Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160636 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luthfia Reswara Ardevani
"Latar Belakang: Stunting menjadi permasalahan yang tinggi di Indonesia dengan prevalensi paling tinggi berada di NTT. Kondisi tersebut sering dikaitkan dengan kondisi oral, seperti penurunan level protein saliva. Namun, belum diketahui hubungan antara protein salia dengan status HAZ yaitu stunting dan nonstunting.
Tujuan: Membandingkan dan melihat hubungan total protein dan profil protein yang terdeteksi pada saliva anak dengan status HAZ.
Metode: Bahan biologis tersimpan sampel saliva didapatkan dari 96 anak di NTT. Sampel diuji menggunakan Bradford assay dan SDS PAGE untuk melihat total protein dan profil protein. Hasil dianalisa dengan SPSS.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara total protein dengan status HAZ. Didapatkan korelasi negatif sangat lemah (r=-032, p=0.756) pada total protein dengan status HAZ. Profil protein yang diduga terdeteksi yaitu protein serum albumin, amilase, acidic PRPs dan cystatin. Protein serum albumin dan acidic PRPs persentasenya terhitung lebih banyak pada nonstunting. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara pola profil protein yang terdeteksi dengan status HAZ. Didapatkan korelasi positif sangat lemah (r=0.080, p=0.381) antara pola profil protein yang terdeteksi dengan status HAZ.
Kesimpulan: Total protein pada saliva tidak dapat dijadikan biomarker, protein yang diduga sebagai serum albumin dan acidic PRPs dapat dijadikan biomarker status HAZ pada anak, namun diperlukan pemeriksaan tambahan.

Background: Stunting is a high problem in Indonesia with the highest prevalence in NTT. These conditions have an impact on oral conditions, such as decreased salivary protein levels. There is no known relationship between salivary protein and HAZ status, namely stunting and nonstunting.
Objective: To observe and compare the relationship between total protein and suspected protein profile in children salivary with HAZ status.
Methods: Biological stored saliva samples were obtained from 96 children in NTT. Samples were tested using Bradford assay and SDS PAGE and analyzed with SPSS.
Results: There was no significant difference between total protein and HAZ status. A very weak negative correlation was found (r=-032,p=0.756) in total protein with HAZ status. The suspected protein profiles were serum albumin, amylase, acid PRPs, and cystatin. Serum albumin and acid PRPs accounted for higher percentages in nonstunting. There was no significant difference between the protein profile pattern and HAZ status. A very weak positive correlation was found (r=0.080,p=0.381) between pattern profile protein and HAZ status.
Conclusion: Total protein in saliva cannot be used as a biomarker, proteins suspected of being serum albumin and acidic PRPs can be used as biomarkers of HAZ status in children, but additional tests are needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Damayanti
"Di Indonesia, masalah gizi buruk masih sangat memprihatinkan dan salah satu daerah dengan status gizi buruk terbanyak adalah Nusa Tenggara Timur NTT. Salah satu desa di NTT yang juga merupakan desa miskin dan sulit air adalah Desa Pero Konda di Sumba Barat Daya. Oleh karena itu, diduga banyak kejadian kekurangan gizi pada daerah tersebut sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan asupan protein pada anak usia 2-12 tahun di Desa Pero Konda. Desain penelitian ini adalah potong lintang analitik. Data yang digunakan adalah data primer. Data diambil melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan, serta dengan bantuan instrumen kuesioner food recall 24 jam. Status gizi ditentukan berdasarkan Kurva CDC-2000 dengan indeks berat badan menurut usia BB/U, tinggi badan menurut usia TB/U, dan berat badan menurut tinggi badan BB/TB. Setelah itu, data diolah dengan SPSS versi 20 dan dianalisis dengan uji chi-square. Terdapat 99 responden pada penelitian ini. Hasilnya menunjukkan terdapat 52 orang responden perempuan 52,5 dan 47 orang responden laki-laki 47,5. Dari hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB didapatkan 57 responden 57,6 berperawakan kurus, 33 responden 33,3 berperawakan pendek, dan 34 responden 34,3 memiliki status gizi kurang. Sebanyak 34 responden 34,3 memiliki asupan protein yang cukup dan 65 responden 65,7 memiliki asupan protein kurang. Berdasarkan anamnesis food recall, asupan protein terbanyak didapat dari protein hewani cumi dan ikan. Pada uji chi-square, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kecukupan asupan protein dengan status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Disimpulkan, status gizi pada anak di Desa Pero Konda tergolong kurang dan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan asupan protein.

