Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156854 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rania Sofia Garnetta
"Latar Belakang
Peningkatan insiden setiap tahun menjadikan meningioma sebagai salah satu masalah primer tumor jinak sistem saraf pusat (54,5%), dengan karakteristik laju pertumbuhan dan rekurensi tinggi. Maka, diperlukan penetapan rangkaian tatalaksana meningioma yang efektif dan efisien, dengan mempertimbangkan faktor pasien, lokasi tumor, volume, dan riwayat medis.
Metode
Penelitian menggunakan pendekatan studi potong lintang deskriptif-analitik untuk mengamati luaran radiologis meningioma pasca-GKRS. Digunakan data rekam medis pasien meningioma dari tahun 2018 hingga 2023 berupa MRI follow up satu tahun pasca- GKRS. Selain penyajian data pasien meningioma pasca-GKRS secara deskriptif, dilakukan analisis data laju pertumbuhan meningioma pasca-GKRS terhadap volume awal, lokasi, dan riwayat tindakan pra-GKRS.
Hasil
Dari 50 data rekam medis, sebanyak 44% tumor alami regresi; 44% tumor ukuran stabil, dan 12% tumor mengalami peningkatan ukuran. Mayoritas pasien meningioma pasca- GKRS berjenis kelamin perempuan, berusia 46 – 59 tahun, memiliki lokasi tumor supratentorial, volume awal ≤30 cc, dan tanpa riwayat tindakan pra-GKRS. Tidak ditemukan adanya hubungan bermakna antara laju pertumbuhan meningioma pasca- GKRS terhadap volume awal, lokasi, maupun riwayat tindakan pra-GKRS. Kesimpulan
Laju kontrol pertumbuhan tumor meningioma mencapai efektivitas 88% dalam jangka satu tahun pasca-GKRS. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara volume awal, lokasi meningioma, maupun riwayat tindakan pra-GKRS terhadap luaran laju pertumbuhan tumor tertentu.

Introduction
Increasing incidence of meningioma every year makes it one of the primary problems of benign tumors of the central nervous system (54.5%), with characteristics of high growth rate and recurrence. Therefore, it is necessary to determine an effective and efficient management of meningioma by considering patient factors, tumor location, volume, and medical history. One of the newest meningioma treatment modalities in Indonesia is Gamma Knife Radiosurgery, a minimally invasive radiation surgery. Although it has been implemented since 2018, there are no studies analyzing the outcomes of Gamma Knife treatment for meningioma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Method
The study used a descriptive-analytic cross sectional study approach to observe the radiological outcomes of meningioma after Gamma Knife. Medical record data of meningioma patients from 2018 to 2023 in the form of MRI follow-up one year after GKRS was used. In addition to descriptive presentation of Gamma Knife meningioma patient data (age and gender), significance tests of meningioma control rate after Gamma Knife have been analyzed towards the initial volume, location, and medical history prior to GKRS.
Results
Of the 50 medical records, 44% had regression, 44% had stable size, and 12% had increased size. The majority of GKRS meningioma patients were female, aged 46 - 59 years, had supratentorial tumor location, initial volume ≤30 cc, and no history of pre- GKRS treatment. There was no significant relationship between meningioma control rate after GKRS and initial volume, location, or history of pre-GKRS treatment.
Conclusion
The meningioma tumor growth control rate reached 88% effectiveness within one year after Gamma Knife. There was no significant association between initial volume, meningioma location, or history of pre-GKRS treatment on the trend of specific tumor control rate outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hastrina Mailani
"Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang tersering, sebagian dapat bersifat agresif dengan kemungkinan rekurensi yang lebih tinggi. Diperlukan parameter klinikopatologik yang dapat memprediksi terjadinya rekurensi dan progression meningioma sehingga dapat dilakukan strategi tatalaksana yang lebih agresif dan follow-up ketat. Penilaian ekspresi Ki-67 pada meningioma diharapkan dapat menjadi salah satu prediktor rekurensi dan progression tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression dengan yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai meningioma dengan pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM dari tanggal 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression serta yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data kemudian dievaluasi untuk menentukan ekspresi Ki-67.Didapatkan 34 kasus meningioma yang terdiri atas 17 kasus dengan rekurensi dan progression serta 17 kasus tanpa rekurensi dan progression. Median ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi dan progression (2,1%)  lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami rekurensi dan progression (0,5%). Ekspresi Ki-67 berkaitan dengan kejadian rekurensi dan progession meningioma dengan adjusted odds ratio sebesar 4,2. Nilai titik potong yang direkomendasikan adalah sebesar 0,95%. Ekspresi Ki-67 merupakan faktor prediksi kejadian rekurensi dan progression pada meningioma.

