Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93990 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yolanda Teja
"Latar belakang: Seiring bertambahnya usia, kerut nasolabial (nasolabial fold /NLF) merupakan salah satu area wajah yang menjadi prioritas untuk dikoreksi. Diperlukan modalitas peremajaan wajah yang efektif dengan sesi terapi minimal untuk mengurangi jumlah kunjungan, salah satunya adalah akupunktur tanam benang (thread embedding acupuncture/TEA) Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas satu sesi TEA dibanding dengan 6 sesi terapi manual akupunktur (MA) untuk mengurangi NLF. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal dilakukan pada total 30 wanita yang memenuhi kriteria inklusi. Peserta penelitian dialokasikan dalam 2 kelompok yaitu kelompok TEA yang mendapat 1 sesi terapi dan MA yang mendapat 6 sesi terapi. Dilakukan pengukuran panjang NLF menggunakan caliper vernier, skala Wrinkle Severity Rating Scale (WSRS) dan penilaian kepuasan hasil terapi menggunakan skala visual analogue scale (VAS). Pengukuran dilakukan pada saat sebelum memulai terapi, setelah menyelesaikan terapi, follow- up (FU) minggu ke-2 dan 4. Data diolah menggunakan SPSS 2.0 Hasil: Perbandingan perbedaan rerata luaran antara kelompok TEA dan MA pada saat menyelesaikan terapi menunjukkan hasil perbaikan yang bermakna pada perubahan panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p <0,001), WSRS (Uji Mann Whitney, p <0,001), dan kepuasan (Uji T Tidak Berpasangan, p <0,001). Pada FU minggu kedua, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok berdasarkan pengukuran panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,170), dan kepuasan (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,991), serta perbedaan bermakna pada WSRS (Uji Mann Whitney, p 0,018). Pada FU minggu keempat, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok berdasarkan pengukuran panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,079), WSRS (Uji Mann Whitney, p 0,082), dan perbedaan yang bermakna pada kelompok TEA pada skor kepuasan (Uji Mann Whitney, p 0,036). Kesimpulan: Perbaikan NLF pada TEA semakin baik dari waktu ke waktu, sementara MA menunjukkan perbaikan paling tinggi pada saat tepat setelah menyelesaikan terapi. Pada FU minggu ke 4 didapatkan hasil yang sama baik pada kedua kelompok untuk perbaikan panjang NLF dan WSRS. Namun demikian, nilai kepuasan kelompok TEA pada FU minggu ke 4 memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding MA. Selain itu, TEA memiliki keunggulan hanya memerlukan 1 sesi terapi sehingga dapat meminimalisir sesi kunjungan.

Background: As we age, the nasolabial fold (NLF) become one of the areas of the face as a priority for correction. An effective facial rejuvenation modality such thread embedding acupuncture (TEA) is needed with minimal therapy sessions to reduce visit numbers. This study was conducted to see the effectiveness of one session of TEA compared to 6 sessions of manual acupuncture (MA) to reduce NLF . Methods: A single-blind randomized controlled clinical trial was conducted on a total of 30 women who met the inclusion criteria. Participants were allocated into 2 groups: TEA group with single session of therapy, and MA group with 6 sessions of therapy. The outcomes of the study were the length of NLF measured by vernier caliper, WSRS scale and satisfaction score using visual analogue scale (VAS). Measurement was carried out before starting therapy, right after completing therapy, 2 weeks and 4 weeks of follow-up (FU). Data processed using SPSS 20.0 Result: Comparison of the mean difference in outcomes between the TEA and MA groups at the time of completion of therapy showed significant improvements in changes of NLF length (Independent T-Test, p <0.001), WSRS (Mann Whitney test p <0.001), and satisfaction (Independent T-Test, p <0.001). In the second week of FU, there was no significant difference between groups based on the measurement of NLF length (Independent T-Test, p 0.170), and satisfaction (Independent T-Test, p: 0.991), and a significant difference in WSRS (Mann Whitney test, p 0.018). At the fourth week of FU, there was no significant difference between the two groups based on the measurement of the length of the NLF (Independent T-Test, p 0.079), WSRS (Mann Whitney test, p 0.082), and a significant difference in the TEA group in satisfaction scores (Mann Whitney test, p 0.036). Conclusion: The improvement of TEA group in NLF reduction showed a pattern of getting better from time to time, while MA group showed the best improvement at the time after completing therapy. At the fourth week of FU, the results for improvement in the length of NLF and WSRS were same in both groups. However, the satisfaction score of TEA group at fourth week of FU has higher value than the MA. In addition, TEA only requires 1 session so that it is expected to be able to minimize sessions"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Arumsari Asmara
"ABSTRAK
