Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179041 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Lenny Lijantini
"Menurut pedoman rumah sakit yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, pelayanan di rumah sakit dapat ditingkatkan den dapat berjalan deagan baik apabila dalam menjalankan operasioralnya menggunakan manajemen yang professional. Untuk menunjang upaya ini pemerintah telah menetapkan salah satu tujuan program kesehatan yaitu peningkatan mutu, cakupan, den efisiensi rumah sakit melalui penerapan standar pelayanan. Standar pelayanan rumah sakit merupakan seperangkat kebijakan peraturan pengarahan, prosedur atau hasil kerja yang ditetapkan untuk seluruh upaya kesehatan di rumah sakit. Pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada rumah sakit yang telah memenuhi standar yang ditentukan disebut Akreditasi Rumah Sakit. R.S Kusta Sungai Kundur merupakan rumah sakit pusat yang belum terakreditasi. Telah dilaksanakan penelitian tentang pembuatan Rencana Strategi Menuju Rumah sakit Kusta Terakreditasi tahun 2002 - 2005, sebagai upaya untuk persiapan rumah sakit sesuai standar mutu dan mendapat pengakuan Akredatasi rumah sakitt, dengan ruang lingkup penelitian di RS Kusta Sungai Kundur. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian operasional dengan metode analisis data kualitatif berupa metode wawancara mendalam den analisis data kuantitatif. Data yang diperoleh berasal dari data sekunder den data primer."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3977
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Ruswan
"Penyakit kusta adalah merupakan penyakit menular yang bersifat kronis dan memiliki dampak sosial yang cukup besar. Penularannya melalui hubungan yang lama dan akrab, karena itu kontak serumah dengan penderita kusta diduga merupakan resiko yang tinggi untuk terjadinya penularan. Namun demikian tidak semua kontak serumah tertular, untuk itu perlu diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penularan penyakit kusta pada kontak serumah.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi dengan desain Cross sectional . Populasi penelitian ini diduga 974 kontak serumah dengan penderita kusta tipe MB yang telah RFT yang terdiri dari 270 penderita kusta dan 704 bukan penderita kusta Sampel sebanyak 400 yang terdiri dari 111 penderita kusta dan 289 bukan penderita kusta yang dipilh dengan meta de stratified random sampling secara proposianal.
Hasil penelitian menunjukkan 1 diantara 3,6 kontak serumah menderita kusta Beberapa faktor yang berhubungan adalah: pendidikan, pengetahuan, status perkawinan, pekerjaan, umur, hygiene sanitasi, lama kontak, keakraban dan status gizi (p< 0.05), dan variabel keakraban memiliki hubungan yang paling kuat (POR=6.87). Dari hasil analisa muitivariat ada 6 variabel utama yang berhubungan yaitu pendidikan, gizi, pekerjaan, pengetahuan, keakraban dan status perkawinan. Setelah dilakukan penilaian interaksi ditemukan ada 5 interaksi dari variabel-variabel utama yang bermakna. (p<0.05), sehingga dapat dikemukakan sebuah model dengan 6 variabel utama dan 5 variabel interaksi.

The Correlation Factors with the New Leprosy Case Supposed to be by Household Contact at Bekasi, 1997Leprosy is a infectious disease with the characters become cronical and has big social impact. The infection through the close and long contact, so that household contact with the leprosy patient supposed to be has high rich to the infection case. Nevertheless not all the house hold contact will become a case, it is important to be known that the correlation factors with the infection of the leprosy disease supposed to be by living together contact.
The research has been doing at Bekasi with the cross sectional design. The population are 974 house hold contact with the leprosy patient, and 704 leprosy patient Total sample about 400.consist of 111 leprosy patient, and 289 not leprosy patient, thet has been chosen by stratified random sampling proportionally.
