Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183568 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beviena Mariska WongsaputraGloryka Ednadita, supevisor
"Literatur menunjukkan bahwa kedua bentuk kekerasan hubungan intim, yakni secara langsung yang disebut sebagai in-person intimate partner aggression (IPA) dan secara siber yang disebut sebagai cyber intimate partner aggression (CIPA), kerap kali terjadi pada populasi dewasa muda. Berdasarkan penelitian terdahulu, IPA dan CIPA dapat diprediksi oleh adverse childhood experience (ACE) melalui proses belajar sosial. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat peran ACE dalam memprediksi IPA dan CIPA, serta menguji hubungan antara kedua bentuk kekerasan tersebut. Penelitian ini melibatkan 945 individu dewasa muda di Indonesia yang pernah atau sedang menjalani hubungan romantis. Instrumen-instrumen yang digunakan adalah Revised Conflict Tactics Scales–Short Form (CTS2S; Straus & Douglas, 2004) untuk mengukur tindakan IPA; (2) Cyber Aggression in Relationship Scale (CARS; Watkins dkk., 2018) untuk mengukur tindakan CIPA; dan (3) Childhood Trauma Questionnaire–Short Form (CTQ- SF; Bernstein dkk., 2003) untuk mengukur ACE. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa dimensi physical assault, psychological aggression, dan sexual coercion dari IPA dan perilaku CIPA secara keseluruhan dapat diprediksi secara signifikan dan positif oleh ACE (β=0.005, SE=0.001, p>0.001; β=0.016, SE=0.002, p>0.001; β=0.005, SE=0.001, p>0.001; β=0.085, SE=0.016, p>0.001). Seluruh dimensi IPA ditemukan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan CIPA (p<0.001). Implikasi hasil penelitian serta saran metodologis dan praktis dibahas lebih lanjut.

The literature shows that both direct and online forms of intimate partner aggression, known as in-person intimate partner aggression (IPA) and cyber intimate partner aggression (CIPA), are common in the young adult population. Based on earlier studies, IPA and CIPA can be predicted by adverse childhood experience (ACE) through social learning processes. Therefore, this study was conducted to examine the role of ACE in predicting IPA and CIPA, as well as the relationship between the two forms of intimate partner aggression. This study involved 945 young adults in Indonesia who were or are currently in a romantic relationship. The instruments used were Revised Conflict Tactics Scales–Short Form (CTS2S; Straus & Douglas, 2004) to measure IPA; (2) Cyber Aggression in Relationship Scale (CARS; Watkins et al., 2018) to measure CIPA; and (3) the Childhood Trauma Questionnaire–Short Form (CTQ-SF; Bernstein et al., 2003) to measure ACE. The results of the regression analysis showed that the dimensions of IPA (physical assault, psychological aggression, and sexual coercion) and CIPA can be predicted significantly and positively by ACE (β=0.005, SE=0.001, p>0.001; =0.016, SE=0.002 , p>0.001; =0.005, SE=0.001, p>0.001; =0.085, SE=0.016, p>0.001). All dimensions of IPA were also found to have a positive and significant relationship with CIPA (p<0.001). The implications of the research as well as methodological and practical suggestions are discussed further."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamelia Ramandha
"Dewasa muda menggunakan teknologi komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk untuk menjalin hubungan romantisnya. Namun, teknologi digital kemudian berpotensi menjadi sebuah wadah untuk melakukan kekerasan terhadap pasangan, dikenal sebagai cyber intimate partner aggression (CIPA). Berdasarkan penelitian sebelumnya, CIPA dapat diprediksi oleh adverse childhood experience (ACE). ACE dipercaya berpotensi memunculkan early maladaptive schema (EMS) pada individu yang kemudian meningkatkan kemungkinan melakukan CIPA. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa skema domain yang paling berpengaruh antara hubungan ACE dan CIPA adalah disconnection & rejection. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat peran mediasi domain disconnection & rejection, secara keseluruhan dan masing-masing skema di dalamnya, dalam hubungan antara cyber intimate partner aggression dengan adverse childhood experience. Partisipan pada penelitian ini adalah 941 dewasa muda yang pernah atau sedang menjalani hubungan romantis dan berdomisili di Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perilaku cyber intimate partner aggression dapat diprediksi secara signifikan dan positif oleh adverse childhood experience (β=.084, SE=.016 p <.001). Selanjutnya, skema domain disconnection & rejection secara keseluruhan dapat memediasi hubungan tersebut secara signifikan. Dari lima skema yang ada, skema abandonment dan skema mistrust/abuse yang dapat secara signifikan memediasi hubungan yang ada. Implikasi hasil penelitian dibahas lebih lanjut.