Kerutan nasolabial merupakan salah satu tanda penuaan wajah yang menonjol. Upaya mengurangi tanda penuaan wajah dengan metode invasif minimal belakangan semakin marak. Akupunktur tanam benang Polydioxanone (PDO) sering dipraktekkan untuk mengurangi kerutan, namun penelitian yang menilai efek obyektif akupunktur tanam benang terhadap perbaikan kerutan masih sedikit. Uji klinis open-label prospektif lengan tunggal dilakukan terhadap wanita usia 30-49 tahun, dengan Skala Glogau II-III. 13 subyek menerima 1 sesi akupunktur tanam benang dengan penjabaran sesuai Revised STandards for Reporting Interventions in Clinical Trials of Acupuncture (STRICTA). Penilaian utama yaitu perbedaan jarak kerutan nasolabial dilakukan 4 kali pada sebelum, tepat sesudah, 2 minggu dan 4 minggu sesudah tindakan. Penilaian sekunder adalah skor Modified Fitzpatrick Wrinkle Score (MFWS) dan skor kepuasan subyek. Tidak ada subyek yang dinyatakan gugur. Penilaian utama menunjukkan penurunan jarak rerata kerutan nasolabial kanan yang signifikan pada tepat sesudah (6.43 ± 7.15), 2 minggu (6.53 ± 6.07), dan 4 minggu (15.32 ± 6.21) dibandingkan dengan nilai awal (p<0.05), serta penurunan jarak rerata kerutan nasolabial kiri pada tepat sesudah (7.05 ± 5.23), 2 minggu (7.52 ± 4.29), dan 4 minggu (15.65 ± 6.25) dibandingkan dengan nilai awal (p<0.05). Didapatkan penurunan signifikan rerata skor MWFS pada 4 minggu dibandingan nilai awal baik pada kerutan nasolabial kanan maupun kiri. Sebelas subyek (84.62%) merasa sangat puas dengan tindakan akupunktur tanam benang PDO, sementara 2 subyek lainnya merasa cukup puas. Efek samping yang ditemui berupa eritema, hematoma, edema, gatal, dan nyeri, bersifat sementara dan menghilang tanpa intervensi. Akupunktur tanam benang PDO terbukti mengurangi jarak kerutan nasolabial kiri dan kanan, dimana pengurangan jarak kerutan lebih besar setelah 2 Minggu.

ABSTRACT
Nasolabial folds are one of the most prominent facial aging signs. There is a growing trend on minimally invasive procedures to correct facial aging signs. While Polydioxanone (PDO) thread embedding acupuncture are often practiced in wrinkle treatment, the clinical trials with objective measurements are scarce. A single arm, prospective, open-label clinical trial was done to women aged 30-49 years, with Glogau scale II-III. Thirteen participants each receive a single thread embedding acupuncture reported according the Revised STandards for Reporting Interventions in Clinical Trials of Acupuncture (STRICTA). The primary outcome, length of nasolabial fold, were oberved 4 times; before, right after, 2 weeks, and 4 weeks after procedure. The secondary outcomes are Modified Fitzpatrick Wrinkle Score (MFWS) and patient satisfaction score. There was no dropout. Primary outcome analisis shows significant improvement in every mean difference of dextra nasolabial folds right after (6.43 ± 7.15), 2 weeks (6.53 ± 6.07), and 4 weeks (15.32 ± 6.21), as well on sinistra nasolabial folds right after (7.05 ± 5.23), 2 weeks (7.52 ± 4.29), and 4 weeks (15.65 ± 6.25) compared to baseline (p<0.05). Significant improvement in MWFS score was also observed in 4 week for both right and left nasolabial folds compared to baseline. Eleven participants (84.62%) scored very satisfied, while the rest scored quite satisfied. Side effects found were erythema, bruising, edema, itchiness, and pain were all brief and self limiting. PDO thread emnbedding acupuncture are effective in reducing both right and left nasolabial length, with higher decrease 2 weeks after post treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Nurmawati
"Pendahuluan: Kerut nasolabialis merupakan salah satu tanda penuaan yang mudah dikenali pada bagian tengah wajah. Bagi sebagian orang, perubahan pada wajah dapat memberikan efek samping pada komunikasi, daya tarik dan kepercayaan diri. Tehnik non-invasif yang ada saat ini masih memberikan efek samping yang cukup serius. Akupunktur sudah digunakan secara luas untuk terapi kecantikan termasuk rejuvenasi wajah untuk peremajaan kulit serta dikenal efektif dan minimal efek samping dalam mengurangi kerutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan garis kerut nasolabialis setelah tindakan akupunktur untuk facial rejuvenation.
Metode: Penelitian ini disusun dengan desain quasi eksperimental atau disebut juga one group pretest-postest design yang melibatkan 25 orang partisipan. Seluruh pasien yang memenuhi kriteria akan menerima terapi yang sama berupa akupunktur manual sebanyak tiga kali seminggu selama dua minggu. Akupunktur dilakukan pada titik akupunktur ST36. Akupunktur pada wajah dilakukan menggunakan teknik penetrating needling yaitu dari tepi superior arcus zygomaticus melewati ST2 ke arah LI20, pada os zygomaticum melewati ST3 ke arah pertengahan kerut nasolabialis, pada tepi inferior arcus zygomaticum melewati SI18 ke arah ST4, ST7 ke arah ST4, serta di titik ashi pada kulit temporal kepala di sepanjang tepi batas rambut pada m.temporoparietalis. Luaran yang dinilai adalah perubahan panjang kerut nasolabialis dalam millimeter, perubahan wrinkle severity rating scale, serta perubahan global aesthetic improvement scale. Luaran akan dinilai pada saat sebelum terapi, setelah akhir terapi, follow-up dua minggu dan follow-up 4 minggu setelah akhir terapi.