In Indonesia, undernourished is still become a concern problem and province which has the most undernourished children is Nusa Tenggara Timur NTT. One of its village where poverty and lack of water are common is Pero Konda at Sumba Barat Daya. Based on the data, a study needs to be done. This study aims to evaluate the association between protein intake with the nutritional status of children age 2-12 years old in Pero Konda. Analytic cross sectional studies using primary data was used in this study. The weight and height of the children were measured, and the 24 hour food recall was gathered through questionnaire. Nutritional statuses were assessed using curve of CDC 2000 grow chart with weighth for age index W/A, height for age index H/A, and weight for height index W/H. After that, the data processed using SPSS version 20 and analyzed with chi square test. There were 99 respondent in this study. The results showed there were 52 girl respondents 52,5 and 47 boy respondents 47,5. Based on the results of nutritional statusses rsquo measures using W/A, H/A, and W/H index, there were 57 respondent 57,6 wasting, 33 respondent 33,3 stunting, and 34 respondent 34,3 undernourished. A total of 34 respondents 34,3 had adequate protein intake and 65 respondents 65,7 have poor protein intake. Based on the anamnesis food recall, the highest protein sources were from animal protein squid and fish. In the chi square test, there are no significant differences between the protein intake and nutritional status based on W/A, H/A, and W/H index. In conclusion, the nutritional status of children in Pero Konda was considered undernourished and there was no statistically significant association with protein intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Weny Wulandary
"Stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, kesehatan dan gizi ibu yang buruk, pola asuh dan stimulasi psikososial tidak memadai. Tesis ini membahas determinan stunting pada anak usia 6 – 23 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur menggunakan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Hasil penelitian menunjukkan proporsi stunting pada anak usia 6 – 23 bulan di provinsi NTT sebesar 32,8%. Analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan signifikan dengan stunting di antaranya adalah usia anak (OR: 1,723 CI 95% 1,215-2,445), jenis kelamin (OR: 1,777 CI 95% 1,305-2,419), BBLR (OR: 2,106 CI 95% 1,206-3,423), PBLR (OR: 1,768 CI 95% 1,133-2,759), riwayat penyakit infeksi (OR: 1,548 CI 95% 1,141-2,099), tingkat pendidikan ibu (OR: 1,555 CI 95% 1,136-2,127), dan sanitasi jamban (OR: 1,881 CI 95% 1,384-2,555). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor paling dominan terhadap stunting yaitu riwayat penyakit infeksi dengan nilai OR terbesar (p-value 0,003; OR: 2,244). Anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi berisiko stunting sebesar 2,2 kali lebih tinggi dibandingan dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi setelah dikontrol variabel usia anak, jenis kelamin, berat badan lahir, panjang badan lahir, dan sanitasi jamban.

