Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56557 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Miftahuddin
"Munculnya radikalisme di kalangan kaum muda merupakan fenomena yang penting untuk diamati. Di tengah kehidupan sebuah bangsa yang tengah menapaki masa transisi menuju demokrasi, munculnya radikalisme politik bisa dimaknai secara ganda: positif dan negatif. Secara positif ia bisa dipandang sebagai daya dorong yang mempercepat proses demokratisasi, tetapi secara negatif bisa dimaknai sebagai ancarnan bagi tegaknya demokrasi. Dalam tesis ini peneliti lebih melihat radikalisasi pemuda sebagai hal yang positif dalam merombak sistem sosial politik yang lama, menuju ke arah sistem baru yang lebih adil dan demokratis.
Tesis ini memfokuskan perhatian pada proses terjadinya radikalisasi politik dalam tubuh Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang ikut dalam Pemilu 1999. Sejak awal, PRD merupakan wadah tempat anak-anak muda melakukan serangkaian tindakan radikal dalam menentang kebijakan rezim Orde Baru Soeharto.
Dalam terminologi ilmu sosial radikalisme merupakan: suatu paham atau aliran dalam gerakan sosial politik, yang ingin membangun suatu dunia atau tatanan sosial politik yang lebih baik; dengan cara menghancurkan akar kejahatan sosial; menghilangkan institusi-institusi yang dianggap menjadi penghalang bagi tegaknya demokrasi; dengan program membangun sistem politik ekonomi yang demokratis dan bervisi kerakyatan. Sifat gerakan radikal adalah revolusioner (bukan evolusioner, reformis, atau gradual), dan untuk itu gerakan ini senantiasa menantang kemapanan kekuasaan yang tidak populis.
Penelitian ini-bersifat kualitatif, dengan mencoba memahami pemikiran, sikap dan sifat dari tindakan yang diambil oleh PRD dalam merespons perkembangan sosial politik yang ada, baik pada level lokal maupun nasional. Untuk kepentingan pemahaman itu, peneliti mengumpulkan bahan-bahan (data-data) melalui tiga cara; kajian dokumentasi dan literatur, wawancara mendalam, dan observasi.
Yang menjadi pedoman awal penelitian ini adalah pembacaan terhadap sejarah perjalanan bangsa secara umum, yang dengan jelas menempatkan pemuda sebagai salah satu sosok sentral. Di dalam banyak momentum penting, seringkali kaum muda tampil ke depan, memberikan jawaban dan solusi ketika terjadi kebuntuan politik. Eksistensi kaum muda yang demikian ini, dengan jelas tergambar dalam khazanah sejarah bangsa, yang dilukiskan dengan angkatan-angkatan; Angkatan 1908, Angkatan 28, Angkatan 45, dan juga Angkatan 1966. Dan mungkin Angkatan 1998!
Pada saat yang sama Peneliti juga menyaksikan ada sekelompok kaum muda yang tidak diukir dengan tinta emas sejarah seperti itu, tetapi sesungguhnya mereka juga memiliki andil dalam merobohkan struktur politik yang korup dan menindas. Mereka berjuang di tingkat akar rumput (grassroots) dengan penderitaan fisik dan mental karena berbagai tekanan; baik dari penguasa maupun dari masyarakatnya sendiri. Tetapi sesungguhnya mereka berhasil mewujudkan cita-cita mereka, yang antara lain berupa; `Pencabutan Dwi Fungsi ABRI', `Pencabutan Paket 5 W Politik', `Penurunan Soeharto', `Referendum untuk Rakyat Maubere'. Mereka itu adalah para aktivis Partai Rakyat Demokratik.
Dengan menggunakan kerangka strukturasi Giddens-yang menunjukkan adanya sifat dualitas dalam struktur (duality ofstructur)--penelitian ini menunjukkan bahwa meski Orde Baru dengan seluruh perangkat dan sumber daya yang mereka miliki (rules and resources) telah mencoba mendominasi seluruh aktor yang ada di bawahnya, tetap saja ada ruang dan cara yang cukup bagi aktor untuk melakukan 'perlawanan' terhadap struktur. Bahkan dalam banyak hal, aktor justru memanfaatkan kebijakan yang diterapkan oleh struktur sebagai `alat' untuk melawan. Gerakan kaum muda yang semula hanya bersifat protes sosial, karena ditumpas secara represif akhimya malah merubah gerakan menjadi bersifat ideologis dan radikal.
Tampak ada korelasi yang signifikan antara tingkat represifitas penguasa dengan tingkat resistensi yang diberikan. Mengikuti teori pegas, semakin kuat penekanan semakin kuat pula tingkat perlawanan.
Tesis ini berkesimpulan, pertama, konsep teoritik strukturasi Giddens relevan untuk menjelaskan tentang proses terjadinya radikalisme kaum muda (meski tesis ini hanya mengeksplorasi satu aspek dari tiga aspek utama yang disebut Giddens, yaitu aspek struktur `Dominasi'). Kedua, konsep radikalisme Popper berlaku dalam radikalisme PRD dengan catatan radikalisme PRD tidak persis se-ekstrim konstruksi Popper yang menyarankan adanya `pembunuhan, pengusiran dan pendeportasian'.