Meningioma represents the most frequent primary intracranial tumor, and some subtypes may demonstrate aggressive characteristics with a correspondingly elevated risk of recurrence andprogression. To predict the likelihood of recurrence and progression, clinical and pathological parameters are essential. More aggressive treatment strategies and strict follow-up can be implemented using these parameters. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence and progression. This study aims to evaluate Ki-67 expression in meningioma with recurrence and progression and those without recurrence and progression. This was an analytic case control study including specimens diagnosed as meningioma recorded in archives of Anatomical Pathology Departemen, FMUI/CMH from January 1st. 2019 to December 31th, 2021. Consecutive sampling method was used. Ki-67 immunostaining was conducted using anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Thirty-four cases were selected, consisted of 17 cases with recurrence and progression and 17 cases without recurrence and progression. Median expression of Ki-67 in meningioma with recurrence and progression (2,1%) was higher than median expression of Ki-67 in meningioma without recurrence and progression (0,5%). Ki-67 expression was associated with recurrence and progression in meningioma (aOR=4,2) Recommended cut off value to predict recurrence and progession in this study was  0,95%. Ki-67 expresssion was independent factor for recurrence and progession of meningioma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Auliya
"Latar belakang: Meningioma memiliki kemampuan menyebabkan inflamasi seperti tumor lainnya. Adapun posisi meningioma yang diluar sawar darah otak menyebabkan gambaran inflamasi pada lingkungan mikro tumor lebih tergambarkan pada darah tepi dibandingkan tumor yang berada di intraparenkim. Hal ini dibuktikan dengan tinkat c-reactive protein yang lebih tinggi pada meningioma dibandingkan tumor intraaksial walaupun derajat meningioma lebih rendah. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan aktivasi inflamasi perifer berdasarkan NLR dan MLR dengan gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan studi kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan penanda inflamasi perifer terhadap gejala klinis, edema peritumoral, dan rekurensi meningioma di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2016-Desember 2019. Penanda inflamasi perifer diambil dari data hitung jenis, edema peritumoral dihitung langsung dari data radiologi, dan data lainnya diambil dari catatan rekam medis. Analisis data bivariat Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 173 subjek dengan rata-rata usia 46,98±8,26 tahun. Meningioma didominasi derajat I (94,2%) dengan meningothelial merupakan histologi terbanyak. Nyeri kepala merupakan klinis terbanyak (64,7%) diikuti gangguan penglihatan (59%). Nilai titik potong NLR (neutrophil lymphocyte ratio) adalah 2,415 dan MLR (monocyte lymphocyte ratio) 0,295. Klinis yang berhubungan dengan NLR dan MLR yang lebih tinggi adalah nyeri kepala (p<0,001). NLR dan MLR tinggi juga berhubungan dengan gambaran peritumoral edema (p<0,001). Faktor-faktor yang memengaruhi rekurensi adalah edema peritumoral, NLR, MLR, dan derajat simpson. Dari faktor-faktor tersebut, yang berhubungan secara independent adalah MLR dengan aOR 12,647 (IK 95% 2,355-67,919); p: 0,003.
Kesimpulan: NLR dan MLR sebagai faktor penanda inflamasi perifer memiliki median yang lebih tinggi pada pasien meningioma dengan nyeri kepala dan gambaran edema peritumoral. Inflamasi pada meningioma juga berhubungan dengan kejadian rekurensi.