Stunting is the impaired growth and development that children experience from chronic malnutrition, repeated infection, poor maternal health, and inadequate psychosocial stimulation. The focus of this study is determinants of stunting on 6 – 23 months children in East Nusa Tenggara Province using data from the Study of Indonesian Nutritional Status in 2021. This research is a quantitative study used cross sectional design. The results showed that the proportion of stunting in 6-23 months in NTT province was 32.8%. The results of bivariate analysis showed that variables significantly associated with stunting included child age (OR: 1.723 CI 95% 1.215-2.445), gender (OR: 1.777 CI 95% 1.305-2.419), LBW (OR: 2.106 CI 95% 1.206-3.423), LBH (OR: 1.768 CI 95% 1.133-2.759), history of infectious disease (OR: 1.548 CI 95% 1.141-2.099), maternal education (OR: 1.555 CI 95% 1.136-2.127), and toilet sanitation (OR: 1.881 CI 95% 1.384-2.555). The results of multivariate analysis showed that the most dominant factor of stunting was history of infectious disease (p-value 0,003; OR: 2.244). Children who have history of infectious disease are at risk of stunting by 2.2 times higher than children who do not have history of infectious disease after being controlled by child age, gender, LBW, LBH, and toilet sanitation."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Atmadika Rahim
"Balita merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan mengalami masalah status gizi. Di Indonesia, prevalensi balita kekurangan gizi, pendek, dan kurus cukup tinggi, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain masalah status gizi, sebagian besar balita di Provinsi NTT juga mengalami kekurangan asupan protein. Asupan protein merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi balita dan hubungannya dengan tingkat pola asupan protein di Provinsi NTT. Desain penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang analitik dengan jumlah sampel sebesar 564 balita berusia 12-59 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa sebesar 47 subjek kekurangan gizi, 62,8 subjek pendek, dan 14,9 subjek kurus. Setengah dari jumlah subjek juga memiliki tingkat pola asupan protein yang kurang 50,4. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square menunjukkan hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat pola asupan protein dengan status gizi menurut BB/U p=0,001 dan TB/U p=0,041. Selain itu, juga terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara tingkat penghasilan keluarga dengan status gizi menurut BB/U p=0,019 dan TB/U p=0,002 serta tingkat pendidikan ibu dengan status gizi menurut TB/U p=0,011. Kesimpulannya, prevalensi kekurangan gizi, pendek dan kurus pada balita di Provinsi NTT tinggi dan secara signifikan berhubungan dengan tingkat pola asupan protein.

Under five children are one of group which is very vulnerable to nutritional status problem. In Indonesia, prevalence of underweight, stunting, and wasting among under five children is high, especially in Nusa Tenggara Timur. Besides nutritional status problem, most of under five children in NTT also had low protein intake. Protein intake is one of many factors that may influence nutritional status. The aim of this study is to determine nutritional status of under five children and its association with protein intake in NTT. Study design applied is analytical cross sectional with. sample of 564 under five children aged 12 59 months. The results showed that 47 subjects were underweight, 62.8 subjects were stunting, and 14.9 subjects were wasting. Half of subjects had insufficient protein intake 50.4. Bivariate analysis using Chi square test showed significant association between protein intake and nutritional status index of weight for age. 0.001 and height for age. 0.041. In addition, there were significant association between family income and nutritional status index of weight for age. 0.019 and height for age. 0.002. as well as mother rsquo. education and nutritional status index of height for age. 0.011. In conclusion, prevalence of underweight, stunting, and wasting among under five children in NTT was high and it significantly associated with protein intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariani Tri Rahmi
"Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita yang diakibatkan karena kekurangan gizi kronis dan terjadi dalam jangka waktu panjang ditandai dengan tinggi/panjang badan anak terhadap usia <-2 SD kurva pertumbuhan WHO. Prevalensi Stunting di Indonesia pada tahun 2022 adalah 21,6%. Provinsi NTB merupakan salah satu provinsi yang mengalami kenaikan prevalensi stunting dari dari 31,4% pada tahun 2021 menjadi 32,7% pada tahun 2022. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu faktor risiko penyebab stunting pada anak usia 24-59 bulan di Provinsi NTB. Desain dalam penelitian ini adalah cross-sectional menggunakan data SSGI 2022. Sampel dalam penelitian ini anak anak usia 24-59 bulan di Provinsi NTB yang terpilih menjadi responden SSGI 2022. Analisis data dilakukan menggunakan chi-square dan regresi logistik berganda. Hasil penelitian menunjukkan jenis kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah balita dalam keluarga, sumber air minum, dan kepemilikan jamban berhubungan dengan kejadian stunting (p<0,05). Faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Provinsi NTB adalah sumber air minum setelah dipengaruhi oleh variabel jenis kelamin anak dan pendidikan ibu (OR : 1,399 ; 95% CI : 1,168-1,675).