Hasil: Panjang kerut nasolabialis berkurang setelah terapi dengan rerata perubahan sebesar 37,34%. Terdapat perbaikan satu tingkat pada skala wrinkle severity rating scale (WSRS) setelah terapi. Pada skala global aesthetic improvement scale (GAIS) terdapat perbaikan dua sampai tiga tingkat setelah terapi.
Kesimpulan: Garis kerut nasolabialis mengalami perbaikan setelah mendapatkan terapi akupunktur manual untuk facial rejuvenation.

Introduction:. Nasolabial fold are one of the most recognizable signs of aging in the midface. For some people, facial changes can have side effects on communication, attractiveness and self-confidence. The existing non-invasive techniques still have serious side effects. Acupuncture has been used widely for beauty therapy including facial rejuvenation for skin rejuvenation and is known to be effective and have minimal side effects in reducing wrinkles. The aim of this study was to determine the changes in nasolabial fold after manual acupuncture for facial rejuvenation.
Methods: This study is designed as a quasi experimental or also called as one group pretest-postest design involving 25 participants. Eligible patients will receive the same manual acupuncture therapy three times a week for two weeks. Manual acupuncture is performed at acupuncture point ST36. At face, acupuncture is performed using the penetrating needling technique, from the superior edge of the arcus zygomaticus through ST2 towards LI20, on the zygomaticum through ST3 towards the middle of the nasolabial fold, on the inferior edge of the arcus zygomaticum through SI18 towards ST4, ST7 towards ST4, and at ashi point on the scalp along the temporal hairline at the m.temporoparietalis.. The outcome are nasolabial length changes measured in millimeters, changes in wrinkle severity rating scale, and changes in global aesthetic improvement scale. The outcome will be evaluated at baseline, post therapy, two-week and four-weeks follow-up post therapy.
Results: The length of nasolabial fold decreased after therapy with a mean change of 37.34%. There was one level improvement on the wrinkle severity rating scale (WSRS) after therapy. On the global aesthetic improvement scale (GAIS) there is an improvement of two to three levels after therapy
Conclusion : Nasolabial fold improved after receiving manual acupuncture therapy for facial rejuvenation.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Hartanto
"Intervensi yang sedang populer di kalangan perempuan sebagai rekonstruksi wajah tanpa operasi yaitu tanam benang atau tarik benang. Akupunktur tanam benang adalah salah satu jenis tindakan akupunktur yang memanfaatkan benang yang dapat diserap, yang melekat pada jarum. Kerusakan jaringan akibat penusukan dan penyisipan benang menghasilkan reaksi inflamasi aseptik dan akhirnya mendorong regenerasi jaringan sekitar. Meskipun akupunktur tanam benang telah banyak dilakukan untuk kasus-kasus tertentu, terutama untuk kasus kosmetika, namun masih kurangnya bukti mengenai keamanannya baik di Korea, yang merupakan negara yang mempopulerkan teknik ini. Infeksi, reaksi terhadap benang yang dianggap benda asing oleh tubuh, nodul subkutan atau eritem, gatal, reaksi inflamasi akibat mikrotrauma saat penusukan dan penyisipan adalah hal-hal yang mungkin terjadi dalam tindakan akupunktur tanam benang ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada 4 subyek (30,77%) yang merasakan 1 jenis tanda kardinal inflamasi, 3 subyek (23,08%) yang merasakan 3 jenis tanda inflamasi, 5 subyek (38,46%) yang merasakan 4 jenis tanda kardinal inflamasi dan 1 subyek (7,69%) yang merasakan semua jenis tanda kardinal inflamasi. Bila dilihat dari tanda kardinal, maka 100% pasien mengalami dolor, 6 pasien mengalami kalor, 7 pasien mengalami rubor dan tumor, serta 5 pasien mengalami fungsio lesa. Nilai FACE-Q untuk domain penampilan wajah dan kualitas hidup terkait dengan kesehatan cukup tinggi reratanya, sedangkan untuk dampak buruk cukup rendah reratanya. Untuk uji korelasi antara perubahan kerutan nasolabial dengan nilai FACE-Q tidak ada korelasi. Dapat disimpulkan bahwa prosedur akupunktur tanam benang relatif aman dan minimal efek samping serta memberi penilaian subyektif yang tinggi.

