Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131009 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Suyanti
"Tulisan ini mengungkapkan masalah kegagalan kebijaksanaan Sanering dalam menaham laju inflasi pada masa Ekonomi Terpimpin. Kebijaksanaan Sanering tersebut oleh pemerintah dilakukan pada awal dan menjelang berakhirnya pembangunan sistem ekonomi terpimpin dengan munculnya pemerintahan baru dibawah Presiden Soeharto. Kebijaksanaan sanering tersebut kemudian dikenal sebagai Tindakan Moneter I, tanggal 25 Agustus 1959 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 89 dan dan Tindakan Sanering II pada tanggal 13 I7esember 1965 dalam Lembaran Negara No. 102 tahun 1965.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Tindakan Moneter 1, secara kuantitatif berhasil mencapai target kebi/aksanaan, yaitu:
a. Pengurangan secara drastis jumlah uang yang beredar, yang menurut pemerintah sebagai sumber yang paling mendasar terjadinya inflasi.
b. Sebagai sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I yang telah mencetak uang baru untuk memenuhi pinjaman pemerintah tersebut.
Dengan tindakan Sanering 1, pemerintah berhasil menghimpun dana melalui penurunan nilai uang Rp 500 dan Rp 1000 masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100 dan pembekuan sebagian tabungan masyarakat sebesar Rp 8264 juta. Sebagian dari jumlah tersebut dapat menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I, sehingga hutang pemerintah pada Bank Indonesia, khususnya dalam Triwulan 111/1959 menjadi minus sebesar Rp 4154, (Lampiran II Sub A) sedangkan jumlah uang yang beredar menjadi minus sebesar Rp 7622 juta (Lampiran II Sub E).
Tindakan Moneter I tersebut juga berhasil mengurangi prosentasi kenaikan inflasi yang termasuk dalam golongan inflasi berat inflasi diatas 30%). Pada tahun 1958 inflasi telah mencapai kenaikan 45,76% dan pada tahun 1959 dengan kebijakan Sanering I intensitas inflasi hanya mengalami kenaikan 22,22%. Namun harga tetap menunjukkan kenaikan.
Tetapi sejak tahun 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 1962 inflasi telah meningkat menjadi hyperinflasi. Sejak saat itu harga barangbarang pada umumnya dan tahun ke tahun semakin tidak terkendali.
Pada bulan November tahun 1965 telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 600%. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 160 M/Migas/1965, pemerintah telah menaikan harga bensin dari Rp 4 per liter menjadi Rp 250 per liter, sedangkan harga minyak tanah naik menjadi Rp 100. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tersebut mendorong kenaikan harga barang-barang pada umumnya.
Kenaikan tersebut mendorong pemerintah untuk kembali melaksanakan tindakan Sanering yang dikenal sebagai Tindakan Moneter II, pada tanggai 13 Desember 1965 untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan harapan pemerintah berhasil mengendalikan lajunya hyperinflasi tersebut. Namun dengan Tindakan Moneter II, pemerintah secara kuantitatif tidak berhasil mencapai target kebijaksanaan yaitu menutup hutang pemerintah pada Bank Indonesia dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Karena dana yang berhasil dihimpun oleh pemerintah melalui penurunan nilai rupiah (Rp 1000 uang lama) menjadi (Rp 1 uang baru) dengan pajak penukaran 10% tidak berhasil menutup hutang pemerintah pada Bank Indonesia pada Triwulan I tahun 1966 telah bertambah sebesar Rp 3.180 juta. (Lampiran XIV Sub E).
Beberapa hari setelah pemerintah melakukan Tindakan Moneter II, pada tanggal 13 Desember 1959 beberapa hari kemudian pada tanggal 3 Januari 1966 pemerintah kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 400%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No. 216/M/Migas11965, pemerintah menaikkan harga bensin dari Rp 250 per liter menjadi Rp 1000 per liter, minyak tanah dari Rp 100 per liter menjadi Rp 400 per liter.
Dengan adanya desakan dari masyarakat untuk segera menurunkan harga BBM tersebut, maka pada tanggal 21 Ianuari 1966 pemerintah segera menurunkan harga bensin sebesar 50%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No. 34/M/Migas/1966 harga bensin yang semula Rp 1000 turun menjadi Rp 500 per liter dan harga minyak tanah dari Rp 400 per liter turun menjadi Rp 200 per liter.