The result shows that I of 3.6 house hold contact has leprosy. There are many correlation factor i.e.education, knowledge, marital status, job, age, hygiene sanotation, the length of contact, closely and the nutrient ( p< 0.005), and the closely variable has the strongest correlation (PDR= 6.87 ). The result of the multivariate analysis there are 6 main variables that has correlation i.e. education, nutritien, job, knowledge, closely and marital status after interaction judgment by done there are 5 interactions from the main variables that meaningfully (p<0.005), so that there will be a model using 6 main variables and 5 interaction variables."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soleh Bastaman
"Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang khusus, karena cacat permanen yang diakibatkannya menimbulkan masalah sosial di masyarakat. Menurut laporan WHO tahun 2000 Indonesia menempati peringkat ke 4 penderita kusta di dunia setelah India, Brazil dan Myanmar. Pada tahun 2000 penderita kusta di Indonesia tercatat sebanyak 20.731 orang dengan prevalensi 0,88/10.000 penduduk, dan ditemukan cacat tingkat II sebesar 9%. Di Jawa Barat tahun 2000 ditemukan penderita kusta baru sebanyak 1609 orang dengan prevalensi 1,09/10000 penduduk dan ditemukan cacat tingkat II sebesar 5,78%. Sedangkan di Kabupaten Cirebon tahun 2000 ditemukan penderita kusta baru sebanyak 392 orang dengan prevalensi 1,92/10000 penduduk dan ditemukan cacat I sebesar 14,79%, cacat tingkat ll sebesar 4,33%.
Berdasarkan hal tersebut maka dirasakan perlu untuk melakukan penelitian tentang penyebab cacat pada penderita kusta dengan mengidentifikasi faktor risiko penyebab cacat pada penderita kusta baru, yaitu faktor internal yang terdiri dari faktor demografi (umur, pendidikan, pekerjaan), pengetahuan, lama sakit, tipe kusta, dan faktor ekstemal terdiri dari metode penemuan kasus, sosio-ekonomi / pendapatan.
Rancangan penelitian menggunakan studi kasus kontrol tidak berpadanan, dengan kelompok kasus adalah penderita kusta baru, yang dinyatakan cacat tingkat I, kelompok kontrol adalah penderita kusta baru yang dinyatakan tidak cacat oleh petugas kusta puskesmas pada saat pertamakali ditemukan dan tercatat pada kartu penderita. Sampel minimal yang dibutuhkan sebanyak 90 orang kasus dan 90 orang kontrol dengan perbandingan 1:1. Analisis yang digunakan adalah analisis bivariat dan analisis multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan, sosio ekonomi / pendapatan dengan terjadinya cacat tingkat I pada penderita kusta baru, OR = 2,09 95% CI : 1,04 - 4,17 dan OR = 2,56 95% CI : 1,3i - 5,00. Sedangkan variabel umur, pendidikan, pekerjaan, lama sakit, tipe kusta, metode penemuan kasus tidak ada hubungan yang bermakna dengan terjadinya cacat tingkat I pada penderita kusta baru.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kecacatan adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas penyuluhan bagi masyarakat, meningkatkan penyebarluasan informasi kepada masyarakat sosio ekonomi rendah terutama tentang paket pengobatan kusta di puskesmas.

Leprosy is a specific public health problem, due its permanent disabilities causing social problems in the communities. WHO report showed that in 2000, Indonesia was the fourth country with most prevalent leprosy cases in the world, after India, Brazil, and Myanmar. It was reported in 2000 that there were 20,731 Indonesian leprosy patients with prevalence of 0.88/10.000 people. The proportion of cases with grade II disability was 90%. During the same year, as many as 1.609 new cases were found in West Java with the prevalence of 1.09/10.000 people. The corresponding proportion with grade II disability was 5.8%. There were 392 new leprosy patients reported particularly in the Kabupaten (regency of) Cirebon, with the prevalence of 1.92/10.000 inhabitants. Grade I disability was 14.8% and the grade 1I was 4.3%.
