Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210461 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asteria Unik Prawati
"Sejak tahun 1997, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan WHO telah mengembangkan suatu pendekatan dalam tatalaksana balita sakit di tingkat pelayanan kesehatan dasar yang selanjutnya disebut sebagai Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur dengan dana bantuan WHO pada tahun 1997 pula telah mulai menerapkan pendekatan MTBS di 6 puskesmas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tingkat kepatuhan petugas pelaksana MTBS dan kepuasan ibu balita yang mendapat pelayanan dengan menggunakan tatalaksana MTBS di Kabupaten Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan jumlah sample sebanyak 12 petugas pelaksana MTBS dan 120 ibu balita. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada saat petugas memeriksa balita sakit dengan menggunakan daftar tilik dan wawancara terhadap ibu balita setelah selesai pelayanan dengan menggunakan kuesioner, kemudian dilakukan wawancara mendalam kepada petugas dan diskusi kelompok terarah dengan ibu balita.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada tingkat kepatuhan petugas dengan menggunakan cut off point 90 dalam niiai kisaran kepatuhan tertinggi 100 dan terendah 83,32 maka sebanyak 65,80% petugas patuh dalam melakukan penilaian dan klasifikasi, 9I,70% petugas patuh dalam menentukan tindakan dan 66,70% petugas patuh dalam memberikan konseling. Untuk tingkat kepuasan ibu balita, dengan cut off point 29 dari total score 40, maka secara umum ibu balita menyatakan puas mendapat pelayanan dengan tatalaksana MTBS, tetapi masih ada 8,34% ibu balita yang tidak puas dalam hal keinginannya untuk kembali. Dengan uji statistik, pada p~,43 terdapat hubungan yang bermakna antara kepatuhan petugas dalam penilaian dan klasifikasi penyakit dengan kepuasan ibu balita dalam hal keinginannya untuk kembali membawa anaknya berobat ke puskesmas.
Kesimpulan secara umum, tingkat kepatuhan petugas daIam tatalaksana MTBS sudah cukup baik, demikian pula kepuasan ibu balita terhadap pelayanan kesehatan dengan menggunakan tatalaksana sudah cukup tinggi. Maka disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo untuk tetap mempertahankan kualitas bimbingan dan supervisinya agar kelangsungan pendekatan ini tetap terjaga. Bagi puskesmas perlunya memberikan penghargaan tertentu bagi petugas yang patuh untuk mempertahankan tingkat kepatuhan petugas , dan untuk meningkatkan kepuasan ibu perlu dilakukan sosialisasi tentang MTBS. Bagi Departemen Kesehatan perlu mempertimbangkan cut off point tingkat kepatuhan, disesuaikan dengan telah berapa lama puskesmas menerapkan MTBS.

Relationship on the Compliance Rate of Health Workers and the Satisfaction Rate of Mothers on the Integrated Management of Childhood Illness at Distric Sidoarjo East Java year 2002Since 1997, the Ministry of Health Republic of Indonesia in collaboration with the World Health Organization has developed an approach in managing sick child underfive at the primary health services known as Integrated Management of Childhood Illness (LMCI). District of Sidoarjo, using WHO budget has started socializing the IMCI in 6 health centers on 1997.
The objective of this study is to have a description of health worker's compliance and mother's satisfaction towards IMCI implementation in district Sidoarjo. The study will use cross sectional design with quantitative and qualitative approach with sum of sample to 12 IMCI-implement health workers and 120 mothers. Data collection is conducted by direct observation to health workers during sick child examination using a checklist and exit interviews to mothers using questionnaires then followed by an indepth interview to the health workers and focus group discussion to the mothers.
The study showed that means of staff compliance score on IMCI procedures are 92,18; 96,56; 93,06 and 95,45 respectivety for patient assessment & classificatioiu; determine treatment; giving counseling; and average total compliance using cut-off 90, it is showed that compliance on treatment determination is highest with 91,70% respondent midwifes. Followed by giving counseling (66,70%) and assessment & classification (65,50%). Furthermore, this study showed level of satisfaction for IMCI service on high (by using cut-off score of 29 of total score 40), except that there are 8,30% of mothers who expreseed will not return for the IMCI services at the health center. Furthermore, using Chi Square statistic with exact p-value approach, it is showed that there is a significant relationship between compliance in assessment & classification and satisfaction in intention to return for the same services (p~,03).
In conclusion, the compliance rate of health workers towards the IMCI achieve a higher level than Ministry of Health suggestion (80% comply)) similar results are shown for the mother satisfaction in health treatment. This study suggest the District Health Office of Sidoarjo to maintain its quality of IMCI services with adequate supervision and monitoring evaluation. Furthermore, Puskesmas manager should identify staff with excellent compliance and reward them adequately. For other staff, the manager may promote continuously the IMCI services. At last but not least, this study suggest the Ministry of Health recruits level of compliance based local experience on applying IMCI services.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T5658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan
"Dalam upaya melaksanakan program/kegiatan Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir memiliki tanggung jawab sebagai penyelenggara pembangunan sektor kesehatan baik secara teknis maupun non teknis yang bekerja sama dengan perangkat pemerintahan Kabupaten dan masyarakat, namun kinerja staf Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir sejalan dengan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan program/kegiatan serta disiplin kerja itu pada tahun 2002 menunjukan penurunan produktifitas kerja.
Secara faktual program/kegiatan dan pelaksanaan disiplin oleh pejabat struktural eselon IV sudah berjalan, akan tetapi belum optimal karena kemampuaniketerampilan dan komponen yang diperlukan belum memadai. Kinerja pejabat eselon IV Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir berkait dengan kinerja pejabat eselon III.
Untuk mengetahui gambaran kinerja staf Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir dilakukan analisis terhadap sumber daya manusia dan perangkat yang mendukung program/kegiatan yang terkait dengan disiplin kerja dalam pencapaian kinerja tersebut. Analisis ini dilakukan dengan penelitian kualitatif terdiri dari 6 orang pejabat struktural eselon III melalui wawaneara mendalam, 16 orang pejabat struktural eselon IV melalui diskusi kelompok terarah, dan 6 orang staf yang tidak menduduki jabatan struktural melalui wawancara mendalam dan self assesment tentang penilaian produktivitas serta ketepatan waktu dalam mengikuti apel pagi di Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir.
Dari penelitian ini didapat gambaran tentang kinerja pejabat eselon IV disarnping itu tentang tersedianya sumber daya dan kurang tepatnya penempatan, fasilitas kurang memadai, pelaksanaan koordinasi, dan lemahnya penerapan sanksi oleh atasan. Semua ini berpengaruh terhadap pencapaian kinerja staf Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir pada tahun 2002.
Disarankan penempatan karyawan dilakukan sesuai dengan keterampilannya, pemenuhan kebutuhan fasilitas kerja, perhatian terhadap insentif dan kesejahteraan, penerapan ketaatan sistem kerja, peningkatan koordinasi dan kesadaran tanggung serta peningkatan kemampuan diri yang tarus menerus untuk pekeraaan yang menjadi tanggung jawabnya.

An Analysis of Staffs' Work Performance of Indragiri Hilir District Health Office The Province of Riau in 2002 District Health Office of Indragiri Hilir is in charge as the organizer of health sector development, technically and non-technically the office works together with the district government and community in carrying out every programs/activities. However in 2002 the staffs performance of District Health Office of Indragiri Hilir showed decline of work productivity although the programs/activities and application of work discipline by structural officials of echelon IV was done it was not optimal due to lack of ability and as well as inadequate skills and necessary components. The work performance of echelon IV officials in Indragiri Hilir District is strongly related to the work performance of echelon III officials.
To know the picture of their work performance, a research was done to analyze factors of human resources and every unit that support the operation of the program/activities and the discipline applied. The analysis was conducted using qualitative method an informant including 6 persons from the structural officials of the echelon III through in-depth interview, 16 structural officials of echelon IV through focused group discussion, and 6 officials of non-structural position, through conducted an in-depth interview and self assessment about productivity assessment and punctuality of presence in the morning name roll call.
From this research, it is known that the low work performance of echelon 1V officials is due to the misplacement, inadequate facilities, unsatisfactory work arrangement in application and weakness of sanction from the superior, As a result, these factors affected the achievement of work performance of District Health Office staffs of Indragiri Hilir Regency in 2002.
This Thesis suggested that the placement of staffs is done based on their skills, with the fulfilment of adequate working facilities with proper, incentive and prosperity, also the work system should be obeyed, coordination and together with the responsibility awareness should be increased and continuously increased self competence of works and their responsibilities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idawarti Sugirman
"Departemen Kesehatan Republik Indonesia menuju Indonesia sehat 2010 telah menetapkan kebijaksanaan umum pembangunan bidang kesehatan antara lain adalah peningkatan sumber daya manusia di bidang kesehatan.
Pegawai kesehatan merupakan bagian yang terbesar dari sumber daya manusia di bidang kesehatan yang mempunyai kedudukan strategis didalam pembangunan nasional, disamping sebagai pemikir, perancang, dan penggerak pembangunan, juga sekaligus sebagai pelaksana pembangunan. Organisasi Kesehatan merupakan organisasi yang padat karya dengan rentang kendali yang lebar, membutuhkan sistem informasi yang dapat menjamin aksessibilitas data pada seluruh tingkatan administrasi kesehatan.
Seiring dengan perkembangan di bidang teknologi informasi, Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan Republik Indonesia semenjak tahun 1996 telah mengembangkan Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian (SIMKA), dengan tujuan untuk dapat mengumpulkan data pegawai di seluruh Indonesia dengan baik dan akurat sehingga data yang ada memberikan informasi yang optimal untuk menjawab masalah ketenagaan.
Untuk menuju terlaksananya pengumpulan data pegawai yang akurat, Propinsi Sumatera Barat semenjak tahun 1997 telah menerapkan pelaksanaan SIMKA secara berjenjang mulai dari tingkat propinsi sampai ke unit kerja di kabupaten dan kota.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi pelaksanaan SIMKA di tingkat Propinsi Sumatera Barat dengan melakukan analisis yang mendalam terhadap penerapan SIMKA selama kurun waktu 3 tahun (1997-2000).
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dimana pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok terarah (focus group discusion).
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa, program SIMKA telah dilaksanakan di tingkat propinsi Sumatera Barat, tetapi pengumpulan data, transportasi data dan up date yang sesuai dengan aturan SIMKA belum berjalan dengan baik disebabkan antara lain perhatian dan kesadaran akan pentingnya data masih kurang, sehingga data yang ada belum memberikan informasi yang akurat. Kualitas tenaga pengelola tingkat propinsi dilihat dari kemampuan dan keterampilan cukup memadai namun penampilan kerja perlu ditingkatkan, sedangkan sumber daya lainnya seperti sarana dan dana untuk tingkat propinsi tidak menjadi hambatan yang utama. Selanjutnya untuk pembinaan dan evaluasi program belum berjalan sebagaimana mestinya, evaluasi belum dijalankan secara terkoordinasi dan belum memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan pengembangan SIMKA, Disamping itu pemanfaatan data SIMKA baru terlaksana di bagian kepegawaian belum meluas pada lintas program khususnya dalam peyusunan kebutuhan,penyebaran dan pengembangan tenaga.
Saran yang diberikan sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah untuk pimpinan unit kerja perlunya peningkatan pemberdayaan tenaga pengelola khususnya dalam pengolahan dan analisis data dan adanya evaluasi program SIM1KA yang dilaksanakan secara terkoordinasi. Sedangkan untuk Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat agar melakukan peningkatan sosialisasi SIMKA pada seluruh unit kerja dan menjadikan SIMKA termasuk salah satu program yang di prioritaskan dan dilaksanakan secara konsisten.

