Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181091 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devina Faustanisa Nursyah Wibowo
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami mekanisme psikologis yang mendasari pengaruh kepribadian neuroticism pada tingkat kepuasan hidup dalam fase perkembangan emerging adulthood. Tingkat neuroticism yang tinggi mendorong individu mengalami afek negatif yang lebih kuat, serta memicu bias atensi terhadap informasi negatif yang kemudian mempengaruhi kepuasan hidup secara negatif. Penelitian ini menganalisis data 153 emerging adults menggunakan kuesioner BFI-44, PANAS, SWLS, dan mengerjakan tugas kognitif yakni Emotional Stroop Task. Hasil analisis PROCESS simple mediation (Model 4) dan moderated mediation (Model 14) menunjukkan bahwa neuroticism berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan tingkat kepuasan hidup, dan hubungan ini dimediasi secara parsial oleh afek negatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa efek mediasi dari afek negatif pada kepuasan hidup secara signifikan dimoderasi oleh bias negatif.  Secara spesifik, semakin kuat bias negatif, semakin kuat pula peran afek negatif sebagai mediator dalam memprediksi tingkat kepuasan hidup. Penelitian ini berhasil menunjukkan secara empirik bahwa peran atensi sangatlah penting dalam memperkuat pengaruh afek negatif pada tingkat kepuasan hidup individu, terutama di kalangan emerging adults dengan kepribadian neuroticism yang dominan.  

This study aims to understand the psychological mechanisms underlying the effect of the neuroticism trait on life satisfaction in the developmental phase of emerging adulthood. High neuroticism encourages individuals to experience more negative affect and triggers attentional bias toward negative information that negatively affects life satisfaction. This study collected data on 153 emerging adults using the BFI-44, PANAS, SWLS questionnaires, and a cognitive task, namely the Emotional Stroop Task. The results of the PROCESS analysis of simple mediation (Model 4) and moderated mediation (Model 14) showed that neuroticism was negatively and significantly correlated with life satisfaction, and this relationship was partially mediated by negative affect. The study also found that the mediating effect of negative affect on life satisfaction was significantly moderated by negative bias. Specifically, the stronger the negative bias, the stronger the role of negative affect as the mediator in predicting the level of life satisfaction. Thus, this study provides empirical evidence that the role of attention is very important in strengthening the effect of negative affect on life satisfaction, especially among emerging adults with a dominant neuroticism personality."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlyta Candra Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran bias atensi sebagai moderator pada hubungan antara afek dan kebahagiaan. Hubungan antara afek dan kebahagiaan sudah terbukti signifikan. Namun, penelitian mengenai hubungan keduanya lebih banyak menggunakan pengukuran yang disadari, sementara afek memberikan pengaruh pada fungsi kognitif melalui proses yang juga tidak disadari. Penelitian ini mengajukan bias atensi sebagai proses tidak disadari yang diasumsikan akan memoderasi hubungan antara afek dan kebahagiaan khususnya di populasi remaja. Penelitian ini menggunakan desain korelasional dengan partisipan sebanyak 87 remaja SMA dan SMK (M = 16,5 tahun). Kebahagiaan diukur dengan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1997), afek diukur dengan Positive and Negative Affect Schedule (Watson et al., 1988), dan bias atensi diukur menggunakan tugas kognitif Emotional Stroop Task. Hasil analisis moderation dengan Jamovi menunjukkan bahwa bias atensi pada stimulus kata terkait kebahagiaan maupun kata terkait ancaman secara signifikan memoderasi hubungan antara afek positif dan kebahagiaan. Sementara itu, bias atensi pada stimulus kata terkait kebahagiaan maupun kata terkait ancaman tidak memoderasi hubungan antara afek negatif dan kebahagiaan. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk merancang intervensi pada bias atensi di populasi remaja.

