Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136687 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ita Konita
"Fenomena konflik kekerasan yang terjadi pada masyarakat lokal di kampung Gabus Kecamatan Tambun Utara Kabupaten Bekasi adalah merupakan fakta sosial yang terjadi sejak jauh sebelum tahun 1999-an. Konflik ini merupakan konflik laten yang menyimpan benih dendam yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada pengungkapan dari akar penyebab terjadinya konflik, dampak yang muncul pasca terjadinya konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan menempatkan informan sebagai sumber data yang primer dan dokumen sebagai data sekunder. Informasi didapat melalui wawancara mendalam melalui informan kunci antara lain masyarakat dan pelaku, tokoh masyarakat, aktivis LSM serta anggota legislatif. Penelitian ini mengangkat studi rangkaian konflik kekerasan di kampung Gabus karena lokasi ini mempunyai intensitas konflik yang tinggi dan secara geografis berada di sebelah utara pusat perkotaan Kabupaten Bekasi dan berbatasan dengan kecamatan Bekasi Timur Kota Bekasi. Untuk mempertajam penemuan dan pengetahuan serta penganalisaan yang tajam, peneliti melakukan diskusi dengan para ahli.
Hasil penemuan penelitian menunjukkan bahwa konflik yang terjadi di kampung Gabus disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait dan tak dapat dipisahkan. Faktor tersebut diantaranya adalah adanya faktor sejarah yang sedemikian keras sehingga membentuk dan menginternalisasi pada karakteristik dikebanyakan masyarakat Gabus sampai pada generasi sekarang. Selain juga faktor lemahnya sumber daya manusia yang ditandai dengan rendahnya pendidikan, kesadaran persaudaraan dan semakin termarginalisasinya masyarakat lokal dari sektor perekonomian serta lemah dan lambannya reaksi aparat keamanan. Konflik ini kemudian membawa dampak terhadap hilangnya kepercayaan para investor untuk menanamkan modalnya di wilayah ini, stigma yang melekat membawa pengaruh terhadap tingginya kesulitan masyarakat Gabus mendapatkan kesempatan untuk dapat bekerja pada perusahaan-perusahaan nasional maupun multi nasional yang ada di wilayah Bekasi. Selain itu, akibat konflik ini membawa keterbatasan mereka dalam melakukan hubungan interaksi dengan masyarakat lain. Selama terjadinya konflik, penyelesaian yang dilakukan hanya bersifat responsip dan hanya formalitas untuk meredam konflik saat itu saja.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab dari terjadinya konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu-kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat menyeluruh serta terpadu (komprehensif) dengan memperhatikan faktor yang saling terkait tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T3502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Abas
"Kabupaten Sambas merupakan daerah multietnis yang sangat rawan dengan konflik kekerasan horizontal. Konflik antar Dayak-Melayu dan Madura tahun 1999 merupakan fakta sosial yang memperlihatkan semakin rentannya hubungan sosial antar penduduk di daerah itu. Konflik dengan kekerasan, apapun latarbelakangnya akan berdampak terhadap terganggunya hubungan sosial antar masyarakat yang pada gilirannya akan menghambat fungsi sosial masyarakat. Karena itu penelitian ini berusaha untuk memahami latar belakang dan dampak sosial konflik etnik di kabupaten Sambas tahun 1999 tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menempatkan informan sebagai sumber data primer dan dokumen sebagai sumber data sekunder. Informasi dijaring melalui wawancara mendalam dengan informan kunci yang kemudian data tersebut ditranskrip dan dilakukan kategorisasi sesuai dengan pembabakannya yang kemudian dilakukan analisis dan interpretasi terhadap berbagai sumber informasi tersebut. Dalam upaya updating data dan informasi, peneliti juga melakukan diskusi dengan para ahli dalam rangka untuk menajamkan temuan lapangan.