Analysis Implementation Of Employee Management Information System in West Sumatera at Year 2000Repulic Indonesia Health Departement toward Health 2010 already adopted policy of common development in Health to increase the human resource development.
Health man power is the biggest part of human resource in health cervices that have the strategic position in nasional development, beside being thinker, designer and motivator of development, also being the development executor. Health Organization is a big organzation with spread control, needed the information system to guarantee the data accessibility around the health administration level.
As far as the growing of information Technology field, bureau of personal. ministry of Health Republic Indonesia already develop the Employee Management Information System since 1996 (SI KA), with the purpose to colecting employee data all around Indonesia with good and aceurat that can give optimal information to answer the employee problems.
Towards the application of collecting accurate employee data, West Sumatera already adopted SIMKA application gradually from province to the city and regency since 1997. The research purposed is to get the information of SIMKA application at province level in West Sumatera doing indepth analyze SIMKA application during 3 years periode ( 1997-2000).
The research use qualitative approach, the primary data collected by indepth interview and focus group dicussion.
The result showed that SIMKA program is already applied in West Sumatera, but the collected data, data transportation, and up date according in the SIMKA rules is not going well yet,because realize that data still not quite enough so that the existing data still cannot give the accurat information. Quality of controller in propincial level is quite enough if seem from skill and capabality, and other sources such as finance and facilities the provincial level is not being the main problem. Program evaluation is not going well, and can not give cotribution well yet to improve SIMKA program.
The advise this result given to the head of Work Unit to increase the control capabality especially in process and analyze data. For the Head of Health Official of West Sumatera to increase the SIM1KA sosialization to all units and put SIMKA as one of program priority and applied consistenly.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arniwita
"Desentralisasi merupakan upaya pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan kepada daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan di daerah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Untuk itu diperlukan peningkatan profesionalisme sumber Jaya manusia di daerah sehingga mampu melaksanakan kewenangannya dengan baik. Pejabat struktural Dinas Kesehatan Kabupaten mempunyai peranan yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan program-program kesehatan di kabupaten. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural mengatakan bahwa syarat untuk menduduki jabatan struktural adalah kepangkatan, pendidikan yang sesuai dan kompetensi jabatan yang diperlukan. Pengangkatan pejabat struktural di Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar Propinsi Riau hanya berdasarkan pangkat minimum, sedangkan kompetensi yang juga disyaratkan belum menjadi perhatian dan belum diketahui bagaimana kompetensi pejabat struktural tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi gambaran keadaan Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar (struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi. proyeksi kebutuhan sumber daya manusia, ketersediaan sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan), mekanisme penempatan, kompetensi yang dibutuhkan, kompetensi yang belum terpenuhi dan upaya organisasi dalam memenuhi kompetensi pejabat struktural tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan informan Kepala Dinas dan Kepala Sub Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, Sekda, Bappeda dan Kepala Puskesmas, diskusi kelompok terarah dengan Kepala Sub Bagian dan Kepala Seksi Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, serta melakukan telaah dokumen. Pengolahan data dibuat dalam bentuk matriks yang diperoleh dari transkrip wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Teknik analisis yang dilakukan adalah teknik analisis isi, yaitu dianalisis sesuai dengan topik dan melakukan identifikasi menjadi beberapa topik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur organisasi cukup ramping dan tugas pokok dan fungsinya telah mencakup seluruh program kesehatan di kabupaten, proyeksi kebutuhan sumber daya untuk lima tahun mendatang sudah dibuat berupa dokumen ketenagaan, tetapi ketersediaan sumber daya manusia saat ini masih kurang. Sebagian pejabat struktural belum mempunyai latar belakang pendidikan yang sesuai dengan jabatannya, sebagian belum mengikuti pelatihan kepemimpinan dan pelatihan teknis untuk pelaksanaan tugas pokoknya masih kurang. Kompetensi yang diburuhkan untuk melaksanakan tugas pokok pejabat struktural Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar adalah pemahaman terhadap tugas pokok dan fungsinya, menetapkan dan melaksanakan program, membangun jaringan kerja lama, merencanakan dan menetapkan program peningkatan sumber daya manusia, serta melaksanakan pengawasan, pengendalian dan evaluasi kinerja unit organisasinya. Belum semua kompetensi tersebut memadai untuk melaksanakan tugasnya, dimana kompetensi yang belum memadai adalah kemampuan pengorganisasian dalam pelaksanaan program, merencanakan dan menetapkan program peningkatan sumber daya manusia dalam unit organisasinya. Upaya organisasi dalam memenuhi kompetensi saat ini adalah dengan mengirim untuk mengikuti pelatihan-pelatihan teknis.
Disarankan agar pemerintah daerah meninjau kebijakan tentang persyaratan dan mekanisme penempatan jabatan struktural bagi pegawai negeri sipil, serta mendukung pembentukan program peningkatan sumber daya manusia kesehatan di daerahnya. Peningkatan sumber daya manusia disarankan dalam hal jumlah dan jenis ketenagaan yang masih dibutuhkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar. Dinas Kesehatan disarankan secara proaktif mengadvokasikan program-program peningkatan sumber daya nianusia kepada pemerintah daerah. Kepada pejabat struktural disarankan secara proaktif meningkatkan kompetensinya baik melalui peningkatan pendidikan maupun melalui pelatihan-pelatihan teinis yang sesuai dengan jabatannya.

Decentralization is the attempt of center government to give authority to the district in planning and conducting the development appropriate with their need. Hence, it is considered necessary to maintain the professionalism of human resources in the district in order to be able to conduct its authority well. Structural Job of the District of Kampar Health Office plays an important role on accomplishing the implementation of health programs in the district. Government regulation Number 13 Year 2002 in term of the Amendment of Government Regulation Number 100 Year 2000 in term of the Deployment of Civil Government Officer in structural Job says that the requirements to get structural position are grade or position in the organization, appropriate educational background, and job competencies. The deployment of structural officer in the District of Kampar Health Office, the Province of Riau was based on minimum grade, meanwhile the required competencies had not been noticed yet.
