Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9626 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahidah Laomo
"Wilayah Kotamadya Ujungpandang (KMUP) sekarang ini, adalah bagian dari Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengukir lembaran sejarah selaku kerajaan maritim yang termasyhur di gugusan Nusantara pada abad XV. Perjanjian Bongaya (1668) yang mengakhiri perang berkepanjangan dengan VOC di satu sisi merupakan awal keruntuhan Kerajaan Gowa-Tallo, namun di sisi lain adalah juga titik tolak pertumbuhan Ujungpandang sebagai bandar niaga terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang mencatat perkembangan pesat. Akibat gangguan keamanan - khususnya_ pemberontakan DI-TII (1951-1965) --telah memudarkan kejayaan itu, di saat mana arus barang dan jasa mengalir dari dan ke Surabaya yang mengambil alih fungsi dan peranan "pintu gerbang" KTI.
Setelah memasuki era Orde Baru, dimana keamanan telah pulih kembali, seyogyanya "pintu gerbang" itu kembali ke asalnya, namun kenyataannya tidak demikian. Hal ini menuntut suatu kajian intensif, terlebih lagi pada saat ini, dimana KMUP berada pada posisi yang semakin kritis : menjelang tahun 2000 adalah kurun waktu yang ditargetkan untuk tinggal landas pembangunan nasional, yang berentetan dengan globalisasi perdagangan dunia, mulai dari AFTA 2003, APEC 2010 hingga WTO 2020.
Penelitian ini termasuk jenis deskriptif-eksploratif, dalam hal mana tidak diperlukan hipotesis (Erickson dan Nosanchuk, 1983). Pendekatan empiris dilakukan dengan mengelompokkan data pada enam variabel operasional yang menjadi katalisator globalisasi yakni : (1) SDM; (2) Tata ruang; (3) dunia usaha; (4) Transportasi; (5) Fasilitas sosial; dan (6) Keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tujuan penelitian ialah : (1) mendeskripsi aspek-aspek kehidupan kota saat ini, bagaimana dengan sarana dan prasarana yang tersedia mampu menggerakkan dinamika masyarakat; (2) mengidentifikasi faktor-faktor kekuatan dan faktor-faktor kelemahan pelaksanaan dan para pelaku pembangunan di KMUP; dan (3) memprediksi aspek-aspek Ketahanan Wilayah (TANWIL) KMUP dalam kerangka Ketahanan Nasional (TANNAS) menghadapi era globalisasi. Fokus kajian diletakkan pada aspek-aspek yang menjadi katalisator globalisasi yakni perkembangan infrastruktur diteropong dari sudut Konsepsi TANNAS dan Trilogi Pembangunan. Pihhan aspek-aspek tersebut - sesuai dengan judul tesis -pada akhirnya akan memberi jawaban terhadap rangkaian pertanyaan : sampai dimana kesiapan KMUP dan seberapa jauh peranannya kelak dalam era globalisasi yang sudah di ambang pintu.
Dari hasil penelusuran (eksplorasi) berdasarkan sumber literatur dan penelitian lapangan, ditemukan bahwa kunci kemajuan pembangunan KMUP yang menjadi dependent variable terletak pada sektor perhubungan (transportasi) khususnya sub sektor perhubungan laut. Pembangunan sektor transportasi harus didukung oleh tiga komponen independent variable yakni : (1) ketersediaan SDM dalam jumlah maupun mutu, (2) penataan ruang wilayah, dan (3) kelengkapan fasilitas sosial. Kesemuanