Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180535 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raisya Tjahyaningtyas
"Transaksi pasar modal di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan sejak pertama kali muncul di Indonesia. Seiring perkembangan tersebut, metode transaksi yang digunakan untuk bertransaksi di pasar modal semakin bervariasi. Salah satu metode transaksi tersebut ialah transaksi short selling. Transaksi short selling(jual kosong)dilakukan dengan menjual saham yang bukan milik penjual tersebut melainkan saham yang dipinjam untuk diperjualbelikan. Oleh karena itu, transaksi short selling merupakan salah satu metode transaksi efek dengan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan transaksi efek pada umumnya. Dengan berbagai risiko yang dihadapi oleh tidak hanya para investor, akan tetapi oleh pihak-pihak lain yang terlibat dalam transaksi short selling tentunya diperlukan perlindungan khusus terhadap keberlangsungan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak guna meminimalisir risiko yang akan ditanggung oleh para pihak tersebut. Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan adalah perlindungan hukum. Di Indonesia, upaya perlindungan hukum terhadap transaksi short selling diberikan melalui serangkaian peraturan yang mengatur mengenai transaksi tersebut. Dengan adanya serangkaian aturan tersebut bertujuan untuk dapat memberikan jaminan atas kepercayaan para pelaku transaksi dan dapat mencegah risiko yang dapat timbul atas transaksi short selling tersebut. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti akan membandingkan perlindungan hukum terhadap para pihak dalam transaksi short selling yang ada di Indonesia dan Korea Selatan, sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah transaksi short selling terbanyak di dunia. Dalam karya tulis ini peneliti akan membandingkan peran dari masing-masing regulator pasar modal di Indonesia dan Korea Selatan dalam menangani transaksi short selling. Kemudian peneliti akan membandingkan perubahan regulasi short selling yang terjadi selama kurun waktu 2020-2021 di Korea Selatan. 

Capital market transactions in Indonesia have experienced significant developments since they first appeared in Indonesia. Along with these developments, the transaction methods used to transact in the capital market are increasingly varied. One of these transaction methods is short selling transactions. Short selling transactions (empty sales) are carried out by selling shares that do not belong to the seller but shares that are borrowed for sale. Therefore, short selling transactions are one of the securities transaction methods with a higher risk compared to securities transactions in general. With various risks faced by not only investors, but also other parties involved in short selling transactions, of course, special protection is needed for the sustainability of the rights and obligations of each party in order to minimize the risks that will be borne by these parties. One form of protection that can be provided is legal protection. In Indonesia, legal protection measures against short selling transactions are provided through a series of regulations governing these transactions. With the existence of a series of rules, it aims to be able to guarantee the trust of the perpetrators of the transaction and can prevent the risks that may arise from the short selling transaction. In writing this thesis, the author will compare the legal protection of the parties in short selling transactions in Indonesia and South Korea, as one of the countries that have the largest number of short selling transactions in the world. In this paper, the author will compare the roles of each capital market regulator in Indonesia and South Korea in handling short selling transactions. Then the author will compare the changes in short selling regulations that occurred during the 2020-2021 period in South Korea."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Suryastuti
"Tesis ini membahas praktek short selling di Indonesia dan perlindungan hukum yang diberikan oleh otoritas pasar modal dalam transaksi short selling. Transaksi short selling merupakan transaksi jual beli saham yang bersifat khusus. Kekhususan dari transaksi ini adalah karena pada saat transaksi dilakukan, investor jual tidak memiliki saham yang ditransaksikan. Risiko terjadinya gagal serah pada transaksi short selling lebih besar dibandingkan transaksi jual beli saham pada umumnya. Risiko lainnya adalah penurunan harga yang signifikan. Penurunan harga efek ini terjadi karena dalam pelaksanaannya, pelaku short selling akan menambah persediaan saham yang dijual selain penjualan saham yang dilakukan oleh pemilik/pemegang saham sesungguhnya, dimana sesuai dengan hukum ekonomi bahwa dengan banyaknya persediaan saham yang dijual (supply) dan permintaan yang tetap (demand), maka akan menekan harga saham menjadi lebih rendah yang dapat berakibat menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan. Transaksi short selling pun tidak lepas dari efek negatif, antara lain membuka kemungkinan terjadinya pelanggaran di pasar modal, dalam bentuk penipuan, manipulasi pasar, dan insider trading. Bapepam dan LK serta Bursa Efek telah membuat seperangkat aturan untuk melakukan transaksi short selling. Peraturan tersebut berisi batasan-batasan yang harus diperhatikan sebelum melakukan transaksi short selling. Baik peraturan Bapepam dan LK maupun peraturan Bursa Efek telah memberikan kemudahan bagi investor untuk melakukan transaksi short selling dan telah memberikan perlindungan bagi pihak lain yang merupakan lawan transaksi dari pelaku short selling. Namun demikian, untuk mencegah efek negatif yang dapat timbul dari transaksi short selling, peranan Bapepam dan LK serta Bursa Efek dalam mengawasi pasar modal perlu ditingkatkan sehingga akan tercipta pasar yang teratur, wajar, dan efisien.

