Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172394 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Anissa Muthia Saptadji
"Initial Public Offerings (IPO) is a process of offering share for the first time to society. There are two interested parties in IPO, they are company, who requiring fund, and investor, who investing fund. Therefore, long-term performance of share and company is important things to known. There are several objectives of this study. First, this study empirically examines initial return of share (the initial return period covers one day, its defined as the offering price to the first closing price). Second, this study empirically examines whether standard deviation return, underwriter reputation, percentage of total equity capital issued in an IPO and performance of market index influence initial return. Third, this study examines performance of share after listed at Jakarta stock exchange. Fourth, this study examines operating performance of company after IPO. Fifth, this study examines correlation between initial return and longterm performance of share. Sixth, this study examines correlation between initial return and operating performance of company.
This study calculates initial returns and market-adjusted initial returns. The mean of initial return and market-adjusted initial return over the 62 sample is 47.70% and 46.16% respectively. The result of this study support uncertainty investor hypothesis as plausible explanation for underpriced anomaly in Indonesia capital market. Cumulative abnormal return (CAR) and Buy and Hold Return (BHR) method are used to evaluate long-term of IPO. The average of Indonesia IPO (in 2000-2004) displays underperformance when BHR method used. In addition, there is no relation between initial return and long term performance (if CAR method used). However, there is relation between initial return and buy and hold return in 480, 600, 720 period. This study find operating underperformance of company after listed at Jakarta stock exchange. A significant decline found at Operating Return on asset variable and Operating profit margin. This study didn?t found correlation between initial return of share and operating performance of company after listed at Jakarta stock exchange.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Farah Syahdina
"Semakin baik kondisi ekonomi suatu perusahaan yang dicerminkan pada laporan keuangan, maka semakin tinggi harga saham perusahaan dan akan berdampak pada tingginya return saham atau deviden yang akan diperoleh investor. Dengan alasan inilah maka perusahaan akan mencoba untuk mernbuat laporan keuangan yang sebaik mungkin apabila akan menerbitkan saham, terutama pada Penawaran Umum Perdana atau Initial Public Offering (IPO). Dalam proses IPO juga terdapat asimetri informasi diantara pengusaha yang perusahaannya akan go publik dan potensial investor. Matra dalam kondisi ini insentif mungkin muncul bagi perusahaan untuk memanipulasi atau mengelola laba yang dilaporkan. Hal ini juga diutarakan oleh Schipper (1989). Selain itu, adanya kelonggaran yang dinikmati perusahaan dari prinsip akuntansi dan ketentuan PSAK yang dapat diterapkan, membuat perusahaan lebih leluasa untuk melaparkan laporan keuangannya dengan keadaan sebaik mungkin, dalam hal ini melakukan pengelolaan laba atau manipulasi laba Beberapa studi telah menguji pelaporan laba seputar saham IPO. Friedlan (1994); Teoh et al. (1998) dan DuCharme et al. (2001) semua melaporkan bukti empiris dimana terdapat pengelolaan laba untuk perusahaan yang akan go publik Studi lain oleh Teoh et al. (1998b) menyediakan bukti empiris bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara managed accrual yang diukur selama tahun penawaran dengan return saham selama tiga tahun setelah periode IPO. Dalam studi lain, Teoh et al. (1998) juga menemukan bahwa managed accrual pada tahun penawaran berhubungan negatif dengan laba setelah penawaran.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pengelolaan Iaba melalui akrual yang dilakukan perusahaan sebelum IPO den variabel kontrol lainnya sebagai sinyal kualitas perusahaan dengan harga saham perdana yang diukur berdasarkan PBV. Penelitian ini juga menganalisa dampak negatif pengelolaan laba melalui managed accrual pada kinerja perusahaan setelah IP0 yang diukur berdasarkan perubahan industry adjusted ROE dan abnormal return.
