Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103749 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oryza Gryagus Prabu
"Latar Belakang. Vitamin D merupakan salah satu komponen regulator yang berperan dalam respons imun humoral maupun adaptif yang memiliki peranan patogenesis dalam berbagai kondisi autoimun termasuk IBD. Defisiensi vitamin D diketahui dapat mempengaruhi derajat aktivitas pada pasien dengan IBD. Beberapa studi menunjukkan terdapat peran vitamin D dalam meningkatkan angka remisi pada pasien dengan IBD. Namun studi lain menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan terhadap aktivitas klinis IBD dengan defisiensi vitamin D. Belum ada studi di Indonesia yang menilai hubungan kadar vitamin D dengan aktivitas klinis pada IBD.
Tujuan. Mengetahui prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien dengan IBD dan menilai perbedaan rerata kadar 25-OH D pada subjek dengan IBD aktif dengan remisi.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pasien dengan IBD yang datang ke Poliklinik Gastroenterologi dan dilakukan pemeriksaan kadar 25-OH-D. Subjek dengan kolitis ulseratif dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) dimana nilai <2 dikategorikan sebagai remisi, sedangkan subjek dengan penyakit Crohn dinilai aktivitas klinisnya dengan menggunakan instrumen Crohn’s Disease Activity Index (CDAI) dengan nilai <150 dikategorikan sebagai remisi. Dilakukan analisis perbedaan rerata kadar 25-OH-D antara subjek remisi dibandingkan aktif baik pada subjek dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn.
Hasil. Sebanyak 76 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, 48 subjek termasuk ke dalam kolitis ulseratif dan 28 lainnya penyakit Crohn. Sebanyak 65,3% subjek perempuan dengan rerata usia subjek adalah 46,39 (SB 16,25). Prevalensi defisiensi vitamin D pada pasien IBD adalah sebesar 46,1% dengan 32,1% pada penyakit Crohn dan 54,2% pada kolitis ulseratif. Tidak didapatkan adanya perbedaan median yang signifikan antara subjek dengan penyakit Crohn pada remisi (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) dan aktif (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), maupun subjek dengan kolitis ulseratif pada remisi (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) dan aktif (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Kesimpulan. Prevalensi defisiensi vitamin D pada IBD adalah sebesar 46,1%. Tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan terhadap kadar 25-OH-D pada pasien dengan IBD yang aktif dibandingkan dengan remisi.

Background. Vitamin D is one of the regulatory components that play a role in humoral and adaptive immune responses that have a pathogenesis role in various autoimmune conditions including IBD. Vitamin D deficiency is known to affect activity levels in patients with IBD. Several studies have shown that there is a role for vitamin D in increasing remission rates in patients with IBD. However, other studies have shown that there is no significant relationship between clinical activity of IBD and vitamin D deficiency. There are no studies in Indonesia that have assessed the relationship between vitamin D levels and clinical activity in IBD.
Aim. To determine the prevalence of vitamin D deficiency in patients with IBD and to assess the difference in mean 25-OH D levels in subjects with clinically active and remission.
Method. This is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Patients with IBD who came to the Gastroenterology Polyclinic and have their 25-OH-D levels checked. Subjects with ulcerative colitis were assessed for clinical activity using the Simple Clinical Colitis Activity Index (SCCAI) instrument where a value <2 was categorized as remission, while subjects with Crohn's disease were assessed for clinical activity using the Crohn's Disease Activity Index (CDAI) instrument with a value <150 categorized as remission. An analysis of the difference in mean 25-OH-D levels between remission versus active subjects was performed both in subjects with ulcerative colitis and Crohn's disease.