Young adults use communication technology in their daily lives, including to establish romantic relationships. However, communication technology potentially creates a new platform for violence against partner, known as cyber intimate partner aggression (CIPA). Based on previous research, CIPA can be predicted by adverse childhood experience (ACE). ACE is believed to have the potential to cause early maladaptive schema (EMS) in individuals which then increases the likelihood of performing CIPA. Previous research found that the most influential domain scheme in the relationship between ACE and CIPA was disconnection & rejection. Therefore, this study was conducted to examine the mediation role of the disconnection & rejection domain, as a whole and separately for each schema in the domain, in the relationship between cyber intimate partner aggression and adverse childhood experience. Participants in this study were 941 young adults who had or are currently in a romantic relationship and domiciled in Indonesia. The results indicate that the behavior of cyber intimate partner aggression can be significantly and positively predicted by adverse childhood experience (β=.084, SE=.016 p <.001). Furthermore, the overall disconnection & rejection domain schema can significantly mediate the relationship. Out of the five existing schemas, the abandonment schema and the mistrust/abuse schema could significantly mediate the existing relationship. Research implications discussed further."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranindya Pramudita Aranira
"Jumlah warga Negara Indonesia yang melakukan bunuh diri adalah sebesar 11 juta orang dengan memiliki latar belakang depresi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebanyak 50% orang yang mengalami adverse childhood experience akan berakhir memiliki gejala depresi di masa dewasa. Jenis attachment style di masa dewasa juga berhubungan dengan adverse childhood experience dan berkontribusi dalam memunculkan gejala depresi. Penelitian kali ini mencoba melihat hubungan antara adverse childhood experience, jenis attachment style di masa dewasa, dan gejala depresi. Gejala depresi diukur menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experience diukur dengan menggunakan Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), dan attachment style di masa dewasa diukur dengan menggunakan Adult Attachment Scale (AAS). Penelitian kali ini dilakukan terhadap 482 orang dewasa muda di jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara adverse childhood experience (r = 0,388, n = 482, p < 0,01). Adverse childhood experience memiliki hubungan yang signifikan dan paling besar dengan anxious attachment style di masa dewasa dibandingkan dengan jenis attachment lain (r = 0,271, n = 482, p < 0,01). Anxious attachment style di masa dewasa juga memiliki hubungan yang signifikan dan paling tinggi dengan gejala depresi dibandingkan dengan jenis attachment lainnya (r = 0,486, n = 482, p < 0,01). Penelitian ini memiliki limitasi yakni kriteria partisipan yang kurang terfokus terhadap orang-orang yang pernah mengalami adverse childhood experience dan proporsi sampel yang kurang merata.