This study aims to examine the role of attentional bias as a moderator of the relationship between affect and happiness. The relationship between affect and happiness has been shown to be significant. However, research on the relationship between the two uses more conscious measurements, while affect affects cognitive function through processes that are also unconscious. This study proposes attentional bias as an unconscious process that is assumed to moderate the relationship between affect and happiness, especially in the adolescent population. This study used a correlational design with 87 high school and vocational high school youth participants (M = 16.5 years). Happiness was measured by the Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1997), affect was measured by the Positive and Negative Affect Schedule (Watson et al., 1988), and attentional bias was measured using the Emotional Stroop Task. The results of the moderation analysis with Jamovi showed that attentional bias on stimulus words related to happiness and words related to threat significantly moderated the relationship between positive affect and happiness. Meanwhile, attentional bias on stimulus words related to happiness and words related to threat did not moderate the relationship between negative affect and happiness. The results of this study can be used as a reference for designing interventions on attentional bias in the adolescent population."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatira Aurelia
"Emerging adulthood (EA) adalah masa transisi seseorang dari remaja ke dewasa. Dengan karakteristik identity exploration dan instability, EA terdorong untuk berinteraksi dengan banyak orang, di mana memahami emosi ekspresi wajah lawan berbicara menjadi sangat penting. Terdapat serangkaian studi terdahulu yang mengkaji terkait bias atensi ekspresi wajah Marah dan Senang dalam sebuah kerumunan (Anger vs Happiness Superiority Effect/ ASE vs HSE). Disayangkan, hasil dari studi terdahulu tidak konsisten menjelaskan ekspresi wajah mana yang lebih kuat dalam menangkap atensi seseorang. Untuk menjembatani hal tersebut, penelitian ini menguji pengaruh Kepuasan Hidup terhadap ASE. Penelitian ini menggunakan Kepuasan Hidup (SWLS) dan pengukuran waktu reaksi saat partisipan (N = 91, 18-29 tahun, belum menikah) merespon ekspresi wajah Marah dan Senang yang dikemas dalam modified emotional stroop task (Preston & Stansfield, 2008). Hasil analisis ANOVA menunjukkan ekspresi wajah marah secara implisit diprioritaskan dalam pemrosesan informasi bila dibandingkan dengan emosi senang. Ditemukan juga bahwa kelompok Kepuasan Hidup rendah menunjukkan ASE yang lebih besar ketimbang kelompok Kepuasan Hidup tinggi. Temuan ini menjelaskan mengapa informasi berisikan emosi marah mendapatkan lebih banyak atensi dari khalayak, daripada emosi senang. Dengan temuan ini, diharapkan EA di Indonesia dapat lebih sadar akan emosi yang ada dalam informasi yang mereka terima dan meningkatkan Kepuasan Hidup mereka.

Emerging adulthood (EA) is the transition from adolescence to adulthood. With the characteristics of identity exploration and instability, EA is encouraged to interact with many people, where understanding the emotions of the other person's facial expressions is very important. Series of previous studies examined attentional bias of Angry and Happy facial expressions in a crowd (Anger vs Happiness Superiority Effect/ASE vs HSE). Unfortunately, the results from previous studies have not consistently explained which facial expressions are stronger in capturing someone's attention. To bridge this, current study examines the effect of life satisfaction on ASE. This study used Life Satisfaction (SWLS) and reaction time measurements when participants (N = 91, 18-29 years old, not yet married) responded to angry and happy facial expressions in modified emotional stroop task (Preston & Stansfield, 2008). Results of ANOVA analysis show that angry facial expressions are implicitly prioritized in information processing when compared to happy emotions. It was also found that the low Life Satisfaction group showed a greater ASE than the high Life Satisfaction group. This findings explains why information containing angry emotions gets more attention from audiences than happy emotions. With this awareness, it is hoped that EAs in Indonesia can be more aware of the emotions in the information they receive and increase their Life Satisfaction."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sere Eunice Kantate
"Salah satu cara untuk mencapai intimacy dalam tahap dewasa muda adalah melalui hubungan berpacaran. Akan tetapi, muncul berbagai masalah dalam berpacaran yang dapat diselesaikan dengan melakukan pengorbanan. Diketahui beberapa faktor yang berperan dalam berkorban adalah motif berkorban, komitmen, dan trait neuroticism. Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui apakah neuroticism dapat memoderasi hubungan antara komitmen dan motif berkorban. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Motives of Sacrifice Impett, Gable, Peplau, 2005 untuk mengukur motif berkorban, The Investment Model Rusbult, Martz, Agnew, 1998 untuk mengukur komitmen, dan Big Five Inventory BFI Ramdhani, 2012 untuk mengukur neuroticism. Data yang didapat ialah 954 individu, dengan 80,9 responden perempuan, yang sedang menjalani hubungan berpacaran, ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motif berkorban baik approach motives r = 0,27, p < 0,01, two tails maupun avoidance motives r = 0,09, p < 0,01, two tails dengan komitmen. Individu yang memiliki komitmen tinggi cenderung berkorban demi pasangannya, baik dengan approach motives maupun avoidance motives. Akan tetapi, ditemukan bahwa neuroticism tidak memoderasi hubungan antara motif berkorban, baik approach motives t = 0,90, p > 0,05 maupun avoidance motives t = 0,49, p > 0,05 dengan komitmen. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketika individu memiliki komitmen yang tinggi, ia akan berkorban menggunakan approach motives maupun avoidance motives, terlepas dari tingkat neuroticism yang dimilikinya.