Dalam rangka mencapai tujuan penelitian maka dilakukan uji statistik pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta periode 1995 sampai dengan 2000. Sampel yang diperoleh sebanyak 65 perusahaan dengan jumlah 260 data observasi. Model persamaan regresi Iinier berganda digunakan dalam menganalisis basil penelitian. Untuk proxi pengelolaan laba diidentifikasi melalui model Jones dan dua model modibkasi dari model Jones.
Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara arus kas (CFO) dengan PBV pada kedua regresi balk total akrual dan modal kerja akrual untuk seluruh model. Untuk unmanaged accrual dari total akrual (TAUMA) terdapat bukti adanya hubungan positif dan signifikan pada seluruh model regresi. Hasil ini sesuai dengan penelitian DuCharme et al.(2001). Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan positif dan signifikan antara managed accrual dan total akrual (TAEM) dengan PBV pada ketiga model regresi. Ini artinya perusahaan cenderung untuk melakukan pengelolaan laba oportunistik untuk meningkatkan PBV. Masa ini sesuai dengan penelitian Teoh et al.(1998).
Berbeda dengan regresi total acrual, pada regresi modal kerja akrual, unmanaged accrual dari modal kerja akrual (WCUMA) secara signifikan tidak berpengaruh pada perubahan PBV. Demikian pula dengan managed accrual dari modal kerja akrual (WCEM) dimana tidak ditemukan basil yang signifikan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Many (2001). Adanya perbedaan basil antara regresi pengelolaan laba berdasarkan total akrual dengan modal kerja akrual diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih cenderung untuk melakukan pengelolaan laba yang bersifat jangka panjang.
Untuk variabel kontrol lainnya didapatkan bukti adanya hubungan positif dan signifikan antara Retained Ownership (RO) dengan PBV pada seluruh model regresi. Begitu pula untuk sinyal kualitas perusahaan yang berkenaan dengan underwriter didapatkan bukti adanya hubungan positif dan signifikan, walupun hanya pada regresi total akrual standard model. Ini artinya perusahaan lebih mernilih menggunakan underwriter dengan reputasi balk. Hubungan positif dan signifikan juga terdapat pada variabel dummy Year yang menggambarkan adanya kecenderungan PBV pada masa non krisis lebih tinggi dari PBV pada masa krisis. Dan untuk variabel pertumbuhan penjualan (GSA.,) dan Auditor keduanya tidak menunjukkan angka yang signifikan untuk seluruh model regresi yang berarti tidak berpengaruh pada variabel PBV. Hubungan yang berlawanan dengan ekspektasi terjadi antara variabel Risk dan PBV, dimana pada penelitian ini didapatkan adanya bukti hubungan positif dan signifikan pada regresi modal kerja akrual standard model. Penelitian Utama (1998) juga mendapatkan basil serupa Selanjutnya peneliti menganalisa dampak negatif pengelolaan laba melalui managed accrual terhadap kinerja perusahaan yang diukur berdasarkan perubahan industry adjusted ROEt+1. Untuk managed total accrual (TAEMt.I) yang dilakukan sebelum IPO mendapatkan hubungan yang tidak signifikan dengan perubahan industry adjusted ROEt+t. Sedangkan pada variabel TAEMt terlihat adanya hubungan yang negatif dan signifikan. Hal ini mencerminkan adanya pengelolaan laba oportunistik untuk meningkatkan laba dan PBV, tetapi laba ini tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya maka adanya proses accrual reverse akan memaksa laba dimasa mendatang turun soma besar dan akan berdampak pada turunnya ROEt+1? Hasil negatif dan signifikan juga terlihat pada akumulasi managed total accrual antara sebelum IPO dan tabula IPD (STAEM).
Selanjutnya dilakukan regresi untuk menganRlisa dua komponen total akrual secara terpisah yaitu modal kerja dan non modal kerja akrual yang bertujuan untuk menguji besamya pengaruh masing-masing kedua komponen tersebut dan melihat komponen yang lebih signifikan mempengaruhi ROE.
