Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117509 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lilis Heri Mis Cicih
"ABSTRAK
Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan masalah pembangunan yang penting. Pembinaan SDM seharusnya berawal sejak dalam kandungan dan berkesinambungan sampai usia lanjut. Indikator status kesehatan yang konvensional terdiri dari tingkat kesakitan, status gizi dan tingkat kematian. Upaya meningkatkan kesehatan dapat diidentikan dengan upaya penurunan resiko sakit dan peningkatan status gizi. Penduduk yang sehat memberikan sumbangan positif terhadap laju pembangunan. Profil kesehatan diperlukan untuk estimasi prevalensi penyakit kronik dan tingkat ketidak mampuan (disability} sejalan dengan lanjutnya usia penduduk. Penyajian informasi status kesehatan (disabilitas, tingkat kesakitan dan status gizi) penduduk Indonesia, serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri) merupakan tujuan studi ini.
Pengukuran status disabilitas, kesakitan dan status gizi penduduk sebagai tolak ukur status kesehatan penduduk secara umum belum banyak ditelaah di Indonesia. Status disabilitas sebagai salah satu ukuran langsung dari kualitas hidup dan tingkat kemandirian juga penduduk masih belum banyak dianalisis.
Studi ini merupakan suatu studi pendahuluan yang lebih banyak ditujukan untuk mengeksplorasi data untuk kepentingan analisis lebih lanjut. Hal ini terutama berkaitan dengan data hasil suatu survei yang relatif baru sehingga belum banyak yang menganalisisnya. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data hasil survei rumah tangga SAKERTI/IFLS 1993. Survei tersebut memuat informasi yang sangat luas, karena mencakup banyak aspek kehidupan rumah tangga, seperti kesehatan, kelangsungan hidup bayi dan anak, pendidikan, migrasi, ketenagakerjaan, kelahiran, keluarga berencana, sosial dan ekonomi. Banyaknya cakupan data tersebut mungkin dianggap sebagai keunggulan dari survei tersebut, namun sekaligus merupakan kekurangan dari survei tersebut. Misalnya dalam proses pengolahan data masih banyak ditemukan kesulitan-kesulitan baik menyangkut manajemen data maupun kualitas datanya.
Aspek utama dalam survei SAKERTI 1993 adalah kesehatan, sehingga dalam proses eksplorasi data tersebut ditekankan pada aspek kesehatan. Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh gambaran status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk. Tujuan studi secara khsusus adalah menyajikan (1) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi penduduk, (2) upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut gambaran karakteristik sosial, ekonomi dan demografi.
Hasil studi ini diharapkan: (1) dapat menambah dan melengkapi pustaka di bidang kependudukan dan kesehatan, (2) menambah dan melengkapi pustaka mengenai cara pengolahan data SAKERTIIIFLS yang dapat direplikasi oleh peneliti lain di masa yang akan datang, dan (3) menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi (pra krisis ekonomi tahun 1997) yang berguna sebagai pembanding dalam perencanaan selama atau masa pasca krisis yang akan datang.
Responden dalam studi ini adalah individu semua kelompok umur yang dibagi menjadi kelompok usia kurang dari 15 tahun dan usia 15 tahun ke atas sesuai data yang tersedia. Informasi diperoleh dari 7 (tujuh) buku kuesioner yang terdiri dari buku 1 (daftar ART), buku II (ekonomi RI), buku III (informasi orang dewasa), buku IV (informasi wanita pemah kawin), buku V (informasi anak), buku K (kontrol), dan buku CA (antropometri)
Berbagai informasi karakteristik sosial, ekonomi dan demografi yang dapat digali dari data tersebut meliputi umur (yang dibagi menjadi kelompok umur 5 tahunan kecuali bayi), tempat tinggal (kota dan desa), pendidikan yang ditamatkan (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, dan SLTP+), pendapatan per kapita (25 % pertama, 25 % kedua, 25 % ketiga dan 25 % tertinggi), serta jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Khusus pembagian pendapatan per kapita, kategori yang digunakan dalam studi ini agak berbeda dengan kategori yang umum digunakan oleh ekonom yaitu dibagi lima kategori (20 % pertama sampai 20 % tertinggi). Kriteria yang digunakan dalam studi ini didasarkan pada sebaran nilai pengeluaran per kapita per bulan dari yang terkecil sampai terbesar.
lnformasi kesehatan dicerminkan oleh status disabilitas, status kesakitan, status gizi dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri). Status disabilitas dicerminkan oleh ADL (Activities of Daily Living) yang terdiri dari variabel keterbatasan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dengan kategori tidak sehat (tidak dapat atau susah payah) dan sehat (mudah) melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu juga gejala psikis dengan kategori tidak sehat (sering atau kadang-kadang) dan sehat (tidak pernah) mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara.
Gejala akut beberapa penyakit umum yang pernah dialami penduduk dalam periode empat minggu sebelum wawancara, terdiri dari gejala sakit mata, sakit gigi, sakit mencret, dan sakit kulit. Keempat gejala ini dipilih karena sesuai dengan nama organ, sehingga lebih mudah untuk mendeteksi jenis penyakit.
Status gizi diukur dengan cara antropometri berdasarkan data yang tersedia yaitu umur, berat badan dan tinggi badan. Penentuan status gizi untuk usia kurang dari 15 tahun didasarkan pada rujukan WHO-NCHS dengan z-score yang dibagi menjadi 2 (dua) kategori buruk/kurang (<-2 sd) dan baik (>= -2 sd). Sedangkan untuk usia 15 tahun ke atas penentuan status gin berdasarkan pada Indeks Masa Tubuh (BMI=Body Mass Index) dengan kategori kurus (IMT < 18.5), normal (18.5 < IMT< 25.0) dan gemuk (IMT>25.0).
Upaya pencarian pengobatan sendiri merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengobati keluhan kesehatan dengan cara mengobati sendiri tanpa bantuan tenaga kesehatan (seperti dokter, mantri dan bidan). Jenis pengobatan sendiri dilakukan yaitu dengan cara minum obat modern, minum jamu atau obat tradisional, dan memakai obat luar. Sedangkan jenis upaya pencarianpengobatan yang dilakukan dengan cara memeriksakan langsung ke petugas kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Berbagai fasilitas kesehatan rawat jalan yang ditanyakan meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, Rumah Sakit Swasta, Poliklinik(klinik swasta/BP/KIA), Dokter Praktek, Paramedis (perawat/bidan praktek), dan Praktek Tradisional. Selanjutnya fasilitas rawat inap terdiri dari Rumah Sakit Pemerintah, Puskesmas, Rumah Sakit Swasta dan Klinik Swasta.