One way to achieve intimacy during the young adult developmental stage is through relationships. Nevertheless, problems will arise in dating relationships problems which can be solved through making sacrifices. A few factors play a role in affecting individuals 39 sacrificing behavior, among which are motives of sacrifice, commitment, and trait neuroticism. This correlational study aims to find out whether neuroticism moderates the relationship between motives of sacrifice and commitment. Instruments used in this study are Motives of Sacrifice Impett, Gable, Peplau, 2005 to measure motives of sacrifice, The Investment Model Rusbult, Martz, Agnew, 1998 to measure commitment, and Big Five Inventory Ramdhani, 2012 to measure neuroticism. Data gathered from 954 young adults, 80,9 female, who are in dating relationships shows a significant relationship between motives of sacrifice, including approach motives r 0,27, p 0,01, two tails and avoidance motives r 0,09, p 0,01, two tails, and commitment. Individuals with high commitment tend to sacrifice for their partner, either with approach motives or avoidance motives. However, neuroticism is not found to moderate the relationship between motives of sacrifice, for both approach motives t 0,90, p 0,05 and avoidance motives t 0,49, p 0,05, and commitment. Therefore, it can be concluded that when individuals have high commitment, they will make sacrifices using approach or avoidance motives, regardless of their neuroticism level.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Maharani Nugroho
"Saat ini, krisis iklim menjadi salah satu fenomena yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Hal ini dapat digambarkan sebagai eco-anxiety. Eco-anxiety adalah pengalaman akan kecemasan yang dirasakan terkait krisis iklim dan kerusakan lingkungan. Salah satu yang dapat memengaruhi eco-anxiety adalah kepribadian. Terdapat tiga kepribadian yang dapat memengaruhi eco-anxiety, yaitu neuroticism, openness, dan conscientiousness. Individu dengan tipe kepribadian neuroticism cenderung memiliki kecemasan akan lingkungan. Untuk individu dengan tipe kepribadian openness digambarkan memiliki rasa ingin tahu terhadap lingkungan, dan pada tipe kepribadian conscientiousness digambarkan sebagai individu yang berhati-hati, memiliki tujuan, dan mengikuti norma terkait lingkungan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran ketiga kepribadian tersebut terhadap eco-anxiety dengan menggunakan metode kuantitatif dan desain korelasional dengan multiple analysis regression. Eco-anxiety diukur dengan menggunakan Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS- 13) (Hogg et al., 2021) dan kepribadian diukur dengan menggunakan Ten Item Personality Inventory (TIPI Indonesia) (Akhtar, 2018). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 552 dengan rentang usia 19-65 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peran pada ketiga tipe kepribadian neuroticism, openness, dan conscientiousness terhadap eco-anxiety dengan F = 2.93, p = 0.033 < 0.05, R2 = 0.016. Dalam hal ini ditemukan jika neuroticism (B= -0.545, t = -2.686, p = 0.007) dan conscientiousness (B = 0.520, t = 2.076, p = 0.038) memiliki hubungan yang signifikan, sedangkan openness tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap eco-anxiety. Temuan ini dapat digunakan untuk melihat kebutuhan pasar pada perusahaan industri, aktivis lingkungan, dan psikolog agar dapat mengurangi eco-anxiety yang disesuaikan dengan kepribadian individu.