Background: Meningioma, like the other tumors, have the ability to cause inflammation like other tumors. It is located in areas without blood brain barrier and make the inflammation in this tumor microenvironment to be more depicted in peripheral blood than intraparenchymal tumors. This fact provable by the higher levels of c-reactive protein in meningiomas compared to intraaxial tumors even though the low grade of meningiomas. Therefore, this study aimed to determine the relationship between peripheral inflammatory activation based on NLR and MLR with clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence.
Methods: This is retrospective cohort study to determine the relationship between peripheral inflammatory markers and clinical symptoms, peritumoral edema, and meningioma recurrence at Cipto Mangunkusumo General Hospital in January 2016-December 2019. Peripheral inflammatory markers were taken from type count data, peritumoral edema was calculated directly from radiological data. , and other data taken from medical records. Chi Square and Mann Whitney bivariate are used for data analysis, followed by multivariate logistic regression analysis
Results: 173 subjects were obtained with an average age of 46.98 ± 8.26 years. Subject predominately grade I (94,1%) with meningothelial is the most common histology. Headache was the most clinical manifestation (64,7) followed by visual disturbances (59%). The cut-off point for the NLR is 2.415 and the MLR is 0.295. The clinical association with higher NLR and MLR was headache (p<0.001). High NLR and MLR were also associated with features of peritumoral edema (p<0.001). Factors for tumors recurrence were peritumoral edema, NLR, MLR, and Simpson's grade. Of these factors, which were independently related were MLR with an aOR of 12.647 (95% CI 2.355-67.919); p: 0.003.
Conclusion: NLR and MLR as markers of peripheral inflammation had a higher median in meningioma patients with headache and peritumoral edema features. Inflammation in meningiomas is also associated with recurrence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David Vidyatama
"Salah satu cara untuk mengeloinpokkan ketahanan pasien penyakit kanker paru yang menjalani perlakuan reseksi, kemoterapi dan radioterapi adalah teknik analisis diskriminan linier. Analisis ini menggunakan fungsi diskriminan linier yang dibentuk berdasarkan beberapa variabel berdasarkan karakteristik individu pasien atau disebut juga faktor resiko yang mempengaruhi ketahanan pasien. Prosedur analisis ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Menemukan faktor-faktor resiko yang penting, yaitu yang memberikan konstribusi pada fungsi diskriminan linier.
2. Menentukan fungsi diskrirninan linier yang efisien dengan menggunakan variabel-variabel atau faktor-faktor resiko untuk pengelompokan ketahanan suatu individu.
Data yang dipakai adalah data retrospektif pasien Ruinah Sakit Persahabatan tahun 1978-1990. Sebagai temuan didapat fungsi diskriminan yang mengandung faktor umur, jenis kelamin dan faktor-faktor yang bersangkutan dengan jenis sel, stadium dan masing-masing perlakuan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversitas Indonesia, 1993
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Rhiveldi Keswani
"ABSTRAK
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.
Pendahuluan: Meningioma Sphenoorbital merupakan massa tumor eksofitik yang infiltrat tulang di sayap sphenoid, dinding orbital lateral, atap orbital, dan memperluas ke fisura orbital superior. Triad klasik fitur klinis proptosis, penurunan ketajaman penglihatan, dan opthalmoplegia. Saat ini kami belum mengevaluasi hasil pasien setelah operasi. Dalam penelitian ini, kami ingin tahu karakterisitik klinis pasien dengan meningioma sphenoorbital sebelum dan sesudah operasi.
Pasien dan Metode: Studi cross sectional dilakukan dengan subyek adalah penderita dengan meningioma sphenoorbital yang datang ke klinik kami pada bulan Januari 2014 - Desember 2015. Semua penderita menjalani kraniektomi dan lateral orbitotomi. Kami mengevaluasi ketajaman penglihatan dan indeks proptotis sebelum dan setelah operasi dengan mengukur penonjolan mata dalam CT Scan potongan aksial.
Hasil: Ada 66 sampel dalam penelitian ini, 65 dari sampel adalah perempuan. Dengan kisaran umur 31-64 tahun . Rata-rata Indeks proptotis pra operasi adalah 18,27 dan pasca operasi adalah 16,43 . Dengan rata-rata penurunan indeks proptotis adalah 1,84 (p < 0,05) . Paska Operasi ketajaman penglihatan yang ditingkatkan hanya 3 (9,7 %) dari sampel (p = 0,0471)
Kesimpulan: Para pasien sphenoorbital setelah operasi, menunjukkan peningkatan dalam indeks proptosis. Oleh karena itu ketajaman penglihatan tidak nyata membaik setelah operasi.

