Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120552 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyuningsih
"Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis, kuman TBC telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia sehingga tahun 1993 WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis. Mulai tahun 1995, Indonesia telah menerapkan strategi DOTS (Directly Observerd Treatment Shortcourse) yang salah satu komponennya yaitu pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan Pengawasan Menelan Obat (PMO). Hasil kegiatan program penanggulangan penyakit Tuberkulosis di Lampung Selatan tahun 2003 yaitu CDR sebesar 30,63%, konversi 79,8% dan Cure Rate 66%. Tetapi jika dibandingkan dengan hasil kegiatan program P2TB di Provinsi Lampung secara keseluruhan, angka cakupan penderita, angka konversi dan angka kesembuhan di Kabupaten Lampung Selatan masih lebih baik, dimana angka cakupan program P2TB di provinsi Lampung tahun 2003 yaitu angka penemuan kasus penderita TBC BTA+ sebanyak 15,5%, konversi 78% dan angka kesembuhan 57%.
Dalam rangka kegiatan program P2TB, terutama pengobatan penderita, salah satu diantaranya yaitu keberadaan Pengawas Menelan Obat agar penderita TBC tidak mangkir dalam pengobatan, didapatkannya konversi kesembuhan bagi penderaita TBC.
Penelitian hanya dibatasi tentang Analisis kinerja PMO penderita TBC oleh Nakes yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai gambaran kinerja PMO penderita TBC oleh Nakes dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja PMO oleh Nakes di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2004.
Penelitian dilakukan diseluruh puskesmas di wilayah Kabupaten Lampung Selatan pada bulan Mei-Juni 2004. Desain penelitian yaitu Cross Ceclional, populasi adalah sekaligus sampel penelitian yaitu PMO penderita tuberkulosis oleh Nakes di puskesmas di Lampung Selatan tahun 2004 yang mencakup sebanyak 98 orang.
Hasil penelitian menunjukkan gambaran kinerja PMO penderita tuberkulosis oleh Nakes di Kabupaten Lampung Selatan yaitu sebanyak 44,9% mempunyai kinerja baik dan 55,1% dengan kinerja kurang baik. Dari analisis hubungan antar variabel ditenmkan bahwa variabel yang mempunyai hubungan signifikan dengan kineja PMO oleh Nakes yaitu : urnur, jenis kelamin, motivasi dan beban kerja. Variabel yang tidak mempunyai hubungan signifikan dengan kinerja PMO oleh Nakes yaitu pendidikan, kepemimpinan dan pengetahuan. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kinerja PMO oleh Nakes adalah variabel umur yaitu semakin tua umur Nakes cenderung mempunyai kinerja baik.
Disarankan pemberian reward bagi PMO yang berprestasi dan pemberian dana insentif untuk pelacakan penderita TB mangkir, diperlukan pemberian dana stimulan dalam keterlibatan TOMA dan TOGA serta kader kesehatan dalam program P2TB terutama dalam kegiatan penjaringan. suspek penderita TBC dan keterlibatan mereka sebagai PMO penderita TBC. Kepada Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan hendaknya meningkatkan kerjasama Lintas Program dan Lintas Sektoral terkait dan diaktifkannya Tim GERDUNAS TB yang telah terbentuk. Perlu ditingkatkan Bimbingan Teknis program dan pelatihan kepemimpinan terhadap pimpinan puskesmas oleh Dinas Kesehatan. Kepada Departemen Kesehatan perlu terus dilaksanakan pelatihan terhadap tenaga dokter, paramedis dan analis puskesmas dalam program P2TB dalam rangka peningkatan penemuan penderita penyakit tuberkulbsis di masyarakat dalam rangka penunuian angka kesakitan dan kematian karena penyakit TBC di Indonesia.
Daftar bacaan : 45 ( 1984-2004)

Analyzing the Performance of Drug Taking Inspector (PMO) for Tuberculosis Patients Conducted by Health Personnel in Regency of South Lampung in the Year of 2004Tuberculosis is contagious disease caused by microorganism called Mycobacterium tuberculosis. Today, TBC has infected one-third of people all over the world, so that in 1993 WHO stated an emergency of Tuberculosis epidemic universally. Started in 1995, Indonesia has applied DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) strategy that one of its components is medication using short-term anti tuberculosis drug (OAT) observed by Drug Taking controller (PMO). In the year of 2003, the program against Tuberculosis in Lampung had resulted in CDR of equal to 30,63%, conversion of 79,8%, and Cure Rate of 66%. If its compare this result with the result of P2TB program planned in Lampung as a whole, the coverage number of patients, conversion number, and healing number in the District of South Lampung is better, while the coverage number of Tuberculosis patients taken from P2TB program in Lampung, is about 15,5 % for TBC BTA + case, 78 % for conversion, and 57 % for healing number.
In order to conduct P2TB program, especially for medicating patients, one of them is the existence of Drug Taking controller (PMO). The purpose is to keep patients so that they do not stop the medication, further more is to have healing conversion for them.
The research that limited only in analyzing PMO performance for Tuberculosis Patients conducted by health personnel is to obtain information about PMO performance and the factors associated to PMO performance in District of South Lampung in 2004.
This research took places in all of Health Center (Puskesmas) in that District since May to July 2004. The design of this research is Cross Sectional, population, including sample that is 98 members of PMO for Tuberculosis patients in District of South Lampung in 2004.
This research shows that PMO performance for Tuberculosis patients in the Regency is 44,9 % of them has good performance and the rest 55,1 % has less performance. Correlation analysis found that variables having significant connection to PMO performance are: age, sex, motivation, and workload. while variables having no relationship to the performance is: education, leadership, and knowledge. Variable having largest connection to PMO performance is age.
We suggest that a reward should be given to PMO member who has good performance and incentive fund should be available for tracking absent patients, stimulant fund should be given for supporting the existence of TOMA and TOGA and health cadre involved in P2TB program, especially in catching new patient suffer from TBC and their involvement as a PMO for the patient. For Health Officials in Lampung and Health Official in South Lampung District, better cross-program and related cross-sectional cooperation should be implemented, GERDIJNAS team, which is formed before should be activated. Health Officials should develop technical guidance for the program and leadership training toward leaders in Health Center (Puskesmas). They also should carry out training for doctors, paramedics, Puskesmas workers about P2TB program in order to improve ability of finding new patient suffer from TBC among society to reduce morbidity and mortality caused by TBC disease in Indonesia.