This research was conducted to obtain the information about the description of Health Office in the District of Kampar (organization structure, main task and function, need projection of human resources, availability of human resources, education and training), placement mechanism, required competencies other uncovered competencies, and organization's efforts to meet the competency of structural officer.
This research used qualitative approach through conducting in-depth interview to the informants (the Head of Health Office and Sub-head of Health Office. Local Government Secretary, District Planning Board, and Head of Health Center), and conducting focus group discussion to the Head of Unit and Head of Section of Health Office. Besides, this research also reviewed the documents. Data processing was conducted by making matrix table that obtained from the transcript (interview result) of both in-depth interview and focus group discussion. Analysis technique used an essay analysis technique, which analyzed the interview result according to topics and identified them into some topics.
The result showed that organization structure was flat enough and the main task and function had included all of district health programs. The need projection or planning of human resources had been made as human resources documents. However, the lack of human resources still remained. Some of structural officers had not had appropriate educational background with their position. Some of them had not got the leadership training yet and also technical training to conduct their main task. Required competencies to do the main task of structural officer of the District of Kampar Health Office were the understanding of main task and function, setting up and implementing the programs, developing the network, planning and setting up the human resources development, and monitoring and evaluating the work performance in each unit. Nevertheless, not all the competencies above were implemented yet. Insufficient competencies that found were the ability to organize the programs, planning and setting up the human resources improvement program in the unit. Organization's attempt to meet the competencies was sending its human resources to get technical training.
It is recommended to the district government in order to review the placement mechanism of structural officer for the civil government officer, and to support the making of human resources improvement program in their district. Besides, the amount and sort of human resources that needed by the District of Kampar Health Office were also recommended to be reviewed. The Health Office is suggested to proactively advocate the district government to maintain the human resources improvement programs. It is also recommended to the structural officer to enhance his competence through continuing education and taking technical training that in line with his job.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T11260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Etty Agustijani
"Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah sarana kesehatan terdepan yang memberi pelayanan kesehatan termasuk gizi kepada masyarakat. Upaya perbaikan gizi melalui puskesmas bertujuan untuk menangulangi masalah gizi dan meningkatkan status gizi masyarakat. Di Puskesmas Kecamatan upaya perbaikan gizi dilaksanakan oleh Ahli Gizi, namun di Puskesmas Kelurahan upaya perbaikan gizi dilaksanakan oleh beberapa macam tenaga gizi puskesmas seperti Ahli Gizi, Pembantu Ahli Gizi, bidan, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya. Upaya perbaikan gizi melalui Puskesmas Kelurahan, belum dapat dilaksanakan secara efektif karena belum semua Puskesmas Kelurahan memiliki tenaga gizi yang professional dalam bidang gizi, kemampuan terbatas, dan masalah gizi yang dihadapi sangat luas.
Mengingat bahwa di Propinsi DKI Jakarta belum pernah dilakukan penelitian terhadap kinerja petugas gizi puskesmas kelurahan dalam kegiatan gizi posyandu, serta mengacu kepada penelitian sebelumnya di tempat lain, maka perlu dilakukan penelitian agar diperoleh informasi bagaimana gambaran kinerja petugas gizi puskesmas kelurahan dalam kegiatan gizi posyandu dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Cross sectional dengan pendekatan pengukuran kuantitatif dan kualitatif. Sampel penelitian adalah seluruh petugas gizi puskesmas kelurahan di Propinsi DK.1 Jakarta yang berjumlah 274 orang petugas gizi puskesmas kelurahan. Hasil penelitian menunjukkan 48,9 % kinerja petugas gizi puskesmas kelurahan balk dan 51,1 % kinerja buruk. Sebanyak 46,4 % petugas gizi puskesmas kelurahan melakukan kegiatan gizi posyandu dengan balk dan 53,6 % melakukan kegiatan gizi posyandu tidak balk.
Berdasarkan analisis multivariat dengan uji Regresi Logistik Ganda, didapat adanya hubungan yang bermakna dengan kinerja petugas gizi puskesmas kelurahan adalah kegiatan gizi posyandu, pendidikan petugas, lama kerja petugas, supervisi petugas gizi puskesmas kecamatan, dan pembinaan Kepala Puskesmas Kelurahan. Sedangkan yang berhubungan secara statistik dengan kegiatan gizi posyandu adalah usia petugas, sarana transportasi, sarana kegiatan, beban tugas dan pembinaan Kepala Puskesmas Kelurahan.
Penelitian ini menyarankan bahwa untuk meningkatkan kinerja petugas gizi puskesmas kelurahan dalam kegiatan gizi posyandu perlu dilakukan pengaturan pegawai di puskesmas kelurahan dimana petugas yang berusia < 44 tahun ditugaskan sebagai petugas gizi dan untuk meningkatkan kinerjanya dapat ditingkatkan pendidikannya sampai jenjang D3 atau S1 gizi. Disamping itu untuk menunjang dalam pelaksanaan kegiatan gizi di posyandu perlu didukung dengan sarana transportasi berupa sepeda motor atau dana transportasi. Peranan pembinaan Kepala Puskesmas Kelurahan sangat mendukung terhadap peningkatan kinerja petugas gizi puskesmas kelurahan. Untuk menyampaikan informasi dari tingkat Sudinkes atau Dinas Kesehatan maka supervisi Petugas Gizi Puskesmas Kecamatan sangat membantu dalam rangka pembinaan untuk meningkatkan kinerja petugas gizi Puskesmas Kelurahan.