Stunting is a condition of failure to grow in toddlers due to malnutrition over a long period of time characterized by the height/length of the child's body for age <-2 SD on the WHO growth curve. The prevalence of stunting in Indonesia in 2022 is 21.6%. NTB Province is one of the provinces that has experienced an increase in the prevalence of stunting from 31,4% in 2021 to 32,7% in 2022. This research aims to determine the risk factors that cause stunting in children aged 24-59 months in NTB Province. The design of this study was cross-sectional using SSGI 2022 data. The sample in this study was children aged 24-59 months in NTB Province who were selected as respondents to the SSGI 2022. Data analysis was carried out using chi-square and multiple logistic regression. The results of the study showed that gender, maternal education, maternal occupation, the number of children under five in the family, drinking water sources, and ownership of toilet were related to the incidence of stunting (p<0.05). The dominant factor associated with the incidence of stunting in children aged 24-59 months in NTB Province is drinking water sources which is influences by the sex of the child and maternal education (OR : 1,399 ; 95% CI : 1,168-1,675)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nor Rofika Hidayah
"Stunting merupakan gambaran masalah status gizi yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Dampak stunting menurunkan kapasitas intelektual dan produktivitas sumber daya manusia di masa mendatang. Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Tahun 2010. Faktorfaktor tersebut antara lain konsumsi energi, konsumsi protein, umur, jenis kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, status ekonomi keluarga, serta jumlah anggota rumah tangga. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain studi cross sectional dan melibatkan 411 sampel. Data penelitian menggunakan data sekunder yang diambil dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010. Pengambilan data tersebut dilakukan pada bulan Mei hingga Agustus 2010. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan gambaran balita stunting di NTT sebesar 67,2%. Terdapat hubungan bermakna antara konsumsi protein, jenis kelamin, serta pendidikan ibu balita dengan kejadian stunting. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menyarankan agar konsumsi protein balita ditingkatkan sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG). Perbaikan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan ibu, juga perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan penanganan stunting pada balita. Selain itu, upaya pencegahan stunting perlu dilakukan dengan memberikan pendidikan gizi dan kesehatan kepada ibu hamil.

Stunting is a description of nutritional problem lasting on longer period of time. It could result in the lowering of intellectual capacity and the impoverishing of human resource productivity of future generation. This study explicates stunting-related factors on children aging 24–59 months in the Province of Nusa Tenggara Timur (NTT) in 2010. Those expected-variables are energy intake, protein consumption, age, sex, mother's level of education, mother's occupation, family economical status, and number of family member. It employs quantitative approach using cross-sectional design involving 411 samples. All data used are secondary, obtained from Basic Health Research (Riset Kesehatan Dasar/Riskesdas) in 2010. The data gathering ensued from May to August 2010 in NTT. Analyses taken are univariate and bivariate analyses by using Chi-Square.
It shows that 67.2% of children aging 24–59 months in NTT are stunting. There is significant relationship between protein consumption, sex, and mother's education level of the children towards stunting. Observing the findings, the writer recommends boosting children’s protein consumption as balanced to Recommended Dietary Allowance (RDA) standard. Education to the family, especially mothers, is imperative to cover succesful treatment of the stunting children. Furthermore, nutritional and health socialization for pregnant mother is needed in preventing stunting children.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Aimee Suhardi
"Pendahuluan: Pada anak-anak prevalensi bernapas mulut mencapai 55% dan 85% diantaranya merupakan suatu kebiasaan yang terjadi tanpa disadari. Bernapas melalui mulut adalah suatu kebiasan buruk yang dapat menyebabkan penurunan laju alir saliva. Penurunan laju alir saliva ini dapat menyebabkan perubahan protein dalam rongga mulut, sehingga fungsi proteksi protein dari saliva yang akan menurun dan mikoorganisme di dalam rongga mulut akan meningkat. Hal ini menunjukan bahwa keadaan homeostasis di dalam rongga mulut dapat terganggu karena kebiasaan bernapas melalui mulut. Kondisi mikroorganisme yang semakin banyak akan meningkatkan aktivitas proteolitik sehingga protein akan terdegradasi menjadi gas-gas Volatile Sulfur Compound dan menyebabkan terjadinya bau mulut. Kondisi bau mulut dapat diuji secara klinis dengan uji organoleptik.
Tujuan: menganalisis total protein dan deteksi profil protein saliva terhadap skor organoleptik serta kondisi bernapas melalui mulut dan bernapas normal.