Reference: 45 (1984-2004)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12786
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirdani
"Pemerintah telah menyediakan paduan obat yang efektif untuk membunuh kuman tuberkulosis dalam waktu yang relatif singkat, sekitar enam bulan secara cuma-cuma dengan penerapan Pengawas Menelan Obat (PMO) atau strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS). Di Kabupaten Pandeglang penemuan kasus meningkat dari tahun 1999 sampai tahun 2000, namun angka konversi masih rendah dimana angka konversi tahun 1999 baru 48% dan tahun 2000 adalah 54,5%. Ketidakteraturan minum obat merupakan salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB Paru.
Semenjak tahun 1995 Program Penanggulangan TB Paru strategi DOTS yang salah satu komponennya PMO di Kabupaten Pandeglang sudah diterapkan. Namun hubungan keberadaan PMO dengan keteraturan minum obat penderita TB Paru terutama fase intensif belum diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan keberadaan PMO dengan keteraturan minum obat fase intensif penderita TB Paru di Puskesmas Kabupaten Pandeglang tahun 2000. Rancangan penelitian adalah kasus kontrol dengan perbandingan jumlah kasus dan kontrol 1 : 2. Jumlah sampel keseluruhan adalah 213 prang, yang terdiri dari 71 kasus dan 142 kontrol. Sampel adalah penderita TB Paru yang berumur 15 tahun atau lebih yang mendapat terapi strategi DOTS kategori 1 atau kategori 3 yang berobat ke puskesmas sejak 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000 dan telah menyelesaikan pengobatan fase intensif.
Kasus adalah sampel yang tidak teratur minum obat dihitung dari tanggal mulai minum obat sampai tanggal selesai minum obat fase intensif dimana penderita minum obat kurang dari 60 hari atau lebih dari 70 hari termasuk penderita putus obat, sedangkan kontrol adalah sampel yang minum obat teratur selama 60 - 70 hari pada fase intensif.
Hasil penelitian, variabel yang berhubungan dengan keteraturan minum obat secara bermakna adalah keberadan PMO di mana penderita tanpa PMO berisiko tidak teratur minum obat 2,13 kali dibanding ada PMO, penderita yang merasakan efek samping obat berisiko 3,93 kali tidak teratur dibanding penderita tanpa efek samping, dan penderita tidak mengerti penyuluhan berisiko 4,27 kali tidak teratur dibanding penderita mengerti penyuluhan secara bersama-sama, sedangkan yang tidak bermakna adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis kategori obat dan frekuensi penyuluhan.
Disimpulkan bahwa tidak ada PMO (OR:2,13 ; 95%CI:1,00-4,53), ada efek samping obat (OR:3,93 ; 95%CI:2,00-6,82), dan tidak mengerti penyuluhan (OR:4,27 ;95%CI:2,05-8,93) bersama-sama berhubungan secara bermakna dengan ketidakteraturan minum obat (p<0,05) di Puskesmas Kabupaten Pandeglang tahun 2000.
Disarankan keberadaan PMO masih sangat diperlukan. Disamping itu perlu penyuluhan yang sederhana sesuai bahasa dan tingkat pendidikan penderita yang sebagian besar rendah agar bisa dimengerti serta perlu waktu khusus untuk konseling. Selain itu perlu penanganan yang serius terhadap efek samping yang dirasakan penderita untuk meningkatkan keteraturan minum obat penderita TB Paru.

The Relationship between Treatment Observer with the Regulate Took Medicine, Intensive Phase for Lung Tuberculosis Sufferer in Community Health Center, Pandeglang Distric, 2000The Government has provided the effective drug manual to kill bacteria of tuberculosis within a short time, nearly six months given to them free of charged by using application of Treatment Observer as Directly Observed Treatment Short course (DOTS) strategy. In Pandeglang district the case findings increased from 1999 to 2000, however, the conversion rate were still low, where the conversion rate in 1999 were just 48% and in 2000 were 54,5%. Irregular of drug swallow was as one of the failures of The Lung Tuberculosis Programs.
Since 1995 the program on overcame the Lung Tuberculosis used DOTS strategy which one of the components was Application of the Treatment Observer, it has been applied in Pandeglang District. However, the availability of it in giving the revision of obedience took the medicine for sufferers of Lung Tuberculosis especially to intensive phase have unknown yet.
The Objective of study knew the relationship between the availability of the Treatment Observer with regulate took the medicine for Lung Tuberculosis intensive phase in Community Health Center, Pandeglang District in 2000. The Design of study is case-control with the comparison that the cases amount and control 1:2. Total sample were 213, which total cases 71 and total control 142. The sample were the Lung Tuberculosis sufferers whose 15 years old or greater that obtained the therapy DOTS strategy, category one or three that took treatment to Community Health Center since January 1st - December 31st, 2000 and finished the treatment of intensive phase. Case was the sample who irregular took medicine, it calculated from the date of starting took the medicine from 60 days or more than 70 days, it was including the dropped out sufferer, while the control was the sample who took medicine regularly during 60-70 days on intensive phase.
The result of this research, the variable that related to regulate in taking medicine significantly were the availability of treatment observer which wasn't the treatment observer have 2.13 times risk for irregular took medicine than was the treatment observer, side effect of medicine which was side effect of the drug have 3.93 times risk for irregular took medicine than wasn't side effect of the drug, and illumination which didn't know the illumination have 4.27 times risk for irregular took medicine than knew the illumination, while that insignificantly were age, sex, education, kind of drug category and the frequency of illumination.
The conclusion, that there wasn't the treatment observer (OR:2.13 ; 95%CI: 1.00-4.53), there was side effect of the drug (OR:3.93 ; 95%CI: 2.00-6.82), and didn't know the illumination (OR:4.27 ; 95%CI:2.05-8.93). They were together connecting significantly to irregular took the medicine (P<0.05) in Community Health Center, Pandeglang District, 2000.