Based on those facts, it was thought that a research concerning determinants of leprosy disability necessary. Such a research should be able to identity internal risk factors of disability (i.e. age, education, occupation, knowledge, length of illness and type of leprosy) and external risk factors (i.e. case detection method and socio-economic status/income).
This unmatched-case control study defined the "cases" as new leprosy patients with grade I disability and the "controls" as new leprosy patients (firstly detected and recorded by health officers for leprosy in Puskesmas), without any disability. Minimum required sample size for each group was 90 (ratio control to cases = 1 : 1). Data was analyzed using bivariate and multivariate approaches. Our findings showed that were significant associations between grade I disability and several independent variables, i.e. knowledge (OR= 2.1; 95% CI: 1.04-4.2) and socio-economic status / income (OR= 2.6; 95% CI: 1.3-5.0). Other independent variables, i.e. age, education, occupation, length of illness, type of leprosy and case detection method, were not associated with grade I disability.
Recommended intervention could be done was to decrease disability rate by improving quantity and quality of information dissemination activities in the community. More attention should be paid when dissemination information about leprosy medication protocols and about disability prevention program for low socio-economic segment of population.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T1158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rambey, Muhammad Amri
"Latar belakang : Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae). Salah satu dampak dari penyakit kusta adalah kecacatan yang dapat berupa cacat tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2. Tahun 2010, di Kabupaten Lamongan terdapat 10,64% penderita baru mengalami cacat tingkat 2. Beberapa penelitian menunjukkan cacat tingkat 2 lebih banyak terdapat pada penderita laki-laki dari pada perempuan dengan variasi tingkat hubungan antara jenis kelamin dan kejadian cacat tingkat 2.
Tujuan penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat tingkat 2 pada penderita kusta di Kabupaten Lamongan tahun 2011-2012 setelah dikontrol dengan variabel umur, pekerjaan, keteraturan berobat, perawatan diri, riwayat reaksi, tipe kusta dan lama gejala.
Metode penelitian : Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan kasus kontrol. Subjek penelitian ini adalah penderita kusta yang telah selesai atau sedang menjalani pengobatan sekurang-kurangnya 6 bulan. Jumlah sampel sebanyak 154 orang terdiri dari 77 kasus dan 77 kontrol. Kasus adalah penderita kusta dengan cacat tingkat 2, dan kontrol adalah penderita kusta dengan cacat tingkat 0 atau 1. Data diperoleh melalui kartu penderita kusta di puskesmas tempat respoden menjalani pengobatan. Data dianalisis dengan statistik univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil Penelitian: Hasil analisis menunjukkan bahwa penderita kusta laki-laki 1,9 kali lebih berisiko mengalami kejadian cacat tingkat 2 dari pada penderita perempuan dengan nilai OR=1,90 (95% CI: 0,86-4,23) namun tidak bermakna secara statistik (nilai p=0,114) setelah dikontrol dengan variabel pekerjaan dan lama gejala sebelum didiagnosis menderita kusta.
Diskusi : Pekerjaan dan lama mengalami gejala sebelum didiagnosis menderita kusta merupakan confounder bagi hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian cacat tingkat 2 pada penderita kusta di Kabupaten Lamongan tahun 2011-2012.

Background : Leprosy is an infectious disease caused by Mycobacterium leprae. One of the effects of leprosy is a disability which may be a defect grade 0, grade 1 and grade 2. In 2010, in Lamongan District, there are 10,64% of new leprosy patients with grade 2 disabilities. In 2010, at Lamongan District, 10.64% of new patients are detected with disability level 2. Some research shows the occurence of grade 2 disability more in male patients than women with varying degrees of relationship between gender and occurence of grade 2 disability.
Objective : This study aims to determine the association of gender and the occurence of grade 2 disability in leprosy patients in Lamongan District in 2011-2012 after controlling the variables age, work, regularity of treatment, self care, history of reaction, leprosy type and duration of symptoms.