The number of Indonesian citizens who commit suicide is 11 million people with a background of depression. Previous research has shown that as many as 50% of people who experience bad childhood experiences end up with depressive symptoms in adulthood. This type of stylistic attachment in adulthood is also associated with adverse childhood experiences and contributes to depressive symptoms. The current study looks at the relationship between adverse childhood experiences, types of attachment styles in adulthood, and symptoms of depression. Depressive symptoms were measured using the Beck Depression Inventory-II (BDI-II), adverse childhood experiences as measured using the Adverse Childhood Experience Questionnaire (ACE), and attachment style in adulthood measured using the Adult Attachment Scale (AAS). The current research was conducted on 482 young adults in Jabodetabek. The results showed that there was a positive and significant relationship between bad experiences during childhood (r = 0.388, n = 482, p <0.01). Adverse childhood experiences had a significant and greatest association with anxious attachment style in adulthood compared with other attachment types (r = 0.271, n = 482, p <0.01). Anxious attachment style in adulthood also had a significant and highest association with depressive symptoms compared to other types of attachments (r = 0.486, n = 482, p <0.01). The limitations of this study are, the criteria of participants are less focused on people who have experienced adverse childhood experience and the proportion of the sample is not evenly distributed."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrea Valencie
"Pengalaman buruk masa kecil menjadi suatu kejadian yang dampaknya besar bagi seseorang. Pengaruhnya dapat berlanjut hingga tahapan perkembangan selanjutnya dalam kehidupan. Kini, di Indonesia terdapat peningkatan kasus penganiayaan dan penelantaran anak. Pemahaman umum menekankan pengaruh negatif dari pengalaman buruk masa kecil. Namun, hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada kasus kehidupan nyata, di mana individu yang mengalami pengalaman buruk masa kecil mengembangkan resiliensi dan perilaku prososial yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dan perilaku prososial pada populasi dewasa muda di Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah 275 individu berusia 18-29 tahun yang berdomisili di Indonesia. Pengalaman buruk masa kecil diukur menggunakan alat ukur Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) dan perilaku prososial diukur menggunakan Prosocialness Scale for Adults (PSA). Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi pengalaman buruk masa kecil (M=39,51, SD=9,31), akan diikuti dengan penurunan frekuensi kecenderungan perilaku prososial (M=61,56, SD=9,56). Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia perlu menciptakan pengalaman yang baik di masa kecil, sehingga perilaku membantu di masa dewasa muda pun meningkat.

Adverse Childhood Experience (ACE) becomes an impactful event for someone. Its influence can continue into later stages of development in life. In Indonesia, there is an increase in cases of child abuse and neglect. Common understanding emphasizes the negative effects of ACE. However, this differs from what is found in real life cases, where individuals who experience ACE develop resilience and high prosocial behavior. This study aims to examine the relationship between ACE and prosocial behavior in emerging adults in Indonesia. The participants of this study were 275 individuals aged 18-29 who live in Indonesia. ACE were measured using the Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) and prosocial behavior was measured using the Prosocialness Scale for Adults (PSA). The results of the research analysis showed that the higher the frequency of negative childhood experiences (M=39.51, SD=9.31), the lower the frequency of prosocial behavior tendencies (M=61.56, SD=9.56). This demonstrates how Indonesians need to create good experiences in childhood, in order to help increase prosocial behavior in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Margaretha
"Kekerasan berpacaran merupakan kekerasan yang paling banyak ditemui pada dewasa muda di Indonesia pada tahun 2019. Pengalaman masa kecil yang buruk merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam berpacaran. Salah satu yang diduga menjembatani kedua varibel ini adalah anxious attachment. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah anxious attachment memediasi pengalaman masa kecil yang buruk dengan kekerasan dalam berpacaran pada dewasa muda. Partisipan dalam penelitian  ini berjumlah 345 orang dengan rata-rata usia 21.56 tahun. Pengalaman masa kecil yang buruk diukur dengan Childhood Trauma Questionnaire Short Form, kekerasan dalam berpacaran diukur dengan Conflict Tactics Scales Revised Short Form dan anxious attachment diukur dengan Short Form Experience in Close Relationships- Revised. Hasil analisis menggunakan analisis mediasi menjelaskan bahwa anxious attachment memediasi hubungan antara pengalaman masa kecil yang buruk dengan kekerasan dalam berpacaran subskala injury pada dewasa muda (ab=0.0069,SE=0.0,99%, CI[0.0024, 0.0134]). Anxious attachment tidak memediasi pengalaman masa kecil yang buruk dengan kekerasan dalam berpacaran subskala psychological aggression, sexual coercion, physical assault dan negotiation. Kesimpulan penelitian menjelaskan bahwa semakin sering pengalaman masa kecil yang buruk dialami seseorang, semakin tinggi anxious attachment seseorang yang kemudian mengarahkan pada meningkatnya kekerasan dalam berpacaran subskala injury pada dewasa muda. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan instrumen tambahan seperti wawancara.