Ketiga, tentang kemunculan radikalisme, penelitian ini dalam beberapa hal mengukuhkan teori Jocano, tetapi ada perbedaan mendasar, jika Jocano menunjukkan radikalisme muncul sebagai respons terhadap modernisasi, PRD tidak pernah menentang atau menolak modernisasi. Radikalisme PRD hanya menentang dan melawan setiap aspek kehduoan yang mengancam tegaknya demokrasi dan HAM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Effendi Anas
"Dari perspektif Emitai Etzioni dalam buku "Organisasi modern" sebuah organisasi dikatakan efektif manakala fungsi yang melekat pada dirinya dapat dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya bila fungsi-fungsi itu tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya maka partai tersebut dikatakan tidak efektif. Pelaksanaan fungsi sebagai ukuran dari efektifitas sebuah organisasi disebabkan karena pada dasarnya fungsi merupakan manifestasi dari pelaksanaan tujuan organisasi.
Beberapa pengamat politik di Indonesia mengambil kesimpulan bahwa, perkembangan organisasi sosial politik selama Orde Baru tidak dapat memerankan fungsi-fungsinya secara maksimal. Hal ini didasarkan kepada fakta bahwa semenjak Orde Baru negara tampil sebagai kekuatan yang dominan bahkan organisasi sosial politik menjadi fenomena kelembagaan yang muncul dari domain negara bukan dari domain masyarakat sehingga keberadaan organisasi politik sangat tergantung dan dipengaruhi oleh negara.
Untuk mengetahui tingkat efektifitas fungsi organisasi sosial politik dilakukan dengan metode survei melalui observasi lapangan dengan melihat praktek kinerja organisasi, di samping itu ditempuh pula wawancara mendalam dengan kalangan tokoh serta mempelajari keputakaan yang berkaitan dengan perkembangan organisasi sosial politik sekaligus diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi dengan pendekatan ekploratif untuk mencari tahu sebab-sebab atau pengaruh terhadap efektifitas fungsi organisasi tersebut.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa dari 8 fungsi yang diteliti dengan studi kasus Partai Persatuan Pembangunan ditemukan bukti bahwa 4 fungsi dapat dikatakan berhasil dilaksanakan secara efektif yaitu : fungsi rekrutmen politik, partisipasi politik, sarana pembuat kebijakan dan sarana pengatur konflik, sedangkan 4 fungsi lainnya tergolong gagal dilaksanakan oleh organisasi ini meliputi : fungsi sosialisasi politik, komunikasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan serta fungsi kontrol terhadap eksekutif. Fungsi yang berhasil dan fungsi yang gagal tersebut di atas secara cukup signifikan dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal organisasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faridah
"Golkar adalah organisasi politik di Indonesia yang selalu menempati urutan tertinggi dalam perolehan suara pada setiap Pemilu. Hal ini selain karena Partai Golkar didukung oleh struktur organisasi dan kelembagaan yang sudah mapan, juga karena telah memiliki pengala man yang cukup matang dalam pemenangan suara dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Namun, kesuksesan tersebut belum didukung oleh penerapan kebijakan yang lebih responsif gender yang berakibat pada rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai Golkar dan di parlemen. Jadi, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Partai Golkar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen pada periode kepengurusan 1999 - 2004.
Penelitian ini terkait erat dengan teori budaya patriarki dari Gorda Lerner dan Aristoteles, teori gender dari Arid Budiman dan Nunuk P Murniati, teen Kuota dari Drude Dahlerup, teori kebijakan dari Friedrick dan Anderson, teen demokrasi dari Robert Dahl, serta mempunyai signifikansi dengan pengembangan teori Partai Politik yang terkait erat dengan fungsi Partai Politik dan Miriam Budiarjo.Dari teori tersebut, terdapat signifikansi praktis dalam upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di kepengurusan Partai Golkar khusiisnya dan di Parlemen umumnya.
Fokus analisis penelitian ini adalah pada Partai Golkar dengan variabel yang diamati adalah kebijakan dan fungsi Golkar sebagai Partai politik, sosialisasi politik , dan sistem rekruitmen dalam partai Golkar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian bersumber dari hasil wawancara mendalam (dept interview) terhadap 15 orang informan kunci (key informant). Teknik penentuan informan kunci dengan metode snow ball. Data sekunder meneakup studi kepustakaan dan publikasi ilmiah serta laporan lembaga resin yang terkait dan dapat dipertanggungjawabkan secara akadeniik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai Partai, Golkar memiliki kebijakan politik yang jelas, dengan mekanisme (struktur dan kerangka) organisasi dan pengkaderan yang modem, terstruktur dan sistematis dengan poly rekruitmen kader yang baik. Tapi, budaya patriarki sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Gorda Lerner dan Aristoteles masih mengakar kuat di tubuh Partai Golkar yang berimplikasi pada rasionalisasi penempatan pengurus perempuan dalam struktur partai menjadi tidak signifikan dengan jumlah kader perempuan Partai Golkar dan kurangnya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai Golkar juga belum maksimal dalam menjalankan fungsinya secara lebih "demokratis" sebagaimana teori Robert Dahl, yang berimplikasi pada kebijakan yang bias gender yang mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen, yalmi hanya berhasil menempatkan 16 orang kader perempuan atau 11,76% dari 136 kursi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pemilu 1999 lalu..rumlah yang jaub dari target kuota yang disarankan dalam UU Partai Politik.

