Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 185208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alifia Ainayya Salsabila
"Adanya pandemi Covid-19 mengganggu kualitas relasi teman sebaya dengan berkurangnya kesempatan untuk berinteraksi secara langsung. Salah satu faktor yang membantu remaja mengembangkan hubungan pertemanan yang sehat adalah empati. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara empati dengan relasi teman sebaya pada remaja di masa pandemi Covid-19. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja berusia 15-18 tahun yang berdomisili di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental. Partisipan dalam penelitian ini yaitu 651 siswa dari berbagai Sekolah Menengah Atas di kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Alat ukur yang digunakan adalah The Basic Empathy Scale in Adults (BES-A) untuk mengukur empati dan Adolescence-Reported Scale untuk mengukur relasi teman sebaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara empati dengan relasi teman sebaya pada remaja di masa pandemi Covid-19 (r = .376, p<0,01). Disamping itu, ditemukan pula bahwa remaja perempuan memiliki tingkat empati yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan remaja laki-laki.

The Covid-19 pandemic has disrupted the quality of peer relationship by reducing the opportunity to interact directly. One of the factors that help teens develop healthy friendships is empathy. This study aims to see the relationship between empathy and peer relationship in adolescence during pandemic Covid-19. The population in this study are adolescence aged 15-18 years who live in Indonesia. This research is a non-experimental research. Participants in this study were 651 students from various high schools in big cities, namely Jakarta, Bandung, Surabaya, and Makassar. The measuring instruments used are The Basic Empathy Scale in Adults (BES-A) to measure empathy and the Adolescence-Reported Scale to measure peer relationship. The results of this study indicate that there is a significant positive correlation between empathy and peer relationship in adolescenc during pandemic Covid-19 (r = .376, p<0.01). In addition, it was also found that female adolescennce had a significantly higher level of empathy than male."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Anisa Maharani
"Hubungan dengan teman sebaya merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja. Sejak adanya pandemi COVID-19, keterbatasan interaksi sosial secara langsung menyebabkan menjalin pertemanan bagi remaja terasa melelahkan. Salah satu faktor kunci dalam hubungan teman sebaya adalah relasi anak dengan orang tuanya. Relasi orang tua-anak yang positif dinilai dapat membantu remaja dalam menghadapi situasi pandemi dan meningkatkan kualitas hubungan teman sebaya. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan relasi orang tua-anak dalam memprediksi kualitas hubungan teman sebaya pada remaja madya di masa pandemi COVID-19. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan tipe studi cross-sectional. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 651 partisipan dan merupakan remaja madya berusia 15-18 tahun (M = 16,33, SD = 0,74), berjenis kelamin perempuan (n = 390) dan laki-laki yang berdomisili di Indonesia. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif melalui penyebaran kuesioner Parent-Adolescent Relationship Scale dan Peer Friendship Scale. Hasil analisis statistik regresi linear sederhana menunjukkan bahwa relasi orang tua-anak secara positif signifikan mampu memprediksi kualitas hubungan teman sebaya (p < 0,01) dengan nilai  = 0,41. Disarankan perlunya membangun iklim keluarga yang positif melalui penguatan relasi orang tua-anak untuk meningkatkan kualitas hubungan teman sebaya pada remaja, khususnya pada masa pandemi COVID-19.