Dating violence was the most common type of violence happened to young adult in Indonesia in 2019. Adverse Childhood Experience is a risk factor that influence the development dating violence. Anxious attachment is postulated to mediate these two variables. The purpose of this study was to examinate whether anxious attachment mediates the relationship between adverse childhood experience and dating violence in young adulthood. The study was conducted on 345 participants with average age 21.56. Adverse Childhood Experience measured by Childhood Trauma Questionnaire Short Form, dating violence were measured by Conflict Tactics Scales Revised Short Form and anxious attachment measured by Short Form Experience in Close Relationships-Revised. The result  analysis using mediation analysis showed that anxious attachment significantly mediated the relationship between Adverse Childhood Experience and dating violence subscale injury in young adulthood (ab=0.0069,SE=0.0,99%, CI[0.0024, 0.0134]). Anxious attachment not mediate dating violence subscale  psychological aggression, sexual coercion, physical assault and negotiation. The research conclusion proves that the more often Adverse Childhood Experience happened, the higher the anxious attachment, which leads to increased dating violence subscale injury in young adulthood. Future research are suggested to add additional instrument such as interviews.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Cahsya Ariefa
"Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana individu dewasa muda yang pernah mengalami Adverse Childhood Experience memaknai hubungan romantis dengan memahami pengalaman masa kecil yang menyakitkan, pola asuh, dan proses sosialisasi gender yang dialami oleh masing-masing partisipan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe fenomenologi. Peneliti mewawancarai 4 partisipan perempuan dan 2 partisipan laki-laki di rentang usia 19-24 tahun. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa pengalaman masa kecil yang menyakitkan, pola asuh, dan proses sosialisasi gender yang dialami berpengaruh pada bagaimana partisipan memandang diri dan pasangan, konflik serta kekerasan dalam hubungan romantis, serta bagaimana mereka mendefinisikan hubungan romantis yang sehat. Pengaruh tersebut menghambat partisipan dalam membangun kompetensi romantis yang baik sehingga mempersulit partisipan untuk membangun hubungan romantis yang sehat. Kesulitan yang dialami partisipan berbeda-beda. Ada yang mengalami kesulitan untuk keluar dari hubungan romantis yang berkekerasan, ada partisipan yang memutuskan hubungan romantis karena takut untuk merasakan emosi positif, dan ada partisipan yang melakukan kekerasan kepada pasangan. Walaupun begitu, lebih dari separuhnya menunjukkan peningkatan kompetensi romantis, belajar dari pengalaman menjalin hubungan romantis sebelumnya
This study aims to find out how young adults who have experienced Adverse Childhood Experience interpret romantic relationships by understanding painful childhood experiences, parenting patterns, and the process of gender socialization experienced by each participant. This study uses a qualitative method with a phenomenological type. Researcher interviewed 4 female participants and 2 male participants in the age range of 19-24 years. Based on the results of the analysis, it was found that painful childhood experiences, parenting, and the process of gender socialization experienced affect how participants view themselves and their partners, conflict, and violence in romantic relationships, and how they define healthy romantic relationships. This influence inhibits participants from building good romantic competence, making it difficult for them to build healthy romantic relationships. The difficulties experienced by the participants varied. There are those who have difficulty getting out of violent romantic relationships, there are participants who break off romantic relationships because they are afraid to feel positive emotions, and there are participants who commit violence to their partners. Even so, more than half showed increased romantic competence by learning from experiences in previous romantic relationships."
Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Kevin Tadeus
"Latar Belakang Adverse childhood experience (ACE), termasuk kekerasan, pengabaian, dan disfungsi rumah tangga, secara signifikan memengaruhi hasil psikologis dan perilaku jangka panjang, seperti agresivitas. Mengidentifikasi agresi di dalam penjara, terutama di antara narapidana berisiko sedang, sangat penting untuk memastikan keselamatan, penempatan risiko, dan mencegah residivisme. Penelitian ini mengkaji korelasi antara ACE dan agresivitas pada populasi narapidana berisiko sedang. Metode Penelitian cross-sectional dilakukan menggunakan WHO ACE-IQ untuk mengukur variabel ACE dan Buss-Perry Aggression Questionnaire untuk mengukur variabel agresivitas pada 121 narapidana berisiko sedang di Nusa Kambangan, yang dianalisis menggunakan SPSS. Hasil Setidaknya satu ACE dilaporkan oleh 90,9% narapidana; 40,6% memiliki empat atau lebih ACE. Kekerasan kolektif (67,8%) adalah ACE yang paling umum. Rata-rata agresivitas pada narapidana adalah 76,31 (73,18 – 79,45). Setiap dimensi agresivitas pada narapidana tergolong tingkat sedang. Korelasi signifikan ditemukan antara skor total BPAQ dan jumlah ACE, kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasan seksual dengan kontak, dan kekerasan kolektif. Lebih banyak ACE secara signifikan dikaitkan dengan peningkatan agresi secara keseluruhan dan dimensinya: agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Kesimpulan ACE sangat prevalen ditemukan pada narapidana Nusa Kambangan. Di sisi lain, agresivitas yang dimiliki adalah dalam tingkat sedang. Adanya ACE dengan jumlah atau jenis tertentu secara signifikan berkorelasi dengan agresivitas total seorang narapidana. Skrining ACE dan agresivitas perlu dipertimbangkan pada narapidana.

Introduction
Adverse childhood experience (ACE), including abuse, neglect, and household dysfunction,
significantly influence long-term psychological and behavioral outcomes, for instance,
aggressiveness. Identifying aggression in prisons, particularly among medium-risk inmates, is
crucial to ensure safety, risk placement, and prevent recidivism. This study examines the
correlation between ACE and aggressiveness in a medium-risk prison population.
Method
A cross-sectional study was conducted using the WHO ACE-IQ to measure ACE and Buss-
Perry Aggression Questionnaire to measure aggression among 121 medium-risk inmates in
Nusakambangan, analyzed using SPSS.
Results
At least one ACE was reported by 90.9% of inmates; 40.6% had four or more ACEs.
Collective violence (67.8%) was the most prevalent ACE. The average aggressiveness among
inmates is 76.31 (73.18 – 79.45). Each dimension of aggressiveness among inmates is
categorized at a moderate level. Significant correlations were found between the total BPAQ
score and the number of ACEs, emotional abuse, physical abuse, contact sexual abuse, and
collective violence. More ACEs were significantly associated with increased overall
aggression and its dimensions: physical aggression, verbal aggression, anger, and hostility.
Conclusion
ACE is highly prevalent among prisoners at Nusa Kambangan. On the other hand, their level
of aggression is moderate. Possessing a specific amount or type of ACE is significantly
correlated with an inmate's overall aggression level. Screening for ACE and aggression
should be considered for inmates.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alyaa Dewanti
"Kecanduan narkoba merupakan masalah yang dimiliki secara global, termasuk di Indonesia. Ada beberapa penelitian yang menghubungkan yang merugikan
pengalaman masa kanak-kanak (ACE) dengan kecanduan narkoba, tetapi tidak semua individu dengan ACE mengalami kecanduan narkoba. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji impulsif sebagai mediator dalam hubungan ACE dengan adiksi narkoba. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan sampel penderita adiksi narkoba yang berusia di atas 18 tahun. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah ACE-10, DAST-20, dan BIS-11. Data dari 89 peserta menunjukkan bahwa impulsif memediasi sebagian hubungan antara ACE dan kecanduan narkoba.

