Setelah dilakukan analisis bivariat dan multivariat ditemukan perubahan klinis yang berhubungan dengan kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia adalah perubahan ADL pada hari pertama dengan RO 2,213 (95% IK: 1,269-3,861, p<0,01), perubahan ADL pada hari ke- tiga dengan RO 2,966 (95% IK: 1,603-5,489, p=0,001) dan perubahan tekanan darah sistolik pada hari ke-tiga dengan RO 1,021 (95%IK 1,005-1,036, p<0,01).
Kesimpulan: Perubahan klinis dapat dijadikan parameter prognosis kegagalan terapi pada pneumonia komunitas lanjut usia.  Perburukan atau tidak perbaikan status fungsional pada hari pertama dan hari ke-tiga pasca mendapatkan terapi antibiotik berhubungan dengan kegagalan terapi. Perubahan tekanan darah sistolik yang lebih tinggi juga berhubungan dengan kegagalan terapi dengan mekanisme yang belum dapat dijelaskan.

Background: The elderly with community-acquired pneumonia (CAP) had worse outcomes due to a high rate of treatment failure (TF). A more thorough clinical assessment is needed to evaluate treatment response in this population. Early detection of TF enables more aggressive management of CAP in the elderly, but the evidence is scarce.
Aim: To determine any clinical status changes that can be used to predict TF in the elderly with CAP.
Method: A cohort-prospective study with consecutive sampling methods was conducted. Included patients with CAP ≥60 years old. Clinical status, including blood pressure, pulse rate, respiratory rate, body temperature, peripheral oxygen saturation, functional status with Barthel Index, and mental status (delirium status and GCS), were recorded upon admission, 24 hours and 72 hours following the first antibiotic(s) administration. Treatment failure was determined in subjects required antibiotic escalation or died within 14 days of observation.
Results: The clinical status changes related to TF were: the change of functional status and mental status 24 hours following antibiotic(s) administration; and the changes of systolic blood pressure, pulse rate, functional status, and mental status 72 hours following antibiotic(s) administration. Multivariate analysis revealed.
Conclusion: Comprehensive clinical evaluation is required to predict TF in the elderly with CAP. Changes in functional status and mental status were recognized earlier than vital signs to predict TF in the elderly with CAP.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntjoro Harimurti
"Latar Belakang. Hipoalbuminemia sudah diketahui merupakan faktor prediktor morbiditas dan mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia dan CRP merupakan petanda klinis yang penting pada pneumonia. Namun hubungan antara kadar CRP dengan penurunan kadar albumin, sebagai protein fase akut negatif, saat infeksi akut belum pernah diteliti sebelumnya.
Tujuan. Mendapatkan: (1) perbedaan kadar CRP awal perawatan antara pasien dengan daa tanpa penurunan albumin, (2) perbedaan risiko teradinya penurunan albumin antara pasien dengan kadar CRP awal tinggi dan rendah, dan (3) korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.
Metodalogi. Stuart potong-lintang dan kohort-prospektif dilakukan pada pasien-pasien usia lanjut (>60 tahun) dengan diagnosis pneumonia komunitas yang dirawat di RSCM, untuk diamati penurunan kadar albuminnya selama 5 hari perawatan. Pasien-pasien dengan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi kadar albumin dan CRP, serta infeksi selain pn nimcnia komunitas dieksklusi dari penelitian. Penilaian kadar CRP dilakukan pada hari pertama perawatan (cut-off 20 mg/L), sementara penurunan albumin ditentukan dari perubahan kadar albumin selama 5 hari perawatan (cut-off 10%). Analisis statistik dilakukan dengan uji-t independen, uji chi-square, dan uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian.
Hasil Utama. Selama periode April-Juni 2005 terkumpul 26 pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang masuk perawatan di RSCM. Hanya 23 pasien yang menyelesaikan penelitian sampai 5 hari dengan 17 pasien memiliki kadar CRP awal tinggi, dan didapatkan penurunan albumin >10% pada 7 pasien setelah 5 hari perawatan. Terdapat perbedaan rerata kadar CRP hari-1 diantara kedua kelompok (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 1K95% 13,25-186,13 mgfL). Namun tidak didapatkan perbedaan risiko bermakna antara pasien dengan kadar CRP tinggi dengan pasien dengan kadar CRP rendah scat awal dengan terjadinya penurunan albumin saat awal perawatan (RR = 2,12; P = 0,621; 11(95% 0,256-29,07). Tidak didapatkan pula korelasi antara kadar CRP dan albumin saat awal perawatan (r = 0,205, P = 0,314)
Kesimpulan. Tingginya kadar CRP awal perawatan berhubungan dengan terjadinya penurunan kadar albumin selama perawatan, namun tidak ada perbedaan risiko terjadinya penurunan albumin selama perawatan antara pasien dengan CRP awal tinggi dan CRP awal rendah, serta tidak ada korelasi antara kadar CRP dan albumin scat awal perawatan pada pasien-pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit.