Pada regresi pertama pengujian dampak managed working capital accrual (WCEM) dan managed non working capital accrual (NWCEM) yang dilakukan sebelum WO mendapatkan basil adanya hubungan negatif tetapi tidak signifikan. Sedangkan pada pengujian dampak WCEMt terlihat hubungan yang negatif dan signifikan. Maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang melakukan pengelolaan laba jangka pendek akan merasakan dampak negatifnya terhadap ROE dalam waktu yang relatif pendek yaitu satu tahun setelah IPO.
Demikian halnya NWCEMt terdapat hubungan yang negatif dan signifikan. Hal ini mungkin terjadi karena pada tahun IPO perusahaan banyak melakukan manipulasi akrual NWCEM yang bersifat jangka panjang yang akan menyebabkan accrual reverse pada tahun berikutnya karena tingginya NWCEM. Pada regresi berikutnya didapat hasil SWCEM mempunyai hubungan negatif tetapi tidak signifikan. Namun pada SWNCEM hasilnya negatif dan signifikan yang berarti akumulasi pengelolaan laba jangka panjang dilakukan pada sebelum dan pada tahun IPO berdampak negatif pada ROE selanjutnya.
Variabel Year yang dihasilkan menunjukkan koefisien positif dan signifikan pada keenam regresi baik berdasarkan total akrual ataupun setelah dibagi menjadi dua komponen akrual, hal ini dapat membuktikan adanya perbedaan besarnya perubahan industry adjusted ROE, dimana pada periode non krisis cenderung lebih tinggi dibanding pada periode krisis.
Berikutnya dilakukan pula regresi untuk menganalisa dampak negatif pengelolaan laba terhadap kinerja perusahaan yang diukur melalui abnormal return perusahaan. Pada variabel TAEMt4 tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Sebaliknya untuk variabel TAEMt ditemukan adanya bukti dampak negatif yang signifikan mempengaruhi abnormal return. Ini artinya investor yang pada awalnya mempunyai harapan yang tinggi dari pertumbuhan laba masa depan selanjutnya tidak dapat terpenuhi. Dengan kata lain investor dan para analis telah disesatkan oleh pengelolaan laba yang oportunistik yang dilakukan pada tahun IPO. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh DuCharme et al. (2001). Tetapi jika pengelolaan laba satu tahun sebelum dan pada saat IPO digabungkan (STAEM) kembali tidak signifikan. Ini mungkin disebabkan TAEM yang tidak signifikan lebih dominan dibandingkan TAEMt yang signifikan.
Hasil yang sama juga didapatkan ketika pengelolaan laba total akrual di pisah menjadi dua komponen yaitu modal kerja dan non modal keija akrual. Dimana pada variabel WCEM dan NWCEM tidak didapat hasil yang signifilkan. Begitu pula. untuk variabel WCEM dan NWCEMt dimana hasilnya dapat membuktikan bahwa pengelolaan laba pada tahun IPO ternyata signifikan mempengaruhi penurunan abnormal retumt+I. Hal yang sama juga terjadi pada akumulasi pengelolaan laba antara sebelum dan pada tahun IPO baik pada SWCEM dan SNWCEM, dimana mendapatkan hasil yang tidak signifikan.