Currently, the climate crisis is a phenomenon that has a major impact on human life. This can be described as eco-anxiety. Eco-anxiety is the experience of anxiety related to the climate crisis and environmental damage. One thing that can affect eco-anxiety is personality. There are three personalities that can affect eco-anxiety, such as neuroticism, openness, and conscientiousness. Individuals with neuroticism tends to have environmental anxiety. Individuals with openness are described as having a curiosity about the environment, and the conscientiousness personality type is described as an individual who is careful, has goals, and follows environmental norms. Therefore, this study aims to examine the role of these three personalities on eco-anxiety by using quantitative method and correlational multiple analysis regression. Eco-anxiety was measured using the Hogg Eco-Anxiety Scale (HEAS-13) (Hogg et al., 2021) and personality was measured using the Ten Item Personality Inventory (TIPI Indonesia) (Akhtar, 2018). The number of participants in this study was 552 with an age range of 19-65 years. The results showed that there was an role on the three personality types of neuroticism, openness, and conscientiousness on eco-anxiety with F = 2.93, p = 0.033 < 0.05, R2 = 0.016. In this case, it was found that neuroticism (B= -0.545, t = -2.686, p = 0.007) and conscientiousness (B = 0.520, t = 2.076, p = 0.038) had a significant relationship, while openness had no significant relationship to eco -anxiety. These findings can be used to see the market needs of industrial companies, environmental activists, and psychologists in order to reduce eco-anxiety that is tailored to individual personalities."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fionna Gracia
"Beberapa studi terdahulu menjelaskan bahwa perselingkuhan dalam perkawinan merupakan salah satu pelanggaran yang sulit untuk dimaafkan terutama pada individu dengan trait neuroticism. Mindfulness diketahui mampu membantu meningkatkan pemaafan pada individu yang diselingkuhi oleh pasangan dalam perkawinan. Penelitian dilakukan untuk menguji efek mindfulness sebagai moderator dalam hubungan antara trait neuroticism dengan pemaafan pada individu yang mengalami perselingkuhan rumah tangga. Data diambil menggunakan convenience sampling pada partisipan laki-laki dan perempuan berusia ≥ 18 tahun, heteroseksual, sudah menikah, pernah atau masih mengalami diselingkuhi oleh pasangan. Partisipan penelitian sebanyak 329 orang mengisi kuesioner Marital Offence-Specific Forgiveness Scales (MOFS) untuk mengukur variabel pemaafan, International Personal Pool-Big Five Model 50 (IPIP-BFM50) dimensi emotional stability untuk mengukur variabel trait neuroticism, dan Cognitive-Affective Mindfulness Scales- Revised (CAMS-R) untuk mengukur variabel mindfulness. Melalui moderated regression analysis diketahui bahwa mindfulness tidak berperan secara signifikan dalam memoderatori hubungan antara trait neuroticism dan pemaafan. Meski demikian terdapat trend perubahan dalam bentuk pemaafan pada partisipan dengan trait neuroticism apabila ditinjau dari tingkat mindfulness. Hal ini mengindikasikan adanya potensi yang mengarah pada proses dinamis yang kemudian mampu membantu individu neuroticism untuk memaafkan.