Dengan kenaikan harga bahan bakar tersebut dengan sendirinya diikuti dengan kenaikan harga-harga baru lainnya yang mendorong inflasi mencapai puncaknya pada tahun 1966 naik sebesar 635,26%.
Untuk menganalisis causal faktor perkembangan intensitas inflasi yang semakin tidak terkendali sebagaimana tersebut di atas, sehingga dapat menjawab permasalahan yang telah penulis rumuskan sebagaimana tersebut diatas, selain menggunakan beberapa temuan teori inflasi sebagai dasar untuk menganalisa permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka penulis bertitik tolak dari Teori Transformasi struktur oleh Hollis Chinery, yang menekankan bahwa sebagai modal utama Pembangunan Ekonomi adalah suatu negara yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional (sub sistem) ke sektor industri.
Karena tulisan ini penulis tempatkan dalam kerangka metodologi struktural, maka masalah meningkatnya inflasi yang semakin tidak terkendali pada masa Ekonomi Terpimpin, sangat berkaitan dengan beberapa kelemahan kebijakan sistem ekonomi yang dirumuskan oleh kelompok radikal khususnya PKI, militer yang mulai masuk dalam perekonomian, maupun Presiden Soekarno dan pendukungnya khusus PNI yang berhaluan kiri yang bertindak sebagai agent of change telah gagal mentransformasi struktur ekonomi kolonial ke nasional (sektor ekonomi yang bersifat esensial dikuasai/ dikelola penguasa pribumi).
Dengan gagalnya kelompok radikal mentransformasi struktur ekonomi kita yang terletak pada sektor tradisional (pertanian) menuju sektor industri telah mengakibatkan terjadinya penurunan Produksi Nasional Bruto yaitu rata-rata pertahun hanya mencapai 2%. Pada masa ekonomi liberal, pemerintah telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2%, perkembangan penduduk Indonesia rata-rata pertahun pada masa Ekonomi Terpimpin mencapai 2,3% maka pertumbuhan ekonomi perkapita menjadi minus.
Terjadinya penurunan produksi nasional dan pertumbuhan ekonomi perkapita yang telah mengalami stagnasi secara langsung berdampak pada menurunnya penerimaan Negara. Dengan semakin menurunnya penerimaan Negara secara maka untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah terus menerus menggunakan anggaran defisit dengan jumlah semakin meningkat. Bahkan sejak tahun 1962 defisit APBN telah melampaui penerimaannya yang mengakibatkan intensitas hyperinflasi semakin tidak terkendali, dengan semakin menurunnya produk nasional kita dan menurunnya penerimaan Negara kita secara bersama.
Dalam tulisan ini dibahas bagaimana proses transformasi sosial mengalami kemunduran yang berdampak pada menurunnya Produk Nasional Bruto yang berakibat menurunnya pendapatan pemerintah yang pada gilirannya mendorong terjadinya defisit anggaran sebagai dasar untuk menganalisa masalah mengapa kebijakan Sanering pada masa ekonomi terpimpin gagal mengendalikan inflasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T11120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gobel, Ruddy Kaharudin
"Krisis ekonomi yang berlangsung sejak tahun 1997, ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Depresiasi tersebut adalah merupakan yang paling parah diantara negara-negara yang terkena krisis lainnya. Sekalipun persoalan krisis ekonomi sangat kompleks, pemerintah dan dengan dukungan IMF, menerapkan kebijakan tight money policy dengan tingkat bunga tinggi untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kebijakan tersebut di lakukan secara ekstrem dengan menaikkan level tingkat bunga sampai kisaran 70 persen dan dilakukan dalam periode yang sangat lama (3 tahun). Akan tetapi, hasil analisis dalam tesis ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak efektif dilakukan dan bahkan memberikan dampak sebaliknya. Sebab gagalnya kebijakan tersebut adalah inflasi yang tidak terkontrol dan tidak signifikan dipengaruhi oleh variabel-variabel moneter, melainkan hanya dipengaruhi oleh ekspaktasi yang berlebihan terhadap membuniknya krisis ekonomi. Sebab lain kegagalan kebijakan tersebut adalah kondisi perbankan yang tidak sehat serta adanya kecenderungan nilai tukar yang dipengaruhi oleh variabel non moneter seperti political announcement."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yusuf
"ABSTRACT
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui di antara keempat jalur transmisi kebijakan moneter, yaitu jalur moneter langsung, jalur suku bunga, jalur kredit, dan jalur nilai tukar yang lebih efektif dalam implementasi kebijakan moneter dengan sasaran tunggal inflasi di Indonesia dan mengetahui variabel yang paling cocok digunakan sebagai sasaran operasional pada jalur yang paling efektif. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan analisis Vector Autoaggresion (VAR). Penelitian ini merupakan studi kasus untuk Indonesia periode tahun 2000 triwulan I samppai tahun 2013 triwulan III. Data bersumber dari statistik ekonomi dan keuangan Indonesia (SEKI), laporan tahunan Bank Indonesia, IMF finance Statistics, dan publikasi Badan Pusat Statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jalur suku bunga merupakan jalur yang paling efektif dibanding dengan jalur jalur lainnya. Analisis yang dilakukan melalui uji impulse response dan uji variance decompotition menggambarkan kendalan penggunaan jalur suku bunga dalam mencapai sasaran akhir inflasi, terlihat dari respon yang diberikan oleh inflasi dan varians dari variabel-variabel yang terlibat dalam jalur ini. Pengujian pada jalur suku bunga menunjukkan bahwa shoc RPUAB mendapat respon yang kuat dan juga cepat dari inflasi sehingga cocok digunakan sebagai sasaran operasional dalam mencapai sasaran akhr inflasi."