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa konflik antar etnik yang terjadi di kabupaten Sambas tahun 1999 dipicu oleh perkelahian antar warga dari etnik Melayu dan Madura yang diikuti dengan pembunuhan, Konflik tersebut merupakan konflik laten yang menjadi manifest ketika ada faktor pemicu tersebut. Hal ini kemudian berinterkasi dengan berbagai faktor Iainnya seperti stereotipe etnik, heterogenetis budaya, pertentangan elit politik dan perebutan sumber daya ekonomi sehingga konflik terbuka dengan kekerasan tak bisa terhindarkan. Konflik tersebut tidak hanya merusak tatanan sosial tetapi telah berdampak terhadap semakin retaknya hubungan sosial antar etnik. Melayu, Dayak dan Madura. Mereka terpaksa harus berpisah dimana orang Melayu dan Dayak tidak mau menerima lagi orang Madura untuk kembali ke wilayah Kabupaten Sambas. Hal tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat Melayu dan Dayak menjadi rapuh. Budaya menghargai tamu atau pendatang walaupun itu musuh yang selama ini dibanggakan oleh orang Melayu dan Dayak menjadi sebuah keniscayaan yang perlu dipertanyakan kembali.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa konflik etnik yang terjadi di kabupaten Sambas tahun 1999 disebabkan oleh berbagai faktor yang muitidemensional. Keragaman budaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya berbagai benturan antar warga Melayu, Dayak dan Madura yang kemudian berinteraksi dengan fakor ekanomi dan politik, sehingga konflik yang tadinya laten berubah menjadi konflik manifest dengan kekerasan. Penolakan orang Melayu dan Dayak Sambas terhadap warga Madura untuk kembali ke kabupaten Sambas merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan jaminan rasa aman bagi masyarakatnya. Hal tersebut sekaligus merupakan pengingkaran terhadap pengakuan akan keberagaman masyarakat Indonesia. Dalam jangka panjang fenomena tersebut bisa melahirkan semangat etnisitas berbasis wilayah dominasi yang pada gilirannya bisa menghambat proses demokrasi dan tumbuhnya civil society di daerah tersebut. Untuk itu pemerintah bersama masyarakat sipil harus mengambil langkahlangkah dialogis dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sekaligus membangun semangat bare diantara warga yang berkonflik dengan tetap berpegang pada prinsip demokrasi. Selain itu juga perlunya dipikirkan upaya-upaya pencegahan secara dini dalam rangka mengantisipasi munculnya konflik kekerasan sekaligus membangun solidaritas diantara warga atas dasar semangat bhineka tungal ika."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T183
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ida
"Penelitian tahap pertama ini dimaksudkan untuk mengkaji akar-akar penyebab konflik manifest yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 1994 - 1998, dan kemudian mencoba mencari formulasi penyelesaian konflik tersebut berdasarkan model-model kearifan tradisional (traditional wisdom) yang berkembang di dalam masyarakat. Untuk itu proses penelitian semula akan dibagi kedalam beberapa tahap, yakni tahap eksplorasi, focus group discussion(I), systemic aprroach, focus group discussion (II), uji coba model, penerapan dan evaluasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahap pertama (eksplorasi) ditemukan bahwa secara teoritis dan empiris terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya konflik manifest di Indonesia, baik yang bersifat vertikal dan horizontal. Konflik yang bersifat vertikal terjadi karena adanya disparitas yang menyolok antara sebagian kecil kelompok yang menguasai sumber kekayaan alam, ekonomi dan kekuasaan yang berlebihan dengan masyarakat kebanyakan. Secara horizontal, konflik manifest terjadi sebagai akumulasi dari perluasan batas-batas kelompok etnik dan budaya, bergesernya peran pimpinan formal akibat intervensi negara yang berlebihan serta perbenturan kepentingan politik, ideologi dan agama. Mekanisme terjadinya konflik memperlihatkan keterlibatan dari elit-elit politik, sebagai tahap pertama, untuk kemudian secara perlahan bergeser pada tingkat (leve) masyarakat di bawah. Dengan demikian, harapan untuk mengantisipasi konflik sangat terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, peningkatan pelayanan publik, penghargaan terhadap hak azasi manusia, keaneka ragaman, demokratisasi dan ruang untuk menyampaikan kritik. Di samping itu, peran dan akses yang lebih besar pada pimpinan (informal) masyarakat setempat untuk mengaktualisasikan diri sebagai bagian yang harus diperlakukan sama dengan institusi (kelompok) lainnya yang terutama dikendalikan oleh negara.