Primary Health Centres (Puskesmas) is the frontier of health care services including nutrition services. The nutrition program through Puskesmas is aimed to overcome nutrition problem and improve nutritional status of the population. In sub-district Puskemas, the nutrition program is conducted by a nutritionist. However, in Puskesmas kelurahan, the program is conducted by various staff qualifications, such as nutritionist, assistant nutritionist, midwives, nurses, or other health care professionals. Nutrition program in Puskesmas has not been properly conducted as not all Puskesmas Kelurahan have the appropriate nutritionist, or have limited skill, while the nutrition problem is very wide.
As there has been no known studies in the performance of the nutrition staff in the Posyandu activities in DKI Jakarta, it is thought that such studies is important to be conducted. The design used in this study is a Cross Sectional study with quantitative and qualitative approach. Samples were drawn from a population of 274 nutrition staff in Puskesmas kelurahan. The result was that 48.9% of respondents showed good performance and 46.4% conducted good nutrition activities in the Posyandu.
Multivariate analysis with double logistic regression showed significant relationship between performance of nutrition staff with (I) nutrition activities in Posyandu, (2) education level, (3) length of services, (4) supervision from Puskesmas Kecamatan, and (5) guidance from head of the Puskesmas. Statistically significant relationships were found between Posyandu nutrition activities and (1) age of staff, (2) availability of transportation means, (3) equipments availability, (4) workload, and (5) guidance from head of the Puskesmas.
The study suggested that to improve nutrition staff performance in Posyandu nutrition activities it is necessary to manage the staff so that appointed nutrition staff would be less than 44 years in age. To improve the performance it is suggested to increase education level of the staff to at least diploma level or a degree in nutrition. Availability of transportation vehicles or sufficient find for transportation is also recommended to improve the Posyandu activities. Guidance from head of the Puskesmas is also necessary to improve the performance of the staff. Supervision from the Puskesmas Kecamatan nutritionist is also important to communicate information from district health office in order to improve performance of the star.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Farida Yohanik
"Implementation of readiness village in working area of public health center Tanjunganom has not been carried out optimally due to less activity of it`s cadre. Cadre is one of success key for readiness village, as a result of it make researcher interested to make a research about factors related to the activity of cadre in managing of readiness village in working area of public health center Tanjunganom. This study is a survey research using Cross Sectional study design. Data analysis by variate and bivariate test which using Chi Square test (a= 5%). Study result found that there are significant correlations between the activity of readiness cadre and education, experience, knowledge, attitude, counseling, fund availability, incentive, society figure support, society and supervision variable.

Pelaksanaaan desa siaga di wilayah kerja Puskesmas Tanjunganom yang belum optimal disebabkan kurangnya keaktifan kader desa siaga. Kader merupakan salah satu kunci keberhasilan desa siaga, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan keaktifan kader dalam pengelolaan desa siaga di wilayah kerja Puskesmas Tanjunganom. Penelitian ini adalah penelitian survey dengan desain Cross Sectional. Analisis data yang digunakan adalah uji univariat dan uji bivariat dengan uii statistic Chi Square (a=5%). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara keaktifan kader dengan variabel pendididkan, pengalaman, pengetahuan, sikap, penyuluhan, ketersediaan dana, insentif, dukungan tokoh masyarakat, dukungan masyarakat, dan supervisi.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yunani Sri Astuti
"Perawat merupakan salah satu unsur penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan kepada pasien. Latar belakang pendidikan perawat RSJ ini, kebanyakan lulusan SPK, SPR"B" dan SPKSJ. Jumlah lulusan Diploma III Keperawatan di RSJ Bogor 16,14% (36 dari 223 orang), RSJ Bandung 19,11% (13 dari 68 yang), dan RSJ Cimahi 23,37% (18 Bari 77 orang). Kebutuhan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, serta kebijakan pemerintah (PP.No 3211996) mengharuskan tenaga perawat minimal lulusan D III. Peningkatan mutu tenaga perawat tersebut diharapkan dapat dicapai melalui program pendidikan D III Keperawatan. Unsur utama yang mendukung keberhasilan program tersebut antara lain adalah motivasi para perawat sendiri untuk mengikuti pendidikan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara faktor-faktor internal dan ekstemal dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan di tiga RSJP di Jawa Barat tahun 2001. Penelitian ini menggunakan rancangan non eksperimental,dimana data diperoleh secara potong lintang (cross sectional). Sampel penelitian adalah seluruh populasi perawat yang bertugas di tiga RSJP di Jawa Barat yang belum mengikuti pendidikan D 111 Keperawatan. Jumlah responden dalam penelitian ini 201 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran angket dengan menggunakan kuesioner. Data kemudian diolah dengan bantuan komputer dan dianalisis secara statistik dengan teknik chi-square (bivariat) dengan derajat kemaknaan 95%, dan regresi logistik berganda (multivariat).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki motivasi rendah untuk mengikuti pendidikan (54,0%). Dari analisis bivariat didapatkan 9 variabel yaitu umur, status perkawinan, jabatan, masa kerja, persepsi, penghasilan, peraturan, izin atasan dan dukungan keluarga mempunyai hubungan yang secara statistik bermakna dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan. Sedangkan variabel-variabel jenis kelamin, penghargaan dan lokasi tempat kerja tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan. Analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik berganda secara simultan memberi basil variabel masa kerja (p=,017), persepsi (p=0,000), dan peraturan (p= 0,010) yang secara statistik bermakna. Juga dibuktikan secara statistik bahwa dari ketiga variabel tersebut, variabel persepsi merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan, karena mempunyai OR paling besar yaitu 6,28 (95% CI : 1,323-7,862, p=0,000) dibandingkan dengan variabel masa kerja dan peraturan. Uji interaksi terhadap ketiga variabel tersebut tidak memberi hasil adanya interaksi, sehingga model yang dikembangkan merupakan model akhir (definitif).
Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan, maka penelitian ini juga memberikan saran sebagai berikut: (a) untuk pihak yang bertanggung javrab dalam mengembangkan tenaga kesehatan, misalnya Pusdiknakes, perlu membuat peraturan dimana minimal 3 tahun perawat diwajibkan mengikuti pendidikan lanjutan, disamping juga perlu dikembangkan program pendidikan keahlian khusus dibidang tertentu bagi yang tidak ingin melanjutkan pendidikan jangka panjang, (b) untuk RSJ, diusulkan untuk membuat daftar unit perawat untuk mengikuti pendidikan, menetapkan imbalan dan menyediakan informasi yang komprehensif, sehingga dapat meningkatkan motivasi perawat untuk mengikuti pendidikan. Untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih representatif perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang mewakili seluruh populasi, desain dan variabeI yang lebih bervariasi.

Nurse is one of the important elements in health service process especially in giving treatment comprehensively to the patient. The mental hospital asylum nurse's educational background at this moment, mostly graduated from SPK, SPR "B" and SPKSJ. The number of nursing diploma graduates in Bogor mental hospital asylum are 16,14% (36 from 223 people), Bandung mental hospital asylum 19,11% (13 from 68 people), and Cimahi mental hospital asylum 23,37% (18 from 77 people). Needed health service quality; and as regulated by the government policy (PP No 32/1996) required every nurse to hold at least a diploma. The quality improvement of nurse hopefully can be gained through education (diploma program) in nursing. The main factor assumed to assure the success of the program is the nurse's motivation to participate in the education.
The purpose of the research is to find out whether there is relationship between internal factors and external factors with the nurse's motivation to participate in the education. Observation was carried out in three Mental Hospital Asylums in West Java in year 2001. This research used non-experimental design,using cross sectional method in collecting data. The sample was the whole nurse population on duty at these three mental hospitals who have not attended the diploma offering. The number of respondent in this study were 201 nurses. Data was collected by using both open and close ended questionnaires. The data was then processed with the help of computer and statistically analyzed with chi-square technique (bivariate) using Confidencen Interval (CI) of 95%, and double logistic regression (multivariate).
The result showed more than a half of the respondent have low motivation to follow the education (54,0%). Using bivarian's analysis mentioning 9 variables which were age, marriage status, position, tenure, perception, income, rule, higher permission and family support, statistically showed significant relationship with the nurse's motivation to follow the education. Other variables, such as gender and work site did not show significant relation statistically with the nurse's motivation. Further analysis using double logistic regression simultaneously showed that (length of service) tenure (pl,017), perception toward education program (0,000) and rules/conditions (0,010) statistically significant. Also statistically approved that from those three variables, perception was the most dominant variable related with the nurse's motivation, because it has the biggest odds ratio (OR) which was 6,28 (95% Cl = 1,323 - 7,862, p = 0,000) compared with other variables (length of service and rules). Interaction test done to the three variables did not assure the result of interaction's existence, giving the improved model as the last accepted (definitive) model.
Recognizing the factors related with' the nurse's motivation to participate in education, this research suggested ; a) to the authority who is responsible for health menpower development (such as Pusdiknakes), to develop conditions that nurse to attain additional three years education, aside from improving special skill training programmes in various fields, for those who are not willing to continue their education, b) for the mental hospital asylum, it is suggested to make the list of nurses to participate in a programmed, to provide comprehensive information, and to establish an incentiveldisincentive schem, to attract nurses to continue their education. To gain more representative conclusion it is needed to carry out further research using sample that represent the whole population, different designs and or involving more variables.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Ariyanti
"Diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah berimplikasi pada perubahan yang cukup besar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya lebih bersifat sentralistik, berubah menjadi terdesentralisasi ke daerah otonom di tingkat Kabupaten/Kota
Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi, dibutuhkan organisasi kesehatan kabupaten/kota yang lebih profesional dan mandiri serta organisasi yang mau terns menerus belajar dalam rangka meningkatkan kinerjanya sebagaimana disebutkan dalam beberapa literatur sebagai Organisasi Pembelajar. Berdasarkan pengamatan peneliti sampai saat ini belum terdapat alat ukur atau instrumen organisasi pembelajar yang dapat digunakan oleh sebuah organisasi untuk mengevaluasi organisasinya. Atas dasar tersebut peneliti merasakan perlu adanya sebuah penelitian untuk mengembangkan alat ukur atau instrumen organisasi pembelajar dalam rangka membantu organisasi kesehatan untuk mengevaluasi organisasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan alat ukur atau instrumen organisasi pembelajar untuk organisasi kesehatan tingkat kabupaten/kota berdasarkan konsep Peter Senge (Disciplines of Learning Organization). Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dan studi kuantitatif yang dilakukan di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor pada bulan Juli tahun 2002.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 variabel disiplin dalam organisasi pembelajar berdasarkan konsep Peter Senge yaitu berpikir sistem, keahlian pribadi, model-model mental, visi bersama, dan pembelajaran tim. Hasil studi eksploratif dan konfirmatif menunjukkan terdapat pengembangan terhadap konsep Peter Senge, yaitu terdapat 3 pemyataan untuk variabel berpikir sistem, 12 pernyataan untuk variabel keahlian pribadi, 6 pernyataan untuk variabel model-model mental, 8 pemyataan untuk variabel visi bersama, dan 10 pernyataan untuk variabel pembelajaran tim. Dalam penelitian ini juga didapatkan alat ukur atau instrumen organisasi pembelajar yang memiliki nilai validitas isi, konstruk, dan kriteria yang baik. Sehingga instrumen ini dapat dijadikan sebagai evaluasi bagi organisasi untuk menilai seberapa jauh organisasinya termasuk organisasi pembelajar.
Untuk menindaklanjuti penelitian ini ada beberapa saran dan rekomendasi yang peneliti ajukan diantaranya; sebaiknya penelitian ini dapat dilanjutkan terutama pads kedua organisasi kesehatan di atas untuk dapat memberikan gambaran mengenai organisasi pembelajar secara lebih komprehensif, selain itu untuk mendapatkan alat ukur atau instrumen organisasi pembelajar yang lebih valid sebaiknya penelitian. ini juga dilakukan pada setiap organisasi kesehatan tingkat kabupaten/kota di Indonesia.

