Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147638 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwan Sulistyo Hadi
"Displasia bronkopulmonal merupakan salah satu komplikasi dari kelahiran prematur. Faktor risiko DBP pada bayi sangat prematur yaitu kecil masa kehamilan, korioamnionitis, pajanan oksigen FiO2 > 30%, duktus arteriosus persisten hemodinamik signifikan, sepsis neonatorum awitan lambat, volutrauma, surfaktan tidak diberikan, kafein tidak diberikan, dan tidak mendapatkan ASI. Data prevalens DBP yang dipublikasi pada tahun 2015 yaitu 42,8% dan kesintasan bayi sangat prematur di RSCM pada tahun 2020 yaitu 54,17%. Oleh karena itu, studi prevalens dan mempelajari faktor risiko DBP pada bayi sangat prematur yang lahir di RSCM perlu dilakukan. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan subyek bayi usia gestasi £32 minggu yang lahir di RSCM. Sebanyak 211 subyek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian yaitu prevalens DBP 34,6% (DBP ringan 19%, DBP sedang 8,5%, dan DBP berat 7,1%). Analisis multivariat menunjukkan faktor risiko yang berhubungan dengan DBP yaitu SNAL (aOR 4,455 IK 95% 1,932-10,270; p= <0,001), pajanan volume tidal >5 mL/kg (aOR 3,059 IK 95% 1,491-6,273; p 0,002), asupan ASI predominan (aOR 0,348 IK 95% 0,150-0,808; p 0,014), dan asupan susu formula predominan (aOR 0,280 IK 95% 0,123-0,634; p 0,002). Kesimpulan: Bayi sangat prematur yang mengalami SNAL, pajanan volum tidal >5 mL/kg berisiko mengalami DBP. Namun, asupan asi predominan dan susu formula predominan menurunkan risiko DBP.

Bronchopulmonary dysplasia is one of the complications of preterm birth. The risk factors for bronchopulmonary dysplasia in very premature infants were small gestational age, chorioamnionitis, oxygen exposure to FiO2 > 30%, hemodynamically significant persistent ductus arteriosus, late-onset neonatal sepsis, volutrauma, no surfactant, no caffeine, and no breastfeeding. Published data of prevalence of DBP in 2015 is 42.8% and the survival data for very premature babies at the CMH in 2020 is 54.17%. Therefore, it is necessary to study the prevalence and study of risk factors for bronchopulmonary dysplasia in very preterm infants born in CMH. This study is a cross-sectional study with 32 weeks gestational age infants born at CMH. A total of 211 subjects met the inclusion and exclusion criteria. The results of the study were the prevalence of DBP 34.6% (mild DBP 19%, moderate DBP 8.5%, and severe DBP 7.1%). Multivariate analysis showed the risk factors associated with DBP were late onset neonatal sepsis (aOR 4,455 CI 95% 1,932-10,270; p= <0,001), tidal volume exposure >5 mL/kg (aOR 3,059 CI 95% 1,491-6,273; p 0,002), human milk predominant (aOR 0,348 CI 95% 0,150-0,808; p 0,014), and formula milk predominant (aOR 0,280 CI 95% 0,123-0,634; p 0,002). Conclusion: In a very premature infants who have SNAL, tidal volume exposure >5 mL/kg are at risk for DBP. However, the predominant human milk intake and predominant formula milk intake decreased the risk of DBP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Besse Sarmila
"Latar belakang. Displasia bronkopulmonal (DBP) adalah penyakit multifaktorial kronis akibat inflamasi baik prenatal maupun postnatal. Hal ini akan menyebakan komplikasi jangka panjang dalam hal pernapasan, kardiovaskuler, dan neurodevelopmental. Azitromisin sebagai agen antiinflamasi diharapkan dapat mencegah kejadian DBP.
Metode. Uji klinis acak terkontrol tidak tersamar dilakukan selama Juni 2021-April 2022 di unit Neonatologi RSCM Jakarta pada 114 subjek dengan usia gestasi 25 minggu-31 minggu 6 hari yang mengalami distress napas. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan randomisasi dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok uji/perlakuan dan kelompok kontrol, masing masing sebanyak 57 subjek. Kelompok uji akan mendapatkan azitromisin dalam usia <24 jam selama 14 hari dengan dosis 10 mg/kgbb/intravena selama 7 hari kemudian dilanjutkan 5 mg/kgbb/intravena selama 7 hari. Pasian akan dipantau sampai dengan usia gestasi 36 minggu untuk melihat outcome primer berupa DBP, dan outcome sekunder berupa IVH, PVL, EKN, lama penggunaan O2, durasi penggunaan ventilator mekanik, lama pencapaian full enteral feeding, serta mortalitas pada kedua kelompok. Diagnosis DBP ditegakkan berdasarkan NICHD 2019.