Peer relationship is an important aspect of adolescents’ development. Since the COVID-19 pandemic outbreak, the limited social interactions have made friendships for adolescents feel tiring. One of the key factors in peer relationships quality is child’s relationship with their parents. Positive parent-child relationship is considered to be able to help adolescents in dealing with pandemic situations and improve the quality of peer relationship. Therefore, this study aims to investigate the role of parent-child relationship in predicting peer relationship quality among middle adolescents during the COVID-19 pandemic. This research is a correlational study with cross-sectional design and was conducted on 651 participants who are middle adolescents aged 15-18 years (M = 16,33, SD = 0,74), females (n = 390) and males who live in Indonesia. Data was collected using a quantitative approach by distributing questionnaires Parent-Adolescent Relationship Scale and Peer Friendship Scale. The result of the simple linear regression shows that parent-child relationship positively significant predicted peer relationship quality (p < 0,01) with  = 0,41. It is suggested the need to build a positive family climate through strengthening parent-child relationships to improve the quality of peer relationships in adolescent, especially during the COVID-19 pandemic."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ulfah
"Work from home dan online learning akibat pandemi COVID-19 menyebabkan perubahan perilaku pengasuhan orang tua kepada anak. Pola asuh yang tepat melalui penerapan perilaku yang baik dapat menstimulasi perkembangan emosional anak. Namun, perkembangan emosional anak berisiko bermasalah apabila penggunaan pola asuh tidak tepat. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara pola asuh orang tua dan perkembangan emosional anak prasekolah pada masa pandemi COVID-19. Penelitian berdesain cross sectional ini melibatkan 186 orang tua dari anak prasekolah di PAUD/TK/RA di Jakarta yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan yaitu Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) dan Ages and Stages Questionnaire: Social-Emotional (ASQ:SE)–2. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dan perkembangan emosional anak prasekolah (p = 0,002; OR = 3,903). Anak prasekolah yang diasuh oleh orang tua dengan pola asuh otoritatif 3 kali memiliki perkembangan emosional yang tinggi dibanding diasuh orang tua dengan pola asuh permisif. Peneliti merekomendasikan adanya penyampaian hasil pola asuh oleh perawat komunitas atau pengembangan media edukasi oleh mahasiswa keperawatan atau pihak sekolah dalam promosi kesehatan. Selain itu, orang tua diharapkan lebih memperhatikan, mengawasi, dan mengantisipasi perilaku anak yang tidak sesuai dari perkembangan emosionalnya.

Work from home and online learning due to the COVID-19 pandemic has caused changes in parenting behavior for children. Appropriate parenting through good behavior can stimulate children's emotional development. However, the emotional development of children is at risk of problems if the use of parenting is not appropriate. This study aims to identify the relationship between parenting styles and the emotional development of preschool children during the COVID-19 pandemic. This cross-sectional design study involved 186 parents of preschool children in several PAUD/TK/RA in Jakarta who were selected using the purposive sampling technique. The instruments used are the Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) and the Ages and Stages Questionnaire: Social-Emotional (ASQ:SE)–2. The results showed has a relationship between parenting styles and children's emotional development (p = 0.002; OR = 3,903). Preschool children who are cared for by parents with authoritative parenting have three times higher emotional development than those raised by parents with permissive parenting. Researchers recommend the delivery of the results of parenting by community nurses or the development of educational media by nursing students or schools in health promotion. In addition, parents can expectedly pay more attention, supervise, and anticipate children's inappropriate behavior from their emotional development."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Celly Devita Febrianti
"Kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Lampung terus bertambah. Rumah Sakit Umum (RSU) Handayani merupakan salah satu rumah sakit swasta rujukan COVID-19 di Lampung. Terdapat penurunan kunjungan pasien rawat jalan di RSU Handayani selama Pandemi Covid-19.Penelitian ini membahas tentang stigma pasien pada tenaga kesehatan serta faktor lainnya terhadap perilaku kunjungan rawat jalan pada masa pandemi di RSU Handayani Lampung Utara. Metode penelitian ini adalah sequential explanatory yang merupakan kombinasi kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada pasien rawat jalan, sedangkan penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara stigma pasien pada petugas kesehatan, pengetahuan dan sikap terhadap perilaku kunjungan pasien rawat jalan. Penyebab stigma diantaranya karena pasien beranggapan mobilisasi petugas kesehatan yang tinggi di rumah sakit sehingga berisiko menularkan Covid-19. Pasien kelompok rentan sebagian besar memiliki stigma. Penelitian juga mendapatkan beberapa responden tidak patuh berkunjung untuk berobat pada masa pandemi Covid-19. Perlu dilakukan berbagai upaya oleh pihak-pihak terkait untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya pada masa Pandemi Covid-19.