Analisis data dilakukan dengan menyajikan tabel frekuensi dan tabel silang berdimensi dua atau tiga. Tabel-tabel tersebut menyajikan gambaran status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi serta upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) menurut karakteristik sosial ekonomi dan demografi (umur, tempat tinggal, pendidikan, dan pendapatan). Selain itu analisis dilakukan dengan menyajikan grafik berdimensi dua melalui metode biplot. Berdasarkan metode ini dapat disajikan gambaran keragaman masing-masing variabel dan korelasi antar variabel, posisi masing-masing objek yang diamati dalam plot yang terpisah, serta mampu memberikan gambaran posisi dari objek-objek yang diamati relatif terhadap variabel-variabel keseluruhan dalam satu plot (biplot). Selain itu, menyajikan secara simultan hubungan antara karakteristik sosial ekonomi dan demografi dengan status disabilitas, kesakitan, status gizi serta upaya pencarian pengobatan (sendiri, rawat jalan dan rawat inap).
Hasil studi ini menggambarkan kondisi disabilitas, kesakitan, status gizi, dan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) penduduk pra krisis ekonomi 1997. Secara umum status disabilitas, dan status gizi penduduk tergolong baik, namun dari studi ini diperoleh kelompok penduduk yang tergolong rawan yang perlu mendapat perhatian. Menurut kelompok umur, yang tergolong rawan meliputi usia bayi atau balita dan usia lanjut usia (60 tahun ke atas). Kelompok ini merupakan kelompok penduduk dewasa yang paling tinggi tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) dan mengalami gejala psikis, paling banyak penduduk dewasa yang kurus, paling tinggi mengalami gejala penyakit dan paling tinggi melakukan pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri).
Sedangkan menurut karakteristik sosial, ekonomi dan demografi: penduduk dewasa yang paling banyak tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan lebih lanjut) sehari-hari, penduduk yang paling banyak mengalami gejala penyakit, anak-anak paling banyak berstatus gizi buruk/kurang, penduduk dewasa paling banyak yang kurus, serta penduduk yang paling sedikit melakukan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) adalah yang tinggal di pedesaan, orang tua dan penduduk dewasa yang berpendidikan tidak sekolah dan tidak tamat SD, serta pendapatan pada tingkat pendapatan 25 persen pertama sampai 25 % kedua (sampai Rp 51.615).
Studi ini juga menunjukkan kecenderungan minum jamu atau obat tradisional (terutama untuk usia kurang dari 15 tahun) meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendapatan. Meskipun secara umum persentase minum jamu atau obat tradisional masih rendah dibanding minum obat modern, namun biaya yang dikeluarkan untuk minum jamu atau obat tradisional paling tinggi. Pada masa krisis ekonomi, penggunaan obat tradisional sedang diupayakan ditingkatkan pemakaiannya, mengingat biaya obat modern sangat melambung tinggi.
Dalam rangka peningkatan penggunaan obat tradisional, disarankan untuk melakukan penelitian-penelitian (uji klinis) terhadap jenis obat-obat tradisional yang sering dipergunakan masyarakat, serta perlu memantapkan "khasiat" dari obat tradisional tersebut. Selain itu, perlu ada jaminan keamanan pada masyarakat sebagai pemakai sehingga dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam menggunakannya.
Hasil studi ini kemungkinan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk penentuan sasaran program perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan masyarakat. Sasaran program harus ditentukan dengan sebaik-baiknya terutama pada masa krisis ekonomi, karena dapat menentukan berhasil tidaknya suatu program. Penentuan sasaran program sangat sulit, sehingga diperlukan data-data yang menunjang yang menggambarkan kondisi masyarakat setempat. Seiring dengan rencana desentralisasi, maka penggunaan informasi seperti informasi yang diperoleh dari data SAKERTI/IFLS 1993 diharapkan dapat membantu perubahan perencanaan kebijakan program kesehatan. Informasi yang dapat digunakan terutama yang berhubungan dengan status disabilitas, status kesakitan, status gizi, upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap dan pengobatan sendiri) sebagai cerminan untuk perencanaan selanjutnya.
Berkaitan sasaran program, maka penduduk yang tergolong rawan perlu mendapat perhatian, dan mendapat prioritas dalam upaya perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan terutama pada masa krisis ekonomi. Dikhawatirkan dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dampak kekeringan/kemarau panjang serta kekurangan pangan di beberapa tempat akan menimbulkan dampak lebih buruk terhadap status kesehatan dan gizi kelompok rawan tersebut pada masa krisis.
Berdasarkan status disabilitas, status kesakitan, dan status gizi kelompok usia 60 tahun ke atas merupakan paling tinggi persentase yang tergolong tidak dapat melakukan kegiatan fisik (mendasar dan fisik lebih lanjut} sehari-hari dan Bering mengalami gejala psikis sejak empat minggu sebelum wawancara. Keluhan gejala penyakit yang cendenmg paling banyak dialami kelompok ini adalah sakit mata dan sakit kulit. Berdasarkan IMT, mereka merupakan persentase tertinggi kategori kurus. Kelompok usia ini hanya sekitar 10.4 persen dari seluruh sampel dalam studi ini. Namun jika dilihat dan hasil proyeksi penduduk Indonesia, dari tahun 1995-2025 proporsi penduduk lanjut usia akan meningkat menjadi 13,2 persen (Lembaga Demografi FEUI, 1994). Negara yang mempunyai penduduk lanjut usia di atas 10 persen akan menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan psikologis kelompok lanjut usia (Wirosuhardjo, 1994). Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan kelompok ini perlu mendapat perhatian supaya mereka masih tetap produktif, sehingga tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
Berkaitan dengan kelompok lanjut usia ini, beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan masukan bagi pemerinaah khususnya Departemen Kesehatan dalam upaya meningkatkan pemerataan kesehatan masyarakat kelompok tersebut. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk kelompok ini antara lain dengan memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh secara gratis, pemberian makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhannya, dan pemberian konseling di tempat pelayanan kesehatan atau di puskesmas secara gratis. Hal lain yang panting adalah pemberitahuan kepada kelompok tersebut bahwa mereka dapat menggunakan fasilitas kesehatan dengan gratis, karena adanya fasilitas tanpa diiringi dengan pengetahuan dari sasaran kemungkinan akan tidak tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan salah sasaran.
Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian adalah anak usia bawah lima tahun (balita), karena paling tinggi mengalami gejala penyakit terutama sakit mencret, status gizi buruk/kurang sekitar 23 persen (menurut BBIU), dan paling tinggi persentase yang memerlukan rawat jalan dan rawat inap. Gejala sakit mencret pada kelompok tersebut cenderung paling banyak dialami oleh anak yang ibunya tidak sekolah. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok yang sering dibicarakan pada masa krisis, dengan seringnya pemberitaan mengenai kasus terjadinya gizi buruk di beberapa wilayah. Sebenarnya mungkin prevalensi gizi buruk/kurang yang kronis sudah terjadi sejak sebelum krisis, namun tidak secara transparan terlihat. Dan hasil studi ini tampak bahwa status gizi buruk/kurang terutama anak laid-iaki usia kurang dari 15 tahun menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sekitar 58.7 persen, 53.2 persen (TBIU), dan 57,4 persen menurut BBIU. Apabila kelompok ini tidak ditangani dengan serius, maka kemungkinan akan terjadi lost generation, karena kelompok ini adalah generasi penerus yang akan meneruskan dan mengisi pembangunan di masa yang akan datang. Dengan demikian kualitas sumberdaya manusianya harus ditingkatkan sedini mungkin.