Hasil. Angka kejadian DBP secara umum adalah 34.8%. Angka kejadian DBP pada bayi extremely preterm adalah 58.3%, sedangkan pada bayi very preterm adalah 31%. Kejadian DBP lebih banyak pada kelompok kontrol (63% vs 38%) dengan RR 0.611(0.417-0.896). Durasi penggunaan ventilator mekanik lebih pendek pada kelompok yang mendapatkan azitromisin (5.22 vs 12.75,p 0.025). Lamanya pencapaian full enteral feeding lebih pendek pada kelompok uji/perlakuan (13.38 vs 17.14 hari, p 0.04). Angka kejadian EKN lebih rendah pada kelompok uji/perlakuan (19% vs 40%, nilai p 0.014). Mortalitas lebih rendah pada kelompok uji/perlakuan (25% vs 46% , nilai p 0.019) RR 1.660 (95% CI 1.043-2.642).
Kesimpulan. Azitromisin dapat menurunkan angka kejadian DBP, mempercepat pencapaian full enteral feeding, menurunkan mortalitas pada bayi prematur.

Background. Bronchopulmonary dysplasia (BPD) is a chronic multifactorial disease caused by inflammation both prenatal and postnatal. This will lead a long-term complications of respiratory, cardiovascular, and neurodevelopmental. Azithromycin as an antiinflammatory agent is expected to prevent BPD.
Methods. A randomized controlled clinical trial, unblinded was conducted during June 2021-April 2022 at the Neonatology unit of RSCM Jakarta on 114 subjects with a gestational age of 25 weeks-31 weeks 6 days who experienced respiratory distress. Patients who met the inclusion and exclusion criteria were randomized and divided into two groups, the intervention group and the control group, each group with 57 subjects. The intervention group will receive azithromycin at the age of <24 hours for 14 days at a dose of 10 mg/kg/intravenous for 7 days then followed by 5 mg/kg/intravenous for 7 days. Patients will be monitored up to 36 weeks' gestation to see the primary outcome in the form of BPD, and secondary outcomes in the form of IVH, PVL, EKN, duration of O2 used, duration of mechanical ventilator used, duration of achieving full enteral feeding, and mortality in both groups. BPD diagnosed based on NICHD 2019.
Results. The incidence of BPD in general is 34.8%. The incidence of BPD in extremely preterm infants is 58.3%, while in very preterm infants it is 31%. The incidence of BPD was more in the control group (63% vs 38%) with an RR 0.611(0.417-0.896). The duration of ventilator mechanic used was shorter in the intervention group (5.22 vs 12.75, p 0.025). The duration of achieving full enteral feeding was shorter in the intervention group (13.38 vs 17.14 days, p 0.04). The incidence of NEC was lower in the intervention group (19% vs 40%, p-value 0.014). Mortality was lower in the intervention group (25% vs 46%, p 0.019) RR 1.660 (95% CI 1.043-2.642).
Conclusion. Azithromycin can reduce the incidence of BPD, accelerate the achievement of full enteral feeding, reduce mortality in premature infants
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaban, Risma Kerina
"ABSTRAK
Resusitasi dengan konsentrasi oksigen yang tinggi (100%) pada bayi cukup bulan
meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas. Hiperoksia dapat meningkatkan stres
oksidatif pada bayi prematur oleh karena kadar anti oksidannya yang rendah. Peningkatan
stres oksidatif akan mengakibatkan inflamasi dan berhubungan dengan terjadinya displasia
bronkopulmonal dan gangguan integritas usus. Pemberian oksigen yang tinggi juga akan
memengaruhi mikrobiota aerob dan anaerob dalam usus oleh karena oksigen akan berdifusi
dari mukosa usus ke dalam lumen usus. Belum diketahui berapa kadar FiO2 awal yang tepat
pada resusitasi bayi prematur.
Penelitian ini bertujuan menelaah dampak perbedaan pajanan konsentrasi oksigen awal pada
resusitasi bayi prematur terhadap displasia bronkopulmonal, integritas mukosa, dan
mikrobiota usus.
Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak terkontrol tidak tersamar di Ilmu
Kesehatan Anak, FKUI-RSCM dan RS Bunda Menteng pada bayi prematur (usia gestasi 25?
32 minggu) yang mengalami distres pernapasan yang dirandomisasi untuk diberikan
resusitasi dengan FiO2 awal 30% atau 50%. Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target
saturasi oksigen (SpO2) 88?92% pada menit ke-10 dengan menggunakan pulse oxymetry.
Luaran primer berupa angka kejadian DBP dan luaran sekunder berupa penanda stres
oksidatif (rasio GSH/GSSG dan MDA darah tali pusat dan hari ke-3), penanda gangguan
integritas usus (alpha-1 antitrypsin), dan mikrobiota usus (polymerase chain reaction) pada
feses hari 1?3 dan hari ke-7.
Selama periode Januari?September 2015, terdapat 84 bayi yang direkrut (masing-masing 42
bayi pada kelompok 30% dan 50%). Tidak ada perbedaan bermakna angka kejadian DBP
pada kelompok FiO2 30% vs. 50%, yaitu 42,8% vs. 40,5% (intention to treat analysis) dan
25% vs. 19,4% (per protocol analysis). Juga tidak ada perbedaan bermakna penanda stres
oksidatif (rasio GSH/GSSG dan kadar MDA), kadar AAT, dan mikrobiota usus pada kedua
kelompok. Mikrobiota anaerob fakultatif lebih tinggi dibandingkan dengan mikrobiota
anaerob pada hari ke-7 pada kedua kelompok.