Methode : This study uses case-control design. The subjects of this study were leprosy patients who have completed or are undergoing treatment at least 6 months. The number of sample are 154 people consisting of 77 cases and 77 controls. Cases were leprosy patients with grade 2 disability and controls were leprosy patients with grade 0 or 1 disability. Data was obtained from the patient record in primary health care where the leprosy patients got the treatment. Data were analyzed with univariate, bivariate and multivariate statistics.
Result: The analysis showed there were a male leprosy patient had probability 1,9 more then women to occured grade 2 disability with a value of OR=1,90 (95% CI: 0,86 to 4,23) but not statistically significant (p value = 0,114) after controlled by work and duration of symptoms before being diagnosed as leprosy patient.
Discussion : Work and duration of symptoms before being diagnosed as leprosy patient are confounder for the assocation between gender and the occurence of grade 2 disability in leprosy patient in Lamongan District in 2011-2012.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T30348
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Leny
"Latar Belakang : Indonesia adalah negara peringkat ke-3 di dunia sebagai penyumbang penderita baru kusta terbanyak dengan jumlah penderita cacat tingkat-2 sejumlah 2.025 atau 10.11% (indikator < 5%). Kabupaten Bogor memiliki proporsi cacat kusta yang tinggi bahkan melebihi angka nasional yaitu 15.18 %. Beberapa studi menunjukkan hubungan bermakna antara perawatan diri dengan kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perawatan diri dengan kecacatan pada penderita kusta di Kabupaten Bogor tahun 2012 setelah dinkontrol oleh faktor-faktor lainnya.
Metode : Desain penelitian kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita kusta tipe MB usia ≥ 15 tahun yang sudah menjalani minimal 8 bulan pengobatan MDT dan tercatat pada register puskesmas tahun 2012 di 10 kecamatan di Kabupaten Bogor. Kasus adalah sebagian dari populasi yang mengalami kecacatan baik tingkat-1 atau tingkat-2 pada saat penelitian dilakukan yang diambil dari puskesmas yang dipilih secara purposive sedangkan kontrol adalah sebagian dari populasi yang tidak mengalami kecacatan pada saat penelitian dilakukan yang diambil secara purposive dari puskesmas yang terpilih. Jumlah sampel 86 orang terdiri dari 43 kasus dan 43 kontrol. Analisis data dilakukan secara bivariat dan multivariat.
Hasil : Terdapat variabel interaksi antara perawatan diri dengan faktor lama sakit sehingga pada analisis multivariat diketahui bahwa penderita kusta yang melakukan perawatan diri dengan baik dan lama sakitnya < 2 tahun diperoleh OR=0.68 (95% CI: 0.12 ? 3.72). Penelitian ini memberikan hasil bahwa perawatan diri tidak berdiri sendiri dalam mempengaruhi kecacatan penderita kusta melainkan ada interaksi bersama antara perawatan diri dengan faktor lama sakit. Bahwa risiko kecacatan semakin besar pada penderita kusta yang kurang baik dalam merawat diri dan lama sakitnya ≥ 2 tahun dengan OR=10.6 (95% CI: 1.03 ? 109.86).

Background : Indonesia is ranked 3rd in the world as a contributor to the new leprosy patients with the highest number of people with disabilities level-2 or 2.025 (10.11%). Bogor district has a high proportion of deformed leprosy even exceed the national rate is 15.18%. Some studies show a significant relationship between self-care disability in patients with leprosy. This study aims to determine the relationship of self-care with a disability in leprosy patients in Bogor Regency in 2012 after control by other factors.