This first step of research intended to analyze the roots causes of conflicts manifest which occur during 1994 to 1998 in Indonesia, and then also to tray to formulate that conflicts solution based on traditional wisdom that emergence in Indonesian society. The research process, therefore, will be divided into several steps such as exploration, focus group discussion (I), systemic approach, focus group discussion (11), trying model, implementation and evaluation. Based on the first step of the research (exploration), it can be finned that theoretically and empirically, there are several causes of Indonesia conflicts manifest. Vertically, manifest conflicts occur because of disparity of long range distance between small groups, which have natural, power, and economical resources with mass societies. Horizontally, conflicts manifest emergence because of accumulation of enlarging ethnic and cultural boundaries, and change of informal leader role because of state intervention, political interest conflicts, ideology and religion. From conflict mechanism shows that political elites involved, in the first step, then gradually changes to mass societies (low level). Therefore, to anticipate societies traditional wisdom, related close to people economics empowerment, improve public facilities, human rights, pluralism, democracy and space to government criticism. Besides that, there also improvement of informal leader role to tray to self-actualization as a part of societies, which is, has the same level with government institutions.
"
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Israwaty Suriady
"Konflik yang terjadi akhir tahun 1998 berhasil menghancurkan tatanan hidup masyarakat Poso yang telah terbentuk selama ini. Konflik yang bersumber dari interaksi masyarakat sehari-hari dengan latar belakang sosial, budaya, ekonomi yang berbeda tanpa disadari menjadi potensi-potensi konflik laten yang kemudian lahir menjadi bentuk kekerasan, bermula dari perkelahian anak muda yang sedang berpesta minuman keras.
Tindakan kekerasan yang oleh media massa disebut dengan kerusuhan Poso Jilid I - V membuat stigma-stigma dan integrasi masyarakat ke dalam kelompok Islam dan Kristen semakin nyata dan menjadi jurang pemisah di antara kelompok yang ada dalam masyarakat Poso. Perbedaan ini semakin menyulitkan pemerintah daerah dalam menyusun suatu kesepakatan damai yang dapat diterima kedua belah pihak bertikai. Pada akhirnya akhir tahun 2001 pertemuan di Malino menghasilkan suatu kesepakatan damai yang dikenal dengan Deklarasi Malino.
Deklarasi Malino merupakan upaya damai yang berasal dari kedua kelompok yang bertikai, kemudian difasilitasi oleh pemerintah. Hasil kesepakatan ini kemudian berusaha direkonsiliasikan kepada masyarakat, khususnya pada kelompok yang telah bertikai. Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar kehidupan masyarakat bisa kembali normal tanpa ada ketakutan munculnya konflik baru kembali.
Konflik telah terjadi dan hal lain yang memerlukan perhatian adalah bagaimana mengelola dan mengatur konflik yang masih sering terjadi pasca Deklarasi Malino, agar tidak muncul menjadi konflik kekerasan baru di daerah Poso. Serta bagaimana memanfaatkan pengaruh pemuka pendapat, masyarakat ataupun tokoh agama dalam proses manajemen konflik tersebut.
Model manajemen konflik yang dikemukakan oleh Ting Toomey adalah kerangka yang digunakan untuk melihat bentuk manajemen yang digunakan masyarakat Poso yaitu bentuk Integrating, Compromising, Dominating, Obliging dan Avoiding. Serta konsep-konsep budaya lain yang dapat membantu melihat fenomena yang ada dalam masyarakat.
Dalam melihat bentuk manajemen konflik tersebut, studi ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif-deskriptif, paradigma konstruktivis. Peneliti berusaha menggambarkan secara utuh latar alamiah (masyarakat Paso) pasca Deklarasi Malino.
Hasil studi menunjukkan bahwa penggunaan model manajemen konflik Integrating, Avoiding dan Compromising adalah yang dominan dilakukan oleh masyarakat. Keinginan untuk berdamai dengan membentuk berbagai forum yang melibatkan semua lapisan dan kelompok masyarakat juga sangat membantu proses ke arah penyelesaian dan mengatur konflik yang terjadi, khususnya pasca Deklarasi Malino.
Pemimpin informal (informal leader) memiliki peranan dan pengaruh yang sangat penting dalam proses manajemen konflik di masyarakat. Mereka menjadi wadah atau media yang menghubungkan pemerintah daerah dengan masyarakat tataran bawah (akar rumput). Mereka berperan dalam merekonsiliasikan hasil-hasil kesepakatan Malino. Para pemuka pendapat ini juga berfungsi sebagai "gate keeper" yaitu menyaring dan mengolah informasi sebelum disampaikan kepada masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14310
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli
"CPP ( Coastal Plain Pekanbaru) di Riau adalah suatu kumpulan ladang-ladang minyak yang aktif berproduksi sampai sekarang. Luas areanya 9,996 km persegi dengan jumlah lapangan berproduksi adalah 25 buah dan jumlah total sumur minyak 435 buah. CPP ini dioperasikan oleh PT. CPI berdasarkan kontrak Production Sharing dengan Pertamina yang kontraknya berakhir pada bulan Agustus 2001 dan kemudian oleh Pemerintah Pusat diperpanjang sampai Agustus 2002.