Pada bayi prematur dengan usia gestasi 25?32 minggu yang diresusitasi dengan FiO2 awal
30% vs. 50% tidak dijumpai perbedaan yang bermakna angka kejadian DBP, penanda stres
oksidatif, gangguan integritas mukosa usus (AAT), dan mikrobiota usus. Oleh karena itu,
pemberian FiO2 awal 30% hingga 50% selama resusitasi sama amannya untuk bayi prematur

ABSTRACT
Resuscitation with high oxygen levels (100%) in term infants increases mortality and
morbidity rates. Hyperoxia can increase oxidative stress in premature infants due to its low
antioxidant level. The increased oxidative stress will cause inflammation and it is associated
with the development of bronchopulmonary dysplasia (BPD) as well as intestinal
dysintegrity. The administration of high oxygen levels will also affect aerobic and anaerobic
intestinal microbiota as the oxygen will diffuse from intestinal mucosa into the lumen. The
appropriate initial FiO2 level during the resuscitation of premature infants has not been
known.
This study aims to analyze an impact on the difference of exposure to initial oxygen
concentration in resuscitation of premature infants against bronchopulmonary dysplasia,
mucosal integrity, and intestinal mucosa.
The study was an unblinded randomized controlled clinical trial, in Child Health Department
University of Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, and Menteng Bunda Hospital in
Jakarta, which was conducted in premature infants (25?32 weeks of gestational age) who
experienced respiratory distress and were randomized for receiving resuscitation using 30%
or 50% initial FiO2. The FiO2 levels were adjusted to achieve target oxygen saturation (SpO2)
of 88?92% on the 10th minute using pulse oximetry. The primary outcome was incidence of
BPD; while the secondary outcome was markers of oxidative stress (ratio of GSH/GSSG and
MDA in umbilical cord blood and on the 3rd day), intestinal dysintegrity (AAT) and
intestinal microbiota (using PCR) found in fecal examination on day 1?3 and on the 7th day.
During the period between January and September 2015, there were 84 infants recruited
(there were 42 infants in each group of the 30% and 50% FiO2). There was no significant
difference on BPD incidence between 30% and 50% FiO2 groups, i.e. 42.8% vs. 40.5%
(intention to treat analysis) and 25% vs. 19.4% (per protocol analysis). There was also no
significant difference on oxidative stress markers (ratio of GSH/GSSG and MDA levels),
AAT levels, and changes of facultative anaerobic and anaerobic microbiota in both groups.
However, there was a higher level of facultative anaerobic microbiota compared to anaerobic
microbiota on the 7th day in both groups.
In premature infants with 25?32 weeks of gestational age who were resuscitated using 30%
vs. 50% initial FiO2 level, significant differences were found in terms of BPD incidence,
oxidative stress markers (ratio of GSH/GSSG and MDA), AAT (intestinal mucosa integrity)
and intestinal microbiota. Therefore, it is concluded that the administration of 30% to 50%
initial FiO2 are both equally safe for premature infants during resuscitation."
2016
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathalia Ningrum
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kemajuan dalam penanganan bayi prematur menyebabkan
angka kesintasan meningkat. Akibatnya, angka kesakitan bayi prematur juga
meningkat, salah satunya adalah osteopenia of prematurity (OOP). Pemeriksaan
kadar kalsium, fosfat, dan fosfatase alkali serum saat usia kronologis 4 minggu
digunakan sebagai indikator awal sebelum osteopenia tampak secara klinis.
Diagnosis sedini mungkin dan pengendalian faktor risiko perlu dilakukan
sehingga komplikasi dapat dicegah.
Tujuan. Mengetahui prevalens dan faktor risiko terjadinya OOP.
Desain Penelitian. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilaksanakan
pada bayi prematur dengan usia gestasi ≤32 minggu di Divisi Perinatalogi RS Dr.
Cipto Mangunkusumo. Subyek diperiksa kadar kalsium serum, fosfat inorganik
serum, dan fosfatase alkali serum. Pada subyek dilakukan pencatatan faktor risiko
OOP untuk menilai hubungan antar variabel dan dilakukan analisis bivariat
dengan uji chi square.
Hasil Penelitian. Terdapat 80 subyek yang memenuhi kriteria penelitian.
Delapan dari 80 subyek (10%) ditemukan menderita OOP. Faktor risiko yang
dianalisis dalam penelitian ini ditemukan tidak memiliki hubungan bermakna
dengan kejadian OOP, yakni lama penggunaan nutrisi parenteral total (p=0,457),
lama penggunaan metilsantin (p=1,000), berat lahir (p=0,459), preeklampsia
berat pada ibu (p=0,344), korioamnionitis pada ibu (p=0,261), dan pemberian
nutrisi enteral (p=0,797).
