Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139488 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Maharani Nugroho
"Saat ini, krisis iklim menjadi salah satu fenomena yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Hal ini dapat digambarkan sebagai eco-anxiety. Eco-anxiety adalah pengalaman akan kecemasan yang dirasakan terkait krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Salah satu yang dapat memengaruhi eco-anxiety adalah kepribadian. Terdapat tiga kepribadian yang dapat memengaruhi eco-anxiety, yaitu neuroticism, openness, dan conscientiousness. Individu dengan tipe kepribadian neuroticism cenderung memiliki kecemasan akan lingkungan. Untuk individu dengan tipe kepribadian openness digambarkan memiliki rasa ingin tahu terhadap lingkungan, dan pada tipe kepribadian conscientiousness digambarkan sebagai individu yang berhati-hati, memiliki tujuan, dan mengikuti norma terkait lingkungan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran ketiga kepribadian tersebut terhadap eco-anxiety dengan menggunakan metode kuantitatif dan desain korelasional dengan multiple analysis regression. Eco-anxiety diukur dengan menggunakan Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS- 13) (Hogg et al., 2021) dan kepribadian diukur dengan menggunakan Ten Item Personality Inventory (TIPI Indonesia) (Akhtar, 2018). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 552 dengan rentang usia 19-65 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peran pada ketiga tipe kepribadian neuroticism, openness, dan conscientiousness terhadap eco-anxiety dengan F = 2.93, p = 0.033 < 0.05, R2 = 0.016. Dalam hal ini ditemukan jika neuroticism (B= -0.545, t = -2.686, p = 0.007) dan conscientiousness (B = 0.520, t = 2.076, p = 0.038) memiliki hubungan yang signifikan, sedangkan openness tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap eco-anxiety. Temuan ini dapat digunakan untuk melihat kebutuhan pasar pada perusahaan industri, aktivis lingkungan, dan psikolog agar dapat mengurangi eco-anxiety yang disesuaikan dengan kepribadian individu.

Currently, the climate crisis is a phenomenon that has a major impact on human life. This can be described as eco-anxiety. Eco-anxiety is the experience of anxiety related to the climate crisis and environmental damage. One thing that can affect eco-anxiety is personality. There are three personalities that can affect eco-anxiety, such as neuroticism, openness, and conscientiousness. Individuals with neuroticism tends to have environmental anxiety. Individuals with openness are described as having a curiosity about the environment, and the conscientiousness personality type is described as an individual who is careful, has goals, and follows environmental norms. Therefore, this study aims to examine the role of these three personalities on eco-anxiety by using quantitative method and correlational multiple analysis regression. Eco-anxiety was measured using the Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS-13) (Hogg et al., 2021) and personality was measured using the Ten Item Personality Inventory (TIPI Indonesia) (Akhtar, 2018). The number of participants in this study was 552 with an age range of 19-65 years. The results showed that there was an role on the three personality types of neuroticism, openness, and conscientiousness on eco-anxiety with F = 2.93, p = 0.033 < 0.05, R2 = 0.016. In this case, it was found that neuroticism (B= -0.545, t = -2.686, p = 0.007) and conscientiousness (B = 0.520, t = 2.076, p = 0.038) had a significant relationship, while openness had no significant relationship to eco -anxiety. These findings can be used to see the market needs of industrial companies, environmental activists, and psychologists in order to reduce eco-anxiety that is tailored to individual personalities."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasya Stephanie Bintang Melania
"Krisis iklim yang sedang terjadi cukup menjadi alasan bagi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Salah satu caranya dengan menerapkan perilaku pro-lingkungan dalam masyarakat melalui perilaku konsumsi produk ramah lingkungan. Untuk mendorong konsumsi produk ramah lingkungan, masyarakat diharapkan memiliki sikap terhadap produk ramah lingkungan. Peneliti ingin melihat hubungan antara kecemasan lingkungan (eco-anxiety) dan sikap membeli sabun organik. Penelitian ini menyasar masyarakat Indonesia yang merupakan WNI dan berkategori usia dewasa muda sebagai partisipan (n = 229). Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kedua variabel adalah HEAS-13 mengukur kecemasan lingkungan dan ATGP mengukur sikap terhadap sabun organik. Untuk membuktikan adanya hubungan antara kedua variabel maka dilakukan pengujian korelasi antara variabel kecemasan lingkungan dan variabel sikap membeli sabun organik menggunakan uji korelasi pearson. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson, terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara kecemasan lingkungan dan sikap membeli sabun organik, r(229) = 0.384, p < 0.01, one tailed dengan effect size r2  = 0.148 yang tergolong dalam kategori sedang. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki eco-anxiety cenderung memiliki sikap membeli sabun organik yang positif. Dengan begitu, penelitian ini telah berkontribusi dan sejalan dengan penelitian sebelumnya yang bertujuan untuk meneliti tentang hubungan antara kecemasan lingkungan dan sikap terhadap produk ramah lingkungan.