Golkar is a political organization in Indonesia which always in the highest position in every election. It is not only because the party is supported by an establish structure of organization and institution, but also its vivid experience in winning the elections. However, its success has not been supported by more responsive politic implementation on gender which causes lower-level women representative ness in the board of the organization and in the parliament. Thus, the problem of the research is that how is the policy of the party in increasing women representative ness in parliament in the period of 1999-2004.
This research has a strong attachment with theory of culture of patriarchy from Gerda Lerner and Aristoteles, theory off gender from Arief Budiman and Nunuk P Murniati, theory c; quota from Drude Dahlerup, theory of policy from Friedrick and Anderson, theory of democracy from Robert Dahl, theory and relates to development theory of political party from Miriam Budiardjo. From the theories, there is a practical significance of efforts in endorsing women representative ness in the board of the party and in parliament in general,
The focus of the research is on Golkar Party and variables of the research are policy and function of the party as a political party, political socialization, and recruitment system in the party. The research applies a qualitative approach. Data resources of the research are from in=depth interview on 15 key informants using snowball technique. Secondary data includes literature study, scientific publication, and also official reports from related institutions,
The result of the research shows that as a party, Golkar has a clear policy, with its mechanism (structure and framework) of organization and modern, structured and systematic forming of cadre with good recruitment system. However, culture of women in its board and representative in parliament. The party has also less afford in implementing its function to be more democratic. It implicates to bias gender policy and lower-level of women representative ness in parliament. The party only got 16 representatives or 11, 76% from 136 seats of the party in parliament a results of 1999 election and less then quota targeted by the law of Political Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan Abdullah
"Sebuah kelompok yang mengidentifikasi dirinya sebagai partai politik berideologi Islam namun bergerak di luar sistem politik yang berlaku merupakan fenomena menarik untuk dieksplorasi. Orientasi politiknya yang lebih menekankan kesadaran masyarakat alih-alih pemenangan parlemen, pemikiran politiknya yang antidemokrasi, serta cita-citanya untuk menegakkan negara khilafah dan memberlakukan hukum Islam secara menyeluruh dan serentak sudah pasti menimbulkan keunikan tersendiri berkaitan dengan struktur dan kepemimpinan, fungsi politik, basis pendukung, ideologi, dan cara-cara dalam melakukan perubahan. Kelompok itu bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan HTI sebagai gerakan politik Islam ekstraparlementer dan cara-cara yang ia tempuh untuk mewujudkan cita-citanya. Teori dan konsep-konsep yang relevan dengan penelitian ini dirangkai ke dalam dua kerangka konsep. Teori utama yang digunakan untuk mengetahui profil HTI sebagai gerakan politik Islam ekstraparlementer adalah konsep Tony Fitzpatrick (1995) tentang oposisi ekstraparlementer dan konsep Philo C. Wasbum (1992) tentang aktivitas politik nonrutin. Teori penjelasnya adalah teori tentang partai politik dari Arnold K. Sherman & Aliza Kolker (1987), konsep gerakan sosial dari Charles L. Harper (1989), dan kerangka konsep Dwight B. Billings (1990) tentang oposisi berbasis agama. Adapun teori utama yang digunakan untuk mengetahui cara-cara yang ditempuh HTI adalah teori Charles Tilly (1978) tentang model mobilisasi dan kerangka konsep Mutafa Rejai (1977) tentang tipologi dan strategi revolusi. Sebagai teori pembanding, peneliti menggunakan teori tentang orientasi kebudayaan dalam transformasi sosial dan revolusi yang dipaparkan oleh S.N. Eisenstadt (1986).
Temuan-temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa HTI lebih merupakan organisasi gerakan alih-alih partai politik. Ciri ekstraparlementer dari gerakannya dapat dilihat dari curahan konsentrasinya pada pembinaan masyarakat dan penolakannya untuk terlibat dalam pemilu, dari mobilisasinya di seputar isu tunggal berupa kewajiban kaum muslim untuk mendirikan negara khilafah, dan dari pemaknaannya terhadap politik sebagai kultur tandingan, yakni sebagai aktivitas yang mulia dan wajib, sebagai lawan dari anggapan muslim kontemporer bahwa politik itu kotor dan, karenanya, patut dijauhi.
Aktivitas politik nonrutin dari organisasi ini sesungguhnya sangat rentan dengan tuduhan makar, subversi, atau kudeta. Namun, kepiawaiannya dalam mereduksi pandangan ideologis dan keagamaan dalam komunikasi politik membuat masyarakat dan negara tidak memberikan reaksi tajam terhadap ide penegakan negara khilafah yang diusungnya.