Simpulan. Prevalens OOP di RS Dr. Cipto Mangunkusumo adalah 10%. Faktor
lama penggunaan nutrisi parenteral total, penggunaan metilsantin, berat lahir,
preeklampsia berat pada ibu, korioamnionitis, dan pemberian nutrisi enteral tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian OOP.
ABSTRACT
Background. Advances in management of premature infants had increased the
survival rate of these infants. However there is also increase of morbidity such as
osteopenia of prematurity (OOP). Laboratory examination of serum calcium,
phosphate, and alkaline phosphatase at the chronological age of 4 weeks is used
as early indicator before osteopenia become clinically appearant. Early diagnosis
and risk control are needed to prevent complication.
Objective. To evaluate the prevalence and risk factors of OOP.
Methods. A cross sectional study was done in premature infants <32 weeks of
gestational age in Perinatalogy Division of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Laboratory examination of serum calcium, phosphate, and alkaline
phosphatasewere conducted toward these subjects. Risk factors of OOP were also
evaluated. Bivariat analysis was analysed by chi square test.
Results. There are 80 subjects who meet the study criteria. Eight of 80 subjects
(10%) was diagnosed as OOP. No risk factors have significant relationship with
OOP incidence, which include duration of total parenteral nutrition (p=0,457),
duration of methylxanthine usage (p=1,000), birth weight (p=0,459), severe
preecalampsia in the mother (p=0,344), chorioamnionitis in the mother
(p=0,261), and enteral nutrition (p=0,797).
Conclusion. Prevalence of OOP in Cipto Mangunkusumo Hospital is 10%. There
are no significant relationship between OOP incidence and duration of total
parenteral nutrition, methylxanthine usage, birth weight, severe preeclampsia in the mother, chorioamnionitis, and enteral nutrition.
;Background. Advances in management of premature infants had increased the
survival rate of these infants. However there is also increase of morbidity such as
osteopenia of prematurity (OOP). Laboratory examination of serum calcium,
phosphate, and alkaline phosphatase at the chronological age of 4 weeks is used
as early indicator before osteopenia become clinically appearant. Early diagnosis
and risk control are needed to prevent complication.
Objective. To evaluate the prevalence and risk factors of OOP.
Methods. A cross sectional study was done in premature infants <32 weeks of
gestational age in Perinatalogy Division of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Laboratory examination of serum calcium, phosphate, and alkaline
phosphatasewere conducted toward these subjects. Risk factors of OOP were also
evaluated. Bivariat analysis was analysed by chi square test.
Results. There are 80 subjects who meet the study criteria. Eight of 80 subjects
(10%) was diagnosed as OOP. No risk factors have significant relationship with
OOP incidence, which include duration of total parenteral nutrition (p=0,457),
duration of methylxanthine usage (p=1,000), birth weight (p=0,459), severe
preecalampsia in the mother (p=0,344), chorioamnionitis in the mother
(p=0,261), and enteral nutrition (p=0,797).
Conclusion. Prevalence of OOP in Cipto Mangunkusumo Hospital is 10%. There
are no significant relationship between OOP incidence and duration of total
parenteral nutrition, methylxanthine usage, birth weight, severe preeclampsia in the mother, chorioamnionitis, and enteral nutrition.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R. Adhi Teguh Perma Iskandar
"Manuver rekrutmen paru (MRP) adalah strategi mencegah kerusakan paru saat bayi menggunakan ventilator mekanis (VM). Dengan meningkatkan tekanan akhir ekspirasi (TAE) secara bertahap, MRP membuka alveolus, menurunkan kebutuhan oksigen hirup (FiO2) sekaligus meningkatkan ambilan oksigen paru. Hingga kini, belum cukup bukti ilmiah terkait pengaruh MRP menggunakan VM terhadap luaran bayi prematur.
Penelitian ini adalah uji klinis tidak tersamar, dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo dan RSIA Bunda Menteng, bertujuan mencari hubungan MRP dengan kejadian DBP dan atau kematian, curah jantung, cedera alveolus-endotel, penurunan diameter duktus arteriosus (DA), dan mikrosirkulasi kulit. Penelitian berlangsung Maret 2021–April 2022. Subjek penelitian adalah bayi prematur 24–32 minggu yang menggunakan ventilator mekanis saat usia < 48 jam. Protein surfaktan-D (SP-D) diukur menggunakan metode ELISA, mikropartikel endotel (CD-31+/CD-42–) menggunakan flowsitometri, curah jantung dan diameter DA menggunakan ekokardiografi, TcCO2–PaCO2, TcO2/PaO2 menggunakan monitor gas darah transkutan dan gas darah arteri, strong ion difference (SID) menggunakan elektrolit darah arteri. Pada usia koreksi 36 minggu, tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian DBP atau kematian antara kelompok MRP dan tanpa MRP 38 (69,09%) vs. 43 (78,18%), p = 0,216. Pada 72 jam pasca-penggunaan VM, tidak didapati perbedaan kadar SP-D, CD 31+, Diameter DA, curah jantung, TcCO2 gap dan SID antara kelompok MRP dan tanpa MRP . Terdapat perbedaan bermakna TcO2 indeks 1,00 (1,00; 1,02) vs. 1,00 (0,99; 1,00), p = 0,009* antara kelompok MRP dibanding tanpa MRP. Pada bayi penyintas, MRP mempercepat waktu untuk mencapai FiO2 ter-rendah 60,0 (54,00; 75,00) vs. 435,00 (375,00; 495,00) menit, p < 0,0001 dan lama penggunaan alat bantu napas 25,0 (19,00; 37,00) vs. 36,83 (SB 19,11) hari, p = 0,044.