Considering, it's suggested that the availability of treatment observer is still needed. It also needs simply illumination that appropriates to language and education level of the sufferers who mostly lower education can easily understand the message. Besides those mentioned above, it needed management seriously to the side effect that felt by the sufferers to increase there regulate to take the medicine.
"
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T10009
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armaidi Darmawan
"Program penanggulangan tuberkulosis (TB) nasional dengan strategi Directly Observed Treatment Shorrcourse (DOTS) yang mengandung Pengawas Menelan Obat (PMO) semenjak tahun 1995 telah berhasil baik dan setelah 3 tahun berjalan angka kesembuhan penderita lebih dari 85%. Di kabupaten Kerinci strategi DOTS dimulai sejak tahun 1998, tiga tahun sampai tahun 2001 belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana angka konsumsi yang rendah dan angka kesembuhan hanya 41%. Faktor ketidak teraturan minum obat merupakan salah satu penyebab kegagalan program penanggulangan TB paru.
Sejak 1998 strategi DOTS yang mengandung komponen PMO di kabupaten Kerinci sudah diterapkan. Namun bagaimana hubungan PMO tersebut dengan keteraturan penderita TB paru minum obat dan mengapa penderita teratur atau tidak teratur belum diketahui. Untuk ini studi kasus kontrol bersamaan dengan kualitatif Foccus Group Discussion (FOD) ini dilaksanakan
Sampel adalah penderita TB paru berusia 15 tahun keatas yang telah selesai atau putus berobat di puslesrnas kabupaten Kerinci sejak 1 Januari sampai 31 Desember 2001. Jumlah sampel adalah 194 penderita dengan 97 kasus dan 97 kontrol.
Lima kelompok FGD dengan 42 informan, baik dari kelompok kasus maupun kontrol telah membetikan inforrnasinya tentang sebab-sebab ketidak teraturan minum obat.
Kasus adalah penderita sampel yang tidak minum obat 3 hari atau lebih pada fase awal dan atau 7 hari atau Iebih pada fase lanjutan, dimana lama penyelesaian minum obat kategori 1 lebih dari 6 bulan 10 hari.
Dengan logistik regresi multipel dan contens analysis, hasil signifikan dimana penderita yang tidak mempunyai PMO selama minum obat berisiko 2,68 kali lipat dibanding yang mempunvai PMO (OR:2,6 %: 95°%f%CI: l,4G-4,94;p:0.00I ).
Keberadaan PMO di kabupaten Kerinci masih diperlukan, penyuluhan tentang TB paru secara komprehensif dengan durasi yang cukup dan frekuensi yang lebih sering untuk mengantisipasi berhentinya penderita karena tidak mengerti dengan penyakit TB dan program pengobatannya.
Diperlukan penanganan khusus ESO yang timbul agar tidak menjadi alasan penderita untuk berhenti minum obat.
Daftar Pustaka 42 : (1990 - 2002)

The National Tuberculosis Programs (NTP) adopted the Directly Observed Treatment Short course (DOTS) strategy. Treatment observer is one of the live components of DOTS. It has applied to the treatment observer as from 1995. A good result with high cure rate more than 85% has been achieved so far. DOTS strategy has been implemented since 1998 in the Kerinci district, however, the conversion rate was still low and cure rate were just 41% in 2001. The irregularity of drug consuming TB drugs is one of the failures of the national tuberculosis programs.
Since 1998 the DOTS strategy has been applied in Kerinci district, however, the relation of treatment observer and the patient regularly or irregularly consuming TB drug is not known yet. For this purpose, a case control study and focus group discussion (FGD) were carried out.
The samples were the tuberculosis patients of 15 years old or more who had completed the treatment or defaulted. They are cases treated with category-1 in the community health center since 1 January to 31 Decembe,2001. The total sample taken was 194, where 97 of them are cases and 97 as controls. Five FGD were performed. The total of 42 informants as case and control were attending the FGD and contributed information.
The criteria of the cases are those samples who did not consume medicine for 3 days more during intensive phase and or 7 days for intermittent phase and the duration of treatment was six months and ten days or more.
Logistic regression multivariate method and content analysis were used for data analysis purpose, and the significant result was obtained. Where the patient without treatment observer has 2.68 times risk of irregularity of consuming TB drug compared with accompanied by the treatment observer (OR: 2.68, 95% CI: 1.46-4.94, p: 0.001).
The treatment observer is really required in Kerinci district, A comprehensive counseling on tuberculosis on regular base for quite some time is required to anticipate the drop out from treatment. Most of the patients do not understand about tuberculosis and the treatment procedure. Special action has to be taken w treat the side effect in order to prevent from self stopping TB treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T1412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darmadi
"Pada saat ini penyakit tbc masih meupakan masalah kesehatan masyarakat oleh karena angka kesakitan meningkat terus setiap tahun dan salah satu penyebab penyakit ini adalah ketidakteraturan berobat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara kualitatif perilaku kepatuhan menelan obat penderita tuberkulosis paru di 4 puskesmas wilayah Kabupaten Ketapang tahun 2000. Lokasi penelitian dilakukan di 4 puskesmas yaitu Puskesmas Sei Awan, Puskesmas Suka Bangun (yang penderitanya aktif berobat), Puskesmas Kedondong dan Puskesmas Mulia Baru (yang penderitanya tidak aktif berobat), Kabupaten Ketapang.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan sebagai informan adalah penderita Tb paru yang sedang mengikuti program Tb paru di bawah 5 bulan pengobatan, petugas pemegang program Tb paru, pimpinan puskesmas, petugas laboratorium dan PMO. Pengumpulan data dengan metode diskusi kelompok terarah terhadap penderita Tb paru serta PMO, sedangkan petugas program Tb paru, petugas laboratorium, kepala puskesmas dilakukan wawancara mendalam. Karakteristik informan untuk penderita Tb paru yang dilihat adalah pengetahuan, persepsi, sikap, motivasi, niat. Persepsi disini adalah terhadap petugas pemegang program Tb paru, Petugas laboratorium dan PMO. Untuk PMO yang_ dilihat adalah pengawasannya terhadap penderita Tb paru. Untuk petugas pemegang program dan petugas laboratorium yang dilihat adalah pelayanannya, dan untuk pimpinan puskesmas yang dilihat adalah pengawasannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada penderita Tb paru yang aktif dan tidak aktif berobat sebagian besar penderita mempunyai pengetahuan yang baik, dan sebagian kecil mempunyai pengetahuan rendah. Persepsi penderita terhadap petugas program Tb paru, petugas laboratorium, PMO pada yang aktif berobat umumnya baik sedangkan yang tidak aktif berobat mempunyai persepsi yang buruk. Sikap penderita yang aktif berobat terhadap lamanya dan keteraturan menelan berobat menunjukkan sikap yang baik sedangkan pada yang tidak aktif berobat menunjukkkan sikap yang buruk. Semua penderita yang aktif berobat mempunyai motivasi yang positif, sedangkan pada yang tidak aktif berobat mempunyai motivasi yang buruk. Hampir seluruh penderita yang aktif berobat maupun yang tidak aktif berobat menunjukkan adanya niat untuk kesembuhan bagi dirinya dan hanya sebagian kecil saja yang tidak ada niat atau pasrah dengan keadaan sakitya.