Kelompok bayi atau balita pada studi ini dapat dikatakan merupakan salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam program perbaikan kesehatan dan peningkatan gizi masyarakat pada masa krisis. Sedangkan kelompok sasaran lain adalah: (1).untuk pelayanan kesehatan dasar meliputi seluruh keluarga miskin, yaitu keluarga dengan kriteria Pra-Sejahtera dan Sejahtera-I (karena alasan ekonomi) serta keluarga miskin lain yang ditetapkan oleh Tim Desa, (2) untuk pelayanan kebidanan dan rujukannya: seluruh ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin seperti butir 1, (3) untuk pemberian makanan tambahan: ibu hamil dan ibu nifas yang menderita Kurang Energi Kronis (KEK), seluruh bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin seperti pada butir 1.
Kelompok sasaran tersebut merupakan kelompok sasaran yang ingin dicapai dalam program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK). Program ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak negatif akibat krisis. Selain JPSBK, program yang dilakukan melalui JPS meliputi JPS padat karya, JPS pengembangan usaha pertanian, JPS pengembangan ekonomi keluarga miskin, JPS pendidikan, JPS pengembangan usaha kecil dan menengah, dan JPS pangan.
Program JPSBK ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin di seluruh Indonesia agar tetap terpelihara kesehatannya. Pada dasarnya tujuan umum dari program tersebut adalah meningkatkan/ mempertahankan dan derajat kesehatan dan status gizi keluarga miskin. Sedangkan tujuan khususnya adalah: (1) memberikan bantuan dana pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi keluarga miskin, (2) memberikan pelayanan kebidanan dan pelayanan rujukan kebidanan bebas biaya bagi ibu hamil, ibu bersalin, dan ibu nifas (dengan bayi neonatalnya) dari keluarga miskin, (3) memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil dan ibu nifas KEK, bayi (6-11 bulan) dan anak (12-23 bulan) dari keluarga miskin, (4) memantapkan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) di Dati II dan Kecamatan, (5) menyelenggarakan JKPM dengan menyediakan premi bagi keluarga miskin di seluruh Dati II, dan melakukan pengamatan khusus penyelenggaraan JKPM di sepuluh Dati II.
Dalam Program JPSBK juga dilakukan pengembangan JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) di seluruh Dati II. Idealnya semua keluarga miskin di seluruh Dati II memperoleh penanganan yang sama meskipun dana program ini berbeda, yaitu dari ADB dan APBN. Dana dari ADB ditujukan untuk 8 (delapan) propinsi yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan dari dana APBN untuk 19 propinsi lainnya. Dana APBN juga diberikan kepada propinsi lokasi bantuan ADB untuk kabupaten dan kegiatan yang belum dicakup oleh bantuan ADB.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan status gizi masyarakat terutama bayi atau balita adalah: mengaktipkan kembali Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dengan memanfaatkan dana jaring pengaman sosial bidang kesehatan. Berkaitan dengan pelaksanaan SKPG, maka pejabat Departemen Kesehatan sebaiknya turun ke daerah memberitahukan Gubernur, Bupati, serta instansi terkait agar melakukan SKPG. Hal ini dikarenakan status gizi buruk/kurang merupakan rantai terakhir akibat kurang pangan yang sejak awal tidak ditangani. Indikator yang perlu dilihat dalam pelaksanaan SKPG antara lain: (1) adanya penimbangan di posyandu sebagai suatu isyarat dini di tingkat terendah, kalau berat bayi tidak naik tiap bulan, dan (2) perubahan pola konsumsi penduduk dari kemampuan mereka membeli atau kebiasaan makan bahan makanan pokok sehari-hari yang pada saat krisis menurun jumlah maupun intensitasnya.
Berkaitan dengan posyandu, perannya sangat panting untuk memantau kesehatan balita, namun pelaksanannya perlu didukung dengan dana yang memadai. Jumlah dan program yang jelas belum tentu bisa dilakukan jika tidak didukung oleh dana yang memadai.
Upaya lain yang perlu disarankan dalam rangka memperbaiki status gizi masyarakat adalah melaksanakan program pemberian makanan tambahan dengan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak, untuk mencegah proses deteriorasi status gizi, pencegahan penyakit infeksi, dan menyelenggrakan program KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) kepada orang tua sasaran. Meskipun demikian juga perlu diperhatikan kekurangan-kekurangan dan program tersebut, yang antara lain menyangkut kandungan zat gizi dan jenis pangan, frekuensi pemberian, kelompok umur sasaran, prosedur pentargetan, dan hubungan dengan penyedia makanan.
Secara mendasar terdapat dua pendekatan dalam hal jenis pangan dalam program pemberian makanan tambahan, yaitu (1) pendekatan didasarkan pada ketersediaan pangan lokal, (2) pendekatan didasarkan pada bantuan pangan atau pangan campuran (blended food). Meskipun hal ini masih merupakan perdebatan dalam pelaksanaannya. Khusus untuk usia 6-11 bulan dianjurkan untuk menggunakan pangan campuran, karena produk ini menyediakan keperluan zat gizi sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu disarankan jenis makanan tersebut diperkaya dengan zat gizi mikro esensial untuk meningkatkan status gizi mikro anak. Selanjutnya untuk anak usia lebih dari 12 bulan disarankan untuk menggunakan pangan olahan.
Lama program pemberian makanan tambahan sebaiknya berlangsung sampai usia kritis atau sekurang-kurangnya 10-12 bulan. Hal ini didasarkan pada pengalaman di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Bogor, yaitu untuk memperbaiki anak yang berstatus gizi kurang sampai berstatus gizi sedang diperlukan pemberian makanan tambahan enam bulan. Sedangkan untuk program yang berskala besar disarankan untuk menggunakan tenaga lokal dengan memperluas periode pemberian makanan tambahan sampai 10-12 bulan.
Berkaitan dengan 7PSBK, seharusnya keluarga-keluarga yang menjadi kelompok sasaran program pemberian makanan tambahan tercakup dalam upaya pengentasan kemiskinan atau peningkatan status sosial, ekonomi dari masyarakat miskin. Namun demikian program 7PSBK ini bukan hanya untuk membagi-bagikan uang saja tetapi perlu dimonitor pelaksanaanya, sehingga kemungkinan salah sasaran dapat dikurangi. Sebenarnya melesetnya sasaran tidak akan terjadi, jika semua pihak mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak terjadi penyerobotan terhadap hak-hak orang lain (termasuk hak orang miskin). Salah satu hal panting dalam hal ini adalah memperbaiki sikap mental/moral dan menumbuhkan kesadaran semua pihak akan hak dan kewajiban, tidak hanya mementingkan diri sendiri saja.
Dalam rangka memperbaiki status gizi dan meningkatkan kesehatan balita disarankan supaya Departemen Kesehatan membuat perencanaan logistik obat-obatan untuk pengobatan gejala penyakit terutama untuk penyakit yang banyak dialami oleh anak balita. Misalnya penyediaan obat-obatan untuk mencegah atau mengobati penyakit mencret (oralit atau larutan gula garam). Selain itu, sebaiknya Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan program bantuan pada penduduk yang ada di daerah pedesaan baik dalam pendistribusian obat maupuan penyediaan fasilitas kesehatan. Misalnya dengan lebih mengoptimalkan kerja Puskesmas sebagai fasilitas yang paling banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan.