Kumpulan ladang minyak ini yang dikenal dengan nama CPP Blok, sekarang menjadi rebutan antara Pemerintah Propinsi Riau dengan PT. CPI untuk mengelolanya. Pemerintah Propinsi Riau dengan dukungan masyarakat Riau melalui Kongres Rakyat Riau II dan semangat otonomi daerah berkeinginan untuk segera mengambil alih kumpulan ladang minyak ini untuk dikelola, setelah masa kontrak PT. CPI dengan Pemerintah Pusat Berakhir. Sedangkan PT. CPI juga berkeinginan untuk melanjutkan kontrak mereka dalam mengelola Blok CPP, atau minimal mereka tetap diikut sertakan sebagai partner dari Pemerintah Propinsi Riau dalam mengelola kumpulan ladang minyak tersebut.
Untuk melihat kesungguhan dari rencana serta keinginan dari Pemerintah Propinsi Riau dalam mengelola CPP Blok ini, maka melalui pendekatan analisis AMP ( Analytic Hierarchy Process) terhadap tujuan dan strategi yang akan dilaksanakan, akan terlihat mana dari tujuan dan strategi tersebut yang pantas untuk dilaksanakan demi tercapainya sasaran dari Pemerintah Propinsi Riau yaitu keinginan mereka untuk mengelola Blok CPP. Analisa dari AHP ini diambil dari persepsi/penilaian dari 6 responden expert yang terdiri dari kelompok Praktisi/Tekhnorat, Tokoh Masyarakat dan Akademisi. Terlebih dahulu mereka akan menentukan hirarkhi dari tujuan dan strategi yang akan dipakai melalui kuesioner awal yang diberikan kepada mereka. Setelah itu baru responden ini mengisi kuesioner AHP.
Pada pihak Pemerintah Propinsi Riau, untuk tujuan terlihat bahwa expert ternyata memilih "Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Riau" sebagai tujuan yang harus diprioritaskan agar sasaran bisa tercapai. Sedang strategi yang harus dimainkan adalah mencari "Dukungan Masyarakat Riau", meningkatkan "Kualitas SDM Daerah Riau di bidang perminyakan" dan bersikap "Mandiri dan Profesional".
Dengan proses yang sama dengan Pemerintah Propinsi Riau, pihak PT. CPI lebih memprioritaskan "Sebagai salah sumber benefit bagi perusahaan" sebagai tujuan utama dari motivasi mereka untuk mencapai sasaran yang diinginkan yaitu turut serta mengelola CPP Blok. Sedangkan strategi yang dimainkan oleh mereka adalah "Melakukan lobby yang intensif kepada pihak Pemerintah Propinsi Riau" dan "Meningkatkan program Community Development untuk masyarakat Riau".
Akhirnya konflik ini diselesaikan dengan Game Theory (Teori Permainan) dengan memakai pendekatan AHP untuk menghasilkan solusi yang bersifat win-win solution antara kedua belah pihak. Untuk pihak Pemerintah Propinsi Riau, jika ingin mencapai sasarannya maka harus memainkan strategi "Meningkatkan Kualitas SDM Daerah Riau di bidang perminyakan" dan strategi mencari "Dukungan Masyarakat Riau" yang maksimal. Sedangkan pihak PT. CPI harus memainkan strategi "Melakukan lobby yang intensif kepada Pemerintah Propinsi Riau" dan strategi "Meningkatkan program Community Development untuk masyarakat Riau'". Jika strategi-strategi diatas yang dimainkan oleh kedua belah pihak, maka akan diperoleh hasil yang menggernbirakan dan tidak ada pihak yang akan dirugikan oleh pihak yang lain."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T10514
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bismantara
"Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayah, Aceh. Sebagai sebuah pemerintahan yang mempunyai karakteristik transisional adalah penting untuk melihat bahwa apapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah pada titik itu akan sangat menentukan pola penyelesaian yang akan dikembangkan pada tahap dan waktu selanjutnya.