Sebagian besar PMO yang penderitanya yang aktif berobat mempunyai pengawasan yang baik dan pada yang tidak aktif berobat pengawasannya buruk. Sebagian besar kepala puskesmas yang penderitanya aktif berobat pengawasannya baik sedangkan sebagian besar pada penderitanya yang tidak aktif berobat pengawasannya buruk. Sebagian besar petugas pemegang program Tb paru yang penderitanya aktif berobat mempunyai pelayanan yang baik sedangkan sebagian besar pada yang tidak aktif berobat pelayanannya buruk. Sebagian besar petugas laboratorium yang penderitanya aktif berobat pelayanannya baik sedangkan sebagian besar pada penderitanya yang tidak aktif berobat pelayanannya buruk. Ada beberapa saran yang dapat kami sampaikan. Kepada para Kepala Puskesmas supaya mengadakan pelatihan kepada petugas, agar kinerja petugas dapat ditingkatkan. Kepada pemerintah agar mendukung dan menyediakan dana untuk meningkatkan program Tb paru.

Now the tuberculosis disease in public health problem the cases improve every year an one of the couses of this disease to swallow the pillsirregulary. This research purposed is to qualitative analyze obedience behavior to swallow pills among the lung tuberculoses patients at four health centres in Ketapang District in the year 2000. the 4 public health centre, named Puskesmas Sei Awan, Puskesmas Suka Bangun (which patients are active in medication), Puskesmas Kedondong and Puskesmas Mulia Baru (which patients are not active in medication), in Ketapang District.
This research is a qualitative research and the informants are the lung tuberculoses patients who participated in lung tuberculoses program within 5 months medication, the officials for the lung tuberculoses program, public health centre head, laboratory staffs and the PMO. The data is collected by applying focus group discussion method of the lung tuberculoses patients together with the PMO, and by applying deep interview with the lung tuberculoses program officials, the laboratory staffs, and the head official of public health centre. The observed inforrnen characteristics of the lung tuberculoses patients are the knowledge, perception, attitude, motivation, and eagerness. Perception is due to the services which are given by the lung tuberculoses program officials and the laboratory staffs, and the monitoring by the PMO to the lung tuberculoses patients, and the process monitoring by the head official public health centre.
The research result showed that the active and non-active patient's have good knowledge and some a few of non-actve patient's have minor knowledge. There are generally good perceptions among the active medication patients about the program officials, laboratory staffs, and the PMO, as well as the non-active patients have bad perceptions about these officials. Active medication patient's attitude towards the period and the regularity in swallowing the pills are good, as well as the non-active medication patients didn't show bad attitude. All the active medication patients have positive motivation, while the non-active medication patients have poor motivation. Almost all of the patients, either the active or the non-active medication patients show good intention for their own disease remedy. Only few of them didn't show the motivation to get cured from the disease or relinquish for their own condition.
Most of the PMO, program officials, laboratory staffs, and the head official of public health centre with active medication patients have showed good attitude in their own tasks, while the PMO, program officials, laboraty staffs and head official of public health centre with non-active patients have showed poor attitude in doing their own tasks. I would like to suggest few things regarding the above conditions. The head official of public health centre should provide good training for his officials, as well as motivate his officials to provide better attitude in doing their own tasks. The government should provide enough support and fund for the implementation of the lung tuberculoses medication program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T1409
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahri Gunawan
"Pendahuluan Penyaktit Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit menular yang membutuhkan waktu pengobatan sampai 6 bulan. Dukungan PMO keluarga berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan, tindakan pencegahan dan kepatuhan pasien. Salah satu metode yang telah terbukti memberikan efek positif adalah Intervensi edukasi kesehatan terstruktur. Tujuan Mengidentifikasi pengaruh intervensi edukasi kesehatan terstruktur terhadap dukungan PMO keluarga dan kepatuhan minum Obat anti Tuberkulosis (OAT) di Kabupaten Muaro Jambi. Metode Penelitian quasy eksperimen dengan pretest and posttest with control goup. Sampel 38 responden pada kelompok intervensi dan 38 pada kelompok kontrol. Analisa data menggunakan uji independent t-tes.dan Mann Whitney Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh edukasi kesehatan terstruktur terhadap dukungan PMO keluarga setelah diberikan intervensi dengan nilai p=0.001 .Terdapat pengaruh edukasi kesehatan terstruktur terhadap kepatuhan minum OAT setelah diberikan intervensi dengan nilai p=0.003. Kesimpulan : edukasi kesehatan terstruktur bertujuan untuk memberikan informasi kepada PMO keluarga akan meningkatkan pendidikan kesehatan, pada akhirnya akan mempengaruhi tindakan yang sehat dalam dukungan keluarga dan meningkatkan kepatuhan minum OAT pada pasien TBC.