Backgrounds. Hypoalbuminemia widely known as a predictive factor for increasing morbidity and mortality in elderly patients, including with pneumonia; while CRP has known as a clinical marker for pneumonia. But relationship between CRP level with decrease of serum albumin level, as a negative acute-phase protein, during acute infection has never been studied before.
Objectives. To found: (1) CRP level difference between patient with and without decreased of serum albumin level, (2) risk for developing decreased of serum albumin level in patients with high CRP compared to patients with low CRP level, and (3) correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
Methods. Cross-sectional and prospective-cohort studies was conducted in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia that admitted to RSCM, to observed the decreased of serum albumin level in five days of hospitalization. Conditions that known could influence CRP and albumin consentration have been excluded, and other infections as well. CRP level was determined on admission (cut-off 20 mgfL), while decreased of serum albumin was observed for 5 days of hospitalization (cu[-off 10%). Statistical analysis was done by using independent t-test, chi-square test, and correlation test appropriately accord-ing to the objectives of the study.
Main Results. During study period (April to June, 2005) 26 hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia had been included into study, but only 23 of them that finished the study for 5 days. There were 17 patients that have high level of CRP on admission, and 7 patiens that developing decreased of serum albumin level more than 10% in fifth day compared to their serum albumin level on admission. There was significant mean CRP difference among 2 groups (175,36 mgfL vs 75,67 mg/L; P = 0,026; 95%CI 13,25-186,13 mgfL), but there was no risk difference between patients with high and low CRP level on admission for developing decreased albumin level on fifth day of hospitalization (RR = 2,12; P = 0,621; 95%CI 0,256-29,07). And there was no correlation between CRP and albumin level on admission (r = 0,205, P = 0,314)
Conclusions. Patients with high CRP level on admission tend to have decreased of serum albumin level during hospitalization, but there was no risk difference for developing decreased of serum albumin level between patients with high and low CRP level, and there was no correlation between CRP and albumin level on admission in hospitalized elderly patients with community-acquired pneumonia.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petry
"Latar Belakang : Pasien usia lanjut seringkali memerlukan rawat inap karena infeksi pneumonia yang disertai dengan penurunan status fungsional. Hubungan antara penurunan status fungsional pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas yang dirawat inap dengan kesintasan belum banyak diteliti.
Tujuan : Mendapatkan informasi mengenai perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut dengan berbagai derajat ketergantungan. Metodologi : Penelitian kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan terhadap pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas di ruang rawat akut geriatri RSCM periode Januari 2010-Desember 2013. Dilakukan ekstraksi data dari rekam medik mengenai status fungsional, kondisi klinis dan faktor perancu, kemudian dicari data mortalitasnya dalam 30 hari. Status fungsional awal perawatan dinilai dengan indeks ADL Barthel, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu mandiri-ketergantungan ringan, ketergantungan sedang-berat dan ketergantungan total. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok ditampilkan dalam kurva Kaplan Meier. Perbedaan kesintasan antara ketiga kelompok diuji dengan Log-rank test, dengan batas kemaknaan <0,05. Analisis multivariat dengan Cox?s proportional hazard regression untuk menghitung adjusted hazard ratio (dan interval kepercayaan 95%-nya) dengan koreksi terhadap variabel perancu.
Hasil : Dari 392 subjek, sebanyak 79 subjek (20,2%) meninggal dunia dalam waktu 30 hari. Rerata kesintasan seluruh subjek 25 hari (IK95% 24,66-26,49), kelompok mandiri-ketergantungan ringan 28 hari (IK95% 27,38-29,46), ketergantungan sedang-berat 25 hari (IK95% 23,71-27,25), ketergantungan total 23 hari (IK95% 21,46-24,86). Kesintasan 30-hari pada kelompok mandiri- ketergantungan ringan 92,1% (SE 0,029), ketergantungan sedang-berat 80,2% (SE 0,046), ketergantungan total 68,0% (SE 0,041). Crude HR pada ketergantungan sedang-berat 2,68 (p=0,008; IK95% 1,29-5,57), ketergantungan total 4,32 (p<0,001; IK95% 2,24-8,31) dibandingkan dengan mandiri-ketergantungan ringan. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu didapatkan fully adjusted HR pada kelompok ketergantungan total 3,82 (IK95% 1,95-7,51), ketergantungan sedang-berat 2,36 (IK 95% 1,13-4,93).