Penelitian ini memfokuskan dirinya faktor perbedaan tindakan antara militer dan nonmiliter, reaksi mahasiswa terhadap langkah penyelesaian yang dikeluarkan oleh Habibie dan situasi reformasi yang menjadi situasi yang dominan dalam pemerintahan Habibie. Ketiga faktor inilah yang diduga menjadi faktor yang menghambat penyelesaian konflik di Aceh dalam masa pemerintahan Habibie. Dengan menggunakan teori kelompok yang menganalisa kelompok elit yang memerintah (the governing elites), elit yang berada di luar (the non-governing elites) dan massa (non-elites), penelitian ini berupaya untuk melihat interaksi antar kelompok yang berbeda dalam penyelesaian konflik yang berada di Aceh.
Penelitian ini menggunakan metode analisa data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah adanya situasi reforma.si yang menyebabkan perbedaan tindakan antara militer dan non-militer di Aceh. Perbedaan tindakan ini memperkuat reaksi oposisional mahasiswa yang juga turut mempengaruhi upaya penyelesaian konflik di Aceh di masa pemerintahan Habibie."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Anies Purnawan
"Dalam tes ini saya ingin menunjukkan pemolisian oleh Polres Bogor dalam menangani konflik yang terjadi antara warga masyarakat Bojong dengan perusahaan pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu di Kabupaten Bogor adalah penegakan hukum yang berpihak untuk meredam gejolak sosial pada masyarakat setempat. Keberpihakan Polres Bogor timbul karena warga masyarakat yang melakukan pengrusakan dan pembakaran dipandang sebagai perusuh yang menentang kebijakan pemerintah. Dalam keadaan seperti ini polisi menempatkan dirinya sebagai pihak yang harus mengatasi para perusuh yang melakukan pelanggaran hukum, dengan melakukan penangkapan dan memprosesnya secara hukum.
Sebanyak 8 orang personil Polres Bogor dari Bintara sampai dengan Perwira Menengah, 5 orang Pegawai Pemerintah Daerah dan 10 orang warga masyarakat ikut berpartisipasi menjadi informan kunci dalam penelitian ini. Selain menggunakan tehnik wawancara berpedoman, penelitian juga menggunakan pengamatan, pengamatan terlibat, serta kajian dokumen Pores Bogor antara tahun 2000 sampai dengan 2005 dan dokumen proses perijinan serta pembangunan TPST dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor serta perusahaan pengelola.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika terjadi konflik antara warga masyarakat Bojong dengan perusahaan pengelola TPST pemolisian yang dilaksanakan adalah tindakan reaktif dan represif yang acuannya adalah penegakan hukum. Penegakan hukum dilakukan dengan berpedoman pada Prosedur Tetap O1/X11998 tetang tindakan tegas bagi Satuan Pengendalian Massa (Dalmas) atau Pengendali Huru-Hara (PHH) Poiri dalam rangka penindakan kerusuhan massa atau huru-hara. Selain itu Penangakapan dilakukan dengan kekerasan terhadap orang-orang yang diduga melakukan pengrusakan dan pembakaran. Kekerasan dilakukan terhadap warga masyarakat yang tidak tertib, melakukan kerusuhan dan menentang kebijakan pemerintah serta menolak untuk ditangkap, diamankan dan dibawa ke Polres Bogor untuk diperiksa.
Penegakan hukum yang menjadi acuan dalam penanganan gejolak sosial yang terjadi pada masyarakat setempat terbukti tidak efektif untuk peredaman konflik. Hal ini menggambarkan ketidaksiapan Polres Bogor dalam menangani konflik yang terjadi antara warga masyarakat Bojong dengan perusahaan pengelola TPST. Karena yang digunakan adalah cara pemolisian tradisional yang biasanya dilakukan dengan menunjukkan kekuatan polisi sebagai penegak hukum. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Polres Bogor bertujuan untuk mengatasi tindakan warga masyarakat yang melakukan pengrusakan dan pembakaran TPST, yang pada kenyataannya tidak menghilangkan atau meredam konflik yang terjadi antara warga dengan perusahaan.
