Ditemukan 396 dokumen yang sesuai dengan query
Cambridge, UK: Independence Educational, 1995
305.8 RAC
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Cruz, Hernan Santa
New York: United Nations, 1971
341.4 CRU r
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Stone, John
Cambridge: Polity Press, 2014
305.8 STO r
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Lerner, Natan
Leiden: A.W. Sijthoff, 1970
305.8 LER u
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Morant, G.M.
Paris: Unesco, 1958
323.1 MOR s
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Nandana Anggaraksa
"Musik jazz menjadi salah satu alat perjuangan kesetaraan ras khususnya bagi masyarakat Afro-Amerika di Amerika. Masyarakat Afro-Amerika di Amerika sendiri kebanyakan adalah budak impor dari negara dunia ketiga, dan selayaknya budak mereka dipekerjakan dengan bayaran yang murah. Sejak sebelum kemerdekaan Amerika (tahun 1776), banyak budak afrika yang dikirim ke Amerika hingga penghapusan perdagangan budak impor awal abad 19. Secara kasta sosial mereka cenderung sama dengan suku indian. Mereka menyebar ke seluruh negara bagian, sebenarnya masyarakat kulit hitam ini cukup banyak namun harus diakui bahwa supermasi kulit putih menjadi penghalang untuk menciptakan kesetaraan sosial Musik jazz berkembang di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 di New Orleans, dekat muara Sungai Mississippi, memainkan peran kunci dalam perkembangan musik jazz. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini menggunakan sumber primer salah satunya surat kabar sezaman yang sudah terdigitalisasi dan kebaruan akan penelitian ini terletak pada pembahasan mengenai kaitan musik jazz dengan pergerakan masyarakat Afro-Amerika khususnya di New Orleans, Louisianna.
Jazz music became one of the tools to fight for racial equality, especially for the Afro-American community in America. Afro-Americans in America were mostly imported slaves from third-world countries, and as slaves they were employed with low pay. Since before American independence (1776), many African slaves were sent to America until the abolition of the imported slave trade in the early 19th century. In terms of social caste, they tended to be the same as the Indians. They spread throughout the state, actually this black community is quite a lot but it must be recognized that white supremacy is an obstacle to creating social equality Jazz music developed in the United States in the early 20th century in New Orleans, near the mouth of the Mississippi River, played a key role in the development of jazz music. This research uses the historical method, which consists of four stages, namely heuristics, verification, interpretation, and historiography. This research uses primary sources, one of which is digitized contemporaneous newspapers and the novelty of this research lies in the discussion of the relationship between jazz music and the Afro-American community movement, especially in New Orleans, Louisianna."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Hasya Hanifan
"Peningkatan kekerasan yang mengatasnamakan supremasi kulit putih di Amerika Serikat terjadi begitu pesat khususnya pada periode tahun 2017-2019. Peningkatan yang terjadi tidak hanya dalam aspek kekerasan saja namun juga pada penyebaran ideologi supremasi kulit putih dan pergerakan kelompok ekstrimis kulit putih. Peningkatan kekerasan supremasi kulit putih terus terjadi padahal Amerika Serikat telah menandatangani International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination pada tahun 1966 yang baru diratifikasi pada tahun 1994. Sebagai negara yang menandatangani CERD Amerika Serikat berkewajiban untuk mengutuk diskriminasi rasial dan mengejar kebijakan penghapusan diskriminasi rasial, dalam segala bentuknya. Namun pada kenyataannya Amerika Serikat gagal menghapuskan diskriminasi rasial yang terjadi di negaranya dengan meningkatnya kekerasan rasial yang menargetkan orang kulit berwarna. Untuk itu, pertanyaan dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi peningkatan kekerasan supremasi kulit putih padahal Amerika Serikat telah menandatangani CERD. Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian menggunakan teori konstruktivis dari Onuf yang menggunakan
speech act atau tutur kata sebagai alat konstruksi sosial yang mampu mengatur tindakan manusia. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis wacana. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa Amerika Serikat menolak untuk mengimplementasikan pasal dalam CERD yang mengatur penyebaran ujaran kebencian karena tidak sejalan dengan konstitusi Amerika Serikat tentang kebebasan berpendapat. Hal ini akhirnya melanggengkan diskriminasi rasial yang terbentuk dari bahasa-bahasa yang dipromosikan oleh tokoh-tokoh nasionalis kulit putih Amerika Serikat. Didukung juga dengan bahasa agresif yang digunakan oleh politisi Amerika Serikat pada masa kepresidenan Trump, yang menggambarkan orang kulit berwarna membuat pergerakan supremasi kulit putih semakin meningkat dan menyusup kedalam kehidupan masyarakat luas.