Recent studies describe Infidelity in marriage as a serious offense and is difficult to forgive, especially for individuals with the neuroticism trait. Mindfulness is known to be able to help increase forgiveness in individuals who have been cheated on by their partners in marriage. The study was conducted to examine the effect of mindfulness as a moderator in the relationship between the neuroticism trait and forgiveness in individuals who experience marriage infidelity. Data were taken using convenience sampling on male and female participants aged ≥ 18 years, heterosexual, married, had or still experienced being cheated on by their partner. Research participants as many as 329 people filled out the Marital Offence-Specific Forgiveness Scales (MOFS) questionnaire to measure forgiveness, the International Personal Pool-Big Five Model 50 (IPIP-BFM50) dimensions of emotional stability to measure the neuroticism trait variable, and Cognitive-Affective Mindfulness Scales- Revised (CAMS-R) to measure the mindfulness variable. Through moderated regression analysis, it was found that mindfulness did not play a significant role in moderating the relationship between the neuroticism trait and forgiveness. However, there is a trend of change in the form of forgiveness in participants with the neuroticism trait when viewed from the level of mindfulness. This indicates the potential that leads to a dynamic process which is then able to help neuroticism individuals to forgive."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilla Maryam Purboningsih Mudaffar Syah
"Terlepas dari pengalaman yang menghibur, penggunaan TikTok memiliki sejumlah konsekuensi yang merugikan bagi kesehatan mental penggunanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji korelasi antara kesepian, neurotisisme, dan penggunaan TikTok. Penelitian ini memiliki 381 partisipan dan data dikumpulkan dari survei online yang dikirim melalui media sosial, email, dan kontak pribadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi antara konsumsi TikTok dan hubungannya terhadap kesepian dan neurotisme. Implikasi praktis dari temuan ini sangat penting karena banyak pengguna TikTok mungkin tidak sepenuhnya mengenali bagaimana kesepian dan neurotisisme dapat memengaruhi konsumsi TikTok. Memahami implikasi ini sangat penting untuk meningkatkan kesadaran di antara pengguna dan mempromosikan penggunaan TikTok yang terinformasi, yang berpotensi mengarah pada peningkatan kesejahteraan mental di antara audiensnya.

Despite the entertaining experience, TikTok usage has a number of detrimental consequences for its users’ mental health. The purpose of this study was to examine the correlation between loneliness, neuroticism, and TikTok usage. The study had 381 participants and data was collected from online surveys sent via social media, email, and personal contact. The results showed that there is a correlation between TikTok consumption and its relationship to loneliness and neuroticism. The practical implications of these findings are significant as many TikTok users may not fully recognize how loneliness and neuroticism can impact TikTok consumption. Understanding these implications is crucial to raising awareness among users and promoting informed TikTok usage, potentially leading to improved mental well-being among its audience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aloysia Rarasningtyas
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada pengaruh aktivitas kreatif melalui menggambar terhadap afek dalam dua pengalaman emosi negatif yang berbeda. Penelitian ini menginduksi emosi 120 partisipan dalam dua kondisi: sedih atau marah, lalu meminta mereka untuk menggambar kelompok eksperimen atau mengerjakan permainan Cari Kata kelompok kontrol. Afek positif dan negatif diukur sebelum dan setelah rangkaian penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas kreatif secara signifikan memengaruhi afek positif, dan tidak memengaruhi afek negatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa tingkat kesukaan dan frekuensi menggambar seseorang tidak memengaruhi afek. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kreatif dapat memperbaiki afek tanpa memedulikan tingkat kesukaan maupun frekuensi menggambar.
Usulan penelitian lanjutan adalah mempertimbangkan adanya variabel moderator, yaitu ekspektasi regulasi emosi negatif.

This study aims to identify the influence between creative activity through drawing towards affect in two different experiences of negative emotion. This study induced the emotion of 120 participants in two conditions sadness or anger, and then asks them to draw experiment group or do a Word Search puzzle control group . Positive and negative affect was measured before and after the treatment.
The results of the study show that creative activity significantly influence positive affect and doesn rsquo t influence negative affect. This study also found that preference level and drawing frequency doesn 39 t influence affect. This shows that creative activity influences affect despite of whether one likes to draw or often draws.