Upaya pencegahaan kejahatan seperti tugas penyelidikan dengan tujuan untuk mendeteksi poiensi-potensi konflik kurang mendapat perhatian. Akibatnya tugas tersebut dilaksanakan dengan asal-asalan sehingga tidak menghasilkan Informasi tepat atau tidak mempunyai data yang akurat yang dapat dianalisa untuk digunakan sebagai bahan untuk membuat kebijakan dalam menangani konflik. Tugas penggalangan yang intensif baru dilaksanakan setelah terjadinya kerusuhan massa, sehingga masyarakat sangat sulit didekati karena ketidakpercayaan mereka kepada polisi yang semakin besar. Rasa tidak percaya warga masyarakat terhadap polisi terjadi karena penegakan hukum yang dilaksanakan oleh polisi dalam menangani permasalahan TPST tidak adil dan berpihak serta penangkapan yang dilaksanakan oleh petugas polisi saat terjadinya kerusuhan dilakukan dengan kekerasan.
Sedangkan atensi pimpinan dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat hanya sebatas memberikan perintah tanpa adanya dukungan sumberdaya yang memadai. Perintah-perintah tersebut rliberikan sekedar untuk menjalankan kewajiban sebagai pemimpin tanpa dilandasi rasa tanggung jawab yang besar sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Atensi dan perhatian terhadap upaya pencegahaan kejahatan serta pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat baru dilaksanakan dengan lebih baik setelah terjadinya kerusuhan massa yang mengakibatkan kerusakankerusakan yang sangat merugikan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18143
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
"Tawuran antar warga seperti yang terjadi antara Kampung Tambak dan Kampung Anyer di Pegangsaan, Jakarta merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dikaji secara mendalam, karena konflik terjadi diantara warga di dua perkampungan yang sebelumnya memiliki hubungan yang harmonis. Bahkan banyak diantara warga kedua kampung masih berhubungan keluarga karena banyak terjadi perkawinan diantara mereka. Konflik tersebut berlangsung cukup lama dan cenderung keras. Selama kurun 1990-1993, peserta konflik masih terbatas pada kalangan pemuda/remaja kedua kampung tersebut, namun sejak 1994 hingga 2001 peserta konflik meluas menjadi bersifat massal, sehingga berkembang menjadi tawuran antar kampung.
Konflik antar pemuda berawal dari menguatnya identitas kolektif masing-masing kelompok tersebut. Konflik berawal dari sikap arogansi sekelompok pemuda Kampung Tambak, salah satunya dengan menguasai kawasan Tugu Proklamasi dan sekitarnya tanpa memberi kesempatan pada pemuda Kampung Anyer ikut memanfaatkan lahan tersebut, memicu pecahnya konflik terbuka antara kedua kelompok pemuda tersebut. Di satu sisi Pemuda Kampung Tambak bersikap arogan ingin mendominasi pihak lain, sedangkan di sisi lain pemuda Kampung Anyer memberi perlawanan terhadap sikap tersebut.
Semakin sering dan keras konflik, semakin banyak menyeret solidaritas dari warga sekampung lainnya untuk bersama-sama membela harga diri kampung mereka. Identitas kolektif tersebut dibangun secara sosial terutama atas dasar kesamaan teritorial, dimana terjadi interaksi sosial yang kontinyu. Melalui interaksi tersebut, atribut kesamaan secara simbolis dibangun dan didefinisikan, dari sinilah trust dan solidaritas berkembang diantara warga sekampung.
Konflik berlangsung keras karena konflik menyangkut isu-isu non-realistik, berupa nilai-nilai inti (core values) dan kepentingan kelompok yang samar-samar atau abstrak (vaguely defined class interest) yaitu harga diri dan dendam. Konflik juga berlangsung lebih lama karena tujuan konflik yang tidak jelas menyulitkan peserta konflik untuk mendefinisikan kapan mereka telah mencapai tujuan tersebut, sehingga konflik menjadi berlarut-larut. Selain itu, para pemimpin di masing-masing pihak kurang mampu membujuk warganya menghentikan konflik, hal ini disebabkan kerekatan hubungan antara warga dan para pemimpinnya cenderung lemah, selain itu juga masyarakat cenderung terpecah-belah karena kohesi sosial antar warga juga cenderung rendah. Intensitas konflik dan kerasnya konflik lambat laun makin mempertegas batas-batas pemisah antara warga kedua kampung dan meningkatkan solidaritas diantara warga sekampung untuk bersama-sama memerangi pihak lawan.