Untuk variabel Year pada keenam regresi yang menghubungkan managed accrual dengan abnormal retum walaupun didapat hubungan positif tetapi tidak signifikan, maka dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara abnormal return periode non krisis dengan krisis. Hal ini mungkin disebabkan perusahaan sampel penelitian adalah perusahaan IPO yang mempunyai kecenderungan berkembang dan tumbuh dengan cepat den berdampak pada tingginya abnormal return. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh keadaan dalarn mesa krisis atau tidak.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yang mungkin dapat diperbaiki pada penelitian lanjutan yaitu periode pengamatan yang singkat dan sedikitnya jumlah sampel serta adanya kelemahan model Jones dalam mengidentifikasi pengelolaan laba, Perlu juga untuk mengkontrol tingkat disclosure yang berbeda pada tiap perusahaan yang dapat mempengaruhi basil penelitian dan memperluas penelitian dengan menganalisa rasio keuangan lain yang berpengaruh pada pengelolaan laba."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T20195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Permanasari
"Perusahaan membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk mengembangkan usahanya. Salah satu alternatif pemenuhan dana tersebut adalah dengan menjual saham perusahaan kepada masyarakat umum. Ketika perusahaan pertama kali menawarkan sahamnya, dikenal dengan istilah penawaran perdana, perusahaan harus mengeluarkan prospektus yang berisi rincian hal-hal yang berhubungan dengan saham, manajemen perusahaan, hak dan kewajiban kontrak, sejarah singkat keuangan dan operasi perusahaan sebelumnya, serta mendiskusikan rencana, strategi, dan tujuan perusahaan ke depan. Semua informasi tersebut bisa dimanfaatkan calon investor untuk menilai perusahaan penerbit saham. Beberapa informasi yang sering digunakan adalah prediksi laba dan rasio harga saham per lembar terhadap laba tiap lembar saham (price earning [P/E] ratio). Dengan mengetahui kedua prediksi tersebut, investor bisa memperkirakan prospek pertumbuhan perusahaan di masa datang. Oleh karena itu, merupakan hal yang panting untuk mengetahui keakuratan prediksi laba dan P/E ratio yang dibuat oleh manajemen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat keakuratan prediksi laba dan prediksi PIE ratio yang terdapat pada prospektus perusahaan yang melakukan penawaran perdana. Selain itu, penelitian juga bermaksud untuk melihat faktor-faktor yang diduga memengaruhi keakuratan prediksi tersebut.
Penelitian ini merupakan studi eksploratif yang menggunakan data sampel perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana di Bursa Efek Jakarta periode tahun 1994 sampai 2000. Pengukuran keakuratan prediksi laba dan P/E ratio menggunakan nilai absolut dan error prediksi. Error prediksi sendiri didapat dengan membandingkan nilai prediksi di dalam prospektus dengan nilai laba dan P/E ratio aktualnya. Sedangkan faktor-faktor yang diduga memengaruhi keakuratan prediksi, baik prediksi laba maupun prediksi P/E ratio, adalah hutang perusahaan, ukuran perusahaan, variabilitas laba perusahaan, dan lamanya rentang waktu antara pembuatan prediksi dengan saat laba dan P/E ratio aktual tersebut diumumkan. Mengingat pada periode penelitian terjadi krisis ekonomi tahun 1997, maka penelitian ini juga memasukkan krisis tersebut sebagai variabel dummy.
Hasil penelitian menunjukkan prediksi laba dan PIE ratio pada prospektus memiliki tingkat keakuratan yang rendah. Kedua prediksi tersebut ternyata dibuat lebih tinggi daripada laba dan PIE ratio aktualnya. Hasil pengujian statistik menunjukkan tidak ada variabel yang memengaruhi keakuratan prediksi laba. Sedangkan keakuratan prediksi P/E ratio dipengaruhi oleh besarnya hutang perusahaan, variabilitas laba perusahaan, dan terjadinya krisis ekonomi. Penelitian lanjutan dapat diarahkan dengan menggunakan periode data yang lebih panjang dan rasio-rasio keuangan yang lain untuk melihat keakuratannya. Selain itu perlu juga menambahkan variabel-variabel lain yang diduga memengaruhi keakuratan prediksi, misalnya indeks bursa.

A company needs many funds to expand its business. One alternative to fulfill it is by selling company's stocks to public. When it offers stocks at the firs time, knows as initial public offering (IPO), a company must publish prospectus filled with every things about stocks, company's management, rights and obligations, brief financial and operational histories, and also company's plan, strategy, and objective. Investors could use the information to valuate company's stock. Some information that common to be used is profit and price earning (P/E) ratio forecasts. By knowing these forecasts, investors could predict the company's growth in future. That's the reason why it's important to know the accuracy of profit and P/E ratio forecast that made by management. The purposes of this research are, first, to measure the accuracy of profit and P/E ratio forecast inserted in company's prospectuses. Second, to know what factors could influence those accuracies.