An intervention that is popular with women as face reconstruction without surgery is planting threads or pulling threads. Thread acupuncture is one type of acupuncture that utilizes absorbable thread attached to the needle. Tissue damage due to puncturing and insertion of threads results in aseptic inflammatory reactions and ultimately encourages the regeneration of surrounding tissue. Although yarn acupuncture has been used for certain cases, especially for cosmetics, there is still a lack of evidence regarding its safety either in Korea, which is a country that popularized this technique. Infection, reactions to threads that are considered foreign bodies by the body, subcutaneous nodules or erythema, itching, inflammatory reactions due to microtrauma during pricking and insertion are things that might occur in this thread acupuncture action. The results showed that there were 4 subjects (30.77%) who felt 1 type of cardinal inflammation sign, 3 subjects (23.08%) who felt 3 types of inflammatory sign, 5 subjects (38.46%) who felt 4 types of signs cardinal inflammation and 1 subject (7.69%) who felt all kinds of inflammatory cardinal signs. When viewed from the cardinal sign, then 100% of patients experience color, 6 patients experience heat, 7 patients experience rubles and tumors, and 5 patients experience fatigue. The FACE-Q value for the domain of facial appearance and quality of life associated with health is quite high, while for adverse effects it is quite low. For the correlation test between changes in nasolabial wrinkles with the FACE-Q value there is no correlation. It can be concluded that the thread acupuncture procedure is relatively safe and minimizes side effects and gives a high subjective assessment."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Arlene
"Pendahuluan: Nyeri pada lansia masih merupakan tantangan yang besar bagi tenaga kesehatan. Tatalaksana nyeri akut menjadi penting karena penanganan nyeri akut yang inadekuat telah dihubungkan dengan luaran yang lebih buruk selama hospitalisasi, termasuk nyeri persisten, waktu perawatan yang lebih lama, hambatan pada terapi fisik, keterlambatan ambulasi, dan delirium. Penggunaan farmakoterapi harus lebih berhati-hati karena kelompok lansia lebih rentan terhadap efek samping dan interaksi obat, adanya polifarmasi dan komorbiditas yang lebih banyak. Akupunktur telah diketahui efektif untuk menangani berbagai macam nyeri pada geriatri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh satu sesi akupunktur dalam penurunan skala nyeri pada pasien geriatri dengan nyeri akut.
Metode: Desain studi ini adalah studi uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal. Empat puluh lansia > 60 tahun dengan nyeri yang dialami ≤ 6 bulan atau perburukan dalam ≤ 6 bulan terakhir dan NRS ≥ 4 dibagi menjadi 2 kelompok yaitu: kelompok terapi standar dan kelompok kombinasi terapi standar dan akupunktur. Perlakuan akupunktur dilakukan 1 sesi pada titik Battlefield Acupuncture. Seluruh subyek tetap menerima terapi standar yang ditentukan oleh dokter penanggungjawab pasien. Penilaian skor NRS dan VAS dilakukan 30 menit, 1 jam, dan 2 jam setelah menerima perlakuan.
Hasil: Rerata penurunan skor NRS dan VAS pada kelompok yang menerima kombinasi terapi standar dan akupunktur pada ketiga waktu pengukuran lebih baik secara bermakna dibandingkan dengan kelompok terapi standar (p<0,001).
Kesimpulan: Pemberian satu sesi akupunktur dapat mempengaruhi kecepatan penurunan skala nyeri pada pasien lansia dengan nyeri akut.

Introduction: Pain management in elderly still become problematic for health workers. Adequate acute pain treatment is important because ineffective management for acute pain is associated with poorer outcomes throughout hospitalization, such as persistent pain, longer hospitalization period, delayed ambulation, and delirium. The use of pharmacotherapy in this group should be more cautious because elderly is more susceptible to drug interaction and side effects, polypharmacy, and comorbidities. Acupuncture has been found to be effective and safe in treating various kinds of pain in elderly. The aim of this study was to determine the effect of one session acupuncture on pain scale reduction in geriatric with acute pain.
Methods: This was a single blinded, randomized controlled trial of 40 elders with pain experienced ≤ 6 months or worsening in the last 6 months, with NRS ≥ 4. The subjects were divided into 2 groups: the standard therapy group and the combination of standard therapy and acupuncture group. Acupuncture treatment was performed one time using Battlefield Acupuncture points. All subjects continued to receive standard therapy as determined by the doctor in charge of the patient. NRS and VAS scores were assessed 30 minutes, 1 hour, and 2 hours after receiving treatment to evaluate patient’s outcome.
Results: Both NRS and VAS scores showed significant differences between 2 groups at all measurement times (p<0,001), with the mean reduction of pain scales in the group receiving combination of standard therapy and acupuncture was better than in standard therapy group.