Berbagai upaya mengatasi konflik telah dilakukan oleh aparat pemerintah setempat, diantaranya dengan memfasilitasi pertemuan antar tokoh masyarakat dan pemuda setempat dari kedua pihak untuk membuat konsensus damai selain membentuk satgas yang terdiri dari sejumlah pemuda dari pihak-pihak yang berseteru, namun berbagai upaya tersebut belum mampu mengatasi konflik. Ini disebabkan konsensus tersebut tidak mampu merembes ke seluruh warga kampung karena kohesi sosial masyarakat yang cenderung rendah dan juga para tokoh dan pemuda yang dilibatkan bukanlah orang-orang yang berpengaruh dan memiliki kepemimpinan yang efektif di lingkungan komunitasnya.
Berbeda dengan upaya pemerintah tersebut, program resolusi konflik yang dikembangkan institusi lokal Forum Warga Cinta Damai (FWCD) ternyata cukup efektif meredam konflik. Sejak berdiri pada pertengahan 2001, forum tersebut menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan bersama dengan melibatkan warga yang berpengaruh dari berbagai social fieldnya, seperti kelompok bermain (peer group) pemuda, remaja, ibu-ibu, para bapak, serta kelompok pengajian, kelompok arisan dan sebagainya. Kegiatan tersebut membuat seluruh individu terhubung satu sama lain. Meski mereka berasal dari berbagai social field, namun hubungan antar mereka menjadi cikal bakal perekat antar social field dalam komunitas masyarakat yang berkonflik. Langkah ini cukup efektif merekatkan kembali hubungan sosial antar warga di kedua kampung yang bertikai, dan hasilnya selama tahun 2002 tawuran antar warga tak terjadi lagi.
Program community development tersebut merangsang antar individu dalam komunitas untuk menjalin kerjasama dalam mencapai tujuan-tujuan bersama. Melalui program tersebut, dilakukan upaya merekonstruksi kembali hubungan sosial antar warga, dengan mendefinisikan ulang batas-batas kolektifitas antar warga kedua kampung. Seiring dengan tumbuhnya jaringan baru yang menjembatani berbagai golongan masyarakat, turut berkembang norma-norma baru yang mengedepankan prinsip hidup damai penuh persaudaraan dalam lingkungan ketetanggaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Eka Putri
"Tujuan penulisan ini adalah untuk meningkatkan kinerja PT X, dengan mengusulkan tindakan penyelesaian konflik horizontal antara Serikat Pekerja X (SPX) yang menuntut spin-off dari induk perusahaan dengan Serikat Pekerja RX (SPRX) yang pro manajemen baru hasil RUPSLB. Konflik ini merupakan akibat dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya antara pemerintah pusatpemerintah daerah, induk perusahaan-anak perusahaan, dan manajemen puncak karyawan PT X (rincian permasalahan pada BAB I).
Analisis terhadap konflik di PT X dilakukan berdasarkan teori dari Robbins (2005) tentang proses terjadinya konflik (rincian teori pada BAB II). Ditemukan bahwa ada tiga kondisi anteseden yang menjadi sumber konflik di PT X yaitu:
(1) Struktur; (a) terdapat diskrepansi tujuan antara SPX-SPRX, (b) tidak adanya hukuman dari pihak manajemen terhadap pelanggaran yang dilakukan anggota SPRX sehingga SPX merasa diperlakukan tidak adil
(2) Variabel personal; perbedaan sistem nilai masing-masing anggota kelompok berkontribusi pada terjadinya konflik
(3) Hambatan dalam komunikasi; keengganan kelompok berkomunikasi menyebabkan konflik makin meningkat.
Konflik yang terjadi melibatkan faktor emosional dan personal, sehingga timbul ketegangan dan permusuhan pada kedua kelompok yang mengakibatkan suasana kerja tidak kondusif (rincian pada BAB I). Intensi penanganan konflik yang dilakukan kelompok, dalam hal ini SPX adalah: (1) avoiding; dengan cara menghindari interaksi dan komunikasi dengan SPRX, (2) accommodating; mengorbankan emosi dan rasa ketidakpuasan pada SPRX dengan tetap bekerja bersama SPRX.
Akibat konflik ini adalah: (1) timbul krisis kepercayaan pada pemimpin, (2) suasana kerja menjadi tidak kondusif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T18067
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>