This study discussed short selling practice in Indonesia and legal protection provided by the capital market authority in short selling transaction. Short selling transaction is an extraordinary transaction since on the transaction date, the seller does not own shares. The ?fail-to-deliver? risk in the short selling transaction is bigger compared to regular sale and purchase transaction. Other risk that can be raised is the decreasing of share price. Such decrease is occurred because on the short selling transaction, short seller will increase the availability of shares to be sold other than the shares to be sold by existing shareholders, whereby according to economic law, if there is an increasing in supply while the demand is permanent, it will drive the price to be declined which can effect the composite index. Short selling will create negative impact, in form of fraud, market manipulation, and insider trading. Bapepam dan LK and Stock Exchange have enacted several rules with regard to short selling. The above rules provide limitation to be considered before conducting short selling. Both Bapepam dan LK? rules and Stock Exchange? rules provide legal protection to counter party of the short seller. However, in order to prevent negative impact on the short selling transaction, the role of Bapepam dan LK and Stock Exchange in supervising capital market need to be improved; therefore it will create regular, fair, and efficient market."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26670
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dante Deva Daniswara
"Munculnya fenomena perkembangan Peer-to-Peer Lending yang merupakan buah dari pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan inovasi teknologi di sektor keuangan yang membutuhkan rezim pengaturan yang dapat menjamin kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan terhadap para pemangku kepentingan di industri tersebut. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti kelebihan dan kekurangan rezim pengaturan Peer-to-Peer Lending di Indonesia dengan cara membandingkannya dengan rezim pengaturan di Korea Selatan. OJK sebagai pemegang kekuasaan pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan telah mengeluarkan POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi sebagai payung hukum penyelenggaraan Peer-to-Peer Lending di Indonesia. Investor sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam industri tersebut tentu membutuhkan adanya perlindungan hukum untuk menjamin kepentingannya. Substansi dari peraturan yang telah diterbitkan OJK menjadi bahan kajian utama dalam tulisan ini. Korea Selatan menjadi negara pembanding karena memiliki peraturan khusus di tingkat undang-undang yang mengatur mengenai Peer-to-Peer Lending. Perbedaan pendekatan masing-masing negara dalam mengatur industri Peer-to-Peer Lending tentu tidak dapat dilepaskan dari politik hukum ekonomi yang dianut di masing-masing negara. Dengan demikian, tiap-tiap negara memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam pengaturannya itu. Penelitian ini memberi saran untuk pihak pembuat regulasi di Indonesia agar dapat meneladani dan mencontoh langkah negara lain yang lebih memperkuat perlindungan investor.