Direktorat Jenderal Pembendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2016
336 ITR 1:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Hengky Gongkon
"Jatuhnya mata uang Bath Thailand merupakan awal dari krisis Asia yang selanjutnya menimpa Korea Selatan dan Indonesia. Won dan Rupiah depresiasi nilainya yang mengakibatkan kedua negara mengalami krisis yang sangat parah dan mengguncang sistem perekonomian kedua negara secara menyeluruh. Kedua negara meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis di negaranya.
IMF sebagai lembaga keuangan internasional memberikan bantuan likuiditas terhadap negara-negara anggota. Program bantuan IMF diiringi dengan prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara penerima bantuan. Prasyarat tersebut tertuang dalam nota kesepakatan yang disebut Letter of Intent (Lol). Butir-butir kesepakatan itu terkait dengan program reformasi yang mengandung nilai-nilai liberal.
Tesis ini menggunakan konsep neo-liberal untuk menjelaskan butir-butir prasyarat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara. Butir-butir prasyarat ini diantaranya : Kebijakan moneter dan fiskal ketat, kebijakan orientasi ekspor, liberalisasi sistem keuangan, penegakan iklim transparansi, restraIrturisasi dan privatisasi, serta deregulasi kebijakan ekonomi yang berorientasi terhadap nilai-nilai pasar bebas. Kebijakan moneter dan fiskal ketat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara menyebabkan kondisi ekonomi kedua negara semakin terpuruk. Nilai mata uang (kurs) semakin terdepresiasi, cadangan devisa semakin menipis, dan besarnya biaya sosial yang harus ditanggung oleh kedua negara seperti semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan serta instabilitas politik.
Teori developmental state digunakan dalam tesis ini untuk menjelaskan pengaruh peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Teori ini menjelaskan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik ditujukan untuk menciptakan stabilitas, dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi ditujukan untuk mempercepat perturnbuhan ekonomi. Kredibilitas dan kepekaan terhadap krisis, yang terkait dengan konsistensi, kejelasan motivasi, tranparansi, keseriusan dalam reformasi, pentingnya stabilitas jangka pendek, serta kebijakan yang cenderung memihak rakyat kecil merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terciptanya stabilitas. Restrukturisasi sektor keuangan dan korporasi secara bijak, seperti terdapatnya mekanisme aturan yang jelas, tindakan cepat dalam merestrukturisasi hutang swasta, dan rnemperbaiki kinerja manajemen merupakan faktor-faktor yang pempercepat bangkitnya kembali sektor dunia usaha. Asumsi dalam tesis ini, jika kondisi stabil dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali maka proses pemulihan ekonomi akan berjalan dengan cepat.
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah eksplanatit di mana menghubungkan dua variabel dengan menggunakan teori-teori sebagai alat untuk menganalisa hubungan kousal yang terjadi. Diteliti keterkaitan hubungan antara peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Dalam interaksinya dengan IMF, peran aktif pemerintah Korea Selatan dalam aspek sosial-politik dan ekonomi menyebabkan kondisi stabil tetap terjaga dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi menyebabkan sektor dunia usaha cepat bangkit kembali.