Usaha mengatasi masalah gizi dihubungkan dengan program kesehatan yang intensif, karena program gizi tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tetapi juga berhubungan dengan masalah penyakit infeksi dan kesehatan lain. Oleh karena itu disarankan untuk menyediakan pengarahan ulang, pelatihan ulang terhadap tenaga gizi yang berhubungan dengan tenaga-tenaga dari Departemen Kesehatan, Pertanian, Koperasi, Dalam Negeri, Sosial, dan sebagainya.
Pengorganisasian JPSBK atau program lain yang sejenis sudah lintas sektor, namiin yang memegang dana adalah puskesmas. Kondisi seperti ini sebenarnya mempunyai kelemahan, karena puskesmas sebagai pelaksana juga sekaligus sebagai pemegang dana. Jadi sebaiknya dana yang disalurkan oleh Bappenas melalui Kantor Pos dikelola oleh pihak lain selain puskesmas, sehingga fungsi pelaksana, pengelola dan pengawas diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Selain itu, disarankan agar terus diadakan sosialisasi program JPSBK kepada masyarakat, kontinuitas program, upaya mengatasi ketergantungan masyarakat terhadap program, pelatihan petugas dan peran aktif puskesmas turun ke sasaran, serta pemberdayaan tokoh masyarakat sebagai sosialisasi program.
Upaya yang dapat dilakukan terhadap masyarakat untuk mengatasi ketergantungan terhadap program yaitu dengan pemberdayaan keluarga miskin melalui penyaluran dana, supaya taraf hidupnya meningkat. Beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu dengan membentuk lembaga keuangan pedesaan yang merupakan pemberi kredit usaha kecil. Upaya inovatif yang dilakukan dalam menyalurkan kredit yakni dengan menekankan cara pemberian secara kelompok. Dengan cara ini diharapkan dapat menimbulkan sikap saling bertanggung jawab dan saling mendukung dalam menyukseskan usaha masing-masing anggota. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan yaitu dengan mewajibkan setiap calon peminjam untuk membentuk kelompok yang berjumlah lima orang, yang masing-masing kelompok mempunyai usaha kecil. Berkaitan dengan ini sebenamya telah banyak jenis-jenis bantuan yang dapat diberikan kepada keliarga-keluarga miskin, seperti koperasi-koperasi, kredit usaha tani, program IDT (Inpres Desa Tertinggal), takesra dan kukesra. Namun pada kenyataanya program tersebut tidak sampai kesasaran, bahkan mungkin masyarakat tidak tahu bagaimana cara memperolehnya. Meskipun sudah tahu prosedur, namun kredit kadang tidak kunjung cair.
Upaya lain yang dapat dilakukan dalam menghadapi kelompok sasaran adalah dengan memberikan penyuluhan tentang pentingnya kesehatan dengan memberi pengetahuan mengenai cara pencegahan penyakit dan cara-cara hidup sehat. Selain itu, untuk mengatasi masalah kurangnya kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan dapat dilakukan dengan asuransi kesehatan yang dapat menjangkau kelompok pendapatan rendah.
Di pihak lain pars peserta program .FPS seperti koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dituntut kesadarannya untuk tidak mengatas namakan rakyat kecil demi kepentingan sendiri, atau tidak menggunakan dana yang bukan haknya dengan cara menipu (misal mengajukan lahan fiktif untuk memperoleh KUT). Oleh karena itu, seharusnya birokrasi yang diterapkan tidak menyulitkan masyarakat kecil, dan petugas yang berwenang mempunyai kesadaran untuk memberdayakan masyarakat miskin. Selama sikap mental ini belum bisa diberantas, maka program sebaik apapun tidak mungkin akan berjalan dengan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu kontrol dari semua pihak terhadap pelaksanaannya, yang apabila program tersebut tidak mengenai sasaran dikenakan sanksi.
Mubyarto (1999) mengatakan bahwa pemihakan pemerintah lebih diperlukan daripada PS. Lebih lanjut dikatakan bahwa paradigma pembangunan nasional adalam pembangunan yang bertumpu pada kekuatan ekonomi rakyat, yaitu pembangunan yang makin memperkuat dan makin memberdayakan. Dulu kata rakyat tidak hanya berbobot filosofis humanis, tetapi juga menggambarkan bahwa orang-orang di lembaga-lembaga pemerintah diharapkan memiliki Kati nurani, rasa kemanusiaan, dan pengorbanan besar yang sesuai untuk jamannya. Berbicara mengenai kerakyatan dan ekonomi rakyat berarti menunjukkan ada suatu rasa tanggung jawab moral dari orang-orang yang sudah lebih baik posisinya daripada mereka yang perlu diangkat dan dipihaki.
Pembicaran yang berkaitan dengan masalah krisis ini cukup menarik untuk dikaji, terutama berkaitan dengan informasi dampak krisis yang berbeda-beda. Sebagai contoh Bank Dunia mengemukakan bahwa status gizi buruk di Indonesia tidak mengalami peningkatan dari pra krisis sampai masa krisis. Namun pada kenyataan hampir setiap hari pemberitaan di media masa menyebutkan ada kasus balita kurang gizi bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedangkan dari analisis-Basuni dkk (1999) berdasarkan data Susenas tahun 1989 sampai tahun 1998, memperlihatkan bahwa telah terjadi penurunan status gizi buruk dari sekitar 35,7 persen (tahun 1989) menjadi 30.5 persen (tahun 1995), dan 27.8 persen (tahun 1998). Namur jika umur dipecah menjadi kelompok 6-17 bulan, tampak peningkatan status gizi di daerah perkotaan dari 23.3 persen (tahun 1995) menjadi 24.6 persen (tahun 1998), dan di pedesaan meningkat dari 29,9 persen (tahun 1995) menjadi 31,9 persen tahun 1998. Indeks ini didasarkan pada indeks BBIU (underweight) sebagai ukuran yang baik untuk pengaruh krisis jangka pendek. Dalam hal ini tampak bahwa status gizi burukllrnrang sudah lama terjadi sebelum krisis, hanya mungkin kejadiannya tidak sesering setelah krisis. Sebenarnya mungkin saja status gizi buruk/kurang sudah banyak terjadi lama sebelum krisis, namuan tidak secara transparan dikemukakan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem pemerintahan yang bersifat kurang terbuka pada waktu pra krisis, sehingga kasus-kasus seperli itu berusaha untuk ditutupi. Pada waktu pra krisis, upaya mendapatkan penghargaan dari pihak yang lebih tinggi (atasan) dianggap merupakan satu hal yang paling penting dibandingkan dengan mengatasi status gizi buruk/kurang.