This is an explorative study using IPO companies at Jakarta Stock Exchange in 1994 until 2000 as observation data. Forecast error is used to measure the profit and P/E ratio forecast accuracy. The error values are obtained from forecast value in prospectus and the actual one. The research assumes there are five factors influencing the accuracies; companies' leverage, size and profit variability, number of days between the offering date and the actual one and financial crisis as dummy variable. This is because there's a crisis in 1997 where that year is included as observation data.
The result shows that profit and P/E ratio forecasts in company's prospectuses have low accuracy levels. Both forecasts had made higher than actual ones. Statistical tests show those five variables do not influence profit forecast accuracy. On the other hand, the accuracy of P/E ratio forecast is influenced by company's leverage and profit variability, and also the financial crisis. Next observation could use longer period data and other financial ratio forecasts to analyze the accuracies. Other variables that thought as influencing factors also need to be added, such as stock index.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T17061
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Basar D.P.
"Pada bulan November 1996, PT Bank Negara Indonesia, Tbk. (Bank BNI) sebagai bank BUMN menawarkan 25% dari jumlah modal sahamnya (1,085,032,000 lembar saham) ke publik dan ini merupakan privatisasi perbankan yang pertama di Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan permodalan guna mendukung kegiatan operasional dan menjamin kinerja yang sehat dari Bank BNI dalam memasuki abad mendatang.
Seperti diketahui Bank Indonesia selaku Otoritas Moneter telah mengeluarkan beberapa regulasi seperti ketentuan Giro Wajib Minimum dari 2 persen menjadi 3 persen dan kemudian menjadi 5 persen, persyaratan rasio kecukupan modal (CAR), dan Iain-Iain mendorong bank-bank untuk semakin memperkuat daya saingnya.
Pasar modal merupakan salah satu aiternatif sumber dana bagi perusahaan untuk meningkatkan permodalannya, demikian juga halnya di Indonesia. Hai ini tidak terlepas dari kondisi pasar modal Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin menarik dan 'menggairahkan' baik bagi perusahaan pencari modal maupun bagi pihak penanam modal (investor).
Seperti pengalaman sebelumnya, going public dari perusahaan BUMN yang selalu menarik minat para investor di pasar modal, demikian juga dengan penawaran umum dari saham Bank BNI, dimana hal ini tidak terlepas dari faktor harga perdana saham yang dilepas, yaitu Rp 850 saja.
Beberapa pendekatan teoritis dalam penentuan harga saham perdana dibahas daam Karya Akhir ini, seperti: Dividend Discount Model dan Earnings Approach dengan beberapa model. HasiInya, ternyata terdapat 'diskon harga perdana' apabila hasil perhitungan (teoritis) tersebut dibandingkan dengan model Present Value of Earnings yang digunakan oleh pihak penjamin emisi.
Terlepas dari terlalu rendah atau tidaknya harga perdana saham Bank BNI, ada beberapa pertimbangan non-teknis yang mungkin mendasari ditetapkan harga perdana tersebut, seperti: pertimbangan kesuksesan kinerja harga saham di pasar sekunder, pemerataan bagi investor kecil, dan Iain-lain. Akan tetapi, esensi tujuan dari suatu go public khususnya bagi kepentingan stakeholders harus ditempatkan pada prioritas utama.
Dalam Karya Akhir ini juga dilakukan sedikit analisa pergerakan harga saham Bank BNI di pasar sekunder untuk kurun waktu 6 (enam) bulan pertama seterah dicatatkan. Diharapkan, ulasan dalam Karya Akhir ini dapat memberikan acuan dan masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan go public di masa mendatang."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azimah Hanifah
"Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kinexja saham selalu menarik untuk dilakukan. Hasilnya untuk jangka pendek kinerja saham itu mempunyai kecenderungan Underpricing dan untuk jangka panjang mengalami Underpedbrmed.
Hasil pengujian penulis juga mcnunjukkan hal demikian, telapi bila dilihat satu pensatu cmiten tidak semua emiten mengalami Underpricing baik untuk periode pengamatan sebelum teljadinya krisis dan setelah tenjadinya krisis. Underpricing ini ditandai dcngan IR yang positif untuk jangka pendek baik pcriode 1, 2 maupun periode gabungan.