Methode : Case-control study design. Population in this research is the type of MB leprosy patients aged ≥ 15 years who had undergone at least 8 months of treatment MDT and recorded in the register in 2012 health centers in 10 districts in Bogor Regency. Case is part of the population who have disabilities either level-1 or level-2 at the time of the study were drawn from purposively selected health centers while the control is part of the population who do not have disabilities at the time of the study were taken from the clinic were purposively selected . Number of samples 86 people consisting of 43 cases and 43 controls. Data analysis was performed bivariate and multivariate
Result : There is a variable interaction between self-care with a long illness factor that in multivariate analysis known that leprosy patients who perform self-care and well long illness <2 years obtained OR = 0.68 (95% CI: 0:12 - 3.72). This study provides results that self-care does not stand alone in influencing disability lepers but no interaction with the factor of self-care with a long illness. That the greater the risk of disability in leprosy patients in poor self-care and pain ≥ 2 years old with OR = 10.6 (95% CI: 1.03 - 109.86).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T35062
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Anggraheni
"Kota Administrasi Jakarta Timur merupakan wilayah DKI Jakarta dengan angka deteksi kasus baru kusta dan kecacatan paling banyak di Jakarta pada tahun 2018. Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae. Penyakit kusta dapat menimbulkan kecacatan baik tingkat 1 maupun 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran distribusi spasial karakteristik kasus baru kusta dengan Sistem Informasi Geografi serta hubungan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian kecacatan pada kasus baru kusta Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional dengan total sampel sebanyak 85 orang. Data diperoleh dari kartu penderita kusta di sembilan Puskesmas di Jakarta Timur. Data kemudian dianalisis univariat, bivariat, dan spasial. Kasus baru kusta paling banyak terdapat di Kecamatan Cakung (21 kasus), Cipayung (16 kasus), dan Duren Sawit (16 kasus) pada laki-laki (67,1%), rentang umur 25-34 tahun (27,1%), tidak bekerja (47,1%), tidak memiliki riwayat kontak (65,9%), cara penemuan pasif (84,7%), lama gejala <1 tahun (44,7%), tipe kusta MB (85,9%), tidak mengalami reaksi (64,7%), kecacatan tingkat 1 sebesar 10,6% dan kecacatan tingkat 2 sebesar 74,1%. Dari seluruh faktor risiko, tidak ada hubungan faktor risiko yang diteliti dengan kecacatan pada kasus baru kusta.

East Jakarta Administrative City is the DKI Jakarta area with the highest number of leprosy and disability detection cases in Jakarta in 2018. Leprosy is an infectious disease caused by the bacterium Mycobacterium Leprae. Leprosy can cause disability both at level 1 and 2. This study aims to describe the spatial distribution of characteristics of new cases of leprosy with the Geographic Information System and the relationship of factors that influence the occurrence of disability in new cases of leprosy in the East Jakarta City Administration in 2018. This study is a descriptive study with a cross-sectional approach with a sample of 85 people. Data was obtained from leprosy patients in nine health centers in East Jakarta. Data were then analyzed by univariate, bivariate, and spatial. The most recent cases of leprosy were in Regency of Cakung (21 cases), Cipayung (16 cases), and Duren Sawit (16 cases) cases in men (67.1%), age range 25-34 years (27.1%), no work (47.1)%), no contact history (65.9%), passive discovery method (84.7%), symptom duration <1 year (44.7%), MB leprosy type (85.9%) ), no reaction (64.7%), level 1 disability of 10.6% and level 2 disability of 74.1%. Of all risk factors, there is no correlation between the risk factors studied with disability in the new case of leprosy."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwin Umi Latifah
"Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang bersumber dari virus arbovirus ditransmisikan oleh nyamuk Aedes sp yang menular keseluruh dunia
termasuk Indonesia. Penyakit ini bersifat endemis di beberapa wilayah seperti
Jawa Barat salah satu diantaranya adalah kabupaten Cirebon yang kasusnya selalu
ada di wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara spasial
kejadian penyakit demam berdarah dengue di kabupaten Cirebon pada tahun
2014-2018. Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi ekologi yang
dimana menganalisis secara populasi antara variabel iklim (suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan, dan kecepatan angin), kepadatan penduduk, dan
angka bebas jentik dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini
menggunakan analisis hubungan grafik, analisis statistik yaitu uji statistik uji
korelasi, dan analisis spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya
hubungan signifikan secara statistik antara kepadatan penduduk dengan kejadian
penyakit demam berdarah dengue. Untuk variabel lain dalam penelitian ini tidak
menunjukkan adanya hubungan secara signifikan. Hasil analisis spasial
menunjukkan tidak adanya hubungan antara variabel angka bebas jentik dengan
kejadian penyakit demam berdarah dengue dan adanya hubungan yang lemah
antara variabel kepadatan penduduk dengan kejadian penyakit demam berdarah
dengue. pemerintah Kabupaten Cirebon secara keseluruhan adalah mengadakan
kerjasama yang lebih baik antara Dinas Kesehatan, Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, badan pusat
statistik untuk membuat regulasi terkait penanganan demam berdarah dengue dan
mengajak masyarakat untuk melakukan program-program pencegahan penyakit
demam berdarah dengue.