Results. A total of 76 subjects met the inclusion and exclusion criteria, 48 subjects had ulcerative colitis and 28 had Crohn's disease. A total of 65,3% of female subjects with the mean age of the subject was 46,39 (SB 16,25). The prevalence of vitamin D deficiency in IBD patients was 46,1% with 32,1% in Crohn's disease and 54,2% in ulcerative colitis. There was no significant median difference between subjects with Crohn's disease in remission (20,7 (12,25 – 32,55) ng/ml) and active (15,7 (12,03 – 28,6) ng/ml) (p = 0,832), as well as subjects with ulcerative colitis in remission (26,05 (19,33 – 30,73) ng/ml) and active (25,05 (14,43 – 33,37) ng/ml) (p = 0,301).
Conclusion. Prevalence of vitamin D deficiency in IBD is 46,1%. There was no significant difference in 25-OH-D levels in patients with active IBD compared with remission.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Maryam
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronis saluran cerna dengan siklus eksaserbasi-remisi. Masih terdapat tantangan dalam mempertahankan remisi dan menunda flare pada pasien IBD. Asupan gizi tertentu dapat memodifikasi mediator inflamasi pada saluran gastrointestinal sementara aktivitas fisik dapat mempengaruhi kadar sitokin sehingga keduanya dapat mempengaruhi perjalanan IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara potensi inflamasi diet dan aktivitas fisik dengan aktivitas penyakit IBD.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada pasien IBD yang melakukan kontrol di Poliklinik Gastroenterologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama periode Juli–September 2022. Pengambilan data mengenai potensi inflamasi diet berdasarkan skor Dietary Inflammatory Index (DII) dan aktivitas fisik berdasarkan skor International Physical Activity Questionnaire (IPAQ). Derajat aktivitas penyakit IBD diperoleh berdasarkan kuesioner Indeks Harvey-Bradshaw (HBI) untuk Penyakit Crohn (PC) dan Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) untuk Kolitis Ulseratif (KU). Analisis statistik dengan menggunakan uji KruskalWallis, Spearman, dan Regresi linear multipel.
Hasil: Sebanyak 100 subjek penelitian didapatkan rerata skor DII pada kelompok PC adalah 0,22± 2,20 dengan tren rerata yang meningkat signifikan seiring dengan keparahan PC: -0,13 ± 2,3 (remisi), 0,17 ± 2,51 (ringan), 0,65 ± 2,11 (sedang), 0,68 ± 1,60 (berat); p=0,02. Rerata skor DII pada kelompok KU adalah 0,11 ± 2,45 dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antar subgrup keparahan. Rerata skor aktivitas fisik pada kelompok PC dan KU berturut-turut adalah 5097,4 ± 2955,7 dan 6023,7 ± 4869,4. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara tingkat aktivitas fisik dan derajat aktivitas penyakit IBD. Skor DII secara independen dapat mempengaruhi aktivitas penyakit PC dari analisis multivariat (koefisien Î² 0,370; p= 0,006). 
Kesimpulan: Terdapat hubungan signifikan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit PC. Tidak terdapat hubungan antara potensi inflamasi diet dengan derajat aktivitas penyakit KU maupun antara aktivitas fisik dengan derajat aktivitas penyakit IBD.

Background: inflammatory bowel disease (IBD) is a chronic gastrointestinal disease with exacerbation-remission cycles. There are still challenges in maintaining remission and preventing flares in IBD patients. Intake of certain nutrients can modify inflammatory mediators of the gastrointestinal tract while physical activity may affect cytokine levels, therefore both can influence the course of  IBD. This study aims to analyze the association between inflammatory potential of diet and physical activity with IBD disease activity.
Method: in this cross-sectional study, IBD patients who had regular control at the gastroenterology outpatient clinic of RSCM were recruited during the period of July–September 2022. The data of inflammatory potential of diet obtained through the dietary Inflammatory Index (DII) score and physical activity data obtained through the International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) score. The degree of IBD disease activity based on the Harvey-Bradshaw Index (HBI) for Crohn’s Disease (CD) and the Simple Colitis Clinical Activity Index (SCCAI) for Ulcerative Colitis (UC). Statistical analysis using the Kruskal-Wallis test, Spearman test, and Multiple Linear Regression test.