The current climate crisis is enough reason for people to care about the environment. One way is by implementing pro-environmental behavior in society through consumption behavior of environmentally friendly products. To encourage the consumption of environmentally friendly products, people are expected to have an attitude toward green products. Researchers want to see the relationship between eco-anxiety and the attitude of buying organic soap. This research targets Indonesian citizens who are Indonesian citizens and in the young adult age category as participants (n = 229). The measurement tools used to measure both variables are HEAS-13 measuring environmental anxiety and ATGP measuring the attitude of buying organic soap. To prove that there is a relationship between the two variables, a correlation test was used between the eco-anxiety variable and the attitude variable to buy organic soap using Pearson correlation test. Based on the results of the Pearson, there is a positive and significant correlation between eco- anxiety and the attitude of buying organic soap, r(229) = 0.384, p <0.01, one tailed with an effect size of r2 = 0.148 which is in the medium category. Overall it can be concluded that individuals who have eco-anxiety tend to have a positive attitude towards buying organic soap. That way, this research has contributed to and is in line with previous research which aims to examine the relationship between eco-anxiety and attitude toward green products."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devina Faustanisa Nursyah Wibowo
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami mekanisme psikologis yang mendasari pengaruh kepribadian neuroticism pada tingkat kepuasan hidup dalam fase perkembangan emerging adulthood. Tingkat neuroticism yang tinggi mendorong individu mengalami afek negatif yang lebih kuat, serta memicu bias atensi terhadap informasi negatif yang kemudian mempengaruhi kepuasan hidup secara negatif. Penelitian ini menganalisis data 153 emerging adults menggunakan kuesioner BFI-44, PANAS, SWLS, dan mengerjakan tugas kognitif yakni Emotional Stroop Task. Hasil analisis PROCESS simple mediation (Model 4) dan moderated mediation (Model 14) menunjukkan bahwa neuroticism berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan tingkat kepuasan hidup, dan hubungan ini dimediasi secara parsial oleh afek negatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa efek mediasi dari afek negatif pada kepuasan hidup secara signifikan dimoderasi oleh bias negatif.  Secara spesifik, semakin kuat bias negatif, semakin kuat pula peran afek negatif sebagai mediator dalam memprediksi tingkat kepuasan hidup. Penelitian ini berhasil menunjukkan secara empirik bahwa peran atensi sangatlah penting dalam memperkuat pengaruh afek negatif pada tingkat kepuasan hidup individu, terutama di kalangan emerging adults dengan kepribadian neuroticism yang dominan.  

This study aims to understand the psychological mechanisms underlying the effect of the neuroticism trait on life satisfaction in the developmental phase of emerging adulthood. High neuroticism encourages individuals to experience more negative affect and triggers attentional bias toward negative information that negatively affects life satisfaction. This study collected data on 153 emerging adults using the BFI-44, PANAS, SWLS questionnaires, and a cognitive task, namely the Emotional Stroop Task. The results of the PROCESS analysis of simple mediation (Model 4) and moderated mediation (Model 14) showed that neuroticism was negatively and significantly correlated with life satisfaction, and this relationship was partially mediated by negative affect. The study also found that the mediating effect of negative affect on life satisfaction was significantly moderated by negative bias. Specifically, the stronger the negative bias, the stronger the role of negative affect as the mediator in predicting the level of life satisfaction. Thus, this study provides empirical evidence that the role of attention is very important in strengthening the effect of negative affect on life satisfaction, especially among emerging adults with a dominant neuroticism personality."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yorri Violeta Widyayanti