The Development of Instrument of Learning Organization on Health Organization in The Regency/City Level (Study on Health Section Official of West Jakarta and Health Official of Bogor Regency).
Being in progress of ordinances No.22 in 1999 about territorial administration along with ordinances No.25 in 2000 about the equilibrium of central government finance and district implicated on a great deal of change in governmental implementation in Indonesia. The governmental implementation which was then more centralized changed into decentralized to the autonomous district in regency/city.
At the same time, the regency/city health organization it needed to be more professional, independent and willing to keep on studying which some literatures called as learning organization. Currently there are no a measure or an instrument of learning organ1zation which can be used by an organization to evaluate the organization. Upon that reason a study is needed to develop a measure or an instrument of learning organization to help any health organization to evaluate it's our institution.
The instrument was developed based on Peter Senge concepts (Disciplines of Learning Organization). The research used the qualitative study and quantitative study and performed in health official section of west Jakarta and health official of Bogor regency/city on July, 2002.
The result showed there were five discipline variables in the field similar to Peter Senge concept which were system thinking, personal mastery, mental models, shared vision, and team learning. The result of explorative and confirmative analysis showed that there were derivated of Peter Senge concept; three statements for the variable of system thinking, twelve statements for the variable of personal mastery, six statements for the variable of mental models, eight statements for the variable of shared vision, and ten statements for the variable of team learning. This research also developed a measure or an instrument of learning organization which was validated accords to content, construct, and criteria. So that this instrument may become an evaluation for any organization to judge it's learning condition.
The study recommended to intensify the study in the same area in order to be able to give some pictures about learning organization in a more comprehensive way. In addition, the study recommended to expanse similar study in different areas in Indonesia, so that the research can be more valid.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cecep Suherlan Alamsyah
"Analysis and monitoring system design of childhood illness management quality through Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) approach in Public Health Center in District of Cianjur, West JavaThe Infant Mortality Rate (IMR) and Children Under Five Mortality Rate in District of Cianjur are still high. To accelerate the decreasing of both 1MR and Children Under Five Mortality Rate we have implemeted various efforts. One of them is to integrate illness management by having a new approach: The Integrated Management of Childhood Illness (IMCI).
IMCI is an approach of Integrated Management of Childhood Illness which combines promotive, preventive, and curative services in five main cause of mortality in infants and children in developing countries, they are pneumonia, diarrhoea, measles, malaria, and malnutririon. Basically, IMCI is made to improve the health service quality of childhood illness.
There are some important requirements in improving the health service quality such as input standards (health personel, equipment and drugs, fund), environment standards, and process standards. All requirements should be monitoring periodically to achieve better service quality. The aims of this research is to design monitoring system of childhood illness management through IMCI approach in District Health Center, Cianjur. In determining the variables to be used as monitoring indicators, first we should analyze variables related to childhood illness management quality served by health personel. In this research we use cross sectional as research design and chi square and logistic regression as statistic analysis.
Based the analysis on several variables we get conclusion that there is relationship between health personel knowledge and childhood illness managemenet quality (p=),0l3); between supervision and childhood illness management quality (p = 0,008); and between complete equipment and drugs of IMCI and childhood illness management quality (p-0,001). Logistic regression test shows that the most significant variables to childhood illness management quality in PHC is the health personel knowledge and complete equipment and drugs.
Variables use as monitoring indicators are health personel knowledge and complete equipment and drugs which are believed as most significant factors to childhood illness management quality; supervision, because it shows relationship through bivariat test.
Based on analysis results, we prepare monitoring system design which can provide information on workers capabilities level of knowledge, complete facilities/instrument in Public Health Center based on type and existence of health personel supervision. The design is limited on input design, collection mechanism and data process, output design, spesification of need of hardware and software.
Based on analysis results, we have some suggestions to the Head of District Health Office Cianjur, They are: Periodic monitoring on variables health personel knowledge; complete facilities (equipment and drugs) and existence of worker supervision; refreshing on childhood illness management through IMCI approach to improve health personel knowledge; completing IMCI drugs and equipment in Public Health Center.
There are some suggestions regarding the results of monitoring system design, they are: The monitoring system management would be better performed by Health Planning and Information division; there should be any workers who-master computer program especially aplication program of windows, because this system is made in microsoft access program.
Hardware technology in this monitoring system programme is: PC-DOS or MS-DOS operation system version 2.0 or higher; hard disk with minimum capacity of 500 MB, RAM 8 MB, at least one floppy drive, pentium processor 100 or higher.
The computerized design should undergo several tests in order to anticipate mistakes in programming and to make it complete. In its implementation, we should do monitoring and evaluation on every step from data input, output and feedback of system to know whether the system has work smoothly.

Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) di Kabupaten Cianjur masih tinggi. Untuk mempercepat penurunan AKB dan AKABA tersebut berbagai upaya telah dijalankan, dan salah satu strateginya adalah memadukan penanganan penyakit yang selama ini masih berjalan terpisah-pisah dengan melakukan pendekatan baru yaitu Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
MTBS adalah suatu pendekatan keterpaduan balita sakit, yang memadukan pelayanan promotif, preventif serta kuratif pada lima penyakit penyebab utama kematian pada bayi dan balita di negara berkembang, yaitu pnemonia, diare, campak dan malaria serta malnutrisi. MTBS pada prinsipnya untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan pada balita sakit.