The emergence of Peer-to-Peer Lending as a phenomenon and a clear sign of development which is the result of rapid progress in the field of information and communication technology is a technological innovation in the financial sector that requires a regulatory regime that can guarantee legal certainty and fulfill a sense of justice for stakeholders in the industry. This thesis aims to examine the advantages and disadvantages of the Peer-to-Peer Lending regulatory regime in Indonesia by comparing it with the regulatory regime in South Korea. OJK as the holder of regulatory and supervisory powers in the financial services sector has issued POJK No. 10/POJK.05/2022 concerning Information Technology-Based Co-Funding Services as a legal umbrella for Peer-to-Peer Lending in Indonesia. Investors as one of the stakeholders in the industry certainly need legal protection to guarantee their interests. The substance of the regulations issued by OJK is the main study material in this paper. South Korea is the country of comparison because it has special regulations at the level of laws governing Peer-to-Peer Lending. Differences in the approach of each country in regulating the Peer-to-Peer Lending industry cannot be separated from the economic legal politics adopted in each country. Thus, each country has its own advantages and disadvantages in this arrangement. This research provides suggestions for regulators in Indonesia to emulate and copy the steps of other countries to further strengthen investor protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Cahaya Sistanry
"Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang menjanjikan dalam membuka transaksi elektronik. Tingginya angka partisipasi masyarakat di Indonesia atas penggunaan transaksi elektronik (e-commerce), sehubungan dengan perkembangan dari fitur transaksi elektronik yang memungkinkan memberi perlindungan bagi pengguna layanannya, dengan adanya fitur e-wallet dan perkembangan fitur lainnya. Namun seiring dengan perkembangan teknologi tersebut, tidak hanya menghasilkan peningkatan peradaban, namun juga menghasilkan itikad buruk dengan memanfaatkan celah yang terdapat dalam teknologi tersebut. Dalam rangka menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban bagi pelaku usaha dan konsumen, selain dengan mengandalkan fitur-fitur yang telah memberikan perlindungan bagi pengguna layanan pada transaksi elektronik, perlindungan hukum menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjamin pelaksanaan transaksi elektronik. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan transaksi elektronik menurut peraturan perundang- undangan, permasalahan yang sering dijumpai dengan berkembangnya transaksi elektronik, dan bagaimana perlindungan hukum apabila terjadi permasalahan dalam transaksi elektronik. Peraturan perundang-undangan menjadi salah satu sarana yang penting dalam menjamin perlindungan hukum. Perlindungan hukum atas terselenggaranya perjanjian jual beli terwujud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun dengan adanya perbedaan antara perjanjian jual beli konvensional dengan transaksi elektronik, membuat KUHPerdata dan UUPK saja dirasa tidak cukup untuk mengikuti perkembangan Transaksi Elektronik. Hasil dari penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap para pihak dalam transaksi elektronik, tertera dalam peraturan tersendiri dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, yang terwujud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, dan untuk pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Indonesia is one of the countries that promises to electronic commerce. The high number of people's participation in Indonesia in the use of electronic commerce (e-commerce), is due to the development of electronic commerce features that allow protection for service users, with the e-wallet feature and the development of other features. However, along with the development of this technology, it not only resulted in an increase in civilization, but also resulted in bad faith by exploiting the loopholes contained in the technology. In order to guarantee the fulfillment of rights and obligations for business actors and consumers, in addition to relying on features that have provided protection for service users in electronic commerce, legal protection is an important matter to be able to guarantee the implementation of electronic commerce. This research is intended to find out how electronic commerce are carried out according to laws and regulations, problems that are often encountered with the development of electronic commerce, and how legal protection is when problems occur in electronic commerce. Legislation is one of the important means of guaranteeing legal protection. Legal protection for the sale and purchase agreement is embodied in the Civil Code (KUHPerdata) and Law of Consumer Protection. However, with the difference between conventional buying and selling agreements and electronic commerce, it is felt that the Civil Code and UUPK are not enough to keep up with the development of electronic commerce. The results of this study are legal protection for parties in electronic commerce, stated in separate regulations in the implementation of electronic commerce, which are embodied in Law of Information and Electronic Transactions (UU ITE) which has been updated, and its implementation is regulated in Government Regulation of Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hur, Young Soon
"Penelitian ini membahas tentang perlindungan investor asing dalam hukum penanaman modal di Indonesia dengan perbandingan hukum penanaman modal asing Indonesia dan Korea Selatan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perlindungan investor asing dalam hukum penanaman Modal di Indonesia dan bagaimana perbandingan hukum penanaman modal asing di Indonesia dan Korea Selatan. Tujuannya ialah untuk mengetahui tentang bagaimana perlindungan investor asing dalam hukum penanaman Modal di Indonesia dan bagaimana perbandingan hukum penanaman modal asing di Indonesia dan Korea Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian ini menemukan bahwa Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 (UUPM) dan Undang-Undang Promosi Penanaman Modal Asing Korea Selatan (UUPPMA) mempunyai persamaan sebagai peraturan perundangundangan yang dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap investor asing serta untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya terhadap kemakmuran rakyat. Yang membedakan diantara keduanya adalah bahwa UUPPMA mengatur mengenai ketentuan pidana sementara UUPM tidak mengaturnya. Selain pelayanan dan proses pendaftaran yang berbeda. Pada akhirnya semua menuju kepada satu tujuan untuk kemakmuran bersama rakyatnya.