Positive confirmed cases of COVID-19 in Lampung continue to increase. The Handayani General Hospital (RSU) is one of the private COVID-19 referral hospitals in Lampung. There was a decrease in outpatient visits at Handayani Hospital during the Covid-19 Pandemic. This study discusses the stigma of patients on health workers and other factors on the behavior of outpatient visits during the pandemic at Handayani Hospital, North Lampung. This research method is sequential explanatory which is a combination of quantitative and qualitative. Quantitative research was conducted by distributing questionnaires to outpatients, while qualitative research was conducted by in-depth interviews. The results showed that there was a significant relationship between patient stigma on health workers, knowledge and attitudes towards outpatient visiting behavior. The cause of the stigma, among others, is because patients think that the high mobilization of health workers in the hospital is at risk of spreading Covid-19. Most of the vulnerable patients have a stigma. The study also found that several respondents did not comply with visiting for treatment during the Covid-19 pandemic. It is necessary to make various efforts by related parties to improve health services for the community, especially during the Covid-19 Pandemic."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lingga Putri Nisrina
"Kecemasan dalam menghadapi pandemi COVID-19 dapat terjadi pada siapapun. Kecemasan dapat membuat seseorang bertingkah laku di luar akal sehat mereka. Pada kasus pandemi COVID-19 salah satu kecemasan yang terjadi adalah kecemasan akan tertular oleh virus COVID-19. Untuk mengurangi penularan COVID-19 dilakukan tindakan protokol kesehatan 5M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan membatasi mobilitas. Protokol kesehatan tersebut harus dipatuhi untuk menghindari penyebaran virus yang semakin meluas, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat kecemasan terhadap pandemi COVID-19 dan tingkat kepatuhan pada protokol kesehatan COVID-19 dan korelasi diantara keduanya. Diduga ada perbedaan pada tingkat kecemasan, tingkat kepatuhan dan korelasi antara keduanya pada mahasiswa antar rumpun ilmu di Universitas Indonesia. Karena itu perbedaan rata-rata skor dari tingkat kecemasan, tingkat kepatuhan dan korelasi keduanya akan dianalisis untuk rumpun ilmu yang ada di Universitas Indonesia. Hal ini akan membantu pihak terkait untuk membuat kebijakan yang lebih efisien dan tepat sasaran untuk mengurangi tingkat kecemasan dan menaikkan tingkat kepatuhan secara umum maupun di setiap rumpun ilmu. Metode utama yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis dan korelasi Spearman. Penelitian dilakukan pada 306 mahasiswa Universitas Indonesia. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dengan 15 pertanyaan mengenai kecemasan dan 25 pertanyaan mengenai kepatuhan dengan skor 1-5. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan rata-rata skor tingkat kecemasan antar rumpun ilmu dan tidak terdapat perbedaan rata-rata skor tingkat kepatuhan antar rumpun ilmu di Universitas Indonesia. Untuk Rumpun Ilmu Kesehatan terdapat korelasi negatif antara tingkat kecemasan dan tingkat kepatuhan. Untuk Rumpun Ilmu Sains dan Teknologi maupun untuk Rumpun Ilmu Sosial dan Humaniora didapatkan bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat kecemasan dan tingkat kepatuhan.

Anyone can experience anxiety as a result of the COVID-19 pandemic. Anxiety can cause a person to act in ways that are contrary to their common sense. One of the concerns that arises in the case of the COVID-19 pandemic is the fear of becoming infected with the virus. To reduce COVID-19 transmission, the 5M health protocol is followed, which includes wearing masks, washing hands, maintaining a safe distance, avoiding crowds, and limiting mobility. These health protocols must be followed to prevent the spread of the virus, which appears to be spreading but is not. The goal of the study was to look at the COVID-19 pandemic's anxiety levels and the COVID-19 health protocol's compliance levels, as well as the relationship between the two. It is suspected that students in the Universitas Indonesia knowledge group have different levels of anxiety, compliance, and correlations between the two. As a result, for the existing science group at Universitas Indonesia, the difference in average scores from anxiety levels, compliance levels, and correlations will be examined. This will assist the relevant parties in developing more effective and targeted policies to reduce anxiety and increase compliance across the board, as well as in each knowledge group. The Kruskal-Wallis test and the Spearman correlation are the most commonly used methods. The research involved 306 students from Universitas Indonesia. Questionnaires with 15 anxiety questions and 25 complince questions were used to collect data, with scores ranging from 1 to 5. According to the findings of this study, at the Universitas Indonesia, there is a difference in average anxiety level score between the knowledge group and no difference in average compliance level score between the knowledge group. Anxiety levels and compliance levels are negatively correlated in the Health knowledge group. There is no correlation between anxiety levels and compleance levels in Science and Technology, as well as the Social Sciences and Hummanities."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Septiana
"Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa rasa takut terhadap COVID-19 memiliki hubungan dengan perilaku sehat, perbedaan jumlah infeksi, kepercayaan terhadap adanya COVID-19, dan faktor-faktor penentu perilaku sehat di setiap negara membuat penelitian ini perlu dilakukan di Indonesia. Perilaku sehat merupakan salah satu respon adaptif dalam menghadapi rasa takut terhadap COVID-19. Munculnya rasa takut seharusnya dapat membuat individu menerapkan perilaku sehat selama masa pandemi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara rasa takut terhadap COVID-19 dengan perilaku sehat di Indonesia. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-eksperimental dan cross-sectional. Patisipan penelitian berjumlah 213 yang berusia antara 18-59 tahun ( 79,3% perempuan; Musia = 23,5, SD = 8,17), serta merupakan warga negara Indonesia. Rasa takut terhadap COVID-19 di ukur menggunakan MAC-RF (Multidimensional Assessment of COVID-19–Related Fears), dan perilaku sehat di ukur dengan PHBS Positive Health Behavior Scale). Berdasarkan hasil analisis statistic ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara rasa takut terhadap COVID-19 dengan perilaku sehat (r(213) = 0,10, p = 0,11). Dimana semakin tinggi rasa takut terhadap COVID-19 tidak dapat menjamin bahwa individu akan menerapkan perilaku sehat selama pandemi. Faktor jenis kelamin, penyakit, vaksinasi, dan pendidikan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam rasa takut terhadap COVID-19 dan perilaku sehat.