ABSTRACT
Introduction: Sphenoorbital meningioma is an exophytic tumor mass that infiltrates rthe bone at sphenoid wing, lateral orbital wall, orbital roof, and extending to superior orbital fissure. The classic triad of clinical features are proptosis, decrease visual acquity, and opthalmoplegia. Nowadays we have not eavaluating patient?s outcome after surgery. In the research, we would like to know the clinical characterisitc of the patient with sphenoorbital menigioma before and after surgey.
Patients and Methods: The cross sectional study was performed. Subjects was the patiens with sphenoorbital meningioma who came to our clinic on January 2014 ? December 2015. All the patiens underwent craniectomy and lateral orbitotomy. We evaluated the visual acquity and proptotic index before and after surgery by measuring the protuded eye in a axial CT Scan.
Result: There were 66 samples in this study, 65 of the samples were female. With afe range 31 to 64 years. The mean proptotic index pre-operative is 18,27 and the post operative is 16,43. With mean proptotic index reduction is 1,84 (p<0,05). Post Operative visual acquity were improved only 3 (9,7%) samples (p=0,0471)
Conclusions: The sphenoorbital patients after surgery was showed markedly improvement in proptosis index. Hence the visual acquity were not markedly improved after surgery.
"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syahud
"Buku ini berisi wirid atau doa puji-pujian yang diambil dari Kitab Usuluddin faqih dan tasawuf. Diterangkan mengenai tafakur, penjelasan tentang agama Islam, orang mukmin yang mendapat kemulyaan, tentang rukun Islam, rukun shalat, zakat, puasa, apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya dan lain sebagainya."
Solo: AB. Siti Syamsiyah, 1990
BKL.0724-IS 74
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Ma`mur Syafei
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ,
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hafif
"Pendahuluan: Arteriovenous malformation (AVM) serebral adalah kelainan vaskular di otak yang sering menyebabkan perdarahan intraserebral dan kejang, dengan prevalensi 10-18 per 100.000 orang pada populasi dewasa. Modalitas terapi meliputi observasi, reseksi bedah, bedah radiasi stereotaktik, dan embolisasi endovaskular. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi luaran klinis dan radiologis pasien AVM serebral setelah Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Metode: Studi observasional kohort-retrospektif dilakukan pada pasien AVM serebral yang menjalani GKRS di RSCM antara 2018 dan 2022. Evaluasi klinis dan radiologis dilakukan pada 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun pasca tindakan. Pengambilan sampel menggunakan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil: Dari 41 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi, usia rerata pasien adalah 25,76 tahun dengan mayoritas laki-laki (63,45), gejala klinis yang paling umum adalah nyeri kepala dan kejang. Rata-rata tingkat obliterasi AVM setelah 1 tahun pasca-GKRS adalah 71,69%, meningkat menjadi 87,21% setelah 2 tahun, dan mencapai 91,07% setelah 3 tahun. Dalam evaluasi satu tahun pasca-GKRS, seluruh 41 pasien mengalami resolusi nyeri kepala. Sedangkan, dari 15 pasien yang mengalami kejang sebelum GKRS, hanya 2 pasien yang masih mengalami kejang dalam evaluasi 1 tahun setelah GKRS. Terdapat korelasi kuat antara tingkat obliterasi dan ukuran nidus <3cm (r=0.39) dan ukuran 3-6 cm (r=0.83). Selain itu, peningkatan tingkat obliterasi memiliki korelasi terhadap Spetzler-Martin (SM) Grade yang lebih rendah (p=0,001).