Dengue hemorrhagic fever is a arbovirus disease transmitted by Aedes sp.
throughout the world including Indonesia. This disease is endemic in several
regions such as West Java, one of regions is Cirebon regency whose cases are
always in the region. This study aims to spatially analyze the incidence of dengue
fever in Cirebon regency in 2014-2018. This study uses an ecological study
design, which analyzes the population between climate variables (air temperature,
relative humidity, rainfall and wind speed), population density, and larval free
numbers using secondary data. This study uses graphical relationship analysis,
statistical analysis that is statistical test correlation test, and spatial analysis. The
results showed that there was a statistically significant relationship between
population density and the incidence of dengue fever. For other variables in this
study did not show a significant relationship. The results of spatial analysis
showed that there was no relationship between larval free variables with the
incidence of dengue fever and has weak relationship between population density
variables and the incidence of dengue fever. Cirebon Regency government must
establishing better cooperation between the Health Office, the Meteorology,
Climatology and Geophysics Agency, the Population and Civil Registry Agency,
the statistical center to make regulations regarding the handling of dengue fever
and to encourage the public to doing prevention programs dengue hemorrhagic
feve
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yashinta Astia Juniaputri
"[ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh tingkat risiko K3 pada Praktikum Milling Tingkat I di ATMI Cikarang dengan menganalisis risiko K3 tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara, dan telaah dokumen. Identifikasi bahaya dilakukan dengan metode Job Hazard Analysis, lalu melakukan analisis semi-kuantitatif dengan mempertimbangkan consequences, probability, dan exposure sehingga diperoleh tingkat risikonya, baik itu basic risk, exisiting risk, dan predictive risk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bahaya tertinggi yaitu cutter (baik yang berputar/rotating maupun yang tidak), chips/gram, dan metal fume. Oleh karena itu, masih diperlukan pengendalian tambahan untuk mengurangi tingkat risiko yang masih ada.

ABSTRACT
The purposed of this research is to get the level of risk on first grade milling practice in Akademi Tehnik Mesin Industri Cikarang with analyze those risk. This research was done by doing field observation, interview, and document study. Identify the hazard was done use Job Hazard Analysis Method, then did the semiquantitative analysis with considering consequences, probability, and exposure thus obtained the lever of risk, that are basic risk, existing risk, and predictive risk. The results from this reseach show that there are high risk hazard, that are cutter (either rotating or not), chips, and metal fume. Therefore, still need additional control to reduce the existing level of risk., The purposed of this research is to get the level of risk on first grade milling practice in Akademi Tehnik Mesin Industri Cikarang with analyze those risk. This research was done by doing field observation, interview, and document study.