Dalam jangka penjang tidak semua periode mengalami Underperybrmed, Untuk R-Square juga tidak menunjukkan hasil yang besar, namun untuk periods 2 dengan menggunakan variabel terikat AR 2 dan variabel bebas IR diperoleh R- Square sebesar 93,1 %.
Proksi-proksi yang digunakan juga diduga mempunyai pengaruh terhadap R-Square ini, untuk jangka pendek penulis menggunakan variabel-variabel independent seperti OWN, UND, SIZE, AGE, FL, ROA, RISK dan EPS dimana variabel dependentnya adalah IR. Sedangkan variabel yang digunakan untuk mengukur kinexja saham jangka panjang dengan variabel dependenmya AR dan WR dimana variabel independenmya adalah OWN, UND, SIZE, AGE, IR, BTM dan GROWTH.

Researchs which are related with exchange Performance are very interested to analyze. The results of study informed us that for a short term of exchange performance tend to be underpricing and underperfomaed for a long term.
The result of writers study showed such condition although each company does not get undezpricing at a time of monetary crisis (before and after), this underpricing is market with positive IR for short tenn (Period l, 2 and joint period).
Underperformed position does not all happen in a long tenn period. R-Square does not show big output, because the period 2 where it applied finding variable AR 2 achieved score R-Square 93,1 %.
Proxis used in this way seem to have impact on this R-Square. The writer in short term period used independent variable like: OWN, UND, SIZE, AGE, FL, ROA, RISK and EPS where IR piays as dependent variable. Meanwhile for long term period with AR and WR are dependent variable where independent variable are followed : OWN, UND, SIZE, AGE, IR, BTM and GROWTH.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T34474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Udjian Wahjusuprapto
"Pengaktifan kembali pasar modal di Indonesia dilakukan dengan deregulasi. Di tengah masyarakat yang umumnya masih awam terhadap saham, masalah yang segera muncul adalah seberapa jauh pasar modal Indonesia mampu melakukan koreksi terhadap harga perdana saham yang ditetapkan terlalu tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Koreksi pasar adalah perubahan harga perdana sampai mencapai harga ekuilibrium, yang hanya dapat memberikan imbalan normal. Maka konsep-konsep yang relevan adalah efisiensi pasar dan nilai intrinsik saham. Berdasarkan hasil penelitian terhadap emisi-emisi pertama di pasar modal Amerika Serikat oleh Ibbotson [1975] dan Ritter [1984], koreksi pasar berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan dan berakhir setelah pemodal tidak lagi memperoleh imbalan abnormal. Latar belakangnya adalah kesengajaan emiten dan penjamin emisi melakukan under pricing.
Di pasar modal Indonesia gejala koreksi harga perdana tidak dapat dilihat pada perkembangan imbalan abnormal, karena tidak adanya indeks pasar untuk mengukur imbalan normal. Dalam penelitian ini gejala koreksi pasar terhadap harga perdana akan dilihat pada perkembangan imbalan saham perdana, yaitu imbalan bagi pemodal yang membeli saham di pasar perdana dan menjualnya lagi di pasar sekunder dengan premi saham perdana terhadap peluang-peluang investasi yang tersedia bagi pemodal yaitu saham-saham pendahuluan valuta asing, logam mulia dan deposito berjangka.