Kemampuan inilah yang tampaknya membedakan HTI dengan HT di negara-negara lain yang hampir seluruhnya rnendapat perlakukan represif dari negara.
Dari segi organisasi, HTI bisa dikatakan merupakan organisasi yang berkembang semakin solid. Sebagai kelompok revolusioner, ia merupakan organisasi politik, bukan paramiliter. Pembagian kerjanya tergolong rapi dan sentralitas kebijakan maupun kegiatannya tergolong sangat tinggi. Ia dikendalikan secara tertutup dan memiliki ruang perbedaan pendapat yang sempit. Dari segi mobilisasi, penguasaannya terhadap sumberdaya tergolong masih sangat lemah. Ia hanya memiliki sumberdaya normatif (berupa keanggotaan atau partisipasi aktif kader) dan utilitarian (iuran anggota, satu kantor sekretariat resmi, dan terbitan dengan oplah hanya belasan ribu hingga ratusan ribu). Ia sama sekali tidak memiliki sumberdaya koersif (persenjataan, angkatan perang, atau teknologi canggih). Dari segi cara mobilisasi yang diterapkan, HTI lebih banyak melakukan mobilisasi penyiapan (preparatory), di mana ia hanya berkonsentrasi pada pengerahan sumberdaya untuk mengantisipasi peluang dan ancaman di masa depan. Bentuk utama mobilisasi penyiapan yang dilakukan HTI adalah aktivitas penerbitan, kegiatan diskusi dan seminar, tablig akbar, silaturrahmi dan dialog dengan kelompok muslim lain, serta audiensi dengan pemerintah dan tokoh-tokoh politik.
Sebagai kelompok penentang, HTI tergolong sebagai kelompok fanatik (zealot) dalam hat ideologi, karena ia memberikan nilai sangat tinggi pada beberapa kebajikan kolektif yang oleh kelompok lain dianggap kurang bernilai (penegakan syariat, khilafah, dan kepentingan muslim). Ia juga sangat ketat dalam menetapkan cara untuk mencapai tujuan (sangat selektif dalam hal pendanaan, menolak terlibat dalam pemilu, dan menolak penerapan syariat secara bertahap). Namun, ia tergolong pelit (miser) dalam berkonflik dan, kadang-kadang, oportunis dalam berhadapan dengan penguasa bila kita bandingkan dengan kelompok Islam radikal lainnya seperti FPI, Majelis Mujahidin, dan Laskar Jihad.
HTI menginternasionalisasikan gerakannya lewat pengadaan forum-forum internasional, respons terhadap berbagai peristiwa internasionaI yang merugikan kaum muslim, dan koordinasi gerakan internasional dengan HT di negara lain. la terus mengembangkan gerakan massa secara perlahan-lahan dengan harapan suatu saat akan meledak menjadi pergolakan besar yang mengarah pada perubahan politik dan sosial yang berjangkauan luas.
Dalam konteks gerakan kebangkitan Islam, komitmen HTI pada aktivitas politik sebagai alasan keberadaan (raison d'etre)-nya sebenarnya merupakan fenomena menarik. Namun, konsentrasinya pada aktivitas politik semata tampaknya akan menimbun banyak kelemahan. Pengabaiannya terhadap bidang-bidang lain terutama pendidikan akan membuat ideologinya semakin runcing bagi ideologi lain, semakin rentan dalam benturan antarwacana dengan ideologi-ideologi lain yang terus mengalami reformulasi dan revitalisasi, dan semakin diragukan kemampuannya untuk menjadi ideologi negara karena tidak pernah bersinggungan secara aplikatif dengan dunia empiris.
Dari segi tujuan yang diusungnya, HTI sesungguhnya sangat rentan dengan tindakantindakan yang dinilai subversif. Namun, sekalipun ia membawa ancaman bagi kelangsungan sistem yang ada, pemerintah tidak perlu memberikan perlakuan represif kepada kelompok ini. Karena, selama kelompok ini konsisten pada garis gerakannya-nonkekerasan, memfokuskan diri pada pemikiran, serta melakukan kritik dan kontrol terhadap penguasa muslim-ia sesungguhnya merupakan bagian dari proses penguatan masyarakat sipil. Hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk memanfaatkan keberadan kelompok ini adalah mencegah penyimpangan aktivitas politik nonrutinnya dari aturan main dan mengarahkannya pada kebersamaan dengan kelompok-kelompok lain guna mengikis eksklusivitas dan subjektivitasnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya
"Untuk pertama kalinya Pemilihan Umum (Bab VIIB Pasal 22E) dimasukkan dalam amandemen UUD '45. Selanjutnya Pemilu diatur oleh Undang-Undang nomor 12/2003 yang diantaranya memuat tentang Sistem Pemilu Proporsional Dengan Daftar Calon Terbuka. Sistem Pemilu itu merupakan suatu terobosan politik yang baru di Era Reformasi sehingga menarik untuk diteliti.