Simpulan : Terdapat perbedaan kesintasan 30-hari pasien pneumonia komunitas berusia lanjut pada berbagai derajat ketergantungan; semakin berat derajat ketergantungan, semakin buruk kesintasan 30-harinya.

Background : Elderly patients often require hospitalization because of pneumonia accompanied by decreased functional status. The relationship between the declines in functional status in elderly patients with community acquired pneumonia who are hospitalized with survival rate has not been widely studied. Objective : To determine the difference of 30-days survival in elderly patients with community-acquired pneumonia in various degree of dependency during admission.
Method : A retrospective cohort study based on survival analysis of the elderly patients with community-acquired pneumonia in acute geriatric ward RSCM from January 2010 to December 2013. Extraction of data from medical records regarding functional status, clinical conditions and confounding factors, then followed up the 30-day mortality. Functional status at the start of hospitalization was assessed by the ADL Barthel index, then grouped into three, which are independent-mild dependence, moderate-severe dependence and total dependence. The difference of survival rate among the three groups is shown in the Kaplan- Meier curves. The difference in survival rate among the three groups were tested with the log-rank test, with a significance limit of <0.05. Multivariate analysis with Cox's proportional hazards regression to calculate adjusted hazard ratio (and its 95% confidence interval) with correction for confounding variables.
Results : Of the 392 subjects, a total of 79 subjects (20.2%) died within 30 days. The mean survival rate of all subjects was 25 days (95%CI 24.66-26.49), independent-mild dependence group was 28 days (95%CI 27.38-29.46), moderate-severe dependence group was 25 days (95%CI 23,71-27.25), the total dependence group was of 23 days (95%CI 21.46-24.86). The 30-day survival of independent-mild dependence group was 92.1% (SE 0.029), moderate-severe dependence group was 80.2% (SE 0.046), total dependence group was 68.0% (SE 0.041). Crude HR of moderate-severe dependence group was 2.68 (p=0.008; 95%CI 1.29-5.57), the total dependence group was 4.32 (p<0.001; 95%CI 2.24- 8.31) compared with independent-mild dependence group. After adjustment for confounding variables, obtained the fully adjusted HR was 3,82 (95%CI 1,95- 7,51) in total dependence group, and 2,36 (95%CI 1,13-4,93) in moderate-severe dependence group.
Conclusion : There are differences in 30-day survival rate of elderly patients with community-acquired pneumonia in various degrees of dependence; the more severe the degree of dependence, the worse its 30-day survival rate.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T58723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Rohayat Bilmahdi
"Community acquired pneumonia (CAP) oleh patogen resisten obat (PRO) memiliki tingkat keparahan yang tinggi. CAP akibat PRO memerlukan terapi antibiotik spektrum luas, skor Drugs Resistance in Pneumonia (DRIP) mampu memprediksi kasus tersebut. Penggunaan skor DRIP dapat mencegah kegagalan terapi antibiotik empirik dan mempersingkat lama rawatan, untuk itu diperlukan validasi. Penelitian ini merupakan studi Cohort Retrospektif pada pasien CAP yang dirawat inap selama periode Januari 2019 hingga Juni 2020. Data diambil dari rekam medis, kegagalan antibiotik bila terdapat kematian, pindah rawat ICU dan eskalasi antibiotik. Performa skor DRIP dianalisis dengan menentukan nilai kalibrasi dan diskriminasi, uji Hosmer-Lemeshow dan Area Under Curve (AUC). Diperoleh 480 pasien yang telah memenuhi kriteria. Terdapat 331 pasien (69%) dengan skor DRIP <4 dan 149 pasien (31%) dengan skor DRIP ≥4, dengan jumlah kegagalan antibiotik sebesar 283 pasien (59%), 174 pasien (61,4%) skor DRIP <4 dan 109 pasien (38,5%) skor DRIP ≥4. Kalibrasi DRIP menggunakan uji Hosmer-Lemeshow diperoleh p-value = 0,667 (p>0,05), diskriminasi AUC pada kurva ROC diperoleh 0,651 (IK 95%; 0,601-0,700). Skor DRIP menunjukkan performa yang cukup baik dalam memprediksi kegagalan antibiotic empiric pada pasien CAP yang terinfeksi PRO. Skor DRIP tidak berhubungan dengan lama rawatan di Rumah Sakit.