Terlepas dari: berbagai perbedaan pendapat tersebut, disarankan untuk melihat lebih jauh dampak krisis dengan menganalisis data SAKERTI tahun 1997 dan 1998. Khusus berkaitan dengan status gizi disarankan untuk menganalisis usia balita dengan kelompok umur yang dipecah menurut kelompok umur (dalam bulan), misal enam bulanan. Pemecahan kelompok umur ini panting mengingat terdapatnya perbedaan hasil status gizi yang diperoleh dengan adanya perbedaan kelompok umur tersebut.
Disarankan juga untuk melakukan studi semacam ini lebih lanjut secara lebih mendalam, antara Iain dengan menganalisis: (1) hubungan antara status disabilitas dengan status kesakitan atau status gizi, (2) hubungan antara status disabilitas, status kesakitan dan status gizi dengan upaya pencarian pengobatan (rawat jalan, rawat inap, dan pengobatan sendiri), (3) status disabilitas, status kesakitan dan status gizi menurut jenis kelamin. Pembagian menurut jenis kelamin ini untuk melihat status disabilitas, status kesakitan dan status gizi wanita terutama wanita hamil dan wanita pada masa nifas sebagai salah satu sasaran program .IPSBK. (4) menurut propinsi, sehingga bisa digunakan untuk perencanaan per propinsi."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiana Kusumasari Agustin
"Kurang gizi pada balita 0-23 bulan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat diProvinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2017 prevalensi underweight di Provinsi DKI Jakarta tergolong prevalensi medium 14,5, sementara wasting tergolong serius, sedangkanuntuk stunting termasuk rendah 18,1. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara asupan energi, asupan protein, asupan lemak, keragaman jenis makanan, frekuensi pemberian makanan, ASI eksklusif, inisiasi menyusu dini, penimbangaan berat badan, pemberian kapsul vitamin A, riwayat pendidikan formal ibu dan status ibubekerja dengan kurang gizi pada Balita 0-23 bulan di Provinsi DKI Jakarta tahun 2017.Kurang gizi diukur menggunakan Compocite Index of Anthropometric Failure CIAF. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan jumlah sampel 658 balita 0-23 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi kurang gizi pada Balita 0-23 bulan dengan indikator CIAF jauh lebih tinggi 31,9 dibandingkan dengan indikator BB/U,PB/U, dan BB/PB. Asupan protein, keragaman jenis makanan, pemberian kapsulvitamin A dan status bekerja ibu berhubungan signifikan dengan kurang gizi. Faktor dominan adalah asupan protein. Balita yang mengkonsumsi protein kurang memiliki risiko sebesar 4,8 kali 95 CI: 0.599-38.746 untuk mengalami kurang gizi dibandingkan Balita yang mengkonsumsi protein cukup. Terdapat interaksi antaraasupan protein dan keragaman jenis makanan. Interaksi tersebut saling melemahkan terhadap kejadian kurang gizi.

Undernutrition in under five children 0 23 months is still a public health problem in DKI Jakarta Province. In 2017, the prevalence of underweight in DKI Jakarta is classified as medium prevalence 14.5, while wasting is considered serious, meanwhile stunting is low 18.1. The objectives of the study were to investigate the relationship between energy intake, protein intake, fat intake, food diversity, feeding frequency, exclusive breastfeeding, early breastfeeding initiation, weight monitoring,vitamin A capsule supplementation, maternal formal education and maternal working status with undernutrition in under five children 0 23 months. Undernutrition was measured using the Composite Index of Anthropometric Failure CIAF. This research use cross sectional design with number of sample 658.
The results showed prevalence of undernutrition using CIAF indicator is much higher 31.9 compared with BB U, PB U, and BB PB indicators. Protein intake, dietary diversity, vitamin A capsule supplementation and maternal working status were significantly associated with undernutrition. The dominant factor is protein intake. Toddlers who consumed less protein had 4.8 times higher risk 95 CI 0.599 38.746 to experience undernutrition compared to toddlers who consumed enough protein. There is an interaction between protein intake and food diversity. The interactions are mutually debilitating to theincidence of undernutrition.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Rayinda Ajeng
"VO2max merupakan jumlah oksigen maksimal dalam tubuh manusia untuk beraktivitas dimana nilai tersebut dapat menentukan kebugaran dan performa seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan nilai estimasi VO2max yang meliputi aktivitas fisik, status gizi, asupan gizi, perilaku merokok, serta jenis kelamin pada tim UI kategori intermittent sport.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional, dengan 92 sampel pada bulan April-Mei 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui 20-m shuttle run test, pengisian kuesioner GPAQ (Global Physical Activity Questionnaire), pengukuran berat badan, tinggi badan dan persen lemak tubuh, dan food recall 2x24 jam. Analisis statistik menggunakan uji korelasi dan uji t-independen.
Hasil penelitian menujukkan rata-rata nilai estimasi VO2max sebesar 37,7 ml/kg/menit. Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara persen lemak tubuh, aktivitas fisik, dan jenis kelamin dengan nilai estimasi VO2max. Berdasarkan hasil tersebut, diharapkan individu dapat mengetahui kemampuan daya tahan maksimal individu dan faktor yang berhubungan sehingga dapat meningkatkan nilai VO2max agar dapat memberikan performa yang maksimal.

VO2max is the maximum amount of oxygen in the human body to move where the value can determine a person's fitness and performance. The objective of this study was to determine the factors associated with the estimated VO2max values that include physical activity, nutritional status, nutrient intake, smoking behavior, and sex.
The research design was cross-sectional, with 92 samples in April-May 2014. Data were collected through the 20-m shuttle run test, questionnaire GPAQ (Global Physical Activity Questionneaire), measurements of weight, height and percent body fat, and 2x24 hours food recall. Statistical analysis using correlation and independent t-test.
The results showed the average value of the estimated VO2max of 37.7 ml / kg / min. Results of the bivariate analysis showed there was a significant relationship between percent body fat, physical activity, and sex with the estimated value of VO2max. based on these results, it is expected that each individu can determine the ability of the individual maximum durability and related factors that can increase the value of VO2max in order to provide maximum performance.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S56105
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risma Berliana
"Status gizi lebih menjadi masalah kesehatan global dan membawa dampak buruk bagi kesehatan maupun psikososial bagi remaja. Prevalensi kegemukan dan obesitas pada anak usia 5-12 tahun di Jakarta Utara tahun 2018 sebesar 29.03%, yang mana angka ini melampaui prevalensi nasional dan provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini membahas mengenai faktor yang berkaitan dengan kejadian status gizi lebih berdasarkan pengukuran persen lemak tubuh pada siswi kelas 6 sekolah dasar di Jakarta Utara pada tahun 2018. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari penelitian tentang kegemukan dan obesitas pada anak sekolah dasar dengan indikator indeks massa tubuh menurut umur. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25.43% siswi di Jakarta Utara mengalami status gizi lebih. Terdapat perbedaan proporsi yang signifikan antara asupan lemak (p-value 0.015) dan status menarche (p-value 0.006) terhadap kejadian status gizi lebih, dengan status menarche sebagai faktor dominan. Tidak terdapat perbedaan yang signfikan antara asupan energi, asupan protein, asupan karbohidrat, kebiasaan sarapan, konsumsi buah dan sayuran, konsumsi minuman manis dalam kemasan, aktivitas fisik, durasi menonton TV, dan menggunakan gawai dengan kejadian status gizi lebih. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa perlu dilakukan edukasi terkait pola makan seimbang dan aktivitas fisik bagi remaja putri untuk menjaga status gizi normal.