Simpulan, MRP bayi prematur tidak terbukti mengurangi kejadian DBP dan atau kematian pada usia 36 minggu. Tidak ada perbedaan cedera alveolar-endotel, curah jantung kiri-kanan, dan diameter DA pada usia 72 jam. Tindakan MRP meningkatkan mikrosirkulasi. Pada kelompok penyintas, MRP mempersingkat waktu mencapai FiO2 terendah dan penggunaan alat bantu napas.

Lung recruitment maneuver (LRM) is a strategy during mechanical ventilation which aim to open collapsed alveolus in order to increased oxygenation. This maneuver could be done by application of a stepwise increments of positive end expiratory pressure (PEEP) until lowest FiO2 (< 30%) is achieved. There is still lack of evidence regarding relationship between LRM and neonatal outcome. This study aimed to evaluate effectivity of LRM in order to reduce chronic lung disease and it’s influence to neonatal hemodynamic as well. This was unblinded randomized clinical trial which aimed to investigate relationship between LRM and neonatal death, bronchopulmonary dysplasia (BPD), cardiac output, reduction of ductus arteriosus (DA) diameter, skin microcirculations and alveolar-endotel injury. The study was conducted on March 2021 until April 2022 in Cipto Mangunkusumo and Bunda Menteng Hospital. Plasma surfactant protein-D (SP-D) was measured with ELISA, Microparticel endotel (CD-31+) with flowcytometri, left and right cardiac output (LVO and RVO) and DA diameter were measured by echocardiography, TcCO2–PaCO2, tcO2/PaO2 were measured form arterial blood gas and transcutaneous monitor and strong ion difference (SID) from plasma electrolyte. At 36 weeks follow up, there ware no significant difference of incident of DBP and/or death between MRP vs. without MRP groups 38 (69.09%) vs. 43 (78.18%), p = 0.216 (CI 95% 0.141–0.295). There were no difference between MRP and without MRP group at 72 hours, regarding : plasma SP-D, microparticle endotel, cardiac output, DA diameter, tcCO2 gap and SID. At. 72 hours, tcO2 index was better in MRP compared to control group 1.00 (1.00; 1.02) vs. 1.00 (0.99; 1.00), p = 0.009. There were no significant difference regarding other neonatal morbidity between the two group. Among survival subject, LRM reduced time to achieved lowest FiO2 60.00 (54.00; 75.00) vs. 435.00 (375.00; 495.00) hours, p < 0.0001 and length of respiratoy support 25.0 (19.00; 37.00) vs. 36.83 (SD 19.11) days, p=0.044.
Conclusion When applied to 24–32 weeks preterm baby with invasive mechanical ventilation, LRM could not reduced DBP or death at 36 weeks of age. There was no any difference at 72 hours regarding alveolar and endothelial injury, left and right cardiac output and diameter DA. LRM was associated with better microcirculation. Among the survivor, LRM reduced high oxygen concentration exposure time and length of respiratory support.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Harry Adoe
"Latar belakang. Continuous positive airway pressure (CPAP) dan nasal intermittent positive ventilation (NIPPV) mengurangi intubasi dan ventilasi mekanik pada neonatus dengan gawat napas. Masih sedikit penelitian yang membandingkannya pada neonatus cukup bulan maupun kurang bulan.
Tujuan. Mengetahui kejadian intubasi, lama dukungan ventilasi non invasif dan pemakaian oksigen, bronchopulmonary dysplasia (BPD), dan kematian antara CPAP dan NIPPV pada neonatus dengan gawat napas.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap neonatus dengan gawat napas, usia gestasi 28-40 minggu, lahir di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi pada periode Januari 2013 - Juni 2015. Pengambilan subyek penelitian secara konsekutif, memenuhi kriteria inklusi, dan menggunakan bantuan napas dengan CPAP atau NIPPV, masing-masing 50 subjek.
Hasil. Neonatus dengan gawat napas menggunakan CPAP maupun NIPPV disebabkan karena respiratory distress syndrome , transient tachypnea of the newborn, pneumonia neonatal. Rerata usia gestasi dan berat lahir pada kelompok CPAP (34±3,11 minggu, 2018±659 gr) dan NIPPV [34 (28-40) minggu, 2050 (900-3900) gr]. Kejadian intubasi dan kematian berkurang, rerata hari dukungan ventilasi non infasif maupun pemakaian oksigen lebih lama pada NIPPV dibandingkan CPAP.