Results: A total of 100 subjects obtained the mean DII score in the CD group was 0.22± 2.20 with an upward trend that increased significantly as CD disease severity progressed: -0.13 ± 2.3 (remission), 0.17 ± 2.51 (mild), 0.65 ± 2.11 (moderate), 0.68 ± 1.60 (severe); p=0,02. The mean DII score in the UC group was 0.11 ± 2.45 and there was no significant difference among severity subgroups. The mean physical activity scores in the CD and UC groups were 5097.4± 2955.7 and 6023.7 ± 4869.4 respectively. There was no significant difference of physical activity among various degrees of IBD severity. DII scores independently influenced CD disease activity based on multivariate analysis (β-coefficient 0.370; p= 0.006).
Conclusion: A significant association between the inflammatory potential of diet and CD disease activity was observed. There was no association between inflammatory potential of diet and UC disease activity, as well as between physical activity and IBD disease activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Darmadi
"ABSTRAK
Latar Belakang : Diagnosis Inflammatory Bowel Disease (IBD) masih didasarkan pada pemeriksaan invasif (endoskopi dan histopatologi). Fecal calprotectin merupakan petanda inflamasi intestinal non invasif yang dapat digunakan untuk membedakan IBD dengan penyakit intestinal non inflamasi, namun studi-studi yang ada masih memberikan perbedaan nilai diagnostik dan hubungannya dengan derajat IBD.
Tujuan : Membuktikan bahwa pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD. Metode : Penelitian ini adalah studi potong lintang untuk melakukan uji diagnostik. Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit di Jakarta mulai bulan September 2014 sampai Februari 2015. Kurva ROC dibuat untuk mendapatkan nilai diagnostik fecal calprotectin dan uji Krusskal Wallis untuk menilai perbedaan kadar fecal calprotectin menurut derajat IBD.
Hasil : Terdapat 71 pasien IBD berdasarkan pemeriksaan kolonoskopi diikutkan dalam penelitian. Dari pasien tersebut didapatkan sebanyak 57 pasien ditetapkan definite IBD berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Kadar fecal calprotectin lebih tinggi bermakna pada pasien IBD dibanding yang bukan IBD (553,8 μg/g vs 76,95 μg/g, p < 0,001). Didapatkan nilai titik potong 179,3 μg/g dengan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,99), spesifisitas 93% (IK 95% 0,69-0,99) dan Area Under Curve (AUC) 99,5% (IK 95% 0,98-1,00). Didapatkan perbedaan bermakna kadar fecal calprotectin pada masing-masing derajat IBD (p < 0,001).
Kesimpulan : Pemeriksaan fecal calprotectin memiliki nilai diagnostik yang tinggi untuk mendiagnosis IBD serta berhubungan dengan derajat IBD.

ABSTRACT
Background : Diagnosis of inflammatory bowel disease (IBD) is still based on invasive examination such as endoscopy and biopsy. Fecal calprotectin as a intestinal inflammation marker can used for diagnosis, but studies still had different diagnostic value and it?s correlation with grading of IBD.
Objective : Proving that fecal calprotectin have a high diagnostic value for IBD and correlation with grading of IBD. Methods : A cross sectional study for diagnostic of IBD. This study was conducted at several Hospitals in Jakarta from September 2014 until February 2015. A curve of ROC to determined diagnostic value of fecal calprotectin and Krusskal Wallis analysis to assessed of different value of fecal calprotectin according grade of IBD were made.
Results : Based on colonoscopy, 71 patient IBD were participated in this study. There were 57 patient diagnosis as definite IBD based on histopathology examination. Value of fecal calprotectin for IBD patient was higher than non IBD (553.8 μg/g vs 76.95 μg/g, p < 0,001). Value of fecal calprotectin was 179.3 μg/g as a new cutoff value with sensitivity 96% (CI 95% 0.88-0.99), specificity 93% (CI 95% 0.69-0.99) and Area Under Curve (AUC) 99.5% (CI 95% 0.98- 1.00) for diagnostic IBD. There was significant differences value of fecal calprotectin according every grade of IBD ( p < 0.001 ).