Over nutritional status has been the global health problem and will become a negative impact on health and psychosocial for adolescents. Based on Riskesdas 2018, prevalence of overweight and obesity in children aged 5-12 years in North Jakarta is 29.03%, which is higher prevalence than the national and province DKI Jakarta. This research objectively investigated factors that related with over nutritional status in grade 6 elementary school students in North Jakarta in 2018 that used body fat percentage assessment. This study used secondary data from rencetly research about obesity in student grade 6 elementary school in North Jakarta. This study used a cross sectional method.
The results showed that 25.43% of female students in North Jakarta changed obesity. There was a significant difference between fat intake (p-value 0.015) and menstrual status (p-value 0.006) to the incidence of over nutritional status, with menstrual status as a dominant factor. There is no significant proportional differences between energy intake, protein intake, carbohydrate intake, breakfast, fruit and vegetable consumption, consumption of sugar sweetened beverages, physical activity, TV viewing and gadget time, with over nutritional status. The results of this study prove that education related to balanced diet and physical activity isimportant for adolescent girl according their needs to normal nutritional status.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tahira Fulazzaky
"Kompetensi merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesiapan guru PAUD dalam aspek kompetensi gizi dan kesehatan menurut survei daring yang diadakan oleh SEAMEO RECFON dengan melihat gambaran hasil kompetensi berdasarkan karakteristik peserta dan menilai kualitas pengukuran kompetensi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif, sampel yang digunakan total sampling sebanyak 78.711 guru PAUD. Analisis meliputi analisis butir soal (tingkat kesukaran butir soal, daya pembeda soal, distribusi jawaban dan rasch model) dan analisis deskriptif terhadap karakteristik responden. Hasil penelitian terhadap butir soal didapatkan 3 item soal yang dinyatakan tidak layak, 8 item soal yang diterima dengan perbaikan, dan ke 29 soal item lainnya sudah cukup baik untuk mengukur kemampuan peserta. Pengukuran menggunakan rasch model, didapatkan keseluruha soal ujian sudah fit secara statistik dan sudah memiliki variasi tingkat kesukaran item yang baik. Hasil analisis Reliabilitas Kuder Ridchardson (KR21) sebesar 0,742 menunjukkan reliabilitas soal dapat diterima.Secara keselurahan kompetensi gizi dan kesehatan guru PAUD belum baik dengan tingkat kelulusan sebesar 33,6%, standar kelulusan menggunakan nilai cut off point 70%. Semakin tinggi tingkat pendidikan persentase kelulusan semakin baik, namun tidak berlaku untuk tingkat pendidikan Doktor hal ini dikarenakan adanya kemungkinan memegang peran manajemen PAUD. Semakin lama pengalaman mengajar persentase kelulusan kompetensinya semakin baik. Domisili terbanyak yang menjadi peserta ujian tinggal di wilayah Indonesia Barat. Peserta dengan riwayat pelatihan (DIKLAT dasar dan pelatihan gizi-kesehatan) persentase kelulusannya lebih baik dibanding kelulusan peserta yang tidak ikut pelatihan. Peserta yang terlibat menjadi kader posyandu persentase kelulusan kompetensinya lebih baik dibanding persentase kelulusan guru yang bukan kader posyandu.

Competence is a basic ability that must be possessed by someone to achieve success in work.This study aims to assess the readiness of ECE teachers in nutritional and health competency aspects according to an online survey conducted by SEAMEO RECFON by looking at the picture of competency results based on participant characteristics and assessing the quality of competency measurement. This research is a study quantitative descriptive, the sample used is a total sampling of 78,711 ECE teachers. The analysis includes item analysis (item difficulty level, item discrimination, distribution answers, Rasch model) and descriptive analysis of the respondent's characteristics. The results of the research on the items obtained 3 items that were declared not feasible, 8 items were received with improvement, and the other 29 item items were good enough to measure the ability of participants. Measurement using the Rasch model, obtained all exam questions are statistically fit and already have a good variation in the level of difficulty items. The results of the Kuder Ridchardson Reliability Analysis (KR21) of 0.742 indicate the reliability of the questions is acceptable. Overall, the nutrition and health competence of PAUD teachers is not good with a graduation rate of 33,6%, the passing grade uses a 70% cut off point value. The higher the level of education the better percentage of graduation, but it does not apply to Doctoral education leves because of the possibility of holding PAUD management roles. The longer teaching experience the better percentage of graduation. Most domiciles who become test takers live in Western Indonesia. Participants with a history of training (basic training and nutrition-health training) the percentage of graduation is better than graduation of participants who did not participate in the training. Participants who were involved in becoming Posyandu cadre graduation rate were better than the graduation percentage of teachers who were not Posyandu cadres."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suwito Indra
"Latar Belakang: Malnutrisi meningkatkan morbiditas dan mortalitas dan menurunkan kualitas hidup pasien sirosis hati. Untuk memperbaiki status gizi, dianjurkan pemberian late night snack (LNS) dengan 50 gram karbohidrat. Santan mengandung banyak middle chain triacylglicerol, sehingga berpotensi menjadi sumber gizi yang lebih baik dan aman bagi pasien sirosis.
Tujuan: Mengetahui manfaat santan untuk memperbaiki status gizi pasien sirosis hati.
Metode: Dilakukan uji klinik dengan desain paralel. Subjek adalah pasien sirosis hati Child Pugh A dan B, yang mengalami malnutrisi berdasarkan kriteria IMT modifikasi Campillo, atau mengalami unintentional weight loss. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok I mendapat LNS berupa 25 gram gula ditambah 50 cc santan, sedangkan kelompok II mendapat LNS berupa 50 gram gula. Status gizi dinilai dari parameter triceps skinfold thickness (TSF), mid arm muscle circumference (MAMC), indeks massa tubuh (IMT), massa lemak tubuh (MLT), kadar prealbumin dan kadar albumin serum.
Hasil Penelitian: Terdapat 18 subjek pada kelompok I, dan 17 subjek pada kelompok II yang menyelesaikan penelitian. Kedua kelompok setara dalam proporsi gender, CP A dan B, dan penyebab sirosis. Meskipun rerata usia kelompok II lebih tua dibandingkan kelompok I, namun tidak terdapat korelasi antara usia dengan semua parameter status gizi yang diukur. Didapatkan peningkatan status gizi lebih baik pada kelompok I bila dilihat dari parameter MAMC, MLT dan kadar albumin serum. Pengukuran TSF meningkat setelah pemberian LNS, namun tidak menunjukkan beda perubahan bermakna antara kedua kelompok, Pengukuran IMT dan kadar prealbumin serum tidak dapat mencerminkan perubahan status gizi dengan baik.