Previous research has found that fear of COVID-19 has a relationship with healthy behavior, differences in the number of infections, trust in the presence of Covid-19, and the determinants of healthy behavior in each country make this research need to be done in Indonesia. Healthy behavior is one of the adaptive responses in dealing with the fear of COVID-19. The emergence of fear should be able to make individuals adopt healthy behaviors during a pandemic. This study aims to see whether there is a relationship between fear of COVID-19 with healthy behavior. The design used in this study was non-experimental and cross-sectional. The study participants were 213 aged between 18-59 years (79.3% female; Mage = 23.5, SD = 8.17) and were Indonesian citizens. COVID-19 fear was measured using MAC-RF (Multidimensional Assessment of COVID-19–Related Fears), and healthy behavior was measured using the PHBS (Positive Health Behavior Scale). Based on the results of statistical analysis, it was found that there was no relationship between fear of COVID-19 with healthy behavior (r(213) = 0.10, p = 0.11). Where the higher the fear of COVID-19, it cannot guarantee that individuals will adopt healthy behaviors during the pandemic. Gender, disease, vaccination, and education did not have a significant difference in fear of COVID-19 and healthy behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Savira Attamimi
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran terkait peran self-compassion terhadap regulasi emosi pada dewasa muda dalam situasi pandemi Covid-19. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan 138 partisipan dengan kriteria berusia 18-40 tahun dan berdomisili di Indonesia. Pengukuran regulasi emosi menggunakan alat ukur Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) (Gross dan John, 2003) dan pengukuran self-compassion menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale (Neff, 2003b). Hasil penelitian ini menunjukkan self-compassion secara umum ditemukan dapat memprediksi regulasi emosi secara signifikan (F(1,136) = 5.776, p < 0.05, R² = 0.041). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi self-compassion yang dimiliki individu, akan semakin tinggi pula kemungkinan individu tersebut memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik.

This study was conducted to describe the role of self-compassion on emotion regulation in young adults in the Covid-19 pandemic situation. This study is a quantitative study involving 138 participants with criteria aged 18-40 years and domiciled in Indonesia. The measurement of emotion regulation uses the Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) (Gross and John, 2003) and self-compassion measurement using the Self-Compassion Scale (Neff, 2003b). The results of this study indicate that self-compassion is generally found to be able to significantly predict emotion regulation (F(1.136) = 5.776, p < 0.05, R² = 0.041). From these results, it can be concluded that the higher the individual's self-compassion, the higher the possibility that the individual has good emotional regulation abilities."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Setyorini
"Pandemi COVID-19 telah mengganggu banyak aspek kehidupan global. Tidak hanya memengaruhi perekonomian, penganggulangan pandemic untuk memperlambat laju penyebaran virus juga memberikan dampak bagi kondisi mental masyarakat. Studi ini ditujukan untuk melihat hubungan tingkat kebijakan pembatasan sosial, kehilangan pekerjaan, dan kehilangan pendapatan selama pandemic terhadap kesehatan mental individu. Penelitian ini menggunakan data nasional yang dikumpulan oleh CISDI melalui telepon survei. Sejumlah 1031 observasi, terdiri dari individu umur 15-65 tahun yang berpartisipasi di Angkatan kerja dan bekerja sebelum pandemi, digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan 5 indikator negative mental health impact, dari keseluruhan sampel, 42,93% merasa lebih takut, 47.72% merasa lebih cemas, 18,33% merasa lebih tidak berdaya, 39.67% mengalami peningkatan stress kerja, dan 46,36% mengalami peningkatan stress keuangan. Hasil dari regresi logistik biner yang dilakukan meunjukkan bahwa kehilangan pekerjaan dan kehilanagn pendapatan berkaitan dengan dampak kesehatan mental yang buruk. Sedangkan pembatasan sosial tidak berasosiasi secara kuat dengan dampak kesehatan mental yang buruk. Hasil ini berimplikasi bahwa efek ekonomi terbukti dirasakan oleh responden penelitian ini, tetapi efek isolasi sulit dibuktikan di sini. Keberadaan efek isolasi dapat dijelaskan dengan variabel lain, yaitu status bekerja dari rumah dan penurunan frekuensi bertemu langsung dengan teman/kolega/saudara.