Community-acquired pneumonia (CAP) caused by drug resistant pathogens (DRP) has a high level of severity. The incidence of CAP due to DRP requires broad spectrum antibiotic therapy, the Drugs Resistance in Pneumonia (DRIP) score is able to predict these cases. The use of the DRIP score can prevent antibiotic failure and minimize length of hospitalization, but validation is needed . This research is a retrospective cohort study in CAP patients who were hospitalized during the period January 2019 to June 2020. Data were taken from patient medical records, and failure of empiric antibiotics occurs when one of this criteria are found: patient mortality, ICU transfer and escalation of antibiotics as well as length of stay. Furthermore, the performance of the DRIP score was analyzed by determining the calibration and discrimination, using the Hosmer-Lemeshow test and the Area Under Curve (AUC). There were 480 patients who met the criteria. There were 331 patients (69%) with a DRIP score <4 and 149 patients (31%) with a DRIP score ≥4, with a total of 283 patients (59%) of antibiotic failures which were detailed in 174 patients (61.4%) with a DRIP score <4 and 109 patients (38.5%) DRIP score ≥4. DRIP calibration using the Hosmer-Lemeshow test obtained p-value=0.667 (p>0.05), AUC observations on the ROC curve obtained 0.651 (95% CI; 0.601-0.700). The DRIP score showed good performance in predicting failure of empiric antibiotics in infected CAP patients. PRO. The DRIP score is not related to the length of stay in the hospital."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Rossa Atika
"Latar belakang: Pada tahun 2018, Indonesia memiliki 3,55% kasus pneumonia pada balita. Proporsi status nutrisi pada balita juga beragam meliputi sangat kurus (3,5%), kurus (6,7%), dan gemuk (8,0%). Belum adanya suatu instrumen prediktor luaran klinis pada pneumonia anak menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Hubungan status nutrisi dengan luaran klinis juga perlu diketahui lebih jauh. Hal ini bertujuan untuk membantu klinisi agar tata laksana dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien anak dibawah dua tahun dengan pneumonia komunitas di RS Pasar Rebo, Jakarta. Desain penelitian adalah studi potong lintang
dengan sumber data primer yang diambil sejak Maret 2020 hingga September 2020. Skor RISC diperoleh dengan metode kuesioner. Status nutrisi didapatkan berdasarkan hasil
antropometri dan dikategorikan berdasarkan kurva BB/TB WHO. Hasil luaran yang diteliti adalah mortalitas, kebutuhan ICU, dan lama rawat.
Hasil: Sampel terdiri dari 25 pasien. Sebagian besar pasien memiliki Skor RISC 1 dan status nutrisi baik. Empat dari dua puluh lima pasien meninggal. Sebagian besar pasien dirawat <7 hari dan membutuhkan ICU. Hasil uji hipotesis menunjukan tidak adanya hubungan Skor RISC dan status nutrisi terhadap mortalitas, kebutuhan ICU, dan lama rawat. Uji Skor RISC untuk mortalitas menghasilkan cutoff Skor RISC 3 (AUC = 0,702).
Kesimpulan: Skor RISC dan status nutrisi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan luaran klinis pasien. Skor RISC untuk mortalitas memiliki nilai diagnostik yang
rendah pada pasien anak dibawah dua tahun dengan pneumonia komunitas di RS Pasar Rebo.

Background: In 2018, Indonesia has 3.55% pneumonia cases in children under 5 years old. There was also variance in nutritional status including severely wasted (3.5%), wasted (6.7%), and overweight (8.0%). This research was conducted because instrument for predicting outcomes in children with pneumonia is not yet available. It is also necessary to know the association between nutritional status and outcomes in children with pneumonia. Predicting outcomes of pneumonia in children will be helpful for clinicians to choose the effective treatment.
Methods: Patients were children under 2 years old with community acquired pneumonia in Pasar Rebo Hospital, Jakarta. This is a cross-sectional study with primary data that obtained from March 2020 until September 2020. RISC score were taken with questionnaire methods. Nutritional status are anthopometry results that is categorized by WHZ chart from WHO. Outcomes include mortality, ICU admission, and length of stay.
Results: There were 25 patients. Most patients had RISC score of 1 and normal nutritional status. Four out of twenty five patients died. Majority of the patients stayed in the hospital for <7 days and needed ICU admission. From our study, we found no association between RISC score and nutritional status with the outcomes. Three in RISC Score is the cutoff
for mortality (AUC = 0,702).