Metode: Sumber sampel dari tongue biofilm, saliva, dental biofilm, serta mukosa bukal anak yang bernapas normal dan melalui mulut. Kemudian dilakukan uji Bradford untuk mengetahui total protein dan uji SDS-PAGE untuk mengetahui profil protein pada saliva.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kondisi bernapas mulut dan normal terhadap skor organoleptik dan total protein dari keempat sumber sampel. Korelasi total protein tongue biofilm dengan skor organoleptik pada anak bernapas mulut dan normal negatif sangat lemah tidak signifikan, sedangkan pada saliva positif lemah tidak signifikan. Korelasi total protein dental biofilm dengan skor organoleptik pada anak bernapas normal negatif sangat lemah tidak signifikan dan pada anak bernapas melalui mulut positif sangat lemah tidak signifikan. Akan tetapi, hasil korelasi total protein mukosa bukal berkebalikan dengan hasil korelasi dental biofilm baik pada kelompok bernapas normal dan mulut. Protein Amilase, MUC7, dan Cystatin yang terdeteksi pada saliva sampel lebih banyak terdapat pada anak bernapas normal. Protein MUC7dan Cystatin banyak terdapat pada anak dengan skor organoleptik rendah.
Kesimpulan: Hasil analisis total protein menunjukan tidak ada perbedaan total protein terhadap kelompok bernapas mulut dan kelompok bernapas melalui hidung. Korelasi total protein dengan skor organoleptik yang menunjukkan hubungan yang berbeda-beda pada setiap sumber sampel baik pada kelompok bernapas mulut dan kelompok bernapas melalui hidung. Protein MUC7 dan Cystatin pada saliva dapat menjadi indikator kondisi bernapas melalui mulut dan skor organoleptik.

Background: In children, the prevalence of mouth breathing reaches 55% and 85% of them are habits that occur unwittingly . Mouth breathing is one of the bad habit that can reduce salivary flow rate. Decreased salivary flow rate can affect condition of protein in oral cavity, so that the protective function of saliva will decrease and microorganism in oral cavity will increase. This shows that the state of homeostasis in the oral cavity can be disrupted due to the habit of mouth breathing. The increasing number of microorganisms will increase proteolytic activity so that the protein will be degraded into Volatile Sulfur Compound gases and cause bad breath. The condition of bad breath can be clinically tested with organoleptic tests.
Objective: to analyse total protein and detection of salivary protein against organoleptic score in mouth breathing children.
Methods : Sample sources of tongue biofilms, saliva, dental biofilms, and buccal mucosa of children mouth breathers and nasal breathers. Then, the Bradford Assay was performed to determine the total protein and SDS-PAGE test to determine the protein profile in saliva.
Result : there is no significant difference between mouth breathing and nose breathing against organoleptic score and total protein. The correlation of total tongue biofilm protein and organoleptic score in mouth breathing and nasal breathing children was negative very weak and not significant, while positive weak relationship was found in the correlation of total salivary protein and organoleptic score in mouth breathing and nasal breathing children. The correlation of total dental biofilm protein with organoleptic score in nasal breathers was negative very weak not significant, although in mouth breathers was found positive very weak not significant. However, the relationship between total buccal mucosa protein and score organoleptic was the opposite of the result of dental biofilm correlation. Amylase, MUC7, and Cystatin were found more in nasal breathers. MUC7 and Cystatin were found more in low organoleptic score.
Conclusion : The result of total protein analysis show that there is no significant difference data in mouth breathers and nasal breathers children also there are variant correlation between total protein and organoleptic score. MUC7 and Cystatin protein in saliva can be indicators of mouth breathing condition and organoleptic score."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Rahmadi Ruslie
"Trichuris trichiura adalah soil-transmitted helminths (STH) yang umum ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dengan sanitasi yang buruk. Banyak anak-anak usia prasekolah dan sekolah tinggal di daerah dimana parasit ini secara intensif ditransmisikan, dan membutuhkan pengobatan dan intervensi pencegahan segera. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi anemia pada anak-anak baik yang terinfeksi T. Trichiura maupun anak-anak yang tidak terinfeksi yang tinggal di daerah endemik desa Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2010. Metode analisa feces yang digunakan adalah konsentrasi formol-ethyl asetat and analisa darah dengan menggunakan alat sysmex KX 21 untuk mengukur anemia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional analitik. Data sekunder diperoleh dari Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jumlah peserta bertotal 262 anak.