Dari latar belakang tersebut timbul pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah Sistem Pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka cukup efektif untuk menjaring calon legislator pilihan rakyat atau malahan menciptakan konflik dan fragmentasi di dalam partai?; 2. Apakah Undang-Undang Pemilu menguntungkan Partai Politik Besar dan merugikan Partai Politik Kecil?; 3. Apakah Undang-Undang Pemilu dapat menciptakan sistem multi-partai sederhana seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang Partai Politik nomor 31 tahun 2002 ?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian penulis memakai pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 7 orang informan kunci dan penelusuran transkrip rekaman persidangan selama pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu sampai disahkan menjadi Undang-Undang No.1212003, didukung data sekunder hasil pemilu 2004, serta studi pustaka.
Teori yang untuk menganalisa penelitian ini memakai: Teori Transisi demokrasi O'Donnel, Teori Sistem Pemilu Reynolds, dan Teori Demokrasi Inklusif Young.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemilu gagal menjaring calon legislator pilihan rakyat, bahkan sebagian menimbulkan masalah dikalangan legislator terpilih. Undang-Undang Pemilu No. 1212003 memberikan keuntungan bagi Partai Besar berupa over-representation, dan merugikan Partai Kecil dengan under-representation. Undang-Undang Pemilu belum dapat menciptakan sistem multi-partai sederhana, tetapi dampaknya mengurangi jumlah peserta Pemilu 2004.
Implikasi teoritisnya adalah teori transisi demokrasi O'Donnel berlaku dalam penelitian ini khususnya bagi Partai Besar PDIP dan Golkar (partai lama), yang mana. Partai Besar cenderung mempertahankan kekuasaannya terhadap pemilih maupun terhadap Partai Kecil dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu No. 12/2003.

For the first time, election (section VIIB article 22e) is included in the amendment of UUD 1945. Furthermore, election is arranged by the Law number 23 years 2003 which inserts the open list proportional system. This system is a new political breakthrough in the reformation era so that interesting to be explored.
From that background, some research questions rise. They are 1) is the system of open List proportional effective to select legislative candidates who are chosen by the voters or does it emerge political conflict and fragmentation among the parties; 2) does it give any advantages for major parties and oppositely disadvantages minor political parties; 3) is the law can develop simple multiparty system as mentioned in the Law number 31 year 2002 on Political Party.
To answer those question, this research applies qualitative approach and the category of the research is descriptive analytic. Primary data collection is examined by using in-depth interview with seven key informants and tracking transcript of codification sessions of the law. is also supported by secondary data such as the result of election in 2004 and literature study.
Theories applied in the research to analyze the issues are theory of transition to democracy from O'Donnel, theory of election from Reynolds, and theory of inclusive democracy from Young.
The result shows that the system of election applied in the law fail to select legislative candidates chosen by the voters, and even raises problems for elected candidates. The law gives advantages for major parties in term of over-representation and disadvantages minor parties in term of under-representation. The Law of Election has not developed simple multiparty system, even though the implication is degradation the number of political parties which involve in the election.
The theoretical implication of the research is that theory of transition to democracy from O'Donnel is relevant with the result of the research, especially for major parties such as Indonesian Democratic Party-Struggle and Golkar, which tend to maintain their power to their voters and minor parties in the codification of the law.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rizali
"Struktur politik masyarakat terdiri dari dua kelompok : Pertama, elite politik yang mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi individu-individu lainnya dan membuat keputusan politik kolektif. Kedua, massa yang hanya diperintah saja tanpa kekuasaan. Elite berada di semua lapisan masyarakat, dari yang primitif--tradisionil hingga beradab-modern. Mekanisne pembentukannya dilakukan melalui rekrutmen politik yang salah satu diantaranya adalah Pemilu. Kegiatan tersebut biasanya diikuti oleh partai-partai politik.
Batasan-batasan diatas ditemui pula di masyarakat Palembang. Rekrutmen politik dilakukan melalui Pemilu lima tahun sekali, dan diikuti oleh tiga kekuatan politik. Akan tetapi karena keterbatasan peneliti, fokus perhatian hanya diarahkan kepada Partai Persatuan Pembangunan saja, dengan pembatasan waktu 1977-1987. Mengapa permasalahan ini menarik diteliti, karena daya pikatnya terletak pada beraneka ragamnya kekuatan-kekuatan politik masyarakat yang terlibat, penggunaan jalur-jalur rekrutmen politik yang bervariasi. Disamping itu, perolehan suara yang didapatkan cenderung menurun dari waktu ke waktu.
Realitas ini memunculkan pertanyaan khusus: (1) Mengapa terjadi penurunan suara terus menerus? (2) Bagaimanakah mekanisme rekrutmen politik tersebut berlangsung?. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penelitian ini didukung oleh empat teori politik : (1) Teori Elite Politik. (2) Teori Partai Politik. (3) Teori Patron Klien. (4) Teori Rekrutmen Politik itu sendiri.
Sedangkan untuk nemperoleh gambaran sirkulasi elite dan rekrutmen politik yang utuh, maka usaha pencarian jawabannya dilakukan sejak awal Februari 1992 - hingga akhir September 1992. Dimana dua variabel digunakan sebagai dasar model analisis, yaitu jalur-jalur rekrutmen politik (unsur fusi, pendukung, kaderisasi dan nepotisme) sebagai variabel bebas dan dukungan basis-basis politik sebagai variabel terikat. Dan dari model analisa inilah dapat dirumuskan hipotesa, yaitu adanya penggunaan keempat jalur yang sangat bervariasi atau tidak konsisten, mengakibatkan pola rekrutnen politik dalan tubuh PPP Palembang tidak tetap atau berubah-ubah, dan kondisi itulah yang menyebabkan perolehan suara menurun.