Conclusion: There is no significant association between RISC score and nutritional status with clinical outcomes. RISC score for mortality has low diagnostic value in children under 2 years old with community acquired pneumonia in Pasar Rebo Hospital.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nyoman Indirawati Kusuma
"Latar belakang: Pneumonia komunitas adalah suatu infeksi parenkim paru yang didapat dari luar rumah sakit dan berhubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mortalitas pada pneumonia komunitas antara lain karakteristik klinis, temuan radiologi, dan biomarker serum. Identifikasi pasien pneumonia komunitas sedang-berat dengan risiko mortalitas dengan menggunakan kombinasi variabel yang digunakan diharapkan menjadi acuan dalam intervensi yang cepat dan tepat sehingga berpengaruh pada luaran klinis pasien pneumonia komunitas.
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mendapat sistem skoring dengan menggunakan karakteristik klinis (jenis kelamin, usia, indeks massa tubuh, riwayat merokok, lama tunggu sebelum pemberian antibiotik), temuan radiologi (skor Brixia), dan biomarker serum (prokalsitonin, C-Reactive Protein, leukosit, asam laktat, d-dimer, albumin) terhadap risiko mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat.
Metode: Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan subjek pneumonia komunitas sedang-berat yang dirawat di RSPUN Dr. Ciptomangunkusumo. Data diambil dari rekam medis pasien pneumonia komunitas sedang-berat selama bulan Januari 2022 – Desember 2023. Variabel-variabel predikor tingkat mortalitas pasien pneumonia komunitas sedang-berat didapatkan dari hasil analisis multivariat dengan regresi Cox.
Hasil: Total subjek penelitian ini yaitu 277 subjek dengan subjek yang meninggal sebanyak 124 (44,77%) dan subjek yang hidup sebanyak 153 (55,23%). Variabel prediktor yang secara konsisten mempengaruhi risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat adalah IMT rendah dengan HR 1,789 (IK 95% 1,172 – 2,731), prokalsitonin dengan HR 1,913 (IK 95% 1,301 – 2,813), dan asam laktat dengan HR 1,692 (IK 95% 1,173 – 2,442). Performa determinan dengan analisis kurva ROC menunjukkan kemampuan prediksi moderat (AUC = 0,641). Performa kalibrasi dengan uji Hosmer-Lameshow menunjukkan validasi baik (p = 0,082).
Simpulan: Terdapat hubungan antara IMT, prokalsitonin, dan asam laktat dengan risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitas sedang-berat serta terdapat model skoring risiko mortalitas pada pasien pneumonia komunitaa sedang-berat.

Background: Community Acquired Pneumonia (CAP) is a lung parenchyma infection acquired outside of the hospital and is significantly associated with morbidity and mortality rates. Several factors that can influence mortality in CAP include clinical characteristics, radiological findings, and serum biomarkers. Identifying patients with moderate-severe CAP at high risk of mortality through a combination of these variables is expected to serve as a basis for prompt and appropriate intervention, ultimately improving clinical outcomes for CAP patients.
Objective: This study aims to develop a scoring system using clinical characteristics (gender, age, body mask index, smoking status, time to first antibiotic administration), radiological findings (Brixia score), and serum biomarkers (procalcitonin, C-Reactive protein, leukocyte, lactate acid, d-dimer, albumin) to assess the mortality risk in patients with moderate-severe CAP.
Method: This study was a retrospective cohort study using data from patients with moderate-severe CAP at Cipto Mangunkusumo Hospital from the period January 2022 to December 2023. Predictor variables for mortality risk were obtained through multivariate analysis using cox regression.
Results: The study included 277 subjects with 124 (44.77%) deaths and 153 (55.23%) survivors. Predictor variables consistently influencing mortality risk in moderate-severe CAP patients were low BMI (HR 1.789, 95% CI 1.172–2.731), procalcitonin (HR 1.913, 95% CI 1.301–2.813), and lactate levels (HR 1.692, 95% CI 1.173–2.442). The prediction model’s performance based on the ROC curve analysis showed moderate predictive ability (AUC = 0.641) with good validation and calibration performance which has been assessed by the Hosmer-Lemeshow test (p = 0.082).