Introduction Tuberculosis (TB) is an infectious disease that requires treatment for up to 6 months. Family PMO support plays an important role in increasing knowledge, preventive measures and patient compliance. One method that has been proven to have a positive effect is a structured health education intervention. Objectives To identify the effect of structured health education interventions on family PMO support and adherence to taking anti-tuberculosis drugs (OAT) in Muaro Jambi District. Quasy experimental research method with pretest and posttest with group control. A sample of 38 respondents in the intervention group and 38 in the control group. Data analysis using independent t-test. The results showed that there was an effect of structured health education on family PMO support after being given an intervention with a value of p=0.001. There was an effect of structured health education on adherence to taking OAT after being given an intervention with a value of p=0.003. Conclusion: structured health education aims to provide information to PMO families will improve health education, will ultimately affect healthy actions in family support and increase adherence to taking OAT in TB patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Pujiono
"Tuberculosis Paru merupakan salah satu penyakit kronis yang harus mendapat perhatian untuk segera diatasi dan ditangani. Di Indonesia strategi untuk menanggulanginya dengan Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS) telah dilaksanakan di 7.349 Puskesmas (97 %).
Keberhasilan penanggulangan Program Tuberculosis Paru terkait erat antara komitmen dan pendanaan. Apabila dapat dijalankan dengan baik akan memberi keuntungan secara ekonomis. Mengingat alokasi pembiayaan kesehatan baru mencapai 3,93 % APBD Kabupaten Bengkayang. Maka untuk memberikan advokasi perlu dilakukan evaluasi ekonomi terhadap program kesehatan, salah satunya dengan CEA (Cost Effectiveness Analysis). Kondisi geografis sepesifik Kabupaten Bengkayang terdiri dari daerah pantai, kepulauan, pedaiaman, perkotaan, perbatasan dan tertinggal. Maka untuk lebih memberikan gambaran apakah pembiayaan kesehatan sudah sesuai dengan karakteristik daerah dilakukanlah studi kasus analisis efektifitas biaya penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis pant dengan konseling/penyuluhan dan Pengawas menelan Obat (PMO) anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan tanpa konseling dan PMO hanya anggota keluarga di Puskesmas Pantai dan Puskesmas Perbatasan. Untuk mengetahui komitmen anggaran dilakukan penggalian pendapat 1 pandangan kepada pengambil keputusan.
Disain penelitian adalah kuantitatif. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan basil cost effectiveness ratio penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis paru dengan konseling/penyuluhan dan PMO anggota keluarga dan petugas kesehatan dengan tanpa konseling dan PMO hanya anggota keluarga di Puskesmas Pantai dan Puskesmas Perbatasan. Pengumpulan data primer berupa observasi dan wawancara mendalam dengan pengambil keputusan. Data sekunder dengan telaah dokumen. Hasil penelitian studi kasus ini menunjukkan bahwa komponen terbesar biaya penemuan dan pengobatan penderita tuberculosis paru dengan konseling/penyuluhan dan PMO anggota keluarga dan petugas kesehatan serta tanpa konseling dan PMVIO hanya anggota keluarga adalah biaya operasional sebesar 57,53 % di Puskesmas Sungai Duri (63,27 % gaji dan 17,01 % bahan habis pakai), sebesar 64,67 % di Puskesmas Sungai Raya (78,50 % gaji dan 10,87 % bahan habis pakai), sebesar 65,80 % di Puskesmas Jagoi Babang (90,34 % gaji dan 5,23 % bahan habis pakai) dan sebesar 32,66 % di Puskesmas Seluas (77,83 % gaji dan 12,50 % bahan habis pakai). Penemuan dan pengobatan penderita Tuberculosis Pam dengan metode konseling dan PMO di Puskesmas Pantai lebih efektif dibandingkan Puskesmas Perbatasan. Hampir semua pengambil keputusan menyatakan dukungan terhadap pembiayaan program kesehatan dan efektifitas tergantung pada SDM, sarana dan prasarana, serta pembiayaan kesehatan.
Dalam pelaksanaan program tuberculosis part' di Puskesmas perlu didukung adanya konselinglpenyuluhan dan PMO tenaga kesehatan. Sosialisasi SPM dan hasil studi kasus sebagai bahan evaluasi dan advokasi dalam penyususnan anggaran APBD 2007. Dan efektifitas pelaksanaan program digunakan sebagai dasar dalam penentuan Kebijakan Umum Anggaran (KU A) APBD Kabupaten Bengkayang.

Lungs tuberculosis is one of the chronic diseases that have to be noticed then handled and overcome earlier. Overcome strategy by Directly Observed Treatment Shorcourse chemotherapy (DOTS) had conducted in 7.349 Puskesmas (97 %).
Lungs Tuberculosis Program overcome efficacy related with commitment and funding. If conducted well, it will give benefit economically. Remembering health funding alloction recently reach 3,93 % of Bengkayang Regency APBD. Therefore to give advocated need economic evaluation toward health program, one of them is CEA (Cost Effectiveness Analysis). Specific geographical condition of Bengkayang Regency consist of coast, island, hinterland, urban, border and remains. Therefore to give view that health defrayal is appropriate with district characteristic conducted case study of cost effectiveness analysis case detection patient and lungs tuberculosis medication patient with conselling and PMO with family and health provider without no conselling and PMO by family only in Coastal Puskesmas and Border Puskesmas. To find the budget commitment conduct opinionlview delve toward decision maker.
Research design is quantitative. Research aim is to find cost effectiveness ratio result of patien and lungs tuberculosis medication invention in Coastal Puskesmas and Border Puskesmas. Primary data gathering was in observation and circumstantial interview with decision maker. Secondary data by document study.
This case study research result shows that total cost of case detection and TB Lungs Medication Patient by conselling and PMO with family and health provider with by no conselling and PMO with family only is operasional cost is 57,53 % in Puskesmas Sungai Duri (63,2 % salary and 17,01 % substance used up wear), 64,67 % in Puskesmas Sungai Raya (78,50 % salary and 10,87 % substance used up wear), 65,80 % in Puskesmas Jagoi Babang (90,34 % salary and 5,23 % substance used up wear) and 32,66 % in Puskesmas Seluas (77,83 % salary and 12,50 % substance used up wear). Case detection patient and Lungs TB Medication Patient with Cancelling and PMO Methode in Coastal Puskesmas is more effective with Border Puskesmas. Almost all decision maker express that effectiveness depends on SDM, tools and infrastructure, and also health financing.