Identify the hazard was done use Job Hazard Analysis Method, then did the semiquantitative analysis with considering consequences, probability, and exposure thus obtained the lever of risk, that are basic risk, existing risk, and predictive risk. The results from this reseach show that there are high risk hazard, that are cutter (either rotating or not), chips, and metal fume. Therefore, still need additional control to reduce the existing level of risk.]"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
S62431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medita Ervianti
"Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta. Risiko kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru kusta, tetapi juga selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Metode pengamatan berperan untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan. Metode pengamatan pasif diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982. Pada tahun 2009, metode pengamatan semi aktif diterapkan di Kabupaten Pasuruan. Belum diketahui metode pengamatan yang lebih efektif biaya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara metode pengamatan pasif dan metode pengamatan semi aktif setelah selesai pengobatan kusta dalam pengendalian tingkat cacat. Efektivitas dan biaya pada masing-masing metode dihitung dan dilihat berapa rasio efektivitas biaya dalam pengendalian tingkat cacat. Hubungan faktor-faktor seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat serta faktor apa yang paling dominan juga diteliti. Desain penelitian adalah cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terdapat hubungan antara pencegahan cacat dan perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat. Sedangkan hasil multivariat menyatakan perawatan diri sebagai faktor yang mempengaruhi.

Disability is one of indicator of the leprosy burden. The risk of disability due to leprosy, not only in new cases of leprosy, but also during treatment and after release from treatment. Surveillance is one of method to control level of disability in patients who had completed treatment. Passive surveillance implemented in Indonesia since 1982. In 2009, the semi-active surveillance applied in Pasuruan. Not yet known which surveillance is more cost-effective.
This study aims to analyze the cost-effectiveness of the passive and semi-active surveillance after release from leprosy treatment in controlling the level of disability. The effectiveness and cost of each method was calculated and seen the cost-effectiveness ratio to the control of the level of disability. Relationship of factors such as age, education level, knowledge level, economic level, type of leprosy, history of reactions, defect prevention, self-care by controlling the level of disability and what is the most dominant factor is also studied. The study design was cross-sectional.
The results showed semi active surveillance more cost-effective than passive surveillance. Based on the results of the bivariate analysis, there is a relationship between defect prevention and self-care by controlling the level of disability. While the results of the multivariate declared self-care as a affected factor.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medita Ervianti
"Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta. Risiko kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru kusta, tetapi juga selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Metode pengamatan berperan untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan. Metode pengamatan pasif diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982. Pada tahun 2009, metode pengamatan semi aktif diterapkan di Kabupaten Pasuruan. Belum diketahui metode pengamatan yang lebih efektif biaya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara metode pengamatan pasif dan metode pengamatan semi aktif setelah selesai pengobatan kusta dalam pengendalian tingkat cacat. Efektivitas dan biaya pada masingmasing metode dihitung dan dilihat berapa rasio efektivitas biaya dalam pengendalian tingkat cacat. Hubungan faktor-faktor seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat serta faktor apa yang paling dominan juga diteliti. Desain penelitian adalah cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil analisis bivariat, terdapat hubungan antara pencegahan cacat dan perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat. Sedangkan hasil multivariat menyatakan perawatan diri sebagai faktor yang mempengaruhi.

Disability is one of indicator of the leprosy burden. The risk of disability due to leprosy, not only in new cases of leprosy, but also during treatment and after release from treatment. Surveillance is one of method to control level of disability in patients who had completed treatment. Passive surveillance implemented in Indonesia since 1982. In 2009, the semi-active surveillance applied in Pasuruan. Not yet known which surveillance is more cost-effective.
This study aims to analyze the cost-effectiveness of the passive and semiactive surveillance after release from leprosy treatment in controlling the level of disability. The effectiveness and cost of each method was calculated and seen the cost-effectiveness ratio to the control of the level of disability. Relationship of factors such as age, education level, knowledge level, economic level, type of leprosy, history of reactions, defect prevention, self-care by controlling the level of disability and what is the most dominant factor is also studied. The study design was cross-sectional.
The results showed semi active surveillance more cost-effective than passive surveillance. Based on the results of the bivariate analysis, there is a relationship between defect prevention and self-care by controlling the level of disability. While the results of the multivariate declared self-care as a affected factor.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T33053
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>