"Perubahan iklim saat ini menuntut perilaku konkret yang berdampak positif pada lingkungan, seperti pro-environmental behavior. Kehadiran pro-environmental behavior juga dibutuhkan dalam lingkup organisasi dan pekerja, karena berpengaruh terhadap efektivitas organisasi. Faktor-faktor beragam memengaruhi pro-environmental behavior, termasuk tingkat extraversion seseorang. Kehadiran pro-environmental behavior juga dapat disebabkan oleh eco-anxiety yang dialami seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan eco-anxiety sebagai mediator antara extraversion dengan pro- environmental behavior pada masyarakat Indonesia yang tergolong usia pekerja. Sebanyak 241 warga negara Indonesia yang tergolong usia pekerja, yaitu usia 19–58 tahun, menjadi partisipan dalam penelitian ini. Alat ukur yang digunakan yaitu Ten Item Personality Inventory (TIPI), Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS-13), dan Pro- Environmental Behavior Scale (PEBS-2013). Data pada penelitian ini dianalisis menggunakan teknik analisis mediasi model 4 dari Hayes, dengan menggunakan PROCESS v4.2. Temuan dari penelitian menunjukkan adanya partial mediation, yaitu tingkat extraversion secara langsung dapat memotivasi seseorang untuk memunculkan perilaku yang berdampak positif bagi lingkungan, sebagai pemenuhan norma sosial. Lebih lanjut, eco-anxiety memainkan peran signifikan sebagai mediator dalam hubungan antara extraversion dan pro-environmental behavior. Namun, kehadiran eco-anxiety pada penelitian ini diprediksi menjadi variabel suppressor. Hal ini memberikan implikasi bagi organisasi bahwa eco-anxiety perlu ditanggapi dan difasilitasi secara positif agar dapat menghasilkan dampak yang positif. Penelitian ini memberikan gambaran tentang keterkaitan antara pro-environmental behavior, extraversion, dan eco-anxiety di masyarakat Indonesia usia pekerja yang masih jarang diteliti. Limitasi pada penelitian ini juga dibahas lebih lanjut.

The current climate change demands concrete behaviors that positively impact the environment, such as pro-environmental behavior. The presence of pro-environmental behavior is also needed in the context of organizations and workers, as it affects organizational effectiveness. Various factors influence pro-environmental behavior, including an individual's level of extraversion. The presence of pro-environmental behavior can also be triggered by a person's eco-anxiety. This study aims to see the role of eco-anxiety as a mediator between extraversion and pro-environmental behavior among Indonesian working-age individuals. A total of 241 Indonesian citizens within the working-age range, from 19 to 58 years old, participated in this research. The measurement tools used were the Ten Item Personality Inventory (TIPI), Hogg Eco- Anxiety Scale (HEAS-13), and Pro-Environmental Behavior Scale (PEBS-2013). The findings of the study showed partial mediation, which that the level of extraversion can directly motivate someone to exhibit environmentally positive behaviors as a fulfillment of social norms. Furthermore, eco-anxiety plays a significant role as a mediator in the relationship between extraversion and pro-environmental behavior. However, the presence of eco-anxiety in this study was predicted to be a suppressor variable. This has implications for organizations that eco-anxiety needs to be addressed and facilitated in a positive way in order to have a positive impact. This study provides an overview of the relationships between extraversion, pro-environmental behavior, and eco-anxiety in the working-age population in Indonesia, a field that has been relatively underexplored. The limitations of this study are also discussed further."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Sekarsari Salsabil
"Perubahan iklim semakin diakui menghadirkan berbagai ancaman bagi kesehatan manusia, termasuk kesehatan mental seperti memengaruhi kondisi psikologis manusia dari berbagai aspek mulai dari rasa stres, duka, hingga masalah perilaku dan emosional lainnya yang disebut sebagai eco-anxiety. Perbedaan usia telah diketahui memengaruhi tingkat eco-anxiety yang berbeda pula. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat eco-anxiety antara usia dewasa muda dan dewasa tengah. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan between-subjects design. Pengukuran eco-anxiety menggunakan alat ukur oleh Hogg et al. (2021) yang telah diadaptasi ke Bahasa Indonesia. Jumlah partisipan sebanyak 245, merupakan WNI dengan usia 19-65 tahun. Dalam mengambil sampel, peneliti menggunakan metode pengambilan data non-probability sampling dengan teknik pengambilan data convenience sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat eco-anxiety antara dewasa muda dan dewasa tengah dengan nilai signifikan (t (245) = 0.177, p < 0,01). Kesimpulannya, perbedaan usia seperti antara dewasa muda dan dewasa tengah memiliki tingkat eco-anxiety yang berbeda pula. Dengan begitu para pekerja di bidang pemasaran dapat menggunakan penelitian ini sebagai referensi dalam menentukan target penjualan dan dapat menjadi pertimbangan untuk mempromosikan produk yang ramah lingkungan.