Untuk terlaksananya kualitas pelayanan kesehatan ada persyaratannya, yaitu antara lain standar masukan (petugas, sarana, dana), standar lingkungan, dan standar proses. Persyaratan tersebut hams selalu dipantau secara berkala agar kualitas pelayanan selalu terjaga. Di Kabupaten Cianjur kualitas pelayanan kesehatan pada balita dengan melakukan tatalaksana kasus pada balita sakit melalui pendekatan MTBS memperlihatkan adanya penurunan. Selain itu, pemantauan yang dilakukan masih tertuju pada bagaimana kualitas tatalaksana kasus dilakukan' oleh petugas (proses), sementara terhadap masukan (input) dan lingkungan belum dilakukan.
Tujuan penelitian ini adalah merancang sistem pemantauan kualitas tatalaksana balita sakit melalui pendekatan MTBS di Puskesmas Kabupaten Cianjur. Untuk menetapkan variabel yang akan dijadikan indikator pemantauan, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap variabel yang berhubungan dengan kualitas tatalaksana balita sakit oleh petugas Puskesmas. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian. Disain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dan analisis statistiknya menggunakan Chi square dan regresi logistik
Dari analisis terhadap beberapa variabel diperoleh basil bahwa adanya hubungan antara pengetahuan petugas dengan kualitas tatalaksana balita sakit (p = 0,013); ada hubungan antara supervisi dengan kualitas tatalaksana balita sakit (p = 0,008); ada hubungan antara kelengkapan sarana MTBS dengan kualitas tatalaksana balita sakit (p = 0,001). Selanjutnya uji regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas tatalaksana balita sakit di Puskesmas adalah variabel pengetahuan petugas dan kelengkapan sarana.
Variabel yang dijadikan indikator pemantauan, selain pengetahuan petugas dan kelengkapan sarana yang diketahui paling kuat pengaruhnya terhadap kualitas tatalaksana balita sakit, variabel supervisi juga disertakan karena pada uji bivariat terbukti berhubungan. Berdasarkan basil analisis diatas, selanjutnya disusun rancangan sistem pemantauanyang dapat menyajikan informasi mengenai tingkat kapabilitas petugas dan aspekengetahuan, kelengkapan sarana/peralatan di Puskesmas berdasarkan jenisnya, dan ada tidaknya supervisi terhadap petugas. Rancangan sistem yang disusun dibatasi pada rancangan input, mekanisme pengumpuian dan pengolahan data, rancangan output, spesifikasi kebutuhan hardware dan software.
Berdasarkan hasil analisis, saran untuk Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut: Dilakukan pemantauan secara berkala terhadap variabel pengetahuan petugas, kelengkapan sarana, dan ada tidaknya supervisi terhadap petugas; dilaksanakan penyegaran tentang tatalaksana balita sakit melalui pendekatan MTBS pada petugas Puskesmas; melengkapi sarana MTBS pads Puskesmas yang sarananya tidak lengkap.
Selanjutnya berdasarkan basil model rancangan sistem pemantauan yang dikembangkan, beberapa saran yang dikemukakan adalah sebagai berikut: Pengelolaan Sistem Pemantauan ini sebaiknya dilaksanakan oleh Urusan Perencanaan dan Informasi Kesehatan; ada tenaga yang menguasai komputer terutama yang menguasai program aplikasi yang berbasis windows mengingat sistem ini dibuat dalam program microsoft accsess; Teknologi perangkat keras yang diperlukan untuk pemrograman sistem pemantauan ini adalah: Sistem operasi PC-DOS atau MS-DOS versi 2.0 atau lebih tinggi, hard disk berkapasitas minimum 500 MB, RAM 8 MB, minimum sebuah floppy drive, processor pentium 100 atau lebih; rancangan yang dibuat secara komputerisasi hares diujicobakan terlebih dahulu agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pembuatan program dapat diketahui dan dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan; Dalam implementasinya, perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap tiap tahapan mulai dari input data sampai output dan feedback dari sistem yang berjalan"
2000
T454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika Rachma Sari
"Kolaborasi interprofesional merupakan hal penting dalam pelayanan perawatan. Stereotip dianggap sebagai hambatan dalam penerapan kolaborasi interprofesional. Artikel ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan stereotip terhadap implementasi kolaborasi tenaga kesehatan di RSUD Pasar Rebo. Penelitian ini menggunakan metoda deskriptif analitik cross sectional. Responden penelitian ini yaitu dokter, perawat, ahli gizi, dan farmasis (N=88). Sampel penelitian diambil dengan cara stratified random sampling. Penelitian menggunakan Student Stereotypes Rating Questionnaire (SSRQ) dan Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) sebagai instrumen penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara stereotip terhadap implementasi kolaborasi tenaga kesehatan (p=0.009; α=0.05). Analisis bivariat menunjukkan stereotip kategorik rendah berdasarkan 9 poin yang ada di SSRQ dan implementasi kolaborasi buruk berdasarkan partnership/shared decision making, coorperation, dan coordination mendominasi. Rekomendasi penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, mengupayakan meningkatkan hubungan interpersonal dengan tenaga kesehatan lainnya melalui pendekatan pemahaman peran masing-masing tenaga kesehatan dan memfasilitasi upaya tersebut merupakan hal yang penting.

Interprofessional collaboration is essential in healthcare. Stereotype are considered as barrier for interprofessional collaboration practice. This aim of this article is to prove the significant correlation between stereotype and interprofessional collaboration practice in RSUD Pasar Rebo. Cross sectional analytical was used in this study. Participants were healthcare provider which consist of physician, nurse, pharmacy, and dietitian in RSUD Pasar Rebo (N=88). This study used Student Stereotypes Rating Questionnaire (SSRQ) and Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) as its instrument. Sample were taken by stratified random sampling.
This study showed there is correlation between stereotype with interprofessional collaboration practice (p=0.009; α=0.05). The result of bivariate analysis showed that low stereotype based on 9 point in SSRQ and bad implementation interprofessional collaboration based on partnership/shared decision making, cooperation, and coordination dominates. Based on result, to do other research is needed, the effort to do more in interpersonal relationship with understanding of each role member team, and facilitate this effort is important.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>