Conclusion: The administration of one session acupuncture can affected pain scale reduction in elderly with acute pain
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marshellia Setiawan
"Pendahuluan: Endometriosis merupakan salah satu kondisi ginekologi yang sering dijumpai. Nyeri dapat mengganggu keseharian penderita endometriosis dan menurunkan kualitas hidup. Terapi untuk nyeri endometriosis yang terdiri dari hormon, non hormon, dan pembedahan, memiliki risiko dan efek samping. Akupunktur telah terbukti mengurangi nyeri endometriosis melalui efek analgesik, menurunkan estradiol, memodulasi neurotransmiter, memperkuat sel imun, dan mengurangi inflamasi. Akupunktur tanam benang (ATB) memiliki keuntungan yaitu stimuli kontinu titik akupunktur sehingga dapat mengurangi frekuensi kunjungan ke dokter. ATB telah terbukti efektif pada berbagai penyakit, namun efek ATB pada kasus endometriosis masih jarang dipublikasi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek dari kombinasi ATB dengan terapi standar pada endometriosis.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu uji klinis pretest-posttest satu kelompok yang dilakukan pada pasien endometriosis di unit rawat jalan RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari bulan Desember 2023 sampai Mei 2024. Subjek penelitian adalah yang telah mengkonsumsi dienogest sebagai terapi standar untuk nyeri endometriosis selama minimal 1 bulan, namun masih mengalami nyeri dengan skor Numeric Rating Scale (NRS) ≥ 4. Subjek kemudian mendapatkan terapi ATB sebanyak satu kali, yang dikombinasikan dengan dienogest sebagai terapi standar selama 8 minggu. Luaran yang dinilai adalah intensitas nyeri dengan skor NRS, serta skor kualitas hidup dengan kuesioner Endometriosis Health Profile-30 (EHP-30). Skor dasar NRS dan EHP-30 saat subjek hanya mendapat terapi standar, dibandingkan dengan skor NRS dan EHP-30 4 dan 8 minggu setelah mendapat kombinasi ATB dengan terapi standar. Hasil: Terdapat penurunan rerata skor NRS yang signifikan dari sebelum terapi (5,25 ± 1,16) hingga 4 minggu setelah terapi (1,84 ± 2,09; p = 0,001) dan 8 minggu setelah terapi (1,47 ± 2,04; p < 0,001). Terdapat penurunan rerata skor EHP-30 yang signifikan pada subskala nyeri dari sebelum terapi (43,18 ± 23,93) hingga 4 minggu setelah terapi (25,85 ± 22,36; p = 0,039) serta subskala kontrol dan rasa tidak berdaya dari sebelum terapi (45,83 ± 30,54) hingga 4 minggu setelah terapi (25,52 ± 25,24; p = 0,035). Penurunan skor EHP-30 setelah 4 minggu terapi bermakna secara klinis pada subskala nyeri, kontrol dan rasa tidak berdaya, serta kesehatan mental; sementara setelah 8 minggu terapi bermakna secara klinis pada seluruh subskala. Kesimpulan: Kombinasi ATB dengan terapi standar dapat menurunkan intensitas nyeri endometriosis 4 minggu setelah terapi dan bertahan hingga 8 minggu; serta meningkatkan kualitas hidup penderita endometriosis pada aspek nyeri serta kontrol dan rasa tidak berdaya 4 minggu setelah terapi.

Introduction: Endometriosis is a common gynecologic condition in everyday practice. Pain in endometriosis can be disabling, thus reducing quality of life. Management strategy for pain in endometriosis includes hormones, non-hormonal therapy, and surgery; each one has its own risks and side effects. Acupuncture has been proven to be effective in reducing endometriosis-related pain through its analgesic effect, modulating estradiol and neurotransmitters, enhancing immune cells, and reducing inflammation. Thread embedding acupuncture (TEA) has advantage in term of continuous stimulation of acupuncture points, thereby reducing frequency of visits to doctor. TEA has been proven to be effective in various medical condition, but still not much explored in endometriosis publications. This study was conducted to analyze the effect of TEA combination with standard therapy on endometriosis.
Methods: This study was a one group pretest-posttest clinical trial conducted on RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo outpatient endometriosis patients from December 2023 until May 2024. Subjects included in this study had been consuming dienogest as standard therapy for endometriosis pain at least for 1 month, but still felt pain with Numeric Rating Scale (NRS) score ≥ 4. Subjects then went through TEA once, combined with dienogest as standard therapy for 8 weeks forward. Outcomes assessed were pain intensity using NRS score and quality of life score using Endometriosis Health Profile-30 (EHP-30). Baseline NRS and EHP-30 scores when subjects only received standard therapy, were compared with 4 and 8 weeks after subjects went through the combination of TEA with standard therapy.
Result: There were significant decline in mean NRS scores from baseline (5,25 ± 1,16) to 4 weeks after therapy (1,84 ± 2,09; p = 0,001) and 8 weeks after therapy (1,47 ± 2,04; p < 0,001). There were significant decline in mean EHP-30 scores on pain subscale from baseline (43,18 ± 23,93) to 4 weeks after therapy (25,85 ± 22,36; p = 0,039), control and powerlessness subscale from baseline (45,83 ± 30,54) to 4 weeks after therapy (25,52 ± 25,24; p = 0,035). EHP-30 score declines in 4 weeks after therapy were clinically meaningful on subscales : pain, control and powerlessness, mental health; 8 weeks after therapy : on all subscales. Conclusion: Combination of TEA with standard therapy could decrease endometriosis pain intensity 4 weeks after therapy and remained until 8 weeks; and could improve quality of life in pain and control & powerlessness aspects 4 weeks after therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Notonegoro
"Pendahuluan: Obesitas dinyatakan sebagai suatu epidemik dan prevalensinya masih meningkat di negara ekonomi berkembang.  Kondisi obesitas dapat mempengaruhi hampir seluruh fungsi fisiologis tubuh dan menyebabkan ancaman signifikan terhadap kesehatan masyarakat.  Penanganan obesitas seringkali sulit dan membutuhkan biaya mahal.  Terapi farmakologi banyak memiliki efek samping.  Akupunktur sebagai salah satu terapi non-farmakologi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam terapi obesitas.  Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang merupakan modalitas yang dapat digunakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efek terapi elektroakupunktur dengan akupunktur tanam benang PDO terhadap penurunan berat badan, lingkar pinggang, dan kadar leptin plasma pada pasien obesitas yang menjalani intervensi diet.