This research examined about foreign investment in Indonesia and comparative study of foreign investment law of Indonesia and South Korea. The main issues in this research is how the protection of foreign investors in the investment law of Indonesia and South Korea. The main purpose of this research is to find out the protection of foreign investors in the investment law of Indonesia and South Korea. The research method used in this research is normative law research.
This research found that the investment law in Indonesia and South Korea has the equation as the legislation made by the government to provide legal protection for foreign investors as well as to provide maximum benefit to the public welfare. The differences between Investment Law in Indonesia and South Korea are criminal provisions, the services and the registration process. In South Korea criminal provisions governing by the Investment Law while in Indonesia not set it.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30726
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Firman El Amny Azra
"Skripsi ini membahas masalah hukum terkait transaksi marjin dan short selling dalam pasar modal indonesia. Transaksi marjin dan short selling mempunyai karakteristik yang khusus jika dibandingkan dengan transaksi efek biasa. Transaksi marjin/atau short selling mempunyai daya ungkit guna meningkatkan potensi keuntungan yang dapat diraih, namun disisi lain juga turut meningkatkan risiko yang ditanggung oleh investor tersebut. Sebagai sebuah transaksi dengan risiko yang relatif lebih besar dibandingkan dengan transaksi efek biasa maka kepastian dan penegakan hukum akan semakin diperlukan guna menjaga kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia. Transaksi marjin dan short selling disini diatur oleh instrumen undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Dimana terhadap transaksi marjin dan short selling telah ditetapkan standarstandar yang patut dipenuhi baik oleh nasabah, perusahaan efek, dan bursa efek. Perusahaan efek dalam hal ini seringkali melakukan penyimpangan yang merugikan investor. Terhadap kerugian tersebut perlu dipertanyakan bagaimana pertanggungjawaban yang dapat diberikan. Hasil penelitian dalam skripsi ini menyimpulkan bahwa kerugian yang diakibatkan perusahaan efek dalam transaksi marjin dan short selling dapat diminta pertanggungjawabannya apabila menyalahi perjanjian atau peraturan perundang-undangan yang ada.

This mini thesis is discusses the legal issues related to margin trading and short selling transactions in Indonesian capital market. Margin trading and short selling has special characteristics compared to the regular securities transaction. Margin trading and short selling has leverage capability to increase potential profits that can be achieved, but on the other hand also increase the risk borne by investors. As a transcation with a relative risk greater than regular securities transaction then enforcement and certainty of law will be increasingly important to maintain confidence in Indonesian capital market. Margin trading and short selling here is governed by the laws and instruments implementing regulations. Where by that regulation margin trading and short selling, standars that should be met either by the customer, securities companies and stock exchange is set. Company in this case often make violation that cause losses to investor. Against these losses needs to be questioned how accountability of securities company can be provided. The results of research in this mini thesis concluded that the losses caused by the securities company in margin trading and short selling transaction can be accounted as long it.s violating the relevant regulation or contract between them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43428
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nafisah
"Waralaba adalah suatu metode pendistribusian barang dan jasa yang pelaksanaannya diatur dalam perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Di Indonesia, waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor PM 53 / M-DAG / PER / 8/2012 Tahun 2012 tentang Waralaba. Sedangkan di Korea Selatan, waralaba telah diatur dalam undang-undang, yaitu Fair Transaction in Franchise Business Act No.15610 dan juga keputusan penegakan hukum atas Enforcement Decree of The Fair Transactions in Franchise Business Act No.28471. Penelitian ini menggunakan metode hukum komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pengaturan perjanjian waralaba antara Indonesia dan Korea Selatan. Hasil penelitian ini menyarankan agar regulasi waralaba dibuat menjadi undang-undang dengan ketentuan yang lebih detail dan tidak diatur.