Program execution in Puskesmas with concelling and PMO with health provider, SPM Socialization and deciding budget allocation need to play attention to program conducting effectiveness evaluation and advocating on in desition to budget APBD 2007. And effectivness execution programme used by decision elementary in policy budget general Bengkayang Regency APBD.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T20066
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaumaryadi
"Program penanggulangan TB Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) di Kota Palembang secara nasional telah memberikan hasil yang baik, dimana angka konversi pada fase awal pengobatan sebesar 87%. Hal ini berarti lebih besar dari target nasional untuk angka konversi pada fase awal sebesar 80%, tetapi angka kesembuhan masih rendah (72%) dari target 85%, dengan penderita lalai berobat (defaulted) masih tinggi (12,03%). Keluhan efek samping OAT merupakan salah satu penyebab ketidakpatuhan berobat.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan keluhan efek samping OAT dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB Paru di Kota Palembang Propinsi Sumatera Selatan Tahun 1999-2000.
Pada penelitian ini, sebagai variabel dependen adalah ketidakpatuhan berobat penderita Tuberkulosis Paru dan variabel independen utama keluhan efek samping OAT dan variabel independen lainnya umur responden, pekerjaan responden, pendidikan responden, jenis kelamin responden, jenis PMO, peran PMO, pendidikan PMO, dan mutu pelayanan kesehatan.
Disain penelitian adalah kasus-kontrol tidak berpadanan (unmatched). Sampel adalah sebagian penderita TB Paru BTA positif berumur ≥ 15 tahun yang berobat di 36 puskesmas sejak 1 Oktober 1999 sampai 30 November 2000 dan mendapatkan pengobatan dengan strategi DOTS kategori-1 atau katagori-2. Jumlah sampel sebanyak 305 orang terdiri dari 144 kasus dan 161 kontrol.
Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan keluhan efek samping OAT dengan ketidakpatuhan berobat penderita TB Paru di Kota Palembang dimana penderita TB Paru ada keluhan efek samping OAT, 3,00 kali lebih berisiko untuk tidak patuh berobat dibandingkan dengan tidak ada keluhan efek samping OAT (OR : 3,00 dan 95% CI : 1,58-4,87).
Penelitian ini menyarankan untuk meminimalkan efek samping OAT yang terjadi perlu dilakukan pemantauan yang ketat dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris, konseling atau komunikasi yang baik dengan penderita TB Paru, menyediakan obat-obatan efek samping OAT, penelitian mengenai efek samping OAT dengan disain kohor dan instrumen yang lebih akurat serta penelitian tentang dosis obat TB Paru dihubungkan dengan berat badan penderita, apakah spesifik untuk daerah Sumatera Selatan.

The Relation of Anti-Tuberculosis Drug Side Effect Complain With Lung Tb Patient Taking Drug Disobedience in Palembang South Sumatera Province 1999 - 2000
Lung TB Control Program by the strategy of Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) in Palembang nationally has given a good result, where the conversion rate at intensive phase is 87%. It means higher than national target of conversion rate which is 80%, but the cure rate still lower (72%) from the target 85%, with the defaulted patient still high (12.03%). The complaint of anti-TB drug side effect is one of the causes of the taking drug disobedience.
This research's objective is to find out the relation of anti-TB drug side effect to the taking drug disobedience of lung TB patient in Palembang, South Sumatera Province in 1999 - 2000.
In this research's, dependent variable is lung TB patient taking drug disobedience and independent variable is the complaint of anti-TB drug side effect, the other independent is age, occupation, education, sex of lung TB patient, type of treatment observer, role of treatment observer, education of treatment observer, and quality of health care.
The research's design is unmatched case-control. The sample is a part of BTA positive of lung TB patients by the age of ≥ 15 years old which have taken a treatment in 36 Health Centers since October, 1, 1999 until November, 30, 2000, and get short course treatment by strategy of DOTS category-1 and category-2. Total sample are 305, with 144 cases and 161 controls.
This research's concluded that has relation the complaint of anti-TB drug side effect with lung TB patients taking drug disobedience in Palembang, where lung TB patients who got complaint of anti-TB drug side effect is 3.00 times have risk to disobey medication than those which not have (OR : 3.00 and 95% CI : 1.58-4,87).
This research's recommend to minimize the clinical side effect of anti-TB drug by strict observation with clinical examination and laboratory, counseling or establishing a good communication to lung TB patients when they take medication and control, each Health Centre should prepare medicine to counter anti-TB drug side effect, do the research of anti-TB drug side effect by design cohort and good instrument, and study of relation between body weight to anti-TB drug's dose."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T 8397
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Yudiana
"Penyakit tuberculosis (TB) dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) yang merupakan komitmen internasional. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih ditemukan hambatan, misalnya masih tingginya kegagalan pengobatan sebagaimana yang dihadapi Kabupaten Bandung. Penderita dinyatakan gagal pengobatan apabila hasil pemeriksaan ulang dahak pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan dahaknya tetap positif. Sebaliknya apabila hasilnya negatif, dapat dinyatakan sembuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perilaku kepatuhan mengambil obat pada penderita TB paru BTA(+) dengan pengobatan kategori I terhadap kegagalan pengobatan dan pengaruh kovariat lainnya (persediaan obat anti tuberculosis, persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, penilaian responden terhadap pelayanan petugas, peranan pengawas menelan obat dan persepsi responden terhadap efek samping obat) terhadap kegagalan pengobatan di Kabupaten Bandung tahun 1999-2000.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku kepatuhan mengambil obat menggunakan kartu pengobatan (TB.01), untuk mengukur kovariat lainnya menggunakan kuesioner, sedangkan untuk mengukur status gagal dan sembuh menggunakan data sekunder (TB 03) berdasarkan laporan hasil pemeriksaan laboratorium dari PPM dan PRM.