Metode: Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal.  Sebanyak 34 subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok elektroakupunktur dengan intervensi diet (EA) dan kelompok akupunktur tanam benang dengan intervensi diet (ATB). Pada kelompok EA, akupunktur dilakukan 3 kali seminggu. Sedangkan pada kelompok ATB, akupunktur dilakukan hanya 1 kali.  Berat badan dan lingkar pinggang diukur sebelum terapi, hari ke-3, 7, 14, 21, dan ke-28.  Sedangkan kadar leptin plasma diukur sebelum terapi dan hari ke-28.
Hasil: Terdapat penurunan yang bermakna pada rerata berat badan dan lingkar pinggang pada kedua kelompok sebelum dan setelah terapi (p < 0,001), serta penurunan kadar leptin plasma pada kelompok EA (p = 0,012) dan pada kelompok ATB (p = 0,001).  Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok baik terhadap selisih penurunan berat badan (p = 0,342), penurunan lingkar pinggang (p = 0,826), dan penurunan kadar leptin plasma (p = 0,784).
Kesimpulan: Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang PDO yang disertai intervensi diet memiliki efektivitas yang sama baiknya terhadap penurunan berat badan, lingkar pinggang, dan kadar leptin plasma pada pasien obesitas.  Akupunktur tanam benang memiliki efisiensi waktu dibandingkan dengan elektroakupunktur karena hanya dilakukan satu kali.

Introduction: Obesity is declared as an epidemic and its prevalence is still increasing in developing countries.  Obesity can affect almost all physiological functions of the body and create a significant threat to public health.  Treatment of obesity is often difficult and expensive.  Pharmacological therapy has many side effects.  Acupuncture as a non-pharmacological therapy has shown promising results in the treatment of obesity.  Electroacupuncture and thread embedding acupuncture are modalities that can be used.  The aim of this study was to analyze therapeutic effects of electroacupuncture  with PDO thread embedding acupuncture on weight loss, waist circumference, and plasma leptin levels in obese patients with dietary intervention.
Methods: This study design was a single blind randomized clinical trial. A total of 34 subjects were divided into 2 groups: electroacupuncture with dietary intervention group (EA) and thread embedding acupuncture with dietary intervention group (TEA).  In EA group, acupuncture was performed 3 times a week.  While in TEA group, acupuncture was performed only once.  Body weight and waist circumference were measured before treatment, on the 3rd, 7th, 14th, 21st, and 28th days. Meanwhile, plasma leptin levels were measured before treatment and on the 28th day.
Results: There was a significant decrease in body weight and waist circumference in both groups before and after treatment (p < 0.001), and also a significant decrease in plasma leptin level in EA group (p = 0,012) and TEA group (p = 0,001).  There was no significant difference between the two groups in term of weight loss (p = 0.342), waist circumference (p = 0.826), and plasma leptin levels (p = 0,784).
Conclusion: Electroacupuncture and PDO thread embedding acupuncture with dietary intervention have the same effectiveness in reducing body weight, waist circumference, and plasma leptin levels in obese patients.  However, thread embedding acupuncture has better time efficiency than electroacupuncture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanggoro Laka Bunawan
"Pendahuluan: Tukak lambung merupakan salah satu penyakit tersering pada saluran pencernaan yang mempunyai angka kekambuhan yang cukup tinggi. Penanganan tukak lambung seringkali sulit dan membutuhkan biaya mahal. Terapi farmakologi memiliki banyak efek samping. Akupunktur sebagai salah satu terapi non-farmakologi telah menunjukkan hasil yang baik dalam terapi dan sebagai protektif terhadap tukak lambung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efek protektif elektroakupunktur dengan akupunktur tanam benang terhadap indeks ulkus lambung dan kadar serum Malondialdehyde (MDA) pada tukak lambung.