Conclusion: There is an association between body mass index, procalcitonin, and lactate acid level with the mortality risk in moderate-severe CAP patients. A mortality risk scoring model for moderate-to-severe CAP patients has been established.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Adi Firmansyah, examiner
"[Latar Belakang: Pneumonia komunitas masih merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak untuk penyakit infeksi, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Penelitian terdahulu mengenai prediktor mortalitas di luar negeri sebagian besar dilakukan pada usia lanjut dan hanya ditemukan satu penelitian mengenai faktor-faktor prediktor mortalitas di Indonesia namun juga terbatas pada usia lanjut.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap dewasa RSCM yang didiagnosis pneumonia komunitas selama tahun 2010– 2014. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dilakukan pada sepuluh variabel prognostik, yakitu kelompok usia, penurunan kesadaran, komorbiditas (skor Charlson Comorbidity Index – CCI >5), sepsis, gagal napas, pneumonia berat, kadar hemoglobin <9 g/dL, hitung leukosit <4.000/ul atau >20.000/ul, kadar albumin <3 g/dL, dan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL. Data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Subjek penelitian terdiri dari 434 pasien. Mortalitas selama perawatan sebesar 23,9%. Sebanyak 197 (45,4%) pasien adalah laki-laki dan 237 (54,6%)pasien adalah perempuan. Median usia pasien 58 tahun (rentang 18 sampai 89)tahun dan median lama perawatan adalah 8 (rentang 1 sampai 63) hari. Patogen tersering dari hasil kultur sputum adalah Klebsiella pneumoniae (28%). Prediktor mortalitas independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah pneumonia berat (OR=29,42; IK 95% 20,81 sampai 41,58), sepsis (OR=3,65; IK 95% 2,57 sampai 5,19), gagal napas (OR=3,2; IK 95% 1,9 sampai 5,37), skor CCI >5 (OR=2,25; IK 95% 1,6 sampai 3,15) dan kadar albumin <3 g/dL (OR=1,42; IK 95% 1,04 sampai 1,95).
Simpulan: Pneumonia berat, gagal napas, sepsis, skor CCI >5, dan kadar albumin <3 g/dL merupakan pediktor independen mortalitas pasien pneumonia komunitas dewasa saat rawat inap., Background: Community-acquired Pneumonia (CAP) is one of the causes of death from infectious disease in the developed or developing countries. The prediction of outcome is important in decision-making process. Previous studies of predictors of mortality in overseas mostly in elderly and only found one previous study in Indonesia, but also limited in the elderly.
Objective: To determine the predictors of mortality in hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized patients with CAP in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2010–2014. Data were collected at initiation of hospitalized period and the main outcome was all-cause mortality during hospitalization. We analyzed age, decreased of consciousness, comorbidity (represented as Charlson Comorbidity Index – CCI), sepsis, respiratory failure, severe pneumonia, hemoglobin level <9 g/dL, leucocyte count <4.000/ul or >20.000/ul, albumin level <9 g/dL, and blood glucose level >200 mg/dL in bivariate analysis using Chi-Square test. Missing data were handled using multiple imputation. Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 434 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 23.9%. There were 197 (45,4%)male and 237 (54,6%) female patients. Median age of population was 58 (range 18 to 89) years old and median length of stay was 8 (range 1 to 63) days. The commonest pathogen was Klebsiella pneumoniae (28%). The independent predictors of mortality in multivariate analysis were severe pneumonia (OR 29.42; 95% CI 20.81 to 41.58), sepsis (OR 3.65; 95% CI 2.57 to 5.19), respiratory failure (OR 3.2; 95% CI 1.9 to 5.37), CCI score >5 (OR 2.25; 95% CI 1.6 to 3.15) and albumin level <3 g/dL (OR 1.42; 95% CI 1.04 to 1.95).
Conclusion: Severe pneumonia, respiratory failure, sepsis, CCI scores >5, and albumin level <3 g/dL were independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized patients with CAP.]"
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Dinda Martini
"Latar Belakang : Skor CURB 65 merupakan salah satu sistem prediksimortalitas akibat pneumonia komunitas yang cukup mudah dan valid namuntingkat prediksinya tidak cukup tinggi. Prealbumin sebagai marka yangsensitif terhadap malnutrisi dapat digunakan sebagai prediktor mortalitaspada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.
Tujuan : Mengetahui kemampuan skor CURB 65 dan prealbumin dalam memprediksi mortalitas pada pasien usia lanjut dengan pneumonia komunitas.
Metoda : Penelitian kohort prospektif pada pasien usia lanjut yang dirawat diRS Dr M Djamil dan RS swasta Padang kurun waktu Mei Desember 2012. Pengambilan data untuk menentukan skor CURB 65 dan prealbumin dilakukan pada 24 jam pertama setelah didiagnosis lalu diikuti hingga 30 hari untuk menentukan status mortalitasnya. Kemampuan prediksi mortalitas skor CURB 65 dan prealbumin discriminatory power dinilai dengan menentukan area under receiver operating characteristic curve AUC dan interval kepercayaan 95.
Hasil : Didapatkan 158 subyek usia lanjut dengan mortalitas 30 hari sebesar 50 Skor CURB 65 mempunyai diskriminasi cukup baik dengan AUC skorCURB 65 0 741 IK 95 0 664 0 818. Sedangkan prealbumin mempunyai diskriminasi cukup baik untuk kejadian non mortalitas dengan AUC prealbumin 0 674 IK 95 0 589 0 759. Penambahan prealbumin terhadap skor CURB 65 meningkatkan kemampuan diskriminasi skor CURB 65 sebesar 4 5 AUC 0 786 IK 95 0 716 0 856.