Pembahasan: Penelitian ini menunjukkan tingkat obliterasi yang tinggi pada pasien AVM serebral pasca-GKRS, terutama pada kelompok SM grade rendah dan ukuran nidus yang kecil. Meskipun demikian, perdarahan tetap merupakan risiko selama periode evaluasi pasca GKRS, terutama pada pasien dengan SM grade tinggi. Faktor seperti embolisasi sebelum GKRS tidak mempengaruhi tingkat obliterasi secara signifikan, sementara hubungan antara tingkat obliterasi dengan perbaikan klinis, seperti penurunan nyeri kepala, ditemukan bermakna.

Kesimpulan: Sebagai kesimpulan, ukuran nidus yang lebih kecil mempunyai korelasi signifikan dalam memprediksi obliterasi AVM serebral pasca GKRS. Meskipun GKRS dapat menjadi pilihan utama pada pasien dengan SM grade rendah dan ukuran nidus kecil, risiko perdarahan perlu dipertimbangkan selama pemantauan pasca tindakan. Perbaikan klinis, khususnya dalam mengurangi nyeri kepala, berkorelasi positif dengan tingkat obliterasi AVM setelah GKRS.


Introduction: Brain arteriovenous malformation (AVM) is a vascular disorder in the brain often associated with intracerebral hemorrhage and seizures, with a prevalence of 10-18 per 100,000 adults. Treatment modalities include observation, surgical resection, stereotactic radiosurgery, and endovascular embolization. This study aimed to evaluate the clinical and radiological outcomes of cerebral AVM patients after Gamma Knife Radiosurgery (GKRS) at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM).

Methods: A retrospective cohort observational study was conducted on brain AVM patients who underwent GKRS at RSCM between 2018 and 2022. Clinical and radiological evaluations were performed at 6 months, 1 year, 2 years, and 3 years post-procedure. Sampling was conducted using consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria.

Results: Of the 41 patients meeting the inclusion and exclusion criteria, the mean age was 25.76 years with a predominance of males (63.45%). The most common clinical symptoms were headache and seizures. The average AVM obliteration rate after 1 year post-GKRS was 71.69%, increasing to 87.21% after 2 years, and reaching 91.07% after 3 years. At the one-year evaluation post-GKRS, all 41 patients experienced resolution of headaches. Among the 15 patients with pre-GKRS seizures, only 2 patients still experienced seizures at the 1-year evaluation post-GKRS. There was a strong correlation between obliteration rate and nidus size <3 cm (r=0.39) and size 3-6 cm (r=0.83). Furthermore, increased obliteration rates correlated with lower Spetzler-Martin (SM) Grade (p=0.001).

Discussion: This study demonstrates high obliteration rates in brain AVM patients after GKRS, particularly in the low SM grade and small nidus size groups. However, hemorrhage remains a risk during the post-GKRS evaluation period, especially in patients with high SM grades. Factors such as pre-GKRS embolization did not significantly affect obliteration rates, while a significant association between obliteration rate and clinical improvement, such as reduction in headaches, was found.

Conclusion: In conclusion, smaller nidus size significantly predicts brain AVM obliteration post-GKRS. Although GKRS may be the primary choice for patients with low SM grade and small nidus size, the risk of hemorrhage needs consideration during post-procedural monitoring. Clinical improvements, particularly in reducing headaches, positively correlate with AVM obliteration rates after GKRS."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>