The pandemic of COVID-19 has interrupted many aspects of life globally. Not only affecting the economy, the containment measures to slow down the spread of the virus has also impacting people’s mental well-being. This study aimed to assess the relation of social restriction policy level, job loss, and income loss during the COVID-19 pandemic to individual mental health. A national representative data collected by CISDI through a phone survey was used in this study. A total of 1031 observations aged 15-65 who participated in the labour force and worked prior to the pandemic were included in the study. Based on five negative mental health impact indicators, of all the sample, 42.39% felt more horrified, 47.72% felt more apprehensive, 18.33% felt more helpless, 39.67% increased stress from work, and 46.36% increased financial stress. The results from our binary logistic regression showed that job loss and income loss were attributed to negative mental health impacts. Meanwhile, the social restriction was not significantly associated with it. The findings imply that economic effect was evident in our sample, yet the isolation effect due to social restriction was barely proven here. Besides, the existence of isolation effects could be explained by WFH status and decreased meeting frequency with friends/colleagues/family.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Risyad Prabowo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat kesiapan menghadapi era industri 4.0 berkaitan dengan loyalitas kerja sebelum dan selama pandemi Covid-19 terjadi. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan besarnya perubahan tingkat kesiapan menghadapi era industri 4.0 dan besarnya perubahan loyalitas kerja. Hal ini dibutuhkan perusahaan untuk mencari tenaga kerja yang tetap loyal kepada perusahaan di masa pandemi Covid-19. Karena variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel laten dan ingin melihat hubungan antar variabel laten, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Partial Least Square (PLS). Data merupakan data primer yang dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner kepada responden yang merupakan pekerja aktif yang bekerja di perusahaan-perusahaan di ibukota DKI Jakarta dengan menggunakan metode snowball sampling dan diperoleh sampel sebanyak 228 responden. Hasil yang diperoleh adalah terdapat hubungan positif antara tingkat kesiapan menghadapi era industri 4.0 dengan loyalitas baik sebelum maupun setelah pandemi Covid-19. Selain itu, kesimpulannya adalah terdapat hubungan negatif antara tingkat kecemasan terhadap pandemi Covid-19 dengan tingkat kesiapan menghadapi era industri 4.0. Demikian juga tingkat kecemasan menghadapi era industri 4.0 memiliki hubungan negatif dengan perubahan tingkat kesiapan menghadapi era industri 4.0 pekerja DKI Jakarta. Namun, tingkat kecemasan menghadapi era industri 4.0 memiliki hubungan positif dengan perubahan loyalitas pekerja DKI Jakarta.