Kemudian sebagai pedoman lebih lanjut, dijabarkan dalam metodologi penelitian dengan menjelaskan; Pendekatan penelitian (kualitatif), sifat penelitian (deskriptif), tahapan penelitian (survey lapangan dan pengumpulan data), tehnik pengumpulan data (studi pustaka, dokumentasi, wawancara), unit penelitian (DCT-individu), analisa data, lokasi penelitian dan waktu penelitian. Gambaran perkembangan dan pertunbuhan Partai Persatuan Pembangunan Kotamadya Palembang, merupakan titik awal penelusuran mencari jawaban penelitian Sejarah terbentuknya partai, struktur kepengurusan, basis-basis politik, karakteristik sosial, dan hasil-hasil pemilihan umum. Keseluruhan data ini sangat membantu menemukan jawaban penelitian.
Dari temuan-temuan penelitian diperoleh gambaran bahwa, rekrutmen politik tidaklah menpunyai pola yang tetap atau berubah-ubah. Penggunaan keempat jalurnya sangatlah bervariasi dari Pemilu ke Pemilu.
Pada Pemilu 1977, jalur unsur fusi merupakan jalur yang dominan. Penentuan nomor urut, kriteria rekrutmen politik yang selektif, pengusulan nama, pencoretan dan penggantian nama sangat ditentukan oleh Pimpinan Cabang keempat unsur fusi. Namun disisi lain, mereka mempunyai massa yang memberikan dukungan penuh. Basis-basis politik terlibat aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan partai. Kondisi ini sangat nempengaruhi perolehan suara dalan Penilu. Sementara itu, jalur pendukung mempunyai peranan yang lemah, bahkan tidak diikutkan dalam rekrutmen politik. Dibagian kelompok pendukung mereka gagal berperan akibat dominasi unsur fusi yang kuat. Dan dibagian individu pendukung, walaupun mereka terlibat aktif memberikan dukungan dan mempunyai massa. Tidak dapat direkrut karena hambatan-hanbatan peraturan pemerintah. Sedangkan jalur kaderisasi dikuasai oleh kader-kader unsur fusi, kader-kader personal, dan kader-kader organisasi sebagai penggembira. Adapun jalur nepotisme diterapkan dalam rekrutmen politik, dan mereka mempunyai peranan yang kuat dengan banyaknya "nomor-nomor jadi" dikuasainya.
Pada Pemilu 1982, keadaannya mulai berubah. Jalur unsur fusi tidak begitu dominan lagi. Hal ini disebabkan oleh mengendornya-keterikatan Pimpinan Cabang unsur fusi, krisis keanggotaan dan pengurus, dan kebijakan politik pemerintah yang membatasi ruang gerak mereka. Sementara itu, jalur pendukung neningkat, dengan masuknya salah satu tokoh mereka ke dalam jajaran pengurus partai. Akan tetapi mereka tidak didukung oleh massa yang kuat. Sehingga tidak dapat membantu perolehan suara. Sedangkan jalur kaderisasi diwarnai dengan berkurangnya kader-kader unsur fusi. Ditopang oleh kaderisasi yang tetap menduduki posisi"pinggiran". Dan dikuasai oleh kader-kader personal yang menguasai "nomor-nomor jadi". Adapun jalur nepotisme tetap kuat, dengan banyaknya wakil mereka di "nomor-nomor jadi".
Pada Pemilu 1987 lebih banyak lagi terjadi perubahan. Peranan unsur fusi semakin memburuk dengan adanya kebijakan partai tentang fusi tuntas.mDominasi mereka diambil alih oleh Lajnah Penetapan Cabang (Lantapcab) yang dibentuk partai. Kondisi ini sangat menguntungkan jalur pendukung yang semakin dominan, walaupun tidak didukung oleh massa yang jelas. Organisasi-organisasi underbouw dibentuk partai untuk mengantisipasi peranan unsur fusi. Sedangkan jalur kaderisasi ditandai dengan semakin menghilangnya kader-kader unsur fusi. Tidak beranjaknya kekuatan kader-kader organisasi sebagai kelompok "nomor-nomor bawah". Dan berkurangnya dominasi kader-kader personal, walaupun mereka tetap menempatkan banyak kadernya di "nomor-nomor jadi". Adapun jalur nepotisme tetap menguasai "nomor-nomor atas" dalan rekrutmen politik.