Drug addiction is a problem that is owned globally, including in Indonesia. There are several studies linking the harm childhood experience (ACE) with drug addiction, but not all individuals with ACE experience drug addiction. Therefore, this study aims to examine impulsivity as a mediator in the relationship between ACE and drug addiction. This study is a cross-sectional study with a sample of drug addiction patients who are over 18 years of age. The measuring instruments used in this study were ACE-10, DAST-20, and BIS-11. Data from 89 participants showed that impulsivity partly mediated the relationship between ACE and drug addiction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa Ibrena
"ABSTRAK
Narkoba masih menjadi permasalahan bagi dunia dan Indonesia hingga saat ini, yaitu tahun 2016 tercatat 275 juta orang menggunakan narkoba sedangkan di Indonesia sendiri mencapai 3 juta atau sekitar 1,7%. Adverse Childhood Experience (ACE) merupakan salah satu faktor seseorang untuk mengalami adiksi narkoba. Perceived social support juga ditemukan memiliki pengaruh terhadap penggunaan narkoba. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Adverse Childhood Experience dan perceived social support dengan adiksi narkoba. Sebanyak 74 orang di atas 18 tahun yang berada di pusat rehabilitas narkoba diminta untuk mengisi kuesioner berisi ACE-10, DAST-20, MSPSS, dan data kontrol lainnya. Hasil korelasi menunjukkan bahwa ACE memiliki hubungan yang positif dengan adiksi narkoba sedangkan perceived social support memiliki hubungan yang negatif dengan adiksi narkoba.

ABSTRACT
Drugs are still a problem for the world and Indonesia until now, namely in 2016 there were 275 million people using drugs while in Indonesia alone reached 3 million or around 1.7%. Adverse Childhood Experience (ACE) is one factor for a person to experience drug addiction. Perceived social support was also found to have an influence on drug use. This study aims to look at the relationship between Adverse Childhood Experience and perceived social support with drug addiction. As many as 74 people over 18 years who were at the drug rehabilitation center were asked to fill out questionnaires containing ACE-10, DAST-20, MSPSS, and other control data. The correlation results show that ACE has a positive relationship with drug addiction while perceived social support has a negative relationship with drug addiction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Earlita Adelia
"Penelitian tentang kekerasan berpacaran siber masih terbatas walaupun hubungan romantis yang dijalin secara online sudah umum. Salah satu faktor risiko dari kekerasan dalam berpacaran adalah pengalaman buruk masa kecil. Selain itu, regulasi emosi diketahui berhubungan dengan meningkatnya perlakuan dan kemungkinan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengalaman buruk masa kecil terhadap kekerasan dalam berpacaran siber dan kemampuan regulasi emosi sebagai moderator hubungan di antara keduanya. Dalam penelitian ini kekerasan berpacaran siber diukur melalui kedua sisi yaitu sisi pelaku dan juga korban. Partisipan berjumlah 117 dewasa muda Indonesia (64.8% perempuan, M usia = 20,22, SD = 1,925). Ditemukan bahwa pengalaman buruk masa kecil memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi pelaku (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = 0.001, t(117) = 0.381, p > 0.05). Pengalaman buruk masa kecil juga ditemukan memprediksi kekerasan berpacaran siber dari sisi korban (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) dan regulasi emosi bukan merupakan moderator yang signifikan (b = -0.000, t(117) = ,0.042, p > 0.05). Hasil ini menekankan hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dengan kekerasan dalam berpacaran dalam konteks siber.

Research related to cyber dating abuse is still limited even though online romantic relationships are common. One of the risk factors for dating violence is adverse childhood experiences. In addition, emotion regulation is known to be associated with increased perpetration and the likelihood of being a victim of dating violence. This study aims to determine the effect of adverse childhood experiences on cyber dating abuse and emotion regulation as a moderator. Cyber dating abuse is measured through perpetrator's side and also the victim's side. Participants totalled 117 emerging adults (64.8% female, M age = 20.22, SD = 1.925). It was found that adverse childhood experiences predict cyber dating abuse from the perpetrator's side (b = 0.252, t(117) = 4.060, p < 0.05) and emotion regulation is not a significant moderator (b = 0.001, t( 117) = 0.381, p > 0.05). Adverse childhood experiences were also found to predict cyber dating abuse from the victim side (b = 0.341 , t(117) = 4.764, p < 0.05) and emotion regulation was not a significant moderator (b = -0.000, t(117) = 0.042, p > 0.05). These results emphasize the relationship between adverse childhood experiences and dating violence in cyber context.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>