Penelitian ini menunjukkan bahwa risiko terinfeksi Trichuris pada anak usia 12-14,99 tahun secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dalam kelompok usia 5-11,99. Namun, korelasi antara infeksi T.trichiura dan status anemia ditemukan tidak signifikan bahkan setelah disesuaikan dengan jenis kelamin dan usia anak. Pada kesimpulan, tidak ada hubungan yang signifikan antara infeksi trichiura Trichuris dengan status anemia peserta penelitian. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memperjelas adanya hubungan Trichuris trichiura dan anemia, beserta dengan jenis cacing lainnya.

Trichuris trichiura is a soil-transmitted helminth (STH) which is commonly found throughout the world, especially in tropical areas with poor sanitation. Many preschool-age children and school-age children live in areas where these parasites are intensively transmitted. The objective of this study was to determine the prevalence of anemia in T. trichiura infected children and non-infected children living in endemic area of Nangapanda village, Ende district, East Nusa Tenggara. The research was performed from May to June 2010. Formol-ethyl acetate concentration method was used to analyze the stool sample and blood analysis sysmex KX21 was used to measure anemia. This study used analytical cross sectional design. Secondary data was obtained from the Department of Parasitology, Faculty of Medicine University of Indonesia. Total participants were 262 children.
The risk of having Trichuris infection in children aged 12-14.99 years was significantly lower compared to those in the 5-11,99 age group. However, the relationship between T. trichiura infection and anemia status was not significant even after adjusted to age and gender. In conclusion, there were no significant relationship between T. trichiura infection with the anemia status of the participants. Further study by using cohort design should made to elucidate the relationship between Trichuris trichiura and anemia, including other types of helminthes as well.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shandy Stewart Narpati
"Anemia pada anak-anak dapat menghambat pertumbuhan serta menyebabkan prestasi yang berkurang. Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu propinsi yang memiliki paling banyak anak-anak dengan gizi buruk di Indonesia. Survey sebelumnya menemukan bahwa prevalensi STH pada populasi mencapai 30%. Studi ini bertujuan mengetahui prevalensi dan hubungan antara infeksi cacing tambang dan anemia pada anak-anak yang tinggal di Kecamatan Nangapanda, NTT. Desain studi adalah potong lintang dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari Departemen Parasitologi, FKUI pada April 2011.
Data untuk analisis diperoleh dengan mengambil sampel tinja dan darah dari anak-anak sekolah berusia dibawah 18 tahun pada Mei 2010. Infeksi cacing tambang ditentukan dengan metode konsentrasi formol-ethyl asetat. Pemeriksaan kadar haemoglobin menggunakan mesin Sysmex KX21. Jumlah partisipan adalah 262 anak, dan 10.3% termasuk dalam kategori anemia. Dari 94.7% yang mengumpulkan sampel tinja, 10.0% anak terinfeksi oleh cacing tambang, dan dari anak-anak yang terinfeksi, 20.0% persen tergolong anemia, dibandingkan dengan 9.0% dari yang tidak terinfeksi oleh cacing tambang.
Hasil analisa multivariat yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada kasus anemia antara anak-anak yang terinfeksi cacing tambang dibanding dengan yang tidak terinfeksi cacing tambang (OR= 0.387, 95% CI= 0.131-1.149). Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi cacing tambang dan status anemia pada anak-anak yang tinggal di Kecamatan Nangapanda, NTT. Pengobatan cacing dan anemia harus diberikan untuk semua anak yang menderita. Edukasi perlu diberikan kepada semua orang mengenai infeksi cacing dan anemia.

Anemia in children could lead to stunted growth and intellectual retardation. East Nusa Tenggara is one of the provinces with the highest percentage of ‘very thin’ children in Indonesia, and the hygienic behavior was also very low. A preliminary survey showed that the prevalence of STH was as high as 30%. This study aimed to explore the prevalence of hookworm infection and anemia in Nangapanda Subdistrict, East Nusa Tenggara, and to investigate the relationship between those two variables. This was a cross sectional study using secondary data provided from the Department of Parasitology, FKUI on April 2011.