Tesis ini membuktikan, dalam berinteraksi dengan IMF, diperlukan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonorni agar kondisi stabil tetap terjaga dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali dengan cepat. Terbukti, dengan kondisi politik yang stabil dan bangkit kembalinya sektor dunia usaha menyebabkan Korea Selatan lebih cepat pulih dan krisis dibandingkan Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Bank Indonesia, 2005
332.1 SEJ II
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ngaisyah
"Tesis ini meneliti efektifitas kebijakan moneter yang meliputi pengawasan pada suku bunga, base money, dan Net International Reserve (NIR) dalam menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama periode fund supported program dari Dana Moneter Internasional (IMF). Seperti diketahui, ketika krisis keuangan melanda Asia tahun 1997, nilai tukar rupiah merosot tajam yang secara fundamental ekonomi sulit diperbaiki. IMF sebagai badan yang membantu Indonesia dalam mengatasi krisis tersebut memberikan beberapa saran kebijakan moneter yang tercantum dalam letter of intent (LoI) guna menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dikatakan bahwa kebijakan moneter akan diperketat atau dengan kata lain tingkat suku bunga akan dinaikkan yang didukung dengan intervensi mata uang asing untuk meningkatkan kepercayaan serta memberikan arahan yang jelas bagi pasar. Selain itu kebijakan moneter juga akan memfokuskan pada pembatasan pengaruh depresiasi nilai tukar terhadap inflasi. Untuk mendukung kebijakan tersebut, IMF menyarankan pemerintah untuk mengatur besamya suku bunga, base money, dan NIR.
Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah kebijakan moneter yang diambil pemerintah yang meliputi pengawasan terhadap suku bunga, base money, dan NIR mampu menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama periode fund supported program dari IMF?
Penelitian ini menggunakan model Vector Autoregressions atau sering disebut dengan VARs. Dalam model ini setiap kelompok variabel dinyatakan dalam fungsi linier dari nilai masa lampau variabel itu sendiri, nilai masa lampau dari variabel lainnya, serta nilai konstanta atau fungsi dari waktu. Penelitian ini juga menspesifikasi peubah-peubah endogen dan eksogen yang diyakini berinteraksi sehingga harus dimasukkan ke dalam modelnya serta jumlah selang terbanyak yang diperlukan untuk menangkap pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Alasan pernilihan VARs berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Sims (1980) yang meyakini bahwa VAR mempunyai kemampuan lebih baik dalam memprediksi dibanding model persamaan struktural.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya instrumen base money yang mempunyai hubungan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Artinya, adanya perubahan pada base money akan mengakibatkan perubahan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sedangkan untuk instrumen tingkat bunga dan NIR, penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara kedua instrumen tersebut dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui instrumen suku bunga, base money, dan NIR yang direkomendasikan oleh IMF hanya instrumen base money yang dapat diterapkan dalam menangani krisis keuangan di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu saran yang bisa diberikan kepada otoritas moneter adalah tetap meneruskan kebijakan nilai tukar mengambang secara konsiten, dengan money-base sebagai patokan, Intervensi di pasar valas dilakukan hanya untuk mengurangi fluktuasi jangka pendek atau untuk menjaga likuidilas pasar. Upaya intervensi untuk sterilisasi atau meredam volatilitas harus dihindari. Sebab sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar rupiah sering terdepresiasi disertai volatilitas yang tinggi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosia Setiadi
"Tiongkok dan India merupakan kedua negara dengan tingkat pertumbuhan PDB tertinggi di dunia. Kesuksesan kedua negara tersebut dimulai sejak kedua negara tersebut memutuskan untuk melakukan liberalisasi pasar. Namun, kedua negara tersebut memiliki perbedaan dalam kebijakan moneter dan rezim nilai tukarnya, seperti kebijakan moneter Tiongkok yang berbasis Monetary Aggregate Targeting dan rezim nilai tukar tetap, dengan India yang kebijakan moneternya berbasis Inflation Targeting Framework dan rezim nilai tukar mengambang. Untuk melihat komparasi peranan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi dari Tiongkok dan India, penelitian ini menggunakan analisis VAR dan OLS dari tahun 1978 hingga 2020 terhadap pertumbuhan PDB sebagai variabel dependen dan jumlah uang beredar, tingkat inflasi, current account balance, tingkat suku bunga riil, dan policy rate sebagai variabel independen. Hasil yang didapat adalah variabel-variabel kebijakan moneter Tiongkok seperti jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDB Tiongkok, sedangkan variabel-variabel kebijakan moneter India tidak ada yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan PDB India. Hasil dari penelitian ini juga memberikan referensi dan saran bagi Bank Indonesia untuk lebih memperhatikan lagi kontribusi kebijakan moneternya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, lebih meningkatkan kinerja tingkat suku bunga dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih stabil, dan menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.