Kesimpulan : Penambahan prealbumin terhadap skor CURB 65 meningkatkan kemampuan diskriminasi mortalitas usia lanjut denganpneumonia komunitas dari 74 1 menjadi 78 6. Nilai prediksi mortalitaspada prealbumin.

Background : CURB-65score is one of mortality prediction systems for community pneumonia that is quite easy and valid , but the predictionlevel is not high enough. Prealbumin , as a sensitive marker of malnutrition can be used as a predictor of mortality in elderly patients with community pneumonia.
Aim : Determine the ability of CURB - 65 score and prealbumin in predicting mortality in elderly patients with community pneumonia.
Method : Prospective cohort study was held in elderly patients that were admitted to Dr. M. Djamil hospital and private hospitals Padang in period of May 2012 - December 2012. Data collection was to determine the CURB - 65 score and prealbumin done in the first 24 hours after diagnosed , and then followed up to 30 days to determine mortality status. Ability of mortality prediction CURB - 65 scores and prealbumin ( discriminatory power ) was assessed by determining the area under the receiver operating characteristic curve ( AUC ) and 95% confidence intervals.
Result : Obtained 158 elderly subjects with 30-day mortality by 50 %. CURB - 65 score had a pretty good discrimination with AUC CURB - 65 score of 0.741 ( 95 % CI 0.664 to 0.818 ). Whereas prealbumin had a pretty good discrimination for non- mortality incident with prealbumin AUC 0.674 ( 95 % CI 0.589-0.759 ). The addition of prealbumin to CURB-65score increased discrimination ability of CURB - 65 score about 4.5 % ( AUC 0.786 [ 95 % CI 0.716-0.856 ] ).
Conclusion : The addition of prealbumin to CURB - 65 score increases discrimination capability of elderly mortality with community pneumonia of 74.1 % to 78.6 %. Prediction of mortality in prealbumin values < 17.75 mg / dl by 67%.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Ulfah Madina
"Latar belakang: Peningkatan usia lanjut menimbulkan dampak kesehatan, diantaranya adalah sarkopenia dan kerapuhan. Kekuatan genggam tangan merupakan komponen
sarkopenia, fenotip sindrom kerapuhan, dan bersifat dinamis. Berbagai studi potong
lintang menilai hubungan kekuataan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status
nutrisi, status fungsional, status mental, dan komorbiditas namun temuan masih
beragam. Selain itu, belum ada studi longitudinal untuk mengetahui hubungan
perubahan kekuatan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status
fungsional, status mental dan komorbiditas di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi, status
fungsional, status mental dan komorbiditas dengan perubahan kekuatan genggam
tangan pada pasien usia lanjut.
Metode: Penelitian kohort prospektif menggunakan data sekunder pasien usia lanjut
yang kontrol rutin di Poliklinik Geriatri RSCM Jakarta dari register studi longitudinal
INA-FRAGILE yang telah diobservasi selama 1 tahun (2013-2014). Uji analisis
multivariat regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara usia, jenis
kelamin, status nutrisi (skor MNA), status fungsional (skor ADL), status mental (skor
GDS-SF), indeks komorbiditas (skor CIRS) dengan perubahan kekuatan genggam
tangan.
Hasil: Dalam 1 tahun pengamatan dari 162 subjek, didapatkan rerata usia 72,9 (SB 5,9)
tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan (57,41%), memiliki nutrisi baik (83,9%),
mandiri (median ADL 9–20), tidak depresi (median GDS-SF 0–11), rerata indeks
komorbiditas 11,8 (SB 3,7), dan 53,1% mengalami penurunan kekuatan genggam
tangan. Status nutrisi (OR=2,7; p=0,033) dan indeks komorbiditas (OR 0,3; p<0,002)
berhubungan dengan kekuatan genggam tangan.
Simpulan: Status nutrisi dan komorbiditas memengaruhi perubahan kekuatan genggam
tangan pada pasien usia lanjut dalam 1 tahun di rawat jalan.

Background: Increasing elderly population throughout the world has been related to
increased prevalence of sarcopenia and frailty. Handgrip strength is a component of
sarcopenia, one of frailty syndrome phenotypes, and a dynamic process. Previous
cross-sectional studies have assessed association of age, sex, nutritional status,
functional status, mental status and comorbodity but the results were varied. That being
said, there was no longitudinal study has been done to determine the correlation of
handgrip strength changes with age, sex, nutritional status, functional status, mental
status, and comorbidity in Indonesia.