Suggestion for further reseach is to consider a moderator variable, such as expectancies for negative emotion regulation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67478
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Adya Aurelia
"Seperti atlet olahraga tradisional, atlet Esports mampu mengalami kecemasan kompetitif yang dapat menganggu performa mereka dalam bermain saat menjalani pertandingan. Kecemasan tersebut merupakan hasil interpretasi terhadap situasi kompetitif yang dianggap sebagai ancaman. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu kontrol seperti self-efficacy untuk mencegah meningkatnya tingkat kecemasan kompetitif pada seorang atlet Esports. Namun terdapat dugaan bahwa terdapat peran kepribadian neuroticism yang mengakibatkan atlet memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan kompetitif. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran neuroticism sebagai moderator dari hubungan self-efficacy dan kecemasan kompetitif pada atlet Esports Valorant. Kecemasan kompetitif diukur menggunakan Competitive State Anxiety Inventory-2R ID (CSAI-2RID), self-efficacy diukur menggunakan Athlete Self-Efficacy Scale (ASES), dan neuroticism diukur menggunakan International Personality Item Pool-Big FiveMarkers-25 (IPIP-BFM-25). Penelitian ini memperoleh 150 partisipan yang merupakan pemain gim Valorant (usia 18-25 tahun, 64.7% laki-laki). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat efek moderasi neuroticism yang signifikan pada hubungan self-efficacy dan kecemasan kompetitif. Dalam arti lain, baik tinggi atau rendah skor neuroticism tidak dapat memperkuat atau memperlemah self-efficacy terhadap kecemasan kompetitif secara signifikan.

Like traditional sports athletes, Esports athletes can experience competitive anxiety that can interfere with their performance in a competition. This anxiety is the result of interpreting competitive situations as threatening. Therefore, a type of control such as self-efficacy is needed to prevent competitive anxiety levels from rising in an Esports athlete. However, it is suspected that there is a role of neuroticism that results in athletes tending to experience competitive anxiety. This study aims to examine the role of neuroticism as a moderator of the relationship between self-efficacy and competitive anxiety in Esports athletes. Competitive anxiety was measured using the Competitive State Anxiety Inventory-2R ID (CSAI-2Rid), self-efficacy was measured using the Athlete Self-Efficacy Scale (ASES), and neuroticism was measured using the International Personality Item Pool-Big FiveMarkers-25 (IPIP-BFM-25). This study obtained 150 participants who were Valorant players (18-25 years old, 64.7% male). The results showed that there was no significant moderating effect of neuroticism on the relationship between self-efficacy and competitive anxiety. In other words, either high or low neuroticism scores could not significantly strengthen or weaken self-efficacy against competitive anxiety."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fariza Nur Shabrina
"Dampak trait neurotisisme yang tinggi adalah depresi. Semakin tinggi tingkat neurotisisme seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami depresi. Hubungan ini juga ditemui pada populasi mahasiswa. Kecenderungan depresi pada mahasiswa dapat disebabkan oleh gangguan tidur atau insomnia Taylor dkk., 2005; Baglioni dkk., 2010; Riemann dkk., 2010 . Hal ini karena mahasiswa memiliki sumber kecemasan yang khas terkait kewajiban sebagai seorang mahasiswa. Pada sisi lain insomnia dapat disebabkan oleh trait neurotisisme. Orang neurotik memiliki kecenderungan ruminasi. Ruminasi ini menyebabkan insomnia terutama bila pada malam hari dan mengganggu waktu tidur Carney dkk., 2010 . Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran insomnia sebagai mediator dalam hubungan antara trait neurotisisme dan kecenderungan depresi pada mahasiswa Indonesia. Melalui analisis mediasi ditemukan bahwa insomnia memediasi secara parsial hubungan antara trait neurotisisme dan kecenderungan depresi F 2,447 = 124,694, adjusted R2= 0,355, p

One effect of neuroticism is depression. The higher the neuroticism, the more likely that a person becomes depressed. This relationship is also applicable in college student population. Depression tendency in college students can be influenced by insomnia Taylor et al., 2005 Baglioni et al., 2010 Riemann et al., 2010 . This is so due to the students 39 obligations. On the other hand, insomnia is influenced by neuroticism. Neurotic people tend to ruminate, and nightly rumination can lead to the onset of insomnia. Carney et al., 2010 . This study aimed to examine the role of insomnia as mediator between neuroticism and depression in college students. Depression in this study refered to depressive tendency. Using mediation analysis, it was found that insomnia partially mediated the relationship between neuroticism and depressive tendency F 2,447 124,694, adjusted R2 0,355."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S67831
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>