Franchising is a method of distributing goods and services, the implementation of which is regulated in a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. In Indonesia, franchising is regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising and Regulation of the Minister of Trade Number PM 53 / M-DAG / PER / 8/2012 of 2012 concerning Franchising. Whereas in South Korea, franchising has been regulated in law, namely the Fair Transaction in Franchise Business Act No.15610 and also the law enforcement decision on the Enforcement Decree of The Fair Transactions in Franchise Business Act No.28471. This study uses a comparative legal method. The results showed that there are similarities and differences in franchise agreement arrangements between Indonesia and South Korea. The results of this study suggest that franchise regulations be made into laws with more detailed and unregulated provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ziffany Firdinal
"Penggabungan Usaha PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS) dengan PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah (BNIS) dapat dikategorikan sebagai aksi backdoor listing BSM dengan mekanisme penggabungan terbalik (reverse merger), dengan kondisi seluruh bank yang melakukan transaksi merupakan pihak terafiliasi. Penelitian ini memfokuskan analisis terhadap Pertama, tidak dilakukannya RUPS Independen BRIS dalam pengambilan keputusan penggabungan usaha; dan Kedua, pemenuhan hak menilai harga saham (appraisal right) oleh BRIS. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal serta bertipologi deskripsis analitis. Dari hasil penelitian diketahui seharusnya RUPS dalam rangka menyetujui Penggabungan Usaha BRIS dilaksanakan dengan tata cara RUPS Independen (kecuali terdapat penetapan Kementerian BUMN bahwa penggabungan adalah dalam rangka restrukturisasi -yang tidak di temukan dalam penjelasan RUPS-). BRIS juga sudah melaksanakan penyelesaian hak menilai harga saham (appraisal right) terhadap pemegang saham yang tidak setuju dengan penggabungan, namun jika dibandingkan dengan pelaksanaan hak yang sama pada aksi korporasi PT Indosat Tbk, PT Telkom (Persero) Tbk, dan PT Bank OCBC NISP Tbk, ditemukan perbedaan dalam penggunaan referensi/dasar harga pembelian, periode pembelian kembali saham, tempo pembayaran, dan Pihak yang melakukan pembelian kembali. Oleh sebab itu perbedaan perlakuan yang diterapkan Perusahaan Terbuka, meski tidak bertentangan dengan aturan terkait, namun dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pemegang saham minoritas.

The merger of BRIS with BSM and BNIS can be categorized as a backdoor listing action of BSM with a reverse merger mechanism, and all affiliated parties. This study focuses on the absence of the BRIS Independent GMS in making business merger decisions; and the fulfillment of the appraisal right by BRIS. This study uses doctrinal research methods. From the results of the research, it is known that the GMS to approve the BRIS Merger shall be Independent GMS. BRIS has also carried out the settlement of the appraisal right for shareholders who do not agree with the merger, but when compared to the exercise of the same rights in the corporate action of PT Indosat Tbk, PT Telkom (Persero) Tbk, and PT Bank OCBC NISP Tbk, there are differences in the use of reference/basis for the purchase price, share repurchase period, payment tempo, etc. and the Party that makes the repurchase. Therefore, the difference in treatment applied by Public Companies, although not contrary to related rules, can cause injustice to minority shareholders."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doo Young Choi
"Dalam beberapa tahun terakhir, proses pembekuan industri keuangan melalui merger antara bank besar dan mapan di banyak negara perlu perhatian lebih dekat. Masalah menjadi lebih jelas dalam beberapa tahun terakhir karena pemerintah memberi isyarat arah baru dalam kebijakan keuangannya dan mulai membuka pasar keuangannya dengan persaingan asing. Namun, fenomena ini tidak hanya muncul di Korea Selatan, tapi juga di Indonesia. Dalam hal ini, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana undang-undang mengenai perubahan merger dan akuisisi bank sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1998 antara Indonesia dan Korea Selatan. Apalagi penelitian ini mengetahui undang-undang yang mengatur merger dan akuisisi bank dilaksanakan di kedua negara. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif. Di antara tiga metode penelitian, pertanyaan pertama menggunakan pendekatan historis. Pertanyaan kedua menggunakan pendekatan komparatif, yang berfokus pada persamaan dan perbedaan bagaimana hukum diterapkan di Indonesia dan Republik Korea. Pelaksanaan UU tersebut diwawancarai oleh profesional Bank di Indonesia dan di Korea Selatan. Penelitian ini mengacu pada data sekunder untuk mempelajari topik penelitian. Informasi tentang UU mengenai merger dan akuisisi bank di Indonesia dan Korea Selatan dikumpulkan dari buku, jurnal dan artikel sebagai referensi untuk menangani penelitian ini. Sepanjang penelitian ini, saya telah menyimpulkan bahwa undang-undang dan peraturan di kedua Negara telah lebih spesifik dan diperkuat setelah Krisis Ekonomi tahun 1998. Selain itu, amandemen tersebut berhasil diterapkan di bidang perbankan saat ini, dan memperbaiki merger bank dan proses akuisisi.