Simpulan. NIPPV mengurangi kejadian intubasi dan kematian pada neonatus dengan gawat napas dibandingkan CPAP.

Background. Continuous positive airway pressure (CPAP) and nasal intermittent positive ventilation (NIPPV) reduce intubation and mechanical ventilation. Still limited studies compare to CPAP and NIPPV in term and preterm infant with respiratory distress.
Purpose. To determine CPAP and NIPPV to the event of intubation, duration non-invasive ventilation and oxygen support, bronchopulmonary dysplasia, and death in neonate.
Methods. Retrospective cohort study was conducted to newborn with gestational age 28-40 weeks were born at General Hospital of Bekasi City, January 2013 - June 2015. Consecutive subjects and met inclusion criteria for CPAP and NIPPV group, each one 50 subjects.
Results. CPAP and NIPPV were support to neonate with respiratory distress due to respiratory distress syndrome, transient tachypnea of the newborn, and pneumonia. Mean gestational age and birth weight in CPAP group (34 ± 3.11 weeks, 2018 ± 659 gr) and NIPPV [34 (28-40) weeks, 2050 (900-3900) g]. Raduce rate of intubation and death, duration of non-invasive ventilation and oxygen support longer to NIPPV than CPAP in neonate.
Conclusion. NIPPV reduce intubation and mortality rate comparison to CPAP in neonate
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nayla Karima
"Latar Belakang:. Sepsis neonatorum awitan dini masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang utama pada neonatus, dengan angka lebih tinggi terjadi pada bayi kurang bulan. Berbagai faktor diketahui berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan dini, namun penelitian yang dilakukan pada bayi prematur masih terbatas. Tujuan:. Mengetahui faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian sepsis neonatorum awitan ini pada bayi kurang bulan di RSCM.
Metode:. Penelitian desain case-control dengan mengambil data dari rekam medis bayi lahir kurang bulan di RSCM pada rentang waktu Januari 2016-Desember 2017 sebanyak 186 sampel (93 untuk masing-masing kelompok). Data dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna dari karakteristik bayi kurang bulan antara kelompok kasus dan kontrol yaitu usia gestasi, jenis kelamin laki-laki, dan berat lahir. Gejala klinis tersering ditemukan adalah sesak napas. Dari 7 faktor yang dianalisis, infeksi intrauterin, nilai APGAR 1 menit pertama, dan nilai APGAR 5 menit pertama pada analisis bivariat dimasukkan ke analisis multivariat (p<0,25) sementara pada faktor lainnya tidak ditemukan hubungan yang bermakna. Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama memiliki hasil yang bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Jenis kelamin laki-laki, usia gestasi, infeksi intrauterin, dan nilai APGAR 1 menit pertama merupakan faktor risiko independen sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian sepsis neonatorum awitan dini pada bayi kurang bulan.

Background: Early onset neonatal sepsis is still considered as a common cause of morbidity and mortality in neonates, with a higher prevalence found in preterm infants. Many factors are known to be correlating to the cases of early onset neonatal sepsis, but research done specifically in preterm infants is limited.
Objective: To determine the factors associated with early onset neonatal sepsis in preterm infants.
Method: This research was done using a case-control design, where the data is taken from the medical record of preterm patients born in RSCM within January 2016-December 2017. The total sample is 186 (93 for each group). Data was then analyzed using bivariate and multivariate analysis.
Result: A significant result was found in characteristic such as gestational age, gender, and birth weight. Out of 7 factors that were analysed, the factors that were analysed using multivariate analysis were intrauterine infection, low APGAR score in the first minute, and low APGAR score in the fifth minute. From multivariate analysis, gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute were stastically significant.
Conclusion: gender, gestational age, intrauterine inflammation, and low APGAR score in the first minute are independent risk factors for early onset neonatal sepsis. Further study is needed to understand the correlation between those factors and early onset neonatal sepsis in preterm infants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denni Hermartin
"Latar Belakang :Insidensi terjadinya ketuban pecah dini (KPD) pada kehamilan preterm adalah 3-10,% dari semua persalinan. Lama terjadinya ketuban pecah dini berpengaruh pada kejadian infeksi maternal dan sepsis pada bayi. Sepsis, termasuk sepsis neonatal awitan dini (SNAD), masih menjadi penyebab utama kematian bayi prematur. Vitamin D berperan meningkatkan imunitas tubuh terutama saat menghadapi infeksi. Tujuan penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara lama KPD, leukosit maternal, kadar vitamin D maternal dan tali pusat dengan luaran sepsis awitan dini pada bayi prematur.
Metode : Desain penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan rekam medis dan data penelitian sebelumnya. Mencatat lama ketuban pecah dini, kadar leukosit maternal, kadar vitamin D maternal dan tali pusat dankejadian sepsis pada bayi yang dilahirkan usia 28-34 minggudi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian diambil secaraConsecutivesampling.