The increase in violence in the name of white supremacy in United States occurred so rapidly, especially in the 2017-2019 period. The increase that occurred was not only in the aspect of violence but also in the spread of white supremacist ideology and movements of white extremist groups. The increase in white supremacist violence continues to occur even though United States has signed the International Convention on the Elimination of All Form of Racial Discrimination in 1966 and only ratified it in 1994. As a country that signed CERD, the United States is obliged to condemn racial discrimination and pursue a policy of eliminating discrimination racial, in all its forms. But in reality United States has failed to eradicate racial discrimination that occurs in its country by increasing racial violence targeting people of color. For this reason, the question in this study is why there is an increase in white supremacist violence when United States has already signed CERD. To answer this question, this study will use Onuf's constructivist theory which uses speech act as a social construction tool capable of regulating human action. The method used is a qualitative method with a discourse analysis approach. This study found that the United States refused to implement the articles in the CERD regulating the spread of hate speech, as they not in line with the United States constitution regarding freedom of speech. This ultimately perpetuates the racial discrimination that is formed from the languages ââpromoted by white nationalist figures. This is also supported by the aggressive language used by American politicians during the Trump presidency, which depicts people of color making the white supremacist movement increase and infiltrate the lives of the wider community."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Esa Bayu Rianto
"Penelitian yang dibahas dalam tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan alasan Tun Abdul Razak memilih melanjutkan dan memperkuat posisi kebijakan The 1961 Education Act sebagai upaya pemerintah mengatasi dampak kerusuhan rasial pada 13 Mei 1969. Alasan tersebut dapat dijelaskan melalui serangkaian kejadian yang berkaitan dengan kerusuhan tersebut. Analisis penelitian dilakukan dengan menggunakan teori nasionalisme-etnis karya Anthony D. Smith dan konsep routinization of policy instrument milik Capano dan Lippi, tulisan ini juga berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik pemilihan pola routinization dalam pengambilan kebijakan publik di Malaysia. Hal ini didasarkan atas pada serangkaian kebijakan pendidikan dan kebahasaan yang dijalankan sebelumnya, yakni The 1952 Education Ordinance dan The 1957 Education Ordinance. Selain itu, Tun Abdul Razak juga menilai konsekuensi yang akan terjadi jika pemerintah mengubah pendekatan kebijakan pendidikan dan kebahasaan yang ada pasca kerusuhan 13 Mei 1969 maka stabilitas relasi antar etnis di masyarakat yang diinginkan oleh elit politik Bumiputera-Melayu tidak akan tercapai serta akan terjadi penyimpangan narasi nasionalisme etnis sebagai bentuk identitas nasional yang ingin dicapai bahkan telah digunakan dalam setiap penerapan kebijakan asimilatif di bidang pendidikan dan kebahasaan selama ini.
The research discussed in this paper is aimed at explaining the reasons why Tun Abdul Razak chose to routineize and strengthen the policy position of The 1961 Education Act as a government effort to overcome the impact of the racial riots on May 13, 1969. This reason can be explained through a series of events related to the riots. The research analysis was conducted using the theory of nationalism-ethnicity by Anthony D. Smith and the concept of routinization of policy instrument by Capano and Lippi. This paper also seeks to identify the characteristics of the choice of routine patterns in public policy making in Malaysia. This is based on a series of educational and linguistic policies previously implemented, namely The 1952 Education Ordinance and The 1957 Education Ordinance. In addition, Tun Abdul Razak also assessed the consequences that would occur if the government changed the approach to education and language policies that existed after the May 13, 1969 riots, the stability of inter-ethnic relations in society that was desired by the Bumiputera-Melayu political elite would not be achieved and there would be narrative distortion. Ethnic nationalism as a form of national identity to be achieved has even been used in every application of assimilative policies in the fields of education and language so far."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Arief Hanifan
"Makalah ini menjelaskan bagaimana peran aktor Afrika Amerika di dalam film The Help (2011), sebuah film karya Tate Taylor, merepresentasikan Magical Negro sebagai perbuatan yang digunakan untuk melegitimasi diskriminasi rasial serta stereotype terhadap kaum kulit hitam Amerika di bawah kekuasaan kulit putih. Latar belakang film ini adalah saat terjadinya pergerakan sosial di Mississippi pada tahun 1960an. Film ini bercerita tentang Skeeter, seorang perempuan lulusan Ole Miss yang baru saja kembali ke kampung halamannya untuk menjadi seorang penulis dengan bekerja sebagai jurnalis dan penulis kolom di sebuah koran harian setempat. Saat bekerja sebagai jurnalis, Skeeter bertemu dengan Aibileen, pembantu salah seorang temannya.
Dengan bantuan beberapa pembantu kulit hitam, Skeeter memulai proyek pembuatan buku yang menceritakan diskriminasi rasial di Jackson, Mississippi. Makalah ini menganalisa representasi karakter Magical Negro dan juga adegan di dalam film yang melegitimasi keunggulan kaum kulit putih melalui akting dari pemeran film The Help. Makalah ini mengidentifikasi sebuah kontradiksi yang mencolok di dalam film. Di satu sisi film ini secara jelas mengangkat isu diskriminasi rasial, namun di sisi lain film ini semakin menegaskan keunggulan kaum kulit putih. Kesimpulan dari makalah ini adalah film The Help menggunakan konsep Magical Negro untuk melegitimasi keunggulan kaum kulit putih atas kau kulit hitam.
This paper examines how African American actors roles in The Help (2011), a movie directed by Tate Taylor, represent Magical Negro as an act to legitimate racial discrimination and black American stereotype under white supremacy. The setting of this movie is during social movement era in Mississippi around 1960s. The story is about Skeeter, an Ole Miss graduated woman, who returns to her hometown to become a writer and to work as a young journalist and columnist for a local newspaper in house cleaning section. During her work as a journalist, Skeeter meets Aibileen, her friend’s black maid. With the help of several black maids, she starts a book project about racial discrimination in Jackson, Mississippi. This paper analyzes representation of Magical Negro characters and the scene which legitimates white supremacy through actions of the characters. The paper reveals a stark contradiction in the film. On one hand, the film explicitly raises the theme of racial discrimination, but on the other hand, it reinforces the ideology of white supremacy. Reviews on previous researches about the same issue are analyzed as well as character and scene analysis from the movie in order to reach objective. This paper concludes that this movie uses Magical Negro concept to legitimate white supremacy towards black people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
New York: The United Nations, 2002
305.8 WOR
Buku Teks Universitas Indonesia Library