Metode: Penelitian dilakukan pada bulan November - Desember 2021 di Puslitbangkes Biomedik, Kementerian kesehatan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Desain penelitian adalah studi eksperimental dengan Randomized posttest design. 30 hewan coba tikus dibagi menjadi 5 kelompok: kelompok normal, kontrol tukak lambung (TL), omeprazole (OME), elektroakupunktur (EA) dan akupunktur tanam benang (ATB). Kelompok OME diberikan omeprazole oral 20 mg/kg dan EA pada ST36 Zusanli dan CV12 Zhongwan dengan frekuensi 2 Hz, intervensi pada OME dan EA dilakukan setiap 2 hari sekali selama 12 hari. Kelompok ATB 1 kali intervensi di hari pertama. Skor indeks ulkus lambung dan kadar serum MDA diukur setelah induksi tukak lambung dilakukan pasca 12 hari perlakuan. Semua hasil data diolah menggunakan SPSS versi 20.
Hasil: Skor indeks ulkus tidak berbeda bermakna antara kelompok EA dengan ATB (uji Mann Whitney, p = 0,523), namun skor indeks ulkus kelompok EA dan ATB lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok TL (uji Mann Whitney, p < 0,05). Kadar serum MDA lebih rendah bermakna pada kelompok EA versus TL (uji post-hoc, p < 0,001) dan pada kelompok ATB versus TL (uji post-hoc, p < 0,05). Kelompok EA versus ATB, kadar MDA tidak berbeda bermakna (uji post-hoc, p = 1,000).
Kesimpulan: Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang memiliki efek protektif terhadap tukak lambung yang sama baiknya terhadap skor indeks ulkus lambung dan kadar serum MDA. Akan tetapi akupunktur tanam benang memiliki efisiensi waktu [sw1] dibandingkan dengan elektroakupunktur.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Puspitasari Winarno
"Pendahuluan: Nyeri miofasial yang ditandai dengan titik pemicu (TP) miofasial merupakan penyebab umum nyeri muskuloskeletal dan penyebab utama dari nyeri leher maupun bahu pada populasi pekerja, terutama pekerjaan kantor yang berhubungan dengan komputer berisiko lebih tinggi akibat gerakan berulang, postur tubuh statis, lamanya berada di depan komputer, serta peningkatan penggunaan perangkat genggam. Bila penanganan nyeri miofasial gagal dilakukan tepat waktu, maka dapat mengakibatkan disfungsi, kecacatan, dan kerugian finansial bagi pasien. Akupunktur tanam benang (ATB) merupakan modalitas akupunktur baru yang dapat memberikan stimulasi jangka panjang yang bertujuan memperpanjang efek terapeutik yang sama dengan akupunktur konvensional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek terapi ATB terhadap skor nyeri, Neck Disability Index (NDI), dan ambang nyeri tekan (ANT) pada nyeri miofasial otot upper trapezius.
Metode: Desain penelitian pada penelitian ini adalah sebuah uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian ini diikuti oleh 44 orang subjek penelitian yang dibagi kedalam kelompok ATB (n=22) dan sham ATB (n=22). Pasien dengan nyeri miofasial otot upper trapezius TP laten di kedua kelompok akan menerima satu kali terapi ATB menggunakan benang polydioxanone monofilamen merk CARA ukuran 29G x 50 mm atau sham ATB (benang dibuang) pada satu titik pemicu di otot upper trapezius yang akan di follow up pada 3 hari, 1 minggu, 4 minggu, dan 8 minggu setelah terapi.
Hasil: Kedua kelompok terdapat perbaikan intensitas nyeri, disabilitas, dan ANT yang bermakna pada 3 hari, 1 minggu, 4 minggu, maupun 8 minggu setelah terapi (p<0,001). Terapi ATB memiliki efektivitas yang lebih baik terhadap perbaikan intensitas nyeri pada 4 minggu (p=0,007) dan 8 minggu setelah terapi (p=0,004), penurunan skor NDI pada 8 minggu setelah terapi (p=0,004), dan peningkatan nilai ANT pada 4 minggu (p=0,04) dan 8 minggu setelah terapi (p=0,002) dibandingkan sham ATB.
Kesimpulan: ATB memperbaiki intensitas nyeri, disabilitas, dan ANT pasien nyeri miofasial otot upper trapezius.

Introduction: Myofascial pain characterized by myofascial trigger point (MTrP) is a common cause of musculoskeletal pain and the main cause of neck and shoulder pain in the working population, especially computer-related office work which is at higher risk due to repetitive movements, static body postures, and long periods in front of the computer, as well as increased use of handheld devices. If myofascial pain treatment fails to be carried out promptly, it can result in dysfunction, disability, and financial loss for the patient. Thread embedding acupuncture (TEA) is a new modality that can provide long-term stimulation to prolong the same therapeutic effect as conventional acupuncture. This study aimed to determine the effect of ATB therapy on pain scores, Neck Disability Index (NDI), and pressure pain threshold (PPT) in upper trapezius muscle myofascial pain.