Climate change is increasingly recognized as presenting various threats to human health, including mental health such as affecting human psychological conditions from various aspects ranging from stress, grief, to other behavioural and emotional problems known as eco-anxiety. Age differences have been known to affect different levels of eco-anxiety. Thus, this study aims to see the difference in the level of eco-anxiety between young adults and middle adults. This research is a non-experimental study with a between- subjects design. Measurement of eco-anxiety using a measuring instrument by Hogg et al. (2021) which has been adapted into Bahasa. The number of participants are 245 Indonesian citizens aged 19-65 years. In taking samples, researchers used non-probability sampling data collection methods with convenience sampling data collection techniques. The results showed that there was a significant difference in the level of eco-anxiety between young adults and middle adults with a significant value (t (245) = 0.177, p < 0.01). In conclusion, age differences such as between young adults and middle adults have different levels of eco anxiety. That way workers in the marketing field can use this research as a reference in determining sales targets and can be a consideration for promoting environmentally friendly products."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafira Ramadhani Fitrianisa
"Tingginya produksi tekstil dan pakaian yang diikuti perilaku konsumtif masyarakat akan meningkatkan limbah pakaian yang berdampak negatif bagi lingkungan. Fenomena ini meningkatkan kecemasan individu akan kerusakan lingkungan (eco-anxiety). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti korelasi antara tingkat eco-anxiety dengan intensi membeli produk pakaian ramah lingkungan. Peneliti menggunakan desain korelasional dengan jumlah sampel sebanyak 260 partisipan (usia 18-65 tahun). Alat ukur yang digunakan adalah The Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS-13) dan alat ukur green purchase intention yang telah ditranslasi ke dalam Bahasa Indonesia dan diadaptasi dengan konteks pakaian. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan dengan efek kecil antara eco-anxiety dan intensi membeli produk pakaian ramah lingkungan, r(260) = .24, p < .01, R2= .058. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kecemasan akan lingkungan, semakin tinggi pula kemungkinan individu menunjukkan intensi membeli produk pakaian ramah lingkungan.

The large production of textiles and clothing, followed by the public's consumptive behavior, will increase clothing waste, which will have a detrimental effects on environment. This phenomenon increases individual anxiety about environmental damage (eco-anxiety). The purpose of this study is to examine the correlation between the level of eco-anxiety and the intention to purchase eco-friendly clothing products. The research conducted a correlational design with 260 participants (age 18 to 65 years). The measuring instrument employed is The Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS-13) and a green purchase intention measuring instrument that has been translated into Indonesian and applied to the context of clothing. The Pearson correlation analysis shows a significant positive correlation with a small effect between eco-anxiety and the intentions to purchase ecofriendly clothing products, r(260) = .24, p < .01, R2= .058. The results indicated that the greater the level of environmental anxiety, the greater the chance of individuals exhibiting an intentions to purchase ecofriendly clothing products.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentina Elana Puspita
"Dalam kehidupan, mahasiswa tidak luput dari kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan sehari-hari, seperti melewatkan jadwal kerja kelompok ataupun tenggat waktu pengumpulan tugas. Berbagai kesalahan kecil tersebut dikenal dengan istilah kegagalan kognitif yang jika dilakukan secara terus-menerus dapat berakibat negatif bagi individu. Bagi mahasiswa yang berada pada kondisi kognitif terbaik, meningkatnya kegagalan kognitif disebabkan dari tipe kepribadian yang mereka miliki. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besaran peran kepribadian neuroticism dan conscientiousness terhadap kegagalan kognitif pada mahasiswa sarjana di Indonesia. Partisipan penelitian adalah sebanyak 249 mahasiswa (83 laki-laki dan 166 perempuan) berusia 18–25 tahun (M=21, SD=1.4). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan alat ukur Cognitive Failure Questionnaire dan IPIP-BFM 25. Berdasarkan analisis regresi berganda, ditemukan bahwa kepribadian neuroticism dan conscientiousness secara bersamaan berperan terhadap kegagalan kognitif individu (F(2,246)=45.495, p<0.001, R2=0.27). Neuroticism memiliki pengaruh yang lebih besar (=0.47, SE=0.257, p<0.001) dibandingkan conscientiousness (=-0.236, SE=0.326, p<0.001) terhadap kegagalan kognitif mahasiswa. Melalui penelitian ini, diharapkan individu dapat mengetahui ciri unik yang dimiliki pada kepribadian tertentu, khususnya pada trait kepribadian conscientiousness dan neuroticism. Sehingga, bagi individu yang memiliki conscientiousness yang tinggi dapat mempertahankan ketelitian dan disiplin yang tinggi, sedangkan bagi individu yang memiliki neuroticism yang tinggi dapat meminta bantuan kepada orang lain untuk mengingatkan untuk dapat mengontrol emosi negatif yang dirasakan sehingga tidak mempengaruhi atensi terhadap hal yang harus dikerjakan.