Hasil analisis data terhadap 50 saham perdana di Bursa Efek Jakarta mulai Juni 1989 sampai Agustus 1990 menunjukkan bahwa semakin lama saham baru dimiliki pemodal semakin berkurang rata-rata imbalan dan premi saham perdana yang dapat diharapkan pemodal. Namun penurunan rata-rata imbalan dan premi saham perdana itu tidak dapat ditafsirkan sebagai gejala koreksi pasar, karena di samping tidak menimbulkan perbedaan rata-rata yang signifikan, besarnya imbalan saham perdana ternyata tidak berkaitan dengan informasi yang relevan seperti bidang usaha emiten, agio saham dan peningkatan modal saham sebelum emisi, tetapi hanya berkaitan dengan tingkat kegiatan pasar yang diukur dengan perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama jangka waktu pemilikan (holding period) saham perdana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat pemodal masih sangat awam terhadap saham. Diharapkan peran para pengamat, penulis, komentator, dan para pembentuk opini publik lainnya untuk ikut membina pemahaman masyarakat. Dengan deregulasi pasar modal, bentuk perlindungan terhadap pemodal yang didambakan adalah efisiensi pasar. Dan untuk mencapai efisiensi pasar modal salah satu syarat utamanya adalah kemampuan masyarakat pemodal mencernakan informasi relevan yang tersedia bagi mereka."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dihin Septyanto
"ABSTRAK
Pasar modal merupakan alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan terutama untuk jangka panjang dan apabila alternatif sumber dana lainnya terbatas, yaitu dengan cara menjual sebagian saham perusahaan kepada masyarakat (go public). Penjualan saham perdana oleh perusahaan, sejak diaktifkannya pasar modal.melalui deregulasi-deregulasi tampaknya mulai ada kecenderungan penurunan harga sahamnya setelah tercatat di B E J. Hal tersebut tampak, bahwa dalam bulan Juni 1994, dari 182 saham yang tercatat sampai dengan akhir bulan Mei 1994, ternyata 113 saham (62,09 %) mengalami penurunan harga dan sepertinya telah terjadi koreksi pasar terhadap saham perdana.
Dalam penelitian ini, gejala koreksi pasar terhadap harga perdana dilihat pada perkembangan imbalan saham perdananya, yaitu imbalan bagi pemodal yang membeli saham di pasar perdana dan menjuainya lagi di pasar sekunder dengan jangka waktu kepemilikan sampai dengan 12 ( dua belas ) bulan. Selain hal tersebut, pada penelitian ini juga diamati perbedaan aantara saham perdana dengan saham sekunder, yaitu untuk mengamati kecenderungan adanya perubahan harga saham perdana setelah tercatat di pasar sekunder. Disamping itu diamati pula tentang reaksi dari harga saham-saham tersebut terhadap adanya informasi yang baru.
Hasil analisis data terhadap 47 saham perdana yang tercatat di Bursa Efek Jakarta sejak bulan Januari 1991 sampai dengan bulan Oktober 1993, menunjukkan bahwa memang terjadi perbedaan yang signifikan antara saham perdana dan sekunder. Dalam analisis data juga menunjukkan bahwa semakin lama saham baru dimiliki semakin naik imbalan sahamnya dan untuk kemudian turun kembali. Selain hal tersebut tampak pula bahwa semakin lama saham baru dimiliki pemodal, maka semakin besar pula resiko penyimpangannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa para pemodal masih dapat memperoleh abnormal return satu bulan setelah saham-saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder serta masih dijumpai,adanya abnormal return yang negatif dan signifikan pada bulan keenam dan keduabelas, yang berarti terjadi peningkatan pada harga. Adanya kecenderungan para pemodal masih bisa memperoleh abnormal return tersebut, menunjukkan bahwa efisiensi pasar modal dalam bentuk setengah kuat, masih belum terpenuhi di Bursa Efek Jakarta. Dengan semakin berkembangnya peraturan, diharapkan masyarakat pemodal semakin mampu dalam mencerna dan menganalisis suatu informasi, yang relevan yang tersedia bagi mereka, sehingga efisiensi pasar modal dapat tercapai.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Barinda
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan pengaruh antara ketepatan ramalan labs dengan return saham, dalam hal ini initial return. Hal lain yang diteliti adalah pengaruh antara ramalan labs dengan faktor-faktor yang menentukan ketepatannya, yaitu periode interval listing hingga akhir tahun Initial Public Offering (IPG), umur perusahaan, besaran perusahaan, tingkat leverage, integritas auditor, integritas penjamin emisi, kepemilikan saham Iama dan perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (1HSG).