Blood and stool samples were collected from children aged below 18 years old living in Nangapanda Subdistrict on May 2010. Hookworm eggs examination in the stool was performed using the formol-ethyl acetate concentration method. Haemoglobin levels were measured using the blood analyzer Sysmex KX21.There were 262 children participated in this study. 10.3% were anemic. 94.7% of the participants collected their stool samples, and 10.0% of them were infected with hookworms. 20.0% of those infected with hookworms were also anemic, compared to 9.0% of those with no hookworm infection.
Multivariate analysis showed that (OR= 0.387, 95% CI= 0.131-1.149). No significant association was found between hookworm infection and anemia in the children living in Nangapanda Subdistrict, East Nusa Tenggara. Treatment of hookworm infection and anemia should be done for those who are infected. Health promotion regarding hookworm infection and anemia should be given to everyone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brian Santoso
"Latar Belakang: Indonesia bagian Timur memiliki beban ganda dalam infeksi parasit di negara tropis yaitu cacing usus dan malaria. Infeksi parasit tersebut secara tunggal maupun bersama-sama dapat menyebabkan kejadian anemia. Di Indonesia, kejadian anemia berhubungan dengan asupan nutrisi zat besi yang kurang dan infeksi parasit Belum diketahui bagaimana hubungan antara infeksi parasit dan anemia pada populasi anak sekolah di Kecamatan Nangapanda yang merupakan daerah ko-endemis malaria dan cacing usus.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara infeksi parasit dengan prevalensi anemia pada anak-anak sekolah dasar di Nangapanda Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh studi potong lintang dari tim peneliti Departemen Parasitologi FKUI. Populasi terjangkau adalah populasi anak sekolah di Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur berusia 6-10 tahun. Teknik pengambilan sampel menggunakan total population sampling. Penentuan status gizi menggunakan aplikasi WHO AnthroPlus untuk anak usia 5-18 tahun. Pemeriksaan infeksi cacing usus pada tinja menggunakan pemeriksaan Katokatz. Pemeriksaan malaria menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR). Data diuji menggunakan uji chisquare dengan alternatifnya uji Fisher. Hubungan bermakna bila nilai p < 0,05.
Hasil: Didapatkan 240 subyek penelitian dengan rerata usia 8,21 tahun, rerata hemoglobin 11,92g/dL dengan proporsi anemia 53,3%. Proporsi infeksi cacing usus sebesar 24,2% dan infeksi malaria sebesar 6,7%. Hasil analisis didapatkan bemakna pada variabel jenis kelamin (p<0,001) sedangkan variabel infeksi cacing usus dan malaria didapatkan hasil tidak bermakna terhadap kadar hemoglobin dengan masing-masin nilai p=0,747 dan p=0,782.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara infeksi cacing usus dan malaria dengan tingkat keparahan anemia pada anak-anak sekolah dasar yang tinggal di daerah Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.

Background: East Region of Indonesia has double burden for parasitic infection endemic in tropical country such as soil transmitted helminths and malaria. These parasitic infections alone or together can cause anemia. In Indonesia, anemia was associated with low nutrition intake of iron and parasitic infection. However, this association was not known in the population of school children in Nangapanda Distric, Nusa Tenggara Timur Province which was ko-endemic between malaria and soil transmitted helminths.
Aim: To find the association between parasitic infection and prevalence of anemia in children who attends primary school in Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.
Method: This research used secondary data from cross-sectional study conducted by FKUI Parasitology Team. Target population was children 6-10 year who attended primary school in Ende, Nusa Tenggara Timur. The sampling method was using total population sampling. The nutritional status was determined using the application of WHO AnthroPlus for children aged 5-18 years old. Soil-transmitted helminths infection was being detected by Katokatz method and malaria infection is using PCR method. Data was being analyzed with chi-square test and Fisher test as the alternative. Association is significant when p value is<0,05.
Result: Total sample is 240 subjects with mean age 8,21 years old, mean hemoglobin is 11,92 g/dL and anemic proportion is 53,3%. Soil-transmitted helminths infection proportion is 24,2% and malaria infection is 6,7%. The analytical results is significant for gender(p<0,001) and not significant for Soil-transmitted helminths infection and malaria with p=0,747 and p=0,782, respectively versus hemoglobin concentration.
Conclusion: There is no association between Soil-transmitted helmints infection and malaria with the severity of anemia in children who attends primary school and live in Nangapanda, Nusa Tenggara Timur.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>