Objective: To examine correlation between age, sex, nutritional status, functional
status, depressive symptopms, comorbidity, and handgrip strength changes in elderly
patients.
Methods: A prospective cohort study using secondary data of elderly patients whom
routinely visiting Geriatric Out-Patients Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta from INA-FRAGILE register that have been observed for 1 year (2013-2014).
The multivariate logistic regression analysis was used to assess correlation between
sex, age, nutrional status (MNA score), functional status (ADL score), depressive
symptoms (GDS-SF score), comorbidities (CIRS score) and handgrip strength changes.
Results: From 162 subjects which were included in the study, the mean age was 72.9
(SB 5.9) years, predominantly female (57.41%), with good nutrition (83.9%),
independent (median 9- 20), not depressed (median 0-11), has average comorbidity
index 11.8 (SB 3.7), and 53.1% experienced decreased handgrip strength. Nutritional
status (OR = 2.7, p = 0.033) and comorbidity index (OR 0.3, p <0.002) correlated with
handgrip strength changes.
Conclusion: Nutritional status and comorbidity correlates with handgrip strength
changes in out-patients elderly within 1 year.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Ulfah Madina
"Latar belakang: Peningkatan usia lanjut menimbulkan dampak kesehatan, diantaranya adalah sarkopenia dan kerapuhan. Kekuatan genggam tangan merupakan komponen sarkopenia, fenotip sindrom kerapuhan, dan bersifat dinamis. Berbagai studi potong lintang menilai hubungan kekuataan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental, dan komorbiditas namun temuan masih beragam. Selain itu, belum ada studi longitudinal untuk mengetahui hubungan perubahan kekuatan genggam tangan dengan usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi, status fungsional, status mental dan komorbiditas dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut.
Metode: Penelitian kohort prospektif menggunakan data sekunder pasien usia lanjut yang kontrol rutin di Poliklinik Geriatri RSCM Jakarta dari register studi longitudinal INA-FRAGILE yang telah diobservasi selama 1 tahun (2013-2014). Uji analisis multivariat regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara usia, jenis kelamin, status nutrisi (skor MNA), status fungsional (skor ADL), status mental (skor GDS-SF), indeks komorbiditas (skor CIRS) dengan perubahan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Dalam 1 tahun pengamatan dari 162 subjek, didapatkan rerata usia 72,9 (SB 5,9) tahun, jenis kelamin terbanyak perempuan (57,41%), memiliki nutrisi baik (83,9%), mandiri (median ADL 9–20), tidak depresi (median GDS-SF 0–11), rerata indeks komorbiditas 11,8 (SB 3,7), dan 53,1% mengalami penurunan kekuatan genggam tangan. Status nutrisi (OR=2,7; p=0,033) dan indeks komorbiditas (OR 0,3; p<0,002) berhubungan dengan kekuatan genggam tangan.
Simpulan: Status nutrisi dan komorbiditas memengaruhi perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien usia lanjut dalam 1 tahun di rawat jalan.

Background: Increasing elderly population throughout the world has been related to increased prevalence of sarcopenia and frailty. Handgrip strength is a component of sarcopenia, one of frailty syndrome phenotypes, and a dynamic process. Previous cross-sectional studies have assessed association of age, sex, nutritional status, functional status, mental status and comorbodity but the results were varied. That being said, there was no longitudinal study has been done to determine the correlation of handgrip strength changes with age, sex, nutritional status, functional status, mental status, and comorbidity in Indonesia.
Objective: To examine correlation between age, sex, nutritional status, functional status, depressive symptopms, comorbidity, and handgrip strength changes in elderly patients.
Methods: A prospective cohort study using secondary data of elderly patients whom routinely visiting Geriatric Out-Patients Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta from INA-FRAGILE register that have been observed for 1 year (2013-2014). The multivariate logistic regression analysis was used to assess correlation between sex, age, nutrional status (MNA score), functional status (ADL score), depressive symptoms (GDS-SF score), comorbidities (CIRS score) and handgrip strength changes.
Results: From 162 subjects which were included in the study, the mean age was 72.9 (SB 5.9) years, predominantly female (57.41%), with good nutrition (83.9%), independent (median 9- 20), not depressed (median 0-11), has average comorbidity index 11.8 (SB 3.7), and 53.1% experienced decreased handgrip strength. Nutritional status (OR = 2.7, p = 0.033) and comorbidity index (OR 0.3, p <0.002) correlated with handgrip strength changes.
Conclusion: Nutritional status and comorbidity correlates with handgrip strength changes in out-patients elderly within 1 year.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>