In recent years, the restricting process of the financial industry through mergers between large and well-established banks in many countries deserves a closer look. Problems became more apparent in recent years as the government signaled a new direction in its financial policy and began to open up its financial market to foreign competition. However, this phenomenon not only arises in Korea, but also in Indonesia. In this respect, this study aims to find out the laws regarding bank merger and acquisition changed before and after the economic crisis of 1998 between Indonesia and the Republic of Korea. Moreover, to find out the laws regulating bank mergers and acquisition executed/implemented in both countries. This research is categorized as normative legal research. Amongst three research method, the first research question uses historical approach. Second research question uses comparative approach, which focus on the similarities and differences on how law is implemented in Indonesia and Republic of Korea. The implementation of the Law is interviewed by the professional of the Bank in Indonesia and in Republic of Korea. This research refers to secondary data in order to study the topic of the research. Information about laws regarding bank merger and acquisition in Indonesia and South Korea is collected from books, journals and articles as the reference to address this research. Throughout this research, I have been reached in a conclusion that the laws and regulations in both Countries have been more specified and reinforced after the Economic Crisis of 1998. Moreover, those amendments are successfully implemented in current banking field, and improved the bank mergers and acquisitions process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lee, Chae Bin
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan dan sistem yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan perbankan, serta membandingkan pengaturan dan sistem pengawasan perbankan antara OJK di Indonesia dengan Financial Supervisory Service (FSS) di Korea selatan, persamaan dan perbedaan pengawasan terhadap keuangan yang dilakukan oleh OJK dan FSS.Perbandingan dalam penelitian ini ditinjau melalui kewenangan lembaga dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan perbankan di negaranya, mengenai independesi lembaga, dan mengenai hubungan anatara lembaga pengawas tersebut dengan bank sentral di negaranya masing-masing dengan cara memperdalami sistem pengawasan perbankan yang mencakup aspek regulasi, penegak hukum, sarana prasarana, dan masyarakat (bank) serta mengenai analysis terhadap efektivitas pengawasan keuangan dilakukan oleh negara masing-masing.
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskritif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Dari penelitian ini akan diketahui bahwa OJK dan FSS melakukan penganwasan kueangan dengan pengawasan langsung dan tidak langsung, dan akan terdapat perbedaan yang signifikan diantara keduanya terkait dengan memperdalami sistem pengawasan perbankan yang mencakup aspek regulasi, penegak hukum, sarana prasarana, dan masyarakat (bank).

This thesis aims to identify the authority and the system of Otoritas Jasa Keuangan (OJK) in the banking supervision regulatory system as well as to provide comparison on the banking regulatory and supervisory system conducted by OJK in Indonesia and Financial Supervisory Service (FSS) in South Korea, the differences and the similarities identified throughout the analysis between OJK and FSS. The comparison of this research focuses on the Financial Service Authority in carrying out the banking regulatory and supervisory system of each country, namely the independency of the agency, and the relation between supervisory agency with the central banks of each country as well as the effectiveness of financial supervision conducted by each country.
The research method of this paper is normative-descriptive method. Statue approach and comparative approach are used for the research which mainly focuses on the legislation and the comparison. This research is expected to clarify the significant differences between the countries by elaborating the banking supervisory system in the aspect of regulatory system, law enforcement, infrastructure and community (bank).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69278
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>