Conclusion : Fecal calprotectin has a high diagnostic value for IBD and correlated with grading of IBD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina Dewiastuti
"Latar Belakang/Tujuan: Pasien IBD berisiko terjadi defisiensi Zink. Sedangkan Zink memiliki peran dalam menstimulasi sistem imun, regenerasi sel, dan berperan sebagai koenzim yang berperan sebagai antioksidan. Pemberian suplementasi Zink diharapkan dapat menurunkan aktivitas penyakit dan meningkatkan aktivitsas antioksidan.
Metode: Penelitian ini merupakan kajian sistematis dan meta-analisis. Pencarian literatur dilakukan sampai desember 2020 dengan mencari pada tiga database yaitu Cochrane central, Pubmed, dan Embase. Berdasarkan kriterian eligibilats didapatkan 9 artikel yang menilai efek Zink terhadap aktivitas penyakit IBD. Aktivitas penyakit dinilai berdasarkan skor CDAI dan skor Mayo, serta aktivitas enzim SOD.
Hasil: Sebanyak 9 studi didapat dari pencarian, dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Meta-analisis dilakukan dengan membagi menjadi 3 subgrup, yaitu Zink terhadap aktivitas penyakit IBD, Zink terhadap aktivitas enzim SOD, serta aktivitas penyakit sebelum dan sesudah pemberian. Empat studi menilai efek Zink terhadap aktivitas penyakit menunjukkan tidak terdapat penutunan aktivitas penyakit IBD, dua studi menilai efek Zink terhadap aktivitas SOD menunjukkan tidak terdapat peningkatan aktivitas SOD, dua studi menilai efek Zink terhadap ekspresi metalotinonin datu studi menunjukkan peningkatan dan satu studi tidak menunjukkan peningkatan. Tiga studi pre dan post dari dua studi menunjukkan tidak terdapat penurunan aktivitas penyakit dan 1 studi menunjukkan penurunan aktivitas jika diberikan jangka panjang.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan aktivitas penyakit, aktivitas SOD, aktivitas metalotionin dengan suplementasi Zink jangka pendek, suplementasi jangka panjang dapat menurunkan aktivitas penyakit IBD

Background/Aim: IBD patients are at risk of Zinc deficiency. Zinc has a role in stimulating the immune system, cell regeneration, and as a coenzyme acts as an antioxidant. Zinc supplementation will decrease disease activity and increase antioxidant activity.
Method: This research is a systematic review and meta-analysis. Literature searches are conducted until December 2020, we searched in three databases Cochrane central, Pubmed, and Embase. Based on eligibility criteria, there are 9 articles evaluate effect of Zinc on disease activity of IBD. Disease activity is assessed based on CDAI score and Mayo score, as well as SOD enzyme activity.
Result: We identified 9 studies, Of all the potentially relevant papers, 9 studies were identified. All of the studies were assessed for risk of bias along with qualitative analysis. Pre-specified outcomes were Zinc and disease activity, Zinc and SOD activity, metallothionine expression as well as disease activity before and after administration. Four studies evaluated effect of Zinc on disease activity showed no improvement in IBD disease activity, two studies evaluated effect of Zinc on SOD activity showed no increase in SOD activity, two studies evaluated effect of Zinc on metalotinonin expression, one study showed increase of expression and the other had no increase. There are 3 pre and post studies from two studies showed no decrease in disease activity and 1 study showed a decrease in activity if supplemented for long term.
Conclusion: The results of the systematic review revealed there were no difference in disease activity, SOD and methalotionen activity with short term Zinc supplementation, long term supplementation decrease disease activity of IBD
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dekta Filantropi Esa
"Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.