Jenis disain penelitian ini adalah studi kasus kontrol, dengan besar sampel berjumlah 266 responden terdiri dan 133 kasus (penderita yang dinyatakan gagal dalam pengobatannya) dan 133 kontrol (penderita yang dinyatakan sembuh). Baik kelompok kasus maupun kontrol diidentifikasi melalui pemeriksaan mikroskopis di puskesmas. Berdasarkan analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa perilaku kepatuhan mengambil obat setelah dikontrol oleh kovariat persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, peranan PMO dan persepsi responden terhadap efek samping obat berpengaruh signifikan terhadap kegagalan pengobatan OR=7,422 (95% CI;4,034-13,657).
Guna meningkatkan upaya penanggulangan TB, penelitian ini menyarankan bahwa perlu mengoptimalkan kemampuan petugas kesehatan dalam memberikan motivasi kepada penderita, melibatkan lembaga yang terdekat dengan masyarakat misalnya RT/RW, mengoptimalkan peranan PMO, dan upaya khusus lainnya guna menemukan OAT yang dapat menekan sekecil mungkin risiko efek samping yang ditimbulkan oleh OAT.

Behavioral Analysis of Compliance of Pulmonary Tuberculosis Diseases with Bacterial Resistance (+) Patients to Take Drug with Medication Category I to the Medication Failure in Public Health Center Bandung Regency 1999-2000
Tuberculosis diseases (TB) today still represents the problem of health of society specially in developing countries include in Indonesia. To overcome the problem, government has conducted DOTS strategy (Directly Observed Treatment Short Course) representing international commitment However in its execution still found hindrances, for example still the high failure of medication as faced by Bandung regency.
The patients stated to be failed in medication if result of phlegm reexamining in one month before the end of medication or by the end of medication of his phlegm remains to be positive. On the contrary if its result to be negative, can be expressed to recover. The target of this research is to know behavioral influence of compliance of pulmonary tuberculosis diseases with acid bacterial resistance (+) patients to take drug with medication category I to the failure medication and other covariant influences (supply of anti tuberculosis, respondents perception to the distance of home to public health center, the respondents judge toward officer service, the role of supervisor to take the drug and respondent's perception to the drug side effects) to failure of medication in Bandung regency in 1999-2000.
Measuring instrument used to measure the compliance behavior to take drug using medication card (TB.01), to measure other covariate using questioner, while to measure failure and recover status to use secondary data (TB.03) pursuant to report result of assessment of laboratory from PPM and PRM.
The type design of this research is control case study, with the sample amount to 266 respondents consist of 133 cases (expressed patients failed in their medication) and 133 control (expressed patient recovered). Whether case group and control identified through microscopic assessment in public health center.
Pursuant to multivariate analysis with logistic regression shows that compliance behavior to take drug after controlled by respondent's perception covariate to the house distance with public health center, PMO role and respondent's perception to drug side effects have an significant effect to failure of medication OR =7,422 (95% CI: 4,034-13,657).
In order to improve TB handling effort, this research suggests that require to maximize the ability of health officer in giving motivation to patient involves closest institutes with society for example RT/RW, to maximize PMO role, and other special efforts in order to find OAT that could depress as small as possible of side effects risk generated by OAT."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lismarni
"Tuberkulosis (TBC) paru masih merupakan penyakit menular yang mengancam kesehatan masyarakat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penderita TBC paru terbesar ketiga di dunia. Diperkirakan terjadi 300 kematian akibat TBC paru setiap hari dan 100.000 kematian pertahunnya di negara ini. Tingginya morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini menunjukkan masih rendahnya cakupan dan intervensi dari kesehatan lingkungan. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa lingkungan fisik rumah merupakan faktor risiko terhadap kejadian TBC paru. Faktor intensitas cahaya, terutama cahaya matahari dalam rumah, luas ventilasi dan kepadatan penghuni rumah sangat berperan dalam penularan TBC paru.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengaruh dari lingkungan fisik rumah terhadap tersangka penderita TBC paru di Indonesia tahun 2004. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan model yang fit guna memprediksi tersangka penderita TBC paru di Indonesia.
Penelitian ini merupakan analisis lanjut dari data Susenas 2004. Sampel adalah penduduk usia 15 tahun ke atas yang terpilih di daerah perkotaan dan perdesaan Indonesia. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional, dimana variabel exposure dan variabel outcome dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Data diperoleh dari daflar pertanyaan dalam kuesioner Susenas 2004, modul perumahan dan kesehatan. Analisis yang dilakukan adalah analisis univariabel, bivariabel dan multivariabel dengan menggunakan teknik analisis regresi logistik untuk pengujian hipothesis.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah tersangka penderita TBC paru di Indonesia masih tinggi (6,17%), daerah perdesaan (6,41%) lebih tinggi dibanding perkotaan (5,83%). Penelitian juga membuktikan bahwa faktor lingkungan fisik rumah yaitu kepadatan hunian, ventilasi dan pencahayaan alami dalam rumah merupakan faktor risiko terhadap tersangka penderita TBC paru dengan nilai yang bervariasi antar wilayah.
Agar sumber penular di populasi dapat segera diketahui dan diobati maka penjaringan tersangka penderita sebaiknya dilakukan melalui upaya active case finding. Gerakan masyarakat peduli TBC dapat dilakukan dengan jalinan kemitraan yang erat antara pemerintah dengan berbagai organisasi di masyarakat. Peran dan wewenang dins kesehatan pada masing-masing pemerintah daerah jugs perlu ditingkatkan.

Lung Tuberculosis is one of infectious disease that still threatening public health in the world, especially in developing countries. Indonesia is the third largest developing country in number of lung tuberculosis victim. There is an estimated of 300 death per day and 100.000 per year due to this disease. The high of morbidity and mortality of this disease shows that the inclusiveness and environmental health intervention are still low. Some research proves that physical house environment is a risk factor of lung tuberculosis incident. Light intensity factor, especially sunlight that coming through into the house, sufficient ventilation and density of house inhabitant are also determine infection factor of disease.
Purpose of the research is to get a description and influence of physical house environment to suspected lung tuberculosis in Indonesia of 2004. This research is in order to get an analysis model that suit to predict number of suspected lung tuberculosis in Indonesia.