Kesimpulan: Pemberian LNS dengan kombinasi karbohidrat dan santan lebih unggul dibandingkan LNS dengan karbohidrat saja dalam memperbaiki status gizi pasien sirosis hati, dilihat dari parameter MAMC, MLT dan kadar albumin serum, sedangkan parameter TSF, IMT dan kadar prealbumin serum tidak menunjukkan beda perubahan yang bermakna antara kedua kelompok.

Background: Malnutrition caused a decline in quality of life, increased morbidity and mortality in patients with cirrhosis of the liver. It is recommended to give late night snack (LNS) with 50 grams of carbohydrates to improve their nutritional status. Coconut milk contains a lot of middle chain triacylglycerol, it is potentially act as a source of safe, and better nutrition for patients with cirrhosis.
Aim: To see the benefit of coconut milk to improve the nutritional status of chirrotic patients.
Methods: This study is a clinical trial with parallel design. Subjects were cirrhotic patients with Child-Pugh A and B, who suffered malnutrition using Campillo?s modification of BMI criteria or experience unintentional weight loss. Subjects were devided into 2 groups, groups I received 25 gram of sugar and 50 cc of coconut milk as LNS, group II received received 50 gram sugar as LNS. Nutritional status assessed from triceps skin fold thickness (TSF), mid-arm muscle circumference (MAMC), body mass index (BMI), body fat mass (BFM), serum prealbumin and serum albumin levels.
Results: There were 18 subjects in group I and 17 subjects in group II. Both groups were similar in proportion of gender, CP A and B, and the cause of cirrhosis. Although the mean age of group II older than group I, but there were no significant correlation found between age and all nutrition parameters. Measurement of MAMC, BFM, and albumin levels showed that cirrhotic patient in group I have improvement of nutritional status better than group II, The TSF was increased after administration of LNS, but no significantly different changes found among both groups,. BMI and serum prealbumin cannot reflect changes in nutritional status well.
Conclusion: Late night snack containing carbohydrate and coconut milk, is superior to improving nutritional status in cirrhotic patients compare to carbohydrates alone, as seen from MAMC, BFM, and serum albumin level parameters, whereas TSF, BMI, and serum prealbumin level did not show any difference between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sudarso
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penilaian status gizi pada lanjut usia saat ini menggunakan Mini Nutritional Assessment MNA , namun memakan waktu yang cukup lama, dilakukan oleh tenaga kesehatan, dan tidak praktis bila digunakan di komunitas. Pemeriksaan kekuatan genggam tangan dapat dijadikan instrumen penapisan status gizi pada lanjut usia. Keuntungan dari pemeriksaan kekuatan genggam tangan antara lain sederhana, alatnya mudah dibawa, tidak membutuhkan waktu yang lama, praktis dan mudah digunakan oleh bukan tenaga kesehatan, tetapi belum ada data titik potong dan akurasi diagnosis kekuatan genggam tangan pada lanjut usia di komunitas.Tujuan: Mendapatkan titik potong dan akurasi diagnosis kekuatan genggam tangan sebagai penapis status gizi pada lanjut usia di komunitas.Metode: Penelitian potong lintang pada subjek berusia ge; 60 tahun di Posbindu di kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur selama Januari-Februari 2017. Titik potong kekuatan genggam tangan dianalisis menggunakan kurva Receiver Operating Characteristics ROC . Akurasi diagnosis kekuatan genggam tangan dibandingkan dengan Mini Nutritional Assessment, dinilai dengan menghitung sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif NDP , nilai duga negatif NDN , rasio kemungkinan positif RKP , dan rasio kemungkinan negatif RKN .Hasil: Nilai Area Under the Curve AUC pada lanjut usia laki-laki dan perempuan adalah 90,5 IK95 82,0 ndash;99,0 dan 79,6 IK95 71,7 ndash;87,6 . Titik potong kekuatan genggam tangan lanjut usia laki-laki dan perempuan untuk mendeteksi kondisi malnutrisi berturut-turut adalah le; 25 kg dan le; 18 kg dengan sensitivitas 87,5 dan 77,8 , spesifisitas 80,0 dan 65,0 , NDP 66,7 dan 55,6 , NDN 93,3 dan 83,9 , RKP 4,4 dan 2,2, RKN 0,1 dan 0,3.Simpulan: Titik potong kekuatan genggam tangan lanjut usia laki-laki dan perempuan untuk mendeteksi malnutrisi berturut-turut adalah le; 25 kg dan le; 18 kg. Akurasi diagnosis kekuatan genggam tangan lanjut usia laki-laki dan perempuan dalam mendeteksi malnutrisi berturut-turut dinilai baik dan sedang.Kata Kunci: malnutrisi, lanjut usia, kekuatan genggam tangan, MNA
ABSTRACT
Backgound Assessment of elderly nutritional status using Mini Nutritional Assessment MNA may take longer time, should be performed by healthcare professional and not simple when using in community. Handgrip strength assessment could be a nutritional screening method for elderly. The benefits of using handgrip strength are simple, reliable, and easy performance method, but there is no sufficient information regarding its cutoffpoint and diagnostic accuracy for community living elderly.Objective To verify the cutoff point and accuracy of handgrip strength for nutritional assessment of community living elderly.Method A crossectional study was conducted at Posbindu in Pulogadung, Jakarta Timur in January February 2017. Subjects were men and women ge 60 years old. Cutoff point of malnutrition was analyzed by the ROC curve. Diagnostic accuracy of handgrip strength was calculated.Results The area under the curve AUC value of hand grip strength in elderly men and women were 90.5 CI 95 82.0 99.0 and 79.6 CI95 71.7 87.6 . Cutoff point of handgrip strength for diagnosis of malnutrition according to the reference standard were le 25 kg for men and le 18 kg for women, with the sensitivity, specificity, PPV, NPV, LR , and LR were 87.5 and 77.8 , 80.0 and 65.0 , 66.7 and 55.6 , 93.3 and 83.9 , 4,4 and 2,2, 0,1 and 0,3 for men and women, respectively.Conclusions Cutoff point of handgrip strength for diagnosis of malnutrition were le 25 kg for men and le 18 kg for women. Diagnostic accuracy of handgrip strength for diagnosis malnutrition in elderly men and women were good and moderate."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Teni Safira
"Edukasi dan konseling gizi telah terbukti banyak menyelesaikan masalah seputar gizi. Metode telehealth yang mulai dikembangkan untuk pelayanan kesehatan juga menyasar bidang gizi (teledietetics). Di Indonesia sendiri saat ini belum banyak penelitian mengenai telehealth di bidang kesehatan, termasuk di bidang gizi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian pendampingan gizi mencakup pemberian edukasi dan konseling gizi terhadap pengetahuan gizi dan perilaku makan subjek. Penelitian ini menggunakan desain studi kuasi-eksperimental pre-test – post-test. Sejumlah 39 pekerja kantor yang terbagi menjadi 21 subjek kelompok perlakuan dan 18 subjek kelompok kontrol menjadi subjek pada penelitian ini dan diberikan metode pendampingan gizi yang berbeda: metode telehealth (perlakuan) dan metode face-to-face (kontrol). Subjek diminta untuk mengisi kuesioner yang berisikan 11 pertanyaan seputar materi intervensi serta melakukan recall asupan 1x24 jam setiap satu kali dalam seminggu. Perbedaan rata-rata antara kedua kelompok dianalisis menggunakan uji independent t-test. Metode telehealth dianggap menjadi metode yang lebih baik untuk meningkakan pengetahuan gizi dibandingkan metode fae-to-face (p<0,05). Selain itu, rata-rata selisih jawaban benar lebih juga lebih tinggi pada metode telehealth (3,00 ± 1,61) dibandingkan dengan metode face-fo-face (1,55 ± 1,34).