Latar Belakang. Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) memiliki gejala gangguan saluran pencernaan yang tidak dapat diprediksi, tidak menyenangkan, dan kerap kali menimbulkan rasa malu bagi penderitanya. Berbagai ketidaknyamanan tersebut dapat mempengaruhi penurunan kualitas hidup pasien IBD hingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas di masa depan. Perlu instrumen yang sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keandalan dan kesahihan Inflammatory Bowel Disease Questionnaires-9 (IBDQ-9) versi bahasa Indonesia untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD.
Metode. Instrumen asli IBDQ-9 diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris lalu dikonfirmasi kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan uji kesahihan isi dengan Content Validity Index (CVI). Studi potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa IBD di Poliklinik Gastroenterologi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan November 2022 yang berusia 18-59 tahun, telah mengalami IBD minimal 2 minggu dan bersedia untuk menandatangani
informed consent sebagai responden penelitian. Perbandingan skor total IBDQ-9 dengan SF-36 versi Indonesia dinilai dengan uji korelasi Spearman lalu uji keandalan dengan menentukan alfa Cronbach dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC).
Hasil. Sebanyak 124 pasien IBD dianalisis dengan uji Spearman menunjukkan korelasi yang tinggi dan signifikan antara IBDQ-9 dengan SF-36 (r=0,769 dan p<0,001). IBDQ-9 versi bahasa Indonesia memiliki nilai alfa Cronbach versi bahasa Indonesia sebesar 0,883 dan nilai ICC yang baik juga sebesar 0,883 (IK95% 0,849-0,912).
Kesimpulan. Instrumen IBDQ-9 versi Bahasa Indonesia sahih dan andal untuk menilai kualitas hidup pasien dengan IBD di Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lydia Kencana
"Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit kronik dan relapsing yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini penegakkan diagnosis IBD masih menjadi persoalan. Calprotectin merupakan biomarker yang dapat dideteksi di jaringan (intramukosal) dan dinilai memiliki potensi dalam membantu penegakkan diagnosis IBD. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi calprotectin intramukosal pada IBD, kolitis non-IBD dan kontrol. Penelitian bersifat retrospektif analitik. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada sediaan biopsi kolorektal yang didiagnosis IBD, kolitis non-IBD, serta sediaan reseksi dengan bagian kolon tanpa kelainan patologik bermakna dari arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2017-2020. Dilakukan pulasan imunohistokimia untuk menilai ekspresi calprotectin (rerata jumlah sel/LPB) pada tiap kelompok. Dari 45 sampel IBD dan 45 sampel non-IBD, sebagian besar menunjukkan peradangan aktif, derajat keaktifan ringan. Ekspresi calprotectin intramukosal pada kelompok IBD dan non-IBD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,001). Kasus dengan peradangan aktif memiliki ekspresi calprotectin yang lebih tinggi dibandingkan pada peradangan inaktif (p<0,001). Peningkatan ekspresi calprotectin memiliki hubungan bermakna dengan adanya peradangan namun belum dapat direkomendasikan untuk menjadi dasar penentuan etiologi IBD dan non-IBD.