Adanya penggunaan jalur-jalur rekrutmen politik yang berubah-ubah ini nenyebabkan perolehan suara terus menurun dari waktu-ke waktu. Pemilu 1977 menang mutlak dengan 145.934 suara atau 54,2 % dari suara keseluruhan. Unggul di semua kecanatan, mendominasi 36 kelurahan, imbang dengan Golkar di 5 kelurahan, dan kalah di 8 kelurahan. Pada Pemilu 1982 perolehan suara menurun menjadi 162.217 suara atau 47,9 % suara keseluruhan. Hanya unggul di 2 kecamatan, imbang dengan Golkar di 3 kecamatan, dan kalah di 1 kecamatan. Juga unggul mutlak di 26 kelurahan, imbang dengan Golkar di 4 kelurahan, menang tipis di 6 kelurahan, kalah di 22 kelurahan. Pada Pemilu 1987 menurun tajam dengan 113.220 suara. Kalah di semua kecamatan, kalah mutlak di 41 kelurahan, menang tipis di 4 kelurahan, dan imbang dengan Golkar di 10 kelurahan. Temuan-temuan penelitian yang diuraikan secara terperinci di bab tiga dan empat, menbenarkan asumsi-asumsi dan hipotesa penelitian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kaharuddin Syah
"Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu yang dipercepat dan dilangsungkan pada masa pemerintahan transisi Presiden Habibie. Dan untuk pertama kalinya setelah tumbangnya rezim Suharto, kehidupan multi partai kembali dihidupkan, hal ini merupakan babak baru dalam kehidupan politik di Indonesia.
Semasa pemerintahan Orde Baru Kekuatan Politik dibatasai hingga 3 kekuatan saja: GOLKAR, PPP dan PDI. Sementara pada Era Reformasi Indonesia kembali ke sistem multi partai. Hampir dapat dikatakan bahwa semasa orde baru, partai politik tidak punya apa yang disebut dengan political Party Platform. Yang ada adalah bahwa semua kekuatan partai mengikuti apa yang menjadi garis besar dari kekuatan sosial Golkar. Era Reformasi semua partai politik punya platform nya sendiri-sendiri. Dalam kaitan inilah partai politik punya teknik kampanye sendiri-sendiri.
Tesis ini meneropong bagaimana PAN sebagai salah satu kekuatan politik masa reformasi ini mencoba menggunakan teknik teknik kampanye melalui propaganda. Analisis yang digunakan akan meneropong tidak saja masa kampanye yang lalu (Pemilu 1999) akan tetapi juga bagaimana PAN dalam Pemilu 2004 mendatang menggunakan teknik propaganda.
Pokok masalah yang diangkat adalah apakah teknik propaganda masih layak digunakan dalam era Demokrasi modern seperti pada mesa sekarang ini. Sebagai partai baru, apakah PAN mampu mengangkat teknik kampanye ini untuk bisa memenangkan Pemilu 2004 nanti. Tujuannya tidak lain ingin mengungkapkan dan menganalisis dari hasil pemilu yang lalu kemudian memproyeksikan ke Pemilu 2004 nanti.
Tujuan dari tesis ini adalah merancang, merencanakan dan menyusun suatu kerangka dasar strategi komunikasi politik atau propaganda dan program-program politik Partai Amanat Nasional dalam menghadapi Pemilu 2004 berdasarkan identifikasi kelemahan-kelemahan pelaksanaan kampanye pada tahun 1999, dan mengidentifikasi efektiftas cara-cara kampanye sesuai asas-asas demokrasi serta mengidentifikasi komponen-komponen suatu kampanye politik.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan banyak data sekunder. Sementara kerangka konseptualnya adalah meminjam banyak teori komunikasi politik dari Dan Nimmo, Jacques Ellul dan teori-teori propaganda lainnya sebagai teori komplementernya.
Adapun kerangka pemikiram tesis ini adalah bahwa propaganda merupakan bagian dan bentuk kampanye politik yang persuasif, sehingga para calon pemilih mau memberikan suaranya kepada partai yang bersangkutan pada hari -H- Pemiiu. Pada era multi partai dan kemajuan telekomunikasi, komunikasi dan informasi dewasa ini, partai politik seharusnya tidak lagi mengandalkan cara-cara atau aktifitas propaganda yang konvensional akan tetapi, hendaknya sudah mulai menggunakan suatu instrumen-instrumen teknologi komunikasi modern yang diyakini lebih efektif dan persuasif. Dalam aktifitas propaganda dan komunikasi politik kontemporer dalam suatu kegiatan kampanye politik, pekerja partai mulai digantikan oleh tenaga-tenaga ahli pada bidangnya. Aktifitas propaganda harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern.
Perancangan seluruh aktifitas propaganda dalam kampanye politik harus berdasarkan suatu penelitian ilmiah, tidak lagi menggunakan metode trial and error.
Temuan dari tesis ini adalah bahwa pada hakekatnya sebuah aktifitas propaganda dalam suatu kampanye politik hampir sama dengan kegiatan promosi suatu barang atau produk, namun dalam aktifitas propaganda dalam kampanye politik yang dijual adalah idea dan kandidat, oleh karena itu kandidat harus dikemas dengan baik sesuai dengan citra yang diinginkan oleh calon pemilih, dapat juga disebut dengan strategi politik pencitraan (political image strategi).