Distribusi forecast error sebagai ketidaktepatan ramalan laba pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana di Bursa Efek Jakarta (BEJ) selama 1997 - 2002, menunjukkan kecenderungan memberikan informasi ramalan labs yang overestimated. Ketidaktepatan ramalan laba yang dinyatakan dengan Forecast Error (FE), Absohrte Forecast Error (AFE) dan Squared Forecast Error (SFE) menunjukkan nilai yang signifikan baik sampel penuh, perusahaan tergolong sektor keuangan dan perusahaan tergolong sektor non keuangan.
Pengujian hipotesis menunjukkan bahwa variabel umur perusahaan, besaran perusahaan dan perubahan IHSG mempengaruhi secara signifikan terhadap ketidaktepatan ramalan laba pada sektor keuangan. Arah koefisien yang diharapkan pada pengujian tersebut di atas masing-masing adalah negatif, negatif dan positif, sedangkan ditemukan variabel besaran perusahaan dan perubahan IHSG menunjukkan arah yang berlawanan. Hal ini terjadi dikarenakan perusahaan yang semakin besar, semakin sulit untuk membuat ramalan laba, sehingga ramalan laba menjadi kurang tepat, Sedangkan perubahan IHSG sebagai kondisi pasar juga dimasukkan dalam asumsi pembuatan ramalan laba, jika komponen ini diasumsikan terlalu besar menyebabkan perubahan IHSG yang kecil cenderung membuat ketidaktepatan ramalan laba.
Pengujian hipotesis pada sektor non keuangan, variabel periode interval listing hingga akhir tahun IPO dan kepemilikan saham lama mempengaruhi secara signifikan terhadap ketidaktepatan ramalan laba. Koefisien yang diharapkan dari masing-masing variabel ini masing-masing adalah positif dan negatif. Temyata kepemilikan saham lama memberikan arah yang negatif yang menunjukkan bahwa kepemilikan saham lama sernakin besar cenderung meningkatkan ketidaktepatan ramalan laba. Hal ini dapat terjadi akibat adanya moral hazard bagi pemilik saham lama.
Pena jian hipotesis secara sampeI penuh, variabel periode waktu interval listing hingga akhir tahun IPO, umur perusahaan dan kepemilikan saham lama mempengaruhi secara signifikan terhadap ketidaktepatan ramalan laba. Arah masing-masing koefisien diharapkan masing-masing adalah positif, negatif dan negatif. Namun variabel kepemilikan saham lama memberikan koefisien yang positif.
Ketidaktepatan ramalan laba mempengaruhi secara signifikan terhadap initial return pada sektor non keuangan. Hal ini juga sama dengan yang terjadi pada sampel penuh. Dengan demikian, ketepatan ramalan laba benar mempengaruhi initial return pada penawaran umum perdana di BEJ."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T20466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatma Istiana Supena
"Privatisasi merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam rangka penyematan perusahaan milik negara (BUMN), Model utama yang digunakan adalah Go Public dengan metode Initial Public Offering (IPO). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah BUMN dapat meningkatkan kinerja sesudah privatisasi. Dimensi waktu penelitian meliputi periode dua tahun sebelum dan dua tahun sesudah privalisasi. Sampel penelitian adalah BUMN yang lelah terdaftar di BEJ dan telah memenuhi kriteria yang telah dipersyaratkan guna mendukung penelitian ini. Analisa kinerja perusahaan dalam penelitian ini diproksikan dengan rasio keuangan dan menggunakan metode non parametrik yaitu Uji Jenjang Bertanda Wilcoxon dan uji keseluruhan Kruskal Wallis. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kinerja BUMN sebelum dan sesudah privatisasi dengan metode [PO Berdasarkan analisa statistik, hanya Return on Investment Ratio, Return on Equity Ratio. Rate of Return on Total Assets, dan Total Assets Turn Over yang menunjukkan perbedaan signifikan sebelum dan sesudah privatisasi dengan metode IPO."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T24501
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>