Method: The research design in this study was a double-blind, randomized clinical trial. This study was attended by 44 research subjects divided into TEA group (n=22) and sham TEA group (n=22). Patients with latent MTrP in the upper trapezius muscle in both groups will receive once TEA therapy using CARA brand monofilament polydioxanone thread 29G x 50 mm or TEA sham (thread removed) at one TrP in the upper trapezius muscle which will be followed up on 3 days, 1 week, 4 weeks, and 8 weeks after therapy. Results: Both groups experienced significant improvements in pain intensity, disability, and PPT at 3 days, 1 week, 4 weeks, and 8 weeks after therapy (p<0.001). TEA therapy had better effectiveness in improving pain intensity at 4 weeks (p=0.007) and 8 weeks after therapy (p=0.004), NDI scores at 8 weeks after therapy (p=0.004), and PPT at 4 weeks (p=0.04) and 8 weeks after therapy (p=0.002) compared to sham ATB. Conclusion: TEA improves pain intensity, disability, and PPT for patients with myofascial pain in the upper trapezius muscle.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryamin
"Pendahuluan : Nyeri kanker bukan hanya terjadi akibat dari kanker itu sendiri namun mencakup pengobatan, efek samping pengobatan, proses diagnosis dan hal lain yang tidak berhubungan dengan penyakit kanker itu sendiri. Dalam penanggulangan nyeri banyak obat analgetik yang digunakan sehingga menimbulkan efek samping. Baik nyeri yang tidak teratasi maupun efek samping pengobatan nyeri dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan nyeri kanker. Salah satu pendekatan terapi non farmakologi yang dapat digunakan adalah menambahkan akupunktur pada terapi standar nyeri. Akupunktur telah terbukti dapat menurunkan intensitas nyeri. Namun, aplikasi pada pasien kanker masing jarang dilakukan dalam praktek rawat inap rumah sakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas manual akupunktur dalam mengurangi intensitas nyeri yang dinilai dengan skor Visual Analog Scale (VAS) dan peningkatan kualitas hidup yang dinilai dengan The European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) Core Quality of Life Questionnaire (QLQ-C30)pada pasien nyeri kanker ginekologi yang dirawat inap .
Metode : Desain studi ini adalah uji klinis acak terkontrol tunggal dengan kontrol terapi standar. Penelitian ini diikuti oleh 58 pasien kanker ginekologi yang mengalami nyeri pada saat rawat inap. Subjek penelitian dialokasikan secara acak ke dalam kelompok perlakuan (n=29) dan kontrol (n=29). Pada kelompok manual akupunktur dan terapi standar diberikan terapi akupunktur pada titik LI4 Hegu, PC6 Neiguan, LR3 Taichong dan ST36 Zusanli, dilakukan setiap hari selama 3 hari, sementara pasien pada kelompok kontrol pasien hanya menerima terapi standar berupa obat analgetik saja.
Hasil : Penambahan terapi manual akupunktur dalam terapi standar didapatkan perbedaan signifikan dalam intensitas nyeri pada hari pertama, penurunan nyeri pada hari pertama dan kedua bila dibanding dengan hanya terapi standar. Pada penilaian kualitas hidup didapatkan peningkatan kualitas hidup yang lebih menyeluruh dengan penambahan manual akupunktur pada terapi standar dibanding hanya terapi standar saja. Penggunaan analegetik pada kelompok manual akupunktur dan terapi standar lebih sedikit dibanding terapi standar
Kesimpulan : Penambahan manual akupunktur pada terapi standar meningkatkan penurunan intensitas nyeri, meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan dosis obat analgetik.

Introduction: Cancer pain does not only occur as a result of cancer itself but includes treatment, side effects of treatment, the diagnosis procedure and other things that are not related to cancer itself. In treating pain, many analgesic drugs are used which can cause side effects. Both unresolved pain and side effects of pain treatment can affect the quality of life of patients with cancer pain. One non-pharmacological therapy approach that can be used is adding acupuncture to standard pain therapy. Acupuncture has been proven to reduce pain intensity. However, its application to cancer patients is rarely carried out in hospital inpatient. The aim of this study was to assess the effectiveness of manual acupuncture in reducing pain intensity as assessed by the Visual Analog Scale (VAS) score and patient quality of life assessed by The European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) Core Quality of Life Questionnaire (QLQ- C30) in hospitalized gynecological cancer pain patients.
Methods: The design of this study is a single randomized controlled clinical trial with standard therapy controls. This study followed 58 gynecological cancer patients who experienced pain during hospitalization. Research subjects were randomly allocated into treatment (n=29) and control (n=29) groups. In the manual acupuncture and standard therapy groups, acupuncture therapy was given at points LI4 Hegu, PC6 Neiguan, LR3 Taichong and ST36 Zusanli, carried out every day for 3 days, while patients in the control group only received standard therapy in the form of analgesic drugs.
Results: The addition of manual acupuncture therapy to standard therapy resulted in a significant difference in pain intensity on the first day, a decrease in pain on the first and second days when compared with standard therapy alone. In assessing the quality of life, it was found that there was a more comprehensive improvement in quality of life with the addition of manual acupuncture to standard therapy compared to standard therapy alone. The use of analgesics in the manual acupuncture and standard therapy groups was less than standard therapy
Conclusion: The addition of manual acupuncture to standard therapy increases pain intensity reduction, improves quality of life and reduces the dose of analgesic drugs.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>