In everyday life, students make a lot of small mistakes, such as forgetting the group work schedule and also forgetting the task deadline, which is called cognitive failure. All the small mistakes have negative consequences if they happen continuously. For students who are in the best cognitive condition, cognitive failure increase because of the personality types that they have. The purpose of this study is to see the contribution of personality trait neuroticism and conscientiousness to cognitive failure in college students in Indonesia. The participants of this study are 249 students (83 males and 166 females) aged 18–25 years old (M=21, SD=1.4). This study is a quantitative study that used Cognitive Failure Questionnaire (CFQ) and IPIP-BFM 25. The result showed that neuroticism and conscientiousness simultaneously have a significant contribution to cognitive failure (F(2,246)=45.495, p<0.001, R2=0.27). However, neuroticism has a greater contribution (=0.47, SE=0.257, p<0.001) than conscientiousness (=-0.236, SE=0.326, p<0.001) to cognitive failure in college students. Based on this study, for students that have a high score of conscientiousness suggested to maintain the positive characteristics, such as attention to detail and self-discipline. However, students that have high score of neuroticism can ask for help from others to remind them of controlling the negative emotion that they feel so it doesn’t affect their attention to the task that has to be done."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shaqina Andira Devi Prasetyo
"Kesadaran masyarakat akan krisis iklim dan degradasi lingkungan yang terjadi di berbagai wilayah di dunia terus mengalami peningkatan. Hal itu pun memicu munculnya kecemasan lingkungan (eco-anxiety). Dalam upaya menumpas kecemasan tersebut, individu mulai terdorong untuk berpartisipasi aktif pada perilaku pro-lingkungan dengan mengadaptasi intensi membeli produk ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara tingkat kecemasan lingkungan (eco-anxiety) dengan intensi membeli sabun organik. Partisipan dalam penelitian ini adalah warga negara Indonesia (WNI) yang berada pada rentang usia dewasa muda (20-40 tahun) (N=231). Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yakni alat ukur HEAS-13 yang digunakan dalam mengukur variabel kecemasan lingkungan (eco-anxiety) dan alat ukur green purchase intention yang digunakan dalam mengukur intensi membeli produk sabun organik. Dalam meninjau korelasi antara kedua variabel, penelitian ini menggunakan korelasi pearson. Hasil analisis korelasi pearson mendapati bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kecemasan lingkungan (eco-anxiety) dan intensi membeli sabun organik r(231) = .428, p <0.01, one-tailed dengan effect size yang tergolong sedang, yakni sebesar r2 = .183 (0.25 > r2 > 0.09). Berdasarkan temuan tersebut, diketahui bahwa semakin tingginya tingkat kecemasan lingkungan (eco-anxiety) maka intensi membeli produk sabun organik pun juga akan mengalami peningkatan.

Public awareness of the climate crisis and environmental degradation that occurs in various regions of the world continues to increase which triggers the emergence of eco-anxiety. In order to quell these anxieties, people begin to actively participate in pro-environmental action by adapting green purchase intention. This study aims to examine the relationship between the level of eco-anxiety and the intention to purchase organic soap. Participants in this study were Indonesian citizens (WNI) who were in the age range of young adults (20-40 years) (N = 231). There are two measuring instruments used in this study, which are HEAS-13 to measure the environmental anxiety variables (eco-anxiety) and Green Purchase Intention to measure the intention to purchase organic soap. Pearson correlation analaysis were used in this study to examine the relationship between the two variables. The results found that there is a positive and significant relationship between eco-anxiety and the intention to purchase organic soap r(231) = .428, p <0.01, one-tailed with a relatively moderate effect size r2 = .183 (0.25 > r2 > 0.09). Based on these findings, it is known that the higher the level of eco-anxiety, the intention to purchase organic soap will also increase."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhila Amira
"ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menciptakan dan menguji validitas dan reliabilitas ukuran baru perfeksionisme yang lebih pendek dari skala sebelumnya dan mampu menjelaskan sifat maladaptif dan adaptif yang mendasari perfeksionisme dalam hubungannya dengan neurotisme dan sifat berhati-hati. Kuesioner diberikan kepada 129 mahasiswa psikologi di University of Queensland yang hanya terdaftar di mata kuliah Pengukuran PSYC3020 pada saat kelas tutorial berlangsung. Pengukuran baru perfeksionisme, yaitu Skala Perfeksionisme, dikembangkan dan diuji reliabilitasnya, Item Discrimination Indices, dan validitasnya, dalam hubungannya dengan Neurotisme, menggunakan alat ukur IPIP Neuroticism, dan sifat berhati-hati yang menggunakan alat ukur IPIP Conscientiousness. Tiga hipotesa telah dikembangkan dan menunjukkan bahwa perkembangan skala baru Perfeksionisme terbukti memiliki keandalan yang cukup baik dan Item Discrimination Index yang baik. Untuk studi kedepannya diperlukan variabel lain yang dinilai memerlukan perbaikan untuk lebih praktis.