This study aims to determine how the level of readiness to face the industrial era 4.0 relates to work loyalty before and during the Covid-19 pandemic. In addition, this study will also analyze the relationship between anxiety levels in the face of the Covid-19 pandemic with the magnitude of changes in the level of readiness to face the industrial era 4.0 and the magnitude of changes in work loyalty. This is needed by companies to seek workers who remain loyal to the company during the Covid-19 pandemic. Because the variables used in this study are latent variables and you want to see the relationship between latent variables, the method used in this study is the Partial Least Square (PLS) method. The data are primary data collected through distributing questionnaires to respondents who are active workers who work in companies in the capital DKI Jakarta using the snowball sampling method and obtained a sample of 228 respondents. The results obtained are that there is a positive relationship between the level of readiness to face the industrial era 4.0 and loyalty both before and after the Covid-19 pandemic. In addition, the conclusion is that there is a negative relationship between the level of anxiety about the Covid-19 pandemic and the level of readiness to face the industrial era 4.0. Likewise, the level of anxiety facing the industrial era 4.0 has a negative relationship with changes in the level of readiness to face the industrial era 4.0 of DKI Jakarta workers. However, the level of anxiety facing the industrial era 4.0 has a positive relationship with changes in the loyalty of DKI Jakarta workers."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Theresia
"Swamedikasi merupakan upaya yang paling sering dilakukan masyarakat untuk mengatasi gejala penyakit sebelum memutuskan untuk mencari pertolongan dari pelayanan medis. Pandemi COVID-19 mengakibatkan perubahan perilaku swamedikasi di masyarakat. Apoteker komunitas, yang ditemui pasien saat melakukan swamedikasi, memiliki peranan penting untuk memastikan praktik swamedikasi tetap rasional. Keputusan apoteker melayani swamedikasi dapat dipengaruhi oleh persepsinya dari berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persepsi apoteker terhadap praktik swamedikasi selama pandemi COVID-19 berdasarkan Social Cognitive Theory. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan sumber data primer menggunakan kuesioner secara daring. Kuesioner dikembangkan berdasarkan literatur dan diuji validitas serta reliabilitasnya sebelum disebarkan kepada responden. Pengumpulan responden dilakukan dengan metode convenience sampling melalui akun Sistem Informasi Apoteker (SIAp) yang dapat diakses oleh apoteker seluruh Indonesia. Setelah dilakukan skrining kriteria inklusi dan eksklusi, diperoleh 434 responden dari 30 provinsi di Indonesia . Responden penelitian didominasi oleh apoteker komunitas dengan jenis kelamin wanita, berusia 25-44 tahun, tidak melanjutkan pendidikan setelah Profesi Apoteker, memiliki status Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA) dengan pengalaman praktik di apotek ≤5 tahun, dan telah memenuhi standar minimal pelayanan dengan durasi praktik 5-10 jam/hari. Hasil penelitian menunjukkan faktor kognitif, lingkungan, dan perilaku memiliki hubungan yang saling meningkatkan. Peningkatan faktor kognitif akan meningkatkan faktor lingkungan (r=0,367, p=0,000) dan perilaku (r=0,442, p=0,000). Peningkatan faktor lingkungan turut mengakibatkan peningkatan faktor perilaku (r=0,283, p=0,000). Peningkatan faktor kognitif mengakibatkan peningkatan ketidaksesuaian praktik (r=0,201, p=0,000), sedangkan peningkatan faktor lingkungan (r=0,052, p=0,284) dan perilaku (r=0,051, p=0,286) tidak berdampak signifikan terhadap ketidaksesuaian praktik.

Self-medication is the most frequently and widely used method by community to overcome the symptoms of the disease before deciding to seek help from the healthcare service. The COVID-19 pandemic has resulted in changes in self-medication behavior in community. The community pharmacist, whom patient met when taking self-medication, has an important role to ensure that the practice of self-medication remains rational. The pharmacist's decision to give self-medication can be influenced by their perception of various factors. This study aims to analyze pharmacists' perceptions of self-medication practices during the COVID-19 pandemic based on Social Cognitive Theory. This research is a cross sectional study with primary data sources using online questionnaires. The questionnaire was developed based on the literature and tested for validity and reliability before distributed to respondents. Respondents were collected by convenience sampling method through Sistem Informasi Apoteker (SIAp) account which could be accessed by pharmacists throughout Indonesia. After screening, 434 respondents were obtained from 30 provinces in Indonesia. Respondents were dominated by female and 25-44 years old community pharmacists who had a professional level of Pharmacist education, worked as Pharmacist In Charge of Pharmacy (APA) with experience in pharmacies for 5 years, and had met the minimum standard of service with a duration of practice 5-10 hours/day. The results showed that cognitive, environmental, and behavioral factors had a mutually enhancing relationship. An increase in cognitive factors increased environmental factors (r = 0.367, p = 0.000) and behaviorial factors (r = 0.442, p = 0.000). An increase in environmental factors also increased behavioral factors (r=0.283, p=0.000). The increase in cognitive factors also resulted in an increase in irrational self-medication practice (r=0.201, p=0.000), while an increase in environmental factors (r=0.052, p=0.284) and behavioral factors (r=0.051, p=0.286) had no significant impact on irrational self-medication practice."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>