This is an advance analysis research of National Social Economic Survey 2004. Sample of the research is citizen of rural and urban in Indonesia, with age 15 years above. Design of the research is cross sectional design, where exposure and outcome variables are collected simultaneously. Data is collected by using questionnaire of National Social Economic Survey 2004, housing and health modules. Univariable, bivariable and multivariable analysis will be conducted by using logistic regression analysis technique for hypothesis tests.
The result of this research shows that total number of suspected lung tuberculosis in Indonesia is still high (6,17%), where incident rate in the rural area (6,41%) higher than urban area (5,83%). The research also proves that the factors of physical house environment; density of house inhabitant, ventilation and natural lighting are risk factor to suspected lung tuberculosis with various range among the district.
Active case finding is recommended to be done to detect the suspect lung tuberculosis victims therefore source of infection can immediately be identified and cured. Public movement for tuberculosis may also be done with a solid cooperation between government and public organizations. Roles and responsibilities of health department in each local authority is also need to be developed.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T19005
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Na`Iim
"Telah banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksinasi BCG terhadap tuberkulosis baik di negara maju maupun di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Meskipun hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa efektivitas vaksinasi BCG tidak sama di berbagai negara (bervariasi antara 0 - 80%), vaksinasi BCG masih dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk memerangi tuberkulosis. Untuk mengetahui seberapa besar daya lindung vaksinasi BCG terhadap tuberkulosis, perlu dilakukan studi epidemiologi di masyarakat.
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Desain studi kasus-kontrol matched dengan umur (kelompok kasus dicocokkan dengan kontrol menurut umur), berlokasi di R.S.U. May. Jend. H.M. Ryacudu Kotabumi, Kabupaten Lampung Utara. Semua pasien anak-anak umur < 15 tahun yang berobat di rumah sakit tersebut merupakan populasi studi. Kasus adalah semua pasien tuberkulosis paru yang berobat pada bulan Januari 2002 - Juni 2003, adapun kontrol adalah pasien non tuberkulosis yang dicuplik dari pasien berobat pada bulan Mei - Agustus 2003. Total populasi studi 220 anak, terdiri dari 110 kasus (74 anak atau 67,7% diantaranya telah divaksinasi BCG), dan 110 kontrol (91 anak atau 82,7% diantaranya telah divaksinasi BCG). Merupakan salah satu kelemahan dalam penelitian ini adalah tidak dilakukan uji sensitifitas dan spesifisitas metode diagnosis di R.S.U. May. Jend. H.M. Ryacudu Kotabumi Kabupaten Lampung Utara, sehingga tidak dapat diyakini kasus yang diperoleh bebas dari TB berat (seperti: TB miller, meningitis tuberkulosis).
Diantara faktor-faktor yang berhubungan dengan sakit tuberkulosis, diperoleh 6 variabel yang dapat diteliti. Status vaksinasi BCG merupakan variabel independen utama yang diteliti, adapun variabel umur, status gizi, status sosial-ekonomi, kepadatan hunian, dan kontak serumah dengan penderita tuberkulosis BTA positif merupakan variabel independen lain yang turut diamati.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa vaksinasi BCG pada bayi cukup efektif untuk memberikan perlindungan kepada anak terhadap sakit tuberkulosis. Analisa data dengan analisa multivariat regresi logistik ganda (conditional) diperoleh nilai odds ratio (ORadjusfed) = 0,45 (95% C.I.:0,232; 0,871) setelah dikontrol oleh variabel umur dan status gizi, artinya bahwa anak-anak yang telah mendapat vaksinasi BCG berisiko sakit tuberkulosis lebih rendah (0,45 kali) daripada anak-anak yang tidak mendapat vaksinasi BCG. Tidak dijumpai interaksi vaksinasi BCG dengan umur dan status gizi.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan pada upaya pemberantasan penyakit TB dengan hati-hati, karena penelitian ini tidak bebas dari bias informasi (misklasifikasi non-difrensial).
Daftar bacaan : 55 (1976 - 2003)

Association between Vaccination Status and the Occurrence of Tuberculosis Disease among Children Aged below 15 Years in Maj.Gen. H.M. Ryacudu General Hospital, Kotabumi, District of North Lampung, Year 2002-2003There had been many studies done to investigate the effectiveness of BCG vaccination in both developed and developing countries, including Indonesia. Although, previous studies had shown dissimilar results on effectiveness of BCG across countries (varied from 0 to 80%), the vaccination was still implemented as a part of tuberculosis (TB) control. To know how far the protection effect of BCG vaccination, an epidemiologic study in the population is needed.
The population of this matched (by age) case control study was child patients aged < 15 years visiting the Maj.Gen. HM. Ryacudu General Hospital, in Kotabumi, District of North Lampung. Primary and secondary data were collected in the hospital. Cases were all child TB patients visiting the hospital for treatment, from January 2002 to June 2003, while controls were non-TB child patients visiting the same hospital from May to August 2003. The total study population was 220 children, comprised 110 cases (about 67.7 % of them had been vaccinated) and 110 controls (82.7% of them had been vaccinated).
One limitation of this study was that there was not any sensitivity and specificity assessment of the diagnostic method in. the hospital, so that the exclusion of extra pulmonary TB patients from the cases could not he warranted.
Six variables were studied in relation to the occurrence of TB. The main independent variable was BCG vaccination, while age, nutritional status, socio-economic status, house density and in-house contact with AFB (Acid .fast base) positive TB cases were other variables investigated.
The results showed that infant BCG vaccination was quite effective to protect the child from contracting TB. The adjusted Odds Ratio from multivariable analysis using conditional logistic regression, was 0.45 (95% CI: 0.23 - 0.87) after controlling the effects of age and nutritional status, meaning that children having BCG vaccination were at lower risk (0.45 times) to get TB diseases, as compared to children never been immunized. No interactions between BCG vaccination status and age and nutritional status were found.
The study results could be taken for consideration by health policy makers in TB control programs, although they ought to be carefully interpreted, since some biases might have occurred, such as non-differential misclassification.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>