Nutrition education and counselling have proven to overcome nutritional problems. Telehealth which starting to thrive in Indonesia’s health service also targeting nutrition field (teledietetics). There is still lack of research about telehealth in Indonesia. Hence, this present study aimed to evaluate the effect of nutrition assistance including nutritional education and counselling on nutrition knowledge and dietary intake. This research is using a pre-test – post-test quas-experiment design. There are 39 academic staffs who participate and becoming the subjects of this study. The subjects then divided into two groups, telehealth group and face-to-face group. The subjects will asked to answer 11 questions about nutrition knowledge and do the 1x24 hour food recall once a week on weekday. The results shows that on increasing nutrition knowledge, telehealth group has better result (P<0,05). On comprehension assessment, telehealth group (3,00 ± 1,61) also showed higher deviation between before and after intervention rather than faceto- face group (1,55 ± 1,34)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatini Dini Novitasari
"Salah satu prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yakni menurunkan prevalensi stunting pada baduta menjadi 14% di tahun 2024. Namun, hingga kini prevalensi stunting di Indonesia masih jauh dari target dan upaya yang dilakukan khususnya skrining stunting belum melibatkan deteksi faktor risiko stunting. Di sisi lain, fase seribu hari pertama kehidupan sangat esensial bagi kehidupan anak kedepannya, termasuk status kesehatan dan gizinya. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara status kesehatan dan gizi selama seribu hari pertama kehidupan dan stunting pada anak usia 0-23 bulan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional untuk menganalisis data sekunder Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 pada 6554 anak usia 0-23 bulan dan ibunya yang terbagi menjadi 3 kelompok, yakni usia 0-5 bulan, 6-11 bulan, dan 12-23 bulan dan dianalisis menggunakan analisis regresi logistik ganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa BBLR dan riwayat IMD berhubungan signifikan dengan stunting pada anak usia 0-5 bulan, sedangkan usia gestasi dan waktu pertama MP-ASI berhubungan signifikan stunting pada anak usia 6-11 bulan (p-value <0,05). Di sisi lain, faktor yang berhubungan signifikan dengan stunting pada anak usia 12-23 bulan yakni BBLR dan panjang lahir (p-value <0,05). Selanjutnya, faktor yang paling dominan mempengaruhi stunting pada anak usia 0-5 bulan, 6-11 bulan, dan 12-23 bulan secara berturut-turut yakni BBLR (OR 2,557; 95%CI: 1,126 – 5,806), usia gestasi ketika lahir (OR 1,485; 95%CI: 1,048 – 2,104), dan panjang lahir (OR 1,692; 95%CI: 1,323 – 2,165). Jadi, BBLR, prematur, dan lahir pendek menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 0-23 bulan dan sebaiknya skrining/deteksi stunting dilakukan secara berkala dengan melibatkan berbagai faktor risiko tersebut.

One of the priorities of the 2020-2024 National Medium-Term Development Plan (RPJMN) is to reduce the prevalence of stunting in under-fives to 14% in 2024. However, until now the prevalence of stunting in Indonesia is still far from the target and the efforts being made specifically for stunting screening have not involved risk factor of stunting. On the other hand, the phase of the first thousand days of life is essential for children's future life, including their health and nutritional status. For this reason, this study aims to identify the relationship between health and nutritional status during the first thousand days of life and stunting in children aged 0-23 months. This study used a cross-sectional design to analyze secondary data from the Basic Health Research (Riskesdas) 2018 on 6554 children aged 0-23 months and their mothers divided into 3 groups of age, such as 0-5 months, 6-11 months, and 12-23 months and analyzed using multiple logistic regression analysis. The results of this study indicate that LBW and history of early initiation of breastfeeding are significantly related to stunting in children aged 0-5 months, while gestational age and the time of first complementary breastfeeding are significantly related to stunting in children aged 6-11 months (p-value <0.05). On the other hand, factors that are significantly related to stunting in children aged 12-23 months are LBW and birth length (p-value <0.05). Furthermore, the most dominant factors influencing stunting in children aged 0-5 months, 6-11 months, and 12-23 months respectively are LBW (OR 2,557; 95% CI: 1,126 – 5,806), gestational age at birth (OR 1,485; 95% CI: 1,048 – 2,104), and birth length (OR 1,692; 95% CI: 1,323 – 2,165). So, LBW, premature and short birth length are the factors that most influence the incidence of stunting in children aged 0-23 months and the screening of stunting should be carried out regularly by involving these various risk factors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fiqriyarizqi
"Kejadian gizi kurang pada balita di Indonesia cukup tinggi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada balita yaitu jenis pangan yang dikonsumsi, pola asuh keluarga, penyakit infeksi, status ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah gizi kurang pada balita yaitu dengan memenuhi asupan nutrisi balita sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Pemenuhan asupan nutrisi balita harus memperhatikan keanekaragaman jenis pangan, porsi makan, dan jadwal makan yang teratur. Intervensi keperawatan unggulan yang diberikan kepada keluarga untuk mengatasi masalah gizi kurang pada balita yaitu dengan penyusunan jadwal makan dan menu makan gizi seimbang. Hasil dari intervensi yang dilakukan selama 3 minggu menunjukkan bahwa terdapat peningkatan berat badan pada balita yang mengalami gizi kurang sebanyak 0,3 kg. Hasil praktik ini merekomendasikan agar praktik selanjutnya dapat menggali intervensi keperawatan lainnya yang dapat dilakukan guna mengatasi masalah gizi kurang pada balita. Selain itu, praktik ini juga merekomendasikan kepada keluarga untuk memberikan makan anak secara teratur sesuai dengan jadwal serta mengandung makanan dengan gizi yang seimbang.

The incidence of malnutrition in children under five in Indonesia is quite high. There are several factors that influence the nutritional status of toddlers which are the type of food consumed, family parenting patterns, infectious diseases, economic status, socio-culture, education, and the environment. One of the efforts that can be done to overcome the problem of malnutrition in toddlers is to fulfill the nutritional intake of toddlers in accordance with balanced nutrition guidelines. Fulfillment of nutritional intake of toddlers must pay attention to the diversity of food types, meal portions, and regular eating schedules. The leading nursing intervention given to families to overcome the problem of undernutrition in toddlers is by compiling a meal schedule and a balanced nutritional diet. The results of the intervention carried out for 3 weeks showed that there was an increase in body weight in undernourished toddlers as much as 0.3 kg. The results of this practice recommend that further practice can explore other nursing interventions that can be done to overcome the problem of malnutrition in toddlers. In addition, this practice also recommends families to feed their children regularly according to a schedule and contain foods with balanced nutrition."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>