Hasil : Selama periode penelitian didapatkan 72 subjek bayi yang dilahirkan dari ibu dengan KPD, 22 bayi (31%) diantaranya mengalami SNAD, sedangkan 50 bayi lainnya tidak mengalami SAD. Tidak terdapat hubungan antara lama KPD, jumlah leukosit maternal dengan kejadian SNAD tetapi didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D maternal dan tali pusat dengan kejadian SNAD.

Background:The incidence of premature rupture of membranes (PROM) in preterm pregnancy is 3-10,% of all deliveries. The duration of premature rupture of the membranes affects the incidence of maternal infection and sepsis in infants. Sepsis, including early onset neonatal sepsis (EONS), is still the main cause of premature infant mortality. Vitamin D acts to increase the body s immunity, especially when facing infection. The purpose of this study was to determine the relationship between the length of the ROM, maternal leukocytes level, maternal and umbilical cord vitamin D levels with early onset sepsis in premature infants.
Method:Design of a retrospective cohort study using medical records and previous research data. Note the duration of premature rupture of the membranes, maternal leukocyte levels, maternal vitamin D levels and umbilical cord and the incidence of sepsis in infants born 28-34 weeks at the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo and Center General Hospital Pesahabatan, Jakarta. The research subjects were taken by consecutive sampling.
Results: During the study period 72 subjects were born from mothers with ROM, 22 infants (31%) among them experienced EONS, while 50 other infants did not experience EONS. There was no relationship between the duration of ROM, the number of maternal leukocytes with the incidence of EONS, but a significant relationship was found between maternal vitamin D levels and umbilical cord with EONS events.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59192
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjatmiko
"Bayi preratur ialah bayi yang lahir sebelum waktunya (masa kehamilan kurang dari 37 minggu) sehingga fungsi-fungsi pengaturan suhu tubuh, pernafasan, peredaran darah dan sistem kekebalan belum berfungsi baik, oleh karena itu perlu mendapat perawatan intensif yang lama di Rumah Sakit (Brooks 1991; Monintja, 1997; Kadri. 1999) dengan kematian pada minggu pertama sekitar 10 % dan kematian dalam 1 bulan pertama mencapai 35,7 % (Kadri, 1999).
Karena bayi prematur tampak kecil, lemah, berkulit sangat halus dan tipis (Radii, 1999), membutuhkan lebih banyak perhatian dan perawatan (Rauh dkk, 1990: Brooks, 1991), ibu cemas pada keselamatan bayi dan masa depannya, (Brooks, 1991) sehingga kurang aktif dalam pengasuhan bayinya (Martin dan Colbert, 1997).
Reaksi ibu pada tahap awal berupa anticipatory grief; orangtua menjauh dari bayinya sampai mereka yakin bayinya selamat. Tahap kedua ; facing up. berani menghadapi kenyataan. Tahap ketiga : ikatan dan kelekatan. Tahap keempat : learning stage, tahap belajar kebutuhan-kebutuhan khusus bayi (Brooks ,1991).
Karena kelahiran bayi prematur merupakan kejadian yang mengagetkan bagi ibu maka dukungan suami dan orangtuanya sangat penting bagi ibu agar mampu berhadapan dengan masalah-masalah tersebut di atas (Pederson dkk, 1987 dalam Martin dan Colbert, 1997). Namun setereotip anggota keluarga dan teman-teman dapat mempengaruhi sikap ibu terhadap bayinya, sehingga ibu-ibu bersikap kurang sensitif dalam pengasuhan bayinya (Brooks, 1991). Perlindungan yang berlebihan sejak bulan-bulan pertama dapat berlanjut berupa kekhawatiran yang berlebihan, sehingga ibu tidak memberi kesempatan anaknya untuk mengeksplorasi lingkungannya, melakukan aktivitas secara mandiri, atau bermain dengan anak lain (Brooks, 1991).
Bayi prematur di Skotlandia dan Amerika pada umur 1,5 -- 10 tahun mengalami gangguan perkembangan: ketidak mampuan belajar (learning disability) 5 - 48 %, palsi serebral (kekakuan otot akibat kerusakan otak) 5 - 14 %, retardasi mental 2 - 14%, gang pan pendengaran 1 - 7 %, gangguan penglihatan 1 - 12 % (Sukadi, 2000). Bayi prematur di RSCM terjadi retardasi psikomotor dan mental 12 %, sering kejang 22 %, gangguan bicara 6 %, gangguan sifat/perilaku 6 %, palsi serebral (kekalcuan otot akibat kerusakan otak) 4 % (Ismael, 1991) . Pada pengamatan jangka panjang kepekaan ibu dalam pengasuhan 86 bayi prematur. Beckwith dan Cohen (1999) menyimpulkan bahwa pengasuhan ibu yang kurang sensitif pads masa bayi akan berdampak sampai umur 18 tahun berupa kelekatan dismissing.