ABSTRACT
The objective of current study is to create and test the validity and reliability new measure of perfectionism that is shorter than previous scales and adequately captures underlying maladaptive and adaptive traits of perfectionism in association with neuroticism and conscientiousness. Questionnaires were administered to 129 students in the University of Queensland who enrolled in Measurement in Psychology PSYC3020 course during tutorial class. The new scale of perfectionism, which is the Perfectionism Scale, was developed and tested its reliability, Item Discrimination Indices, and validity in correlation with Neuroticism using IPIP Neuroticism scale and Conscientiousness using IPIP Conscientiousness scale . Three hypotheses have developed and indicated that the new developed Perfectionism scale shown to have a good reliability and discrimination index. Future study suggests the other variable need to be assessed and some need improvement to be more practical. "
2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sere Eunice Kantate
"Salah satu cara untuk mencapai intimacy dalam tahap dewasa muda adalah melalui hubungan berpacaran. Akan tetapi, muncul berbagai masalah dalam berpacaran yang dapat diselesaikan dengan melakukan pengorbanan. Diketahui beberapa faktor yang berperan dalam berkorban adalah motif berkorban, komitmen, dan trait neuroticism. Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui apakah neuroticism dapat memoderasi hubungan antara komitmen dan motif berkorban. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Motives of Sacrifice Impett, Gable, Peplau, 2005 untuk mengukur motif berkorban, The Investment Model Rusbult, Martz, Agnew, 1998 untuk mengukur komitmen, dan Big Five Inventory BFI Ramdhani, 2012 untuk mengukur neuroticism. Data yang didapat ialah 954 individu, dengan 80,9 responden perempuan, yang sedang menjalani hubungan berpacaran, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motif berkorban baik approach motives r = 0,27, p < 0,01, two tails maupun avoidance motives r = 0,09, p < 0,01, two tails dengan komitmen. Individu yang memiliki komitmen tinggi cenderung berkorban demi pasangannya, baik dengan approach motives maupun avoidance motives. Akan tetapi, ditemukan bahwa neuroticism tidak memoderasi hubungan antara motif berkorban, baik approach motives t = 0,90, p > 0,05 maupun avoidance motives t = 0,49, p > 0,05 dengan komitmen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketika individu memiliki komitmen yang tinggi, ia akan berkorban menggunakan approach motives maupun avoidance motives, terlepas dari tingkat neuroticism yang dimilikinya.

One way to achieve intimacy during the young adult developmental stage is through relationships. Nevertheless, problems will arise in dating relationships problems which can be solved through making sacrifices. A few factors play a role in affecting individuals 39 sacrificing behavior, among which are motives of sacrifice, commitment, and trait neuroticism. This correlational study aims to find out whether neuroticism moderates the relationship between motives of sacrifice and commitment. Instruments used in this study are Motives of Sacrifice Impett, Gable, Peplau, 2005 to measure motives of sacrifice, The Investment Model Rusbult, Martz, Agnew, 1998 to measure commitment, and Big Five Inventory Ramdhani, 2012 to measure neuroticism. Data gathered from 954 young adults, 80,9 female, who are in dating relationships shows a significant relationship between motives of sacrifice, including approach motives r 0,27, p 0,01, two tails and avoidance motives r 0,09, p 0,01, two tails, and commitment. Individuals with high commitment tend to sacrifice for their partner, either with approach motives or avoidance motives. However, neuroticism is not found to moderate the relationship between motives of sacrifice, for both approach motives t 0,90, p 0,05 and avoidance motives t 0,49, p 0,05, and commitment. Therefore, it can be concluded that when individuals have high commitment, they will make sacrifices using approach or avoidance motives, regardless of their neuroticism level.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>