Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123652 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Feillard, Andree
Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Studi (LKiS), 1999
297.6 FEI n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Itmam Jalbi
"Sejarah Perumusan Kembali ke Khittah NU 1926 hingga Muktamar Situbondo 1984), SKRIPSI, Januari 2000, Jurusan Asia Barat Program Studi Arab Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) pada akhir tahun 1984 melalui mukatamarnya di Situbondo, menyatakan sikap kembali ke khittah 1926. Sebelum menjadi keputusan penting Munas Situbondo dan dipertegas kembali pada Muktamar setahun kemudian, gagasan kembali ke khittah 1926 ini sudah melalui proses perjalanan panjang, berdasarkan introspeksi dari kalangan tokoh-tokohnya sendiri, yakni dari kalangan alarm dan generasi muda NU. Karena kiprahnya sebelum itu bukan saja telah mengabaikan tugas-tugas pengabdiannya kepada masyarakat sesuai misinya mengembangkan ajaran ahlussunnah wal jarna'ah, melainkan juga telah menimbulkan ketegangan dan konflik berkepanjangan pada tingkat interen NU. Dalam perjalanan yang ironis tersebut, NU dapat pula diibaratkan seperti pisau cukur yang hanya digunakan untuk mengiris bawang rnerah, yang berarti tidak sesuai dengan peran sesungguhnya.
Penelitian ini berupaya mengkaji faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya gagasan kembali ke khittah 1926 yang mencapai tahap kematangannya pada pemikiran K.H. Achmad Siddiq dan tokoh-tokoh muda pembaharu NU yang tergabung dalam Majelis 24 dan Tim Null. Dan rumusan-rumusan yang digulirkan inilah yang kemudian secara meyakinkan diterima sebagai keputusan monumental pada Munas dan Muktamar ke-27 Situbondo, yang selanjutnya diakui sebagai naakah resmi khittah NU 1926.
Dari basil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan yang terlalu berlebihan kepada orientasi politik, menjadikan peran dan prestasi NU selalu dikaitkan dengan sebnah prestise jabatan atau kekuasaan yang justru pada perkembangannya menghambat kemajuan serta kejayaan NU. Sebagai upaya mengembalikan kejayaannya yang pernah dicapai pada periode awal berdirinya, langkah kembali ke Khittah 1926 merupakan langkah strategis yang diharapkan mampu membawa NU berkiprah dengan landasan dan sikap yang sesuai dengan wawasan keagamaannya. Sementara itu, keputusan kembali ke khittah 1926 sewajarnya akan membawa beberapa konsekuensi logis dan tantangan ke depan NU, baik secara organisatoris maupun politis. Secara organisatoris misalnya, NU akan mengembalikan pola. kepemimpinannya kepada supremasi ulama. Hal ini disebabkan sebagai organisasi keagamaan. (arniyyah dintyah), NU memerlukan kharisma ulama yang berperan sebagai pemandu, pengelola dan sekaligus pengawas program-program NU. Sedangkan secara politis, NU telah meninggalkan gelanggang politik praktis dan memfokuskan kegiatannya pada peran sosial kemasyarakatan yang lebih terkoordinasi. Tujuan luhur dan strategis ini akan tercapai manakala Para pemimpin NU, baik pada tataran masyarakat maupun dalam kepengurusannya tetap konsisten dan menjadikan butir-butir khittah 1926 sebagai panduan dalam berkiprah, bukannya sebagai ajang mencari kebenaran dan kepentingan pribadi semata. Upaya selanjutnya yang tak kalah penting adalah mensosialisasikan pemahaman tentang khittah NU 1926 kepada masyarakat secara umum, sebagaimana yang telah digariskan dalam keputusan NU tentang khittah 1926 beserta perangkat program dan nilai-nilai keagamaan yang mendukungnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
S13244
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hasyim Muzadi
Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1999
297.636 HAS m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ramdhany Irdiansyah
"Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana organisasi keagamaan mengkonstruksikan identitas kolektifnya dalam wacana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS). Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diajukan ke DPR RI sejak tahun 2016 dan disahkan menjadi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tahun 2022 telah mendorong berbagai kelompok masyarakat membentuk wacana PPKS, termasuk NU dan Muhammadiyah. Keduanya membangun wacana PPKS menggunakan berbagai strategi retorika yang dipublikasi melalui situs web NU.or.id dan Muhammadiyah.or.id. Wacana tidak sekedar menunjukkan pandangan organisasi, tetapi juga identitas kolektif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruksionisme sosial. Teks wacana PPKS berupa artikel-artikel dalam situs web NU.or.id dan Muhammadiyah.or.id dianalisis menggunakan metode analisis tematik dan analisis retorika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NU dan Muhammadiyah mengkonstruksi identitas kolektif sebagai gerakan dakwah, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok budaya. Agama menjadi sumber utama bagi identitas kolektif. Sebagai gerakan dakwah, NU dan Muhammadiyah menyampaikan pemikiran mengenai kekerasan seksual yang bersumber dari nilai-nilai Islam. Sebagai organisasi masyarakat sipil, NU lebih banyak menunjukkan aksi-aksi simbolik yang memanfaatkan modal sosial, adapun Muhammadiyah lebih banyak menunjukkan program-program yang dilakukan organisasi secara mandiri. Sebagai kelompok budaya, NU menggunakan memori kebudayaan berupa kegiatan istigasah kubra, sowan, dan pesantren untuk menggambarkan diri sebagai gerakan dakwah berbasis tradisi dan kebudayaan lokal. Adapun Muhammadiyah menggunakan memori kebudayaan berupa simbol ”kerja dakwah”, sekolah, dan kampus untuk menggambarkan diri sebagai gerakan dakwah pengabdian masyarakat.

This thesis aims to see how religious organizations constructed their collective identity in the discourse on sexual violence prevention and management (PPKS). The Draft of Elimination of Sexual Violence Bill (RUU PKS) which was first proposed in 2016 until it was passed as Sexual Violence Crime Bill (UU TPKS) in 2022 had encouraged various community groups to create PPKS discourse, including NU and Muhammadiyah. Both organization created the PPKS discourse by the used of various rhetorical strategies which then published on the website NU.or.id and Muhammadiyah.or.id. Those discourses not only showed organizational views, but also collective identity. This research used qualitative approach with the paradigm of social constructionism. The text of PPKS discourse in the form of articles on the websites NU.or.id and Muhammadiyah.or.id were analyzed by thematic analysis and rhetorical analysis methods. The research showed that NU and Muhammadiyah constructed collective identities as da'wah movements, civil society organizations, and cultural groups. Religion was the main source of their collective identity. As da'wah movements, NU and Muhammadiyah conveyed their ideas about sexual violence that originate from Islamic values. As a civil society organization, NU showed more symbolic actions that utilized social capital, while Muhammadiyah shows more programs that were carried out independently. As a cultural group, NU uses cultural memories in the form of istigasah kubra, sowan, and pesantren activities to described themselves as a da'wah movement based on tradition and local culture. As for Muhammadiyah used cultural memories in the form of symbol of "da’wah work", schools and campuses to described themselves as a community service da’wah movement."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Muflihah