Inflammatory bowel disease is a chronic relapsing disease affecting patients’ quality of life. To date, IBD diagnosis remains a challenge. Calprotectin is a biomarker that can be detected in tissue (intramucosal) and is considered as a potential marker of IBD. This study aims to determine intramucosal calprotectin expression in IBD, non-IBD colitis and control. Analytic retrospective study including consecutively sampled colorectal biopsy specimens diagnosed as IBD, non-IBD colitis and resection specimens with normal colon mucosa recorded in archives of Anatomical Pathology Department, FKUI/RSCM in 2017-2020. Calprotectin expression (cell/HPF) was detected by immunostaining and evaluated for every group. Most of the samples from IBD and non-IBD group (45 samples each) showed mild active inflammation, with higher mucosal calprotectin expression than that of control group (p<0.001). Subjects with active inflammation showed higher calprotectin expression compared to those with inactive inflammation (p<0.001). The increase of calprotectin expression showed significant association with the presence of inflammation, with higher expression found in active inflammatory conditions. However, the use of calprotectin to determine inflammatory etiology (IBD vs non-IBD) has yet to be recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira
"ABSTRAK
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit yang semakin meningkat
prevalensinya selama dua dekade terakhir. Baku emas diagnosis IBD adalah kolonoskopi
dan histopatologi. Calprotectin feses merupakan salah satu pemeriksaan yang banyak
diminta untuk menapis pasien terduga IBD agar mengurangi kolonoskopi yang tidak
perlu. Metode pemeriksaan calprotectin yang banyak digunakan sekarang adalah ELISA,
tetapi saat ini terdapat metode baru yaitu CLIA. Penelitian ini bertujuan membandingkan
calprotectin feses antara kedua metode tersebut, melakukan uji diagnostik dengan
perbandingan baku emas, dan membandingkan calprotectin pada kelompok IBD dan non-IBD. Penelitian dilakukan secara potong lintang dan data disajikan secara deskriptif
analitik dengan melibatkan 50 pasien dewasa. Uji korelasi antara kedua metode
menemukan hubungan kuat dan bermakna (r=0,865, p<0,001), tetapi persamaan regresi
Passing-Bablok mendapatkan perbedaan konstan dan proporsional. Uji Bland-Altman
mendapatkan kesesuaian 92% dengan rerata selisih 76,2 μg/g feses dan batas kesesuaian
-964,3-1116,7 μg/g feses. Uji diagnostik calprotectin feses metode ELISA menemukan
titik potong optimal adalah 194 μg/g dengan sensitivitas 55,6%, spesifisitas 56,5%, NPP
60%, dan NPN 48%. Apabila menggunakan titik potong pabrik 50 μg/g, maka didapatkan
sensitivitas 88,9%, spesifisitas 13%, NPP 54,5%, dan NPN 50%. Uji diagnostik
calprotectin feses metode CLIA menemukan titik potong optimal adalah 90,5 μg/g
dengan sensitivitas 51,9%, spesifisitas 52,2%, NPP 56%, dan NPN 48%. Apabila
menggunakan titik potong pabrik yaitu 50 μg/g, maka diperoleh sensitivitas 70,4%,
spesifisitas 43,5%, NPP 59,4%, dan NPN 55,6%. Perbandingan calprotectin feses metode
ELISA antara kelompok IBD dan non-IBD menemukan perbedaan rerata yang tidak
bermakna secara statistik, begitu juga dengan perbandingan kelompok IBD dan non-IBD
pada calprotectin feses metode CLIA. Penelitian ini menemukan bahwa kedua kit
pemeriksaan tidak dapat saling menggantikan dan uji diagnostik menemukan akurasi
diagnostik yang buruk. Penelitian selanjutnya harus mengeksklusi kolitis infektif untuk
mempertajam diagnosis terduga IBD dan menemukan pasien IBS dengan melibatkan
rumah sakit lain.

ABSTRACT
Inflammatory Bowel Disease (IBD) prevalence has been increasing since last two
decades. Gold standard to diagnose IBD is colonoscopy and histopathology. Fecal
calprotectin is frequently ordered test for screening of patient with suspect IBD so
unnecessary colonoscopy can be reduced. Method often used today is ELISA, but CLIA
method is available nowadays. This study was aimed to compare fecal calprotectin test
between this two method, to perform diagnostic test with gold standard, and compare the
level of fecal calpoctin between IBD and non-IBD group. Study design was cross
sectional and was presented as descriptive-analytic data, involving 50 subjects.