Oleh karena itu menurut Bennet dan Guralnick (1991) bayi prematur perlu stimulasi dini mullirfrodal yang merangsang berbagai sistem sensorik (penginderaaan) secara simultan yaitu : pendengaran (auditori), penglihatan (visual), perabaan (taktil), dan gerakan (vestibular-kinestetik. Rangsangan dini tersebut jika dilakukan terus menerus akan merangsang pembentukan sinaps-sinaps sel-sel otak bayi yang lebih kompleks sehingga meningkatkan perkembangan fungsi-fungsi otak (Nelson, 2000). Dengan stimulasi dini tersebut diharapkan akan meningkatkan kepekaan ibu terhadap bayinya dan akan memperkecil kemungkinan gangguan perkembangan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dilakukan penelitian kualitatif untuk memahami pengasuhan bayi prematur yang berkaitan dengan kelekatan dan stimulasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya Penelitian dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan pedoman umum di Ruang Rawat Bayi Baru Lahir (Perinatologi) Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM-FKIII, pada 3 ibu yang melahirkan bayi prematur, yang datang teratur atas kemauannya sendiri ke rumah sakit untuk pengasuhan bayinya.
Berdasarkan analisis pada transkrip verbatim dengan interpretasi pemahaman teoritis (Kavle, 1996 dalam Poerwandari, 2001) diperoleh beberapa kesimpulan. Reaksi awal ibu berupa kesedihan dipengaruhi oleh karakteristik bayinya, Reaksi kesedihan ibu dipengaruhi oleh ikatan ibu dan bayi sejak kehamilan, kontak pertama kali ketika melahirkan dan dipengaruhi oleh pengalaman kematian bayi sebelumnya. Berkurangnya reaksi kesedihan ibu setelah diberitahu dokter atau perawat bahwa kesehatan bayinya membaik.
Pengalaman kehamilan terdahulu mempengaruhi ketrampilan ibu dalam membentuk kelekatan ibu dan bayi sejak kehamilan sampai ketika mengasuh bayinya, Kontak pertama melalui knlit dan suara ketika melahirkan, serta pengalaman menggendong pertama kali akan memperkuat ikatan ibu dan bayinya. Sikap ibu ketika menyusui dipengaruhi oleh penman ibu dalam pengasuhan terdahulu. Rasa kompetensi ibu dipengaruhi oleh siklus tidur-bangun bayi. Kepekaan maternal dapat diekspresikan ketika menyusui bayinya_ Motivasi ibu untuk selalu datang ke rumah sakit akan memperkuat kelakatan ibu dan bayinya. Motivasi ibu dipengaruhi oleh ikatan ibu dan bayi sejak kehamilan dan kelahiran. Dukungan suami pada minggu pertama memperkuat kelekatan ibu dan bayinya. Perilaku ibu selama menyusui merupakan stimulasi dini multimodal. Siklus tidur bangun bayi perlu diketahui ibu untuk mencari saat yang tepat menyusui dan melakukan stimulasi bayi.
Bayi prematur lebih banyak mengantuk dan tidur sehinga ibu merasa kurang kompeten Set a; 3 jam kesempatan ibu berinteralsi dengan bayinya sekitar 20 - 30 men it, menyusui sekitar 45 - 75 menit, Sumber informasi tentang stimulasi dari pengalaman,.bukan dari dokter atau perawat.
Rencana pengasuhan di rumah perlu dukungan orangtua dan mertua, sedangkan suami lebih dibutuhkan sebagai sumber keuangan. Ibu cenderung melindungi bayinya terhadap perilaku anggota keluarga lain dan tetangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi rencana pengasuhan di rumah antara lain : sikap ibu terhadap masa depan perkembangan bayinya, anjuran dokter, perawat, dan pengaruh pengalaman pribadi.
Dengan memahami hal-hal tersebut di atas diperoleh pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pengasuhan bayi prematur, antara lain untuk menyusun paket pelatihan bagi petugas kesehatan dan ibu tentang cara-cara pengasuhan bayi prematur, sehingga mereka dapat tumbuh kembang optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T8263
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayuk Setyowati
"Bayi prematur sangat rentan mengalami gangguan integritas kulit berupa luka
tekan terutama pada telinga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
efektivitas penggunaan bantal kacang untuk pencegahan luka tekan grade I pada
telinga bayi prematur. Desain penelitian ini menggunakan “quasi experiment
posttest only with control group”, yang melibatkan 30 bayi prematur di ruang
perinatologi. Hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna proporsi
kejadian luka tekan grade I pada telinga bayi prematur pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol (p value=0,65, α=0,05). Rekomendasi dari penelitian ini
adalahperawatan dengan bantal tetap bermanfaat namun perlu dilakukan
optimalisasi alih baring.

Preterm baby was very vulnerable to get skin integrity breakdown as pressure
ulcer particularly on the ear. The purposed of this study was to identify the
effectiveness using peanut pillow to prevent pressure ulcer on ears of preterm
baby. The design of this study was “experiment posttest only with control group”,
involving 30 preterm baby in the neonatology unit. The result showed there was
no significant differences proportion of pressure ulcer in the intervention group
and control group (p value=0,65, α=0,05). This study recommended that using
peanut pillow give the advantages but it is needed to optimize changing position.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35789
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>