"Menurut beberapa Hadis Nabi Muhammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya, bahwa Islam yang diakui oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah golongan yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Golongan ini lebih dikenal dengan sebutan kelompok ahli_ sunnah wal jamaah. Maka, dalam penyebarannya, agama Islam muncul dalam berbagai bentuk dan mengaku kelompok Ahli sun_nah wal jamaah yang datang dari berbagai penjuru dunia. Hal inipun dialami oleh penduduk Indonesia, khususnya pemeluk agama Islam. Selain itu, Islam juga bertemu dengan berbagai macam kebudayaan, yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh masya_rakat setempat. Pertemuan Islam dengan kebudayaan atau ke_percayaan masyarakat setempat tersebut tidak dapat dihinda_ri. Karena suatu masyarakat betapapun rendah dan terasing_nya, biasanya sudah berkebudayaan tertentu dan menganut ke percayaan tertentu. Akibat pertemuan dua unsur tersebut, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, nilai baru men_jadi dominan dan nilai lama menjadi hilang. Kedua, nilai lama tetap dominan dan nilai baru tidak bisa diterima. Ketiga, kedua nilai saling mengisi atau berasimilasi de-ngan salah satu nilai sedikit lebih dominan. Ketika Islam masuk ke Indonesia, ia bertemu dengan agama Hindu/Budha dan kepercayaan lama lainnya. Hal ini dapat diketahui dengan adanya dua pendapat dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia, yaitu pendapat Sunan Giri dan Sunan Kalijaga. Penyebaran agama Islam yang diinginkan oleh Sunan Giri, yaitu dengan cara memberantas kepercayaan lama adat-istiadatnya dan menggantikannya dengan agama/ke-percayaan baru (Islam). Sedangkan cara yang diinginkan oleh Sunan Kalijaga, dengan memasukkan ajaran Islam ke dalam adat-istiadat/kepercayaan lama tanpa memberantasnya sekaligus. Dengan demikian, tersebarlah dua macam ajaran Islam di Indonesia, yang satu berkembang di daerah perkotaan dan satu lagi berkembang di daerah pedesaan. Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan/organisasi kegamaan Islam yang mempunyai basis massa di daerah pedesaan. Melalui lembaga pendidikan Islam, Pesantren. Dan ter_nyata sebagian besar pendukung utama Nahdlatul Ulama adalah masyarakat santri, yang sedang menuntut dan mendalami ilmu agama di pondok pesantren. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin menuntut ilmu agama di bawah bimbingan Pa_ra ulama. Para santri inilah yang nantinya akan menjadi penerus gerakan dan perjuangan Nahdlatul Ulama di masa mendatang. Karena Pesantren banyak terdapat di daerah pedesaan, maka ciri-ciri masyarakat desa sekitar pondok pesantren banyak menyerap pengaruh dari pondok pesantren tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya daya kreatifitas dan pengetahuan tentang agama dalam masyarakat pedesaan tersebut. Kebiasaan santri yang selalu taat dan patuh di bawah kewibawaan ulama mempengaruhi masyarakat desa di lingku_ngan pesantren. Sifat demikian menjadi sikap masyarakat desa yang selalu menunggu petunjuk dan bimbingan dari ula_ma sebagai pemimpin agama. Ciri masyarakat desa seperti ini merupakan tempat subur bagi peranan ulama. Maka, pera_nan ulama sebagai pemimpin informal (bukan pemerintahan) di desa sampai saat ini lebih menonjol dibanding unsur pimpinan lain.Uraian tersebut menunjukkan, bahwa pondok pesantren dan masyarakat desa mempunyai hubungan erat. Ciri dan hu_bungan ini, selanjutnya membentuk watak/ciri khas organisasi ini. Perwatakan tersebut terlihat, misalnya saja pa_da kekuatan Nahdlatul Ulama bukan terletak pada organisa sinya, melainkan pada solidaritas yang secara tradisional tertanam pada pendukungnya yang sebagian besar terdiri dari masyarakat santri pedesaan dan kiainya. Dengan demi_kian, utama dianggap sebagai pemeran utama baik dalam bidang keagamaan maupun bidang sosial. Karena Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan dalam bi_dang keagamaan, maka salah satu motivasi lahirnya pun di_landasi oleh semangat keagamaan, yaitu mempertahankan pa-ham Ahli sunnah wal jamaah. Karena begitu kuatnya Nahdlatul Ulama memegang paham tersebut, maka setiap pembicaraan tentang jamiah ini, tidak dapat lepas dari mas'aiah Allisunnah wal jamaah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kang, Young Soon
Jakarta: UI-Press, 2008
324.2 KAN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baso
Jakarta: Yayasan Garuda Bumandhala, 2021
297.272 AHM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta Pustaka Pelajar 1995
297.65 K 38 m
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>