China and India are two countries with the highest GDP growth rates in the world. The success of the two countries began when the two countries decided to carry out market liberalization. However, the two countries have differences in monetary policy and exchange rate regimes, such as China's monetary policy based on Monetary Aggregate Targeting and a fixed exchange rate regime, with India whose monetary policy is based on the Inflation Targeting Framework and floating exchange rate regime. To compare the role of monetary policy on economic growth from China and India, this study uses VAR and OLS analysis from 1978 to 2020 on GDP growth as the dependent variable and the money supply, inflation rate, current account balance, real interest rates, and policy rate as an independent variable. The results obtained that China's monetary policy variables such as the money supply and interest rates have a significant effect on China's GDP growth, while India's monetary policy variables do not significantly affect India's GDP growth. The results of this study also provide references and suggestions for Bank Indonesia to pay more attention to the contribution of monetary policy to Indonesia's economic growth, further improve the performance of interest rates in promoting more stable Indonesia's economic growth, and become a reference for further research.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Doddy Ariefianto
"Tesis ini melakukan penelitian pada keberadaan dan karakteristik ekonomi co-movement mata uang ASEAN 4. Secara lebih spesifik, penelitian ditujukan untuk menjawab tiga pertanyaan, yakni (1) apakah pergerakan bersama tersebut berarti secara statistik?, (2) jika signifikan, mekanisme fundamental apakah yang melandasinya? Studi literatur lebih lanjut menunjukkan kemungkinan teori Optiumm Currency Area (OCA) berperan sebagai penjelas dan (3) apakah fenomena co-movement ini adalah dampak faktor global (pergerakan JPY).
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, tesis ini menggunakan model Vecfor Error Correction Model (VECM) untuk merangkum dinamika jangka pendek dan jangka panjang co-movement mata uang ASEAN 4 dan variabel karakteristik OCA. Stalistik koefisien yang melebihi nilai kritis merupakan syarat untuk menyatakan bahwa fenomena co-movement mata uang ASEAN 4 adalah berarti dan dapat dijelaskan oleh OCA. Statistik yang dianalisis ini meliputi: koelisien kointegrasi, stabilitas, dan pemenuhan persyaratan asumsi klasik. Variabel karakteristik OCA yang dipilih meliputi jumlah uang bcredar (MI), tingkat bunga deposito, inflasi dan pendapatan riil domestik. Semua variabel diukur terhadap suatu benchmark tertentu, yakni Amerika Serikat, mengingat co-movement mata uang ASEAN 4 diamati terhadap USD. Disamping itu pergerakan nilai tukar USD/JPY juga dimasudkan sebagai variabel kontrol, untuk membuka kemungkinan keberadaan faktor global lain yang berpengaruh pada co-movement ASEAN 4.
lnferensi terhadap hasil estimasi memberikan tiga kesimpulan panting, yakni:
1. Co-movement diantara mata uang ASEAN4 merupakan suatu fenomena yang kurang didukung oleh data. Hal ini bisa dilihat dari tingkat signifikansi yang rendah dari hasil estimasi persamaan jangka pendek dan jangka panjang baik pada OCA bivariat maupun model lengkap. Disamping itu tanda dari koeflsien yang diperoleh juga tidak homogen.
2. Teori OCA tidak terlihat cukup robust didalam menjelaskan fenomena co-movement yang ada. Hal ini berlaku baik pada model Iengkap maupun model bivariat. Indikasi atas hal ini dapat dilihat dari rendahnya signifikansi dari variabel eksogen didalam ECM.
3. Keberadaan OCA juga merupakan fenomena global. Hal ini terindikasi dari homogenitas tanda koefisien dan juga signifikansi parameter yangcukup baik dari variabel pengaruh JPY."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syofriza Syofyan
"Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih menggunakan paradigma lama yang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur yang dilalui oleh sebuah kebijakan moneter untuk mempengaruhi kondisi perekonomian. Mekanisme transmisi kebijakan moneter selama ini menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI), dapat mengendalikan M (0) dan dengan asumsi multiplier uang (Money Multiplier) tetap, BI akan dapat mengendalikan M(1} dan M(2). Melalui pengendalian M(1) dan M(2), BI dapat mempengaruhi PDB Nominal atau permintaan agregat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20107
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>