Rekomendasi tesis ini adalah bahwa dalam masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia, setiap pesan harus di desain dan adanya pesan sentral yang menjadi pesan nasional yang sesuai dengan political platform partai (visi dan misi partai). Dalam aktfirtas propaganda, total media approach menjadi pilihan, terurtama media elektronik (TV dan Radio) bagi daerah yang tidak terjangkau media elektronik tersebut dapat mempergunakan metoda propaganda yang konvensional. Dan pada hakekatnya kampanye politik yang dipropagandakan merupakan ajang pendidikan politik bagi masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endra Wijaya
"Dalam sistem kepartaian sebagaimana yang diatur dalam IJndang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, telah terdapat 268 (dua ratus enam puluh delapan) partai politik, dan 24 (dua puluh empat) di antaranya telah berhasil ikut serta dalam pemilihan umum tahun 2004. Banyaknya partai politik yang telah berdiri, di sisi lain ternyata masih menimbulkan rasa tidak puas bagi sebagian masyarakat di daerah-daerah. Sebagian masyarakat di daerah masih menganggap aspirasi mereka belum bisa diperjuangkan oleh partai politik yang ada sekarang, dan partai-partai politik itu juga masih terlalu menyibukkan did dengan isu-isu "perebutan kursi kekuasaan di pusat" saja. Akibatnya, timbul kekecewaan pada diri masyarakat daerah terhadap partai politik. Kekecewaan masyarakat daerah itu pada perkembangan selanjutnya dapat mendorong timbulnya upaya untuk mendirikan partai politik lokal.
Penelitian ini difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan partai politik lokaI, yaitu mengenai faktor-faktor yang mendorong timbulnya partai politik lokal di Indonesia, dan kedudukan partai politik lokal dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian hukum normatif. Dalam hukum positif di Indonesia, setidaknya terdapat beberapa produk hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis keberadaan partai politik lokal, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Dari penelitian ini terungkap beberapa hal yang menjadi faktor pendorong timbuinya partai politik lokal, antara lain, adalah berkaitan dengan masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia masyarakat daerah, baik hak ekonomi maupun politik, serta ketidakmampuan partai politik nasional dalam memperjuangkan kebutuhan masyarakat daerah. Terhadap isu partai politik lokal, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 masih belum mengatumya secara jelas, sedangkan untuk di Aceh, keberadaan partai politik lokal sudah mempunyai dasar hukum yang lebih rinci, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hidayat
"Penelitian tentang kekalahan partai politik berbasis keagamaan pada suatu daerah tertentu masih sedikit jumlahnya. Penelitian ini penting karena sebenamya berbagai kasus yang berkaitan dengan kekalahan suatu parpol berbasis keagamaan itu tidak gampang untuk dikalahkan oleh partai yang platform-nya berlawanan dengan partai keagamaan dimaksud. Dari delapan kali Pemilu pertama yang pernah diselenggarakan di Indonesia Parpol Islam selalu memenangkan perolehan suara, namun pada Pemilu 1999 Parpol Islam itu mengalami kekalahan. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai kekalahan Parpol Islam tersebut.
Penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor mengapa kekalahan Parpol Islam terjadi di Kota Pekalongan. Permasalahn yang diajukan berkait dengan variabel yang menyebabkan kekalahan serta sebaliknya mengapa PDI Perjuangan dapat memenangkan Pemilu di basis pemilih Islam yang telah lima kali menggungguli perolehan suara dibandingkan dengan kalangan nasionalis sekuler. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan teori elite, teori konflik, teori korporatisme, teori negara, teori perilaku pemilih, dan teori demokratisasi, yang digunakan untuk menganalisis persoalan tersebut.
Dengan menggunakan teknik wawancara mendalarn dan studi pustaka, dikumpulkan data-data yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Dari analisis tersebut penulis menemukan bahwa : kekalahan Parpol Islam di Kota Pekalongan pada Pemilu 1999 disebabkan konstelasi politik nasional yang kala itu sedang terjadi perseteruan di antara elite politik Orde Baru, daya tolak kekuatan Islam politik, dan daya tarik politik Megawati Soekarnoputri.

The Lose of Islamic Political Parties during 1999 Election: A Case Study in Pekalongan CityResearches on the lose of religious political parties in certain districts are not common. This research is important because in most cases, religious political parties rarely defeated by political parties from opposing religious base. From the total of 8 elections ever held in Indonesia, Islamic political parties always win considerable votes but it was in 1999 election that Islamic political parties had to face a defeat. There was no research covering the lose of Islamic political parties up to this point.
This research is focus on the factors of why Islamic political parties lose in the election at Pekalongan. The problem posed in this research related to what variables which caused the lose and why PDI Perjuangan, which had won over other secular-nationalist political parties for five times, can win the election in Islamic hardcore areas. To answer these problems, this research use theories of elite, conflict, corporatism, state, voting behaviour and democratisation as a tool of analysis.
Data collected by in-depth interview and library research, which analysed later by qualitative analysis. The writer concluded from the analysis that the lose of Islamic political parries in Pekalongan during 1999 election was cause by the conflict inside the national political constellation between the New Order elites, the decreasing power of Islamic politics and the increasing power of Megawati Soekamoputn."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T 13892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>