Correlation between two method is strong and statistically significant (r=0,865, p<0,001),
but Passing-Bablok regression test found constant and proportional difference. Bland-Altman test found agreement was 92% with mean difference 76,2 μg/g faeces and border
of agreement -964,3-1116,7 μg/g faeces. Diagnostic test with ELISA method found
optimal cut-off was 194 μg/g with sensitivity 55,6%, specificity 56,5%, PPV 60%, and
NPV 48%. If cut-off from manufacturer was used (50 μg/g), sensitivity 88,9%, specificity
13%, PPV 54,5%, and NPV 50%. Diagnostic test with CLIA method found optimal cutoff
was 90,5 μg/g with sensitivity 51,9%, specificity 52,2%, PPV 56%, and NPV 48%. If
cut-off from manufacturer was used (50 μg/g), sensitivity 70,4%, specificity 43,5%, PPV
59,4%, and NPV 55,6% . Difference level of fecal calprotectin between IBD and non-IBD group is not statistically significant, both with ELISA and CLIA method. This study
found that these two fecal calprotectin is not interchangeable and diagnostic test found
poor result. Future study should give more restriction to diagnose suspect IBD by
exclusion of infective colitis and found IBS cases by involving other hospital."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Permata Aisyah
"ABSTRAK
Keefektifan obat oral Inflammatory Bowel Disease IBD dipengaruhi oleh sifat farmakokinetik yang meliputi porses absorpsi, distribursi, metabolisme, dan ekskresi ADME. Sifat yang akan dibahas pada penelitian ini adalah sifat farmakokinetik yaitu tentang absorpsi obat dalam tubuh. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui parameter farmakokinetik yang dapat diprediksi oleh peranti lunak yang digunakan, menemukan peranti lunak yang paling baik dalam memprediksi parameter farmakokinetik obat, dan mencari korelasi antara parameter farmakokinetik yang digunakan sebagai deskriptor dengan persen absorpsi referensi. Manfaat dari penelitian ini adalah perolehan hasil analisis prediksi parameter farmakokinetik obat oral IBD berdasarkan parameter absorpsi dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk melakukan pengembangan obat oral IBD. Penelitian ini menggunakan peranti lunak Molinspiration, QikProp, admetSAR, SwissADME, Chemicalize, pkCSM, dan Microsoft Excel. Penelitian ini menggunakan 34 senyawa obat IBD dan 8 deskriptor yang terdiri dari deskriptor dependen persen absorpsi ABS serta deskriptor independen bobot molekul BM, logP, hydrogen bond acceptor HBA, hydrogen bond donor HBD, polar surface area PSA, pKa dan Caco2 permeability yang didapatkan dari penelitian Zhao et al. 2002 dan penelitian pendahulu. BM, logP, HBA, HBD dan PSA dapat diprediksi oleh peranti lunak QikProp, SwissADME, Molinspiration, dan Chemicalize. pKa dapat diprediksi menggunakan Chemicalize. Caco2 permeability dapat diprediksi oleh peranti lunak QikProp, admetSAR, dan pkCSM. SwissADME paling akurat dalam memprediksi BM, logP, dan HBD. Chemicalize paling akurat dalam memprediksi HBA, PSA, dan pKa. admetSAR paling akurat dalam memprediksi Caco2 permeability. Nilai R paling tinggi didapat dari korelasi ABS dengan Caco2 permeability prediksi pada 34 senyawa obat dengan nilai R = 0,8211.

ABSTRACT
Inflammatory Bowel Disease IBD is a chronic, idiopathic, and inflammatory bowel condition Brunton, Chabner, Knollmann, 2011 . The effectiveness of IBD drugs is affected by pharmacokinetic properties that involves absorption, distribution, metabolism, and excretion ADME. This research analyzed the absorption of drugs in the body. The purpose of this research is to know the pharmacokinetic parameters that can be predicted by the software used, to discover the best software in order to predict pharmacokinetic properties, and to analyze the correlation between pharmacokinetic parameters used as descriptor with absorption percentage from reference. The result of this research can be considered to develop IBD oral drugs. This research uses Molinspiration, QikProp, admetSAR, SwissADME, Chemicalize, pkCSM, and Microsoft Excel. This research used 34 compounds of IBD oral drugs and 7 descriptors consist of dependent descriptor absorption rate ABS and independent descriptors molecular weight MW, logP, hydrogen bond acceptor HBA, hydrogen bonding donor HBD, polar surface area PSA, pKa, and Caco2 permeability discovered from research Zhao et al. 2002a and previous research. MW, logP, HBA, HBD and PSA can be predicted by QikProp, SwissADME, Molinspiration, and Chemicalize. pKa can be predicted using chemicalize. Caco2 permeability can be predicted by QikProp, admetSAR, and pkCSM. SwissADME is the most accurate software in predicting MW, logP, and HBD. Chemicalize is the most accurate software in predicting HBA, PSA, and pKa. admetSAR is the most accurate software in predicting Caco2 permeability. The highest R value was obtained from the correlation between ABS with Caco2 permeability on 34 drug compounds R 0.8211. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Yesy Marianna, author
"Latar Belakang: Aktivasi mediator inflamasi diketahui menyebabkan kelahiran preterm. Sitokin dan penanda inflamasi yang terbentuk berhubungan dengan imun tubuh. Vitamin D diketahui berperan pada modulasi respon sistem imunitas tubuh. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum ibu dan tali pusat, dengan IL-6 tali pusat dan C Reactive Protein (CRP) darah bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang pada subjek ibu hamil 28-34 minggu yang mengalami kelahiran prematur didahului KPD dan bayi yang dilahirkannya, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta pada bulan Januari 2017 sampai Agustus 2018. Subjek diambil secara consecutive sampling. Variabel data adalah kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat, kadar serum IL-6 tali pusat dan kadar CRP darah bayi. Dilakukan kategorisasi dikotomi dan polikotomi (tiga) kadar vitamin D dan dicari hubungannya dengan kadar IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi, menggunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil: Sebanyak 70 subjek telah memenuhi kriteria penelitian. Pada kategori dikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok kadar vitamin D kurang, sedikit lebih tinggi (3,89 pg/ml dan 0,45 mg/dl) dibandingkan kelompok kadar vitamin D normal (3,29 pg/ml dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,771 dan CRP p = 0,665). Pada kategori polikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok ibu vitamin D defisiensi, lebih tinggi (20,31 pg/ml dan 0,50 mg/dl) dibandingkan kelompok ibu vitamin D insufisiensi (3,34 pg/mL dan 0,45 mg/dl) dan kelompok ibu vitamin D normal (3,29 pg/mL dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,665 dan CRP p = 0,899). Pada kategori dikotomi maupun polikotomi vitamin D tali pusat, didapatkan perbedaan tidak bermakna yang terbalik dari kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi.
Simpulan: Tidak didapatkan hubungan antara kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat dengan kadar serum IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi prematur.

Background: Activation of inflammatory mediators is known to cause preterm birth. Cytokines and inflammatory markers formed are associated with the body's immune system. Vitamin D is known to play a role in modulating the body's immune system response. This study aimed to find out the relationship between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants.
Method: This research was an analytic study with a cross-sectional design on the subject of 28-34 weeks pregnant women who experience preterm birth preceded by premature rupture of membranes and their babies, at dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan General Hospital, Jakarta, from January 2017 to August 2018. Data variables were the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, umbilical cord IL-6 and CRP in premature infants. Vitamin D levels were divided into dichotomy and polycotomy categories, and found out their relationship to the levels of IL-6 and CRP using the Mann Whitney and Kruskal Wallis tests.
Result: A total of 70 subjects met the research criteria. In the maternal vitamin D dichotomy category, the umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the group with low level were less slightly higher (3.89 pg/ml and 0.45 mg/dl) compared to the group with normal level (3.29 pg/ml and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.771 and CRP p = 0.665). In the maternal vitamin D polycotomy category, umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the deficiency group were higher (20.31 pg/ml and 0.50 mg/dl) compared to the insufficiency group (3.34 pg/mL and 0.45 mg/dl) and the normal group (3.29 pg/mL and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.665 and CRP p = 0.899). In both dichotomy and polycotomy categories of umbilical cord vitamin D, we found a non-significant difference inversely related to umbilical cord IL-6 and infants CRP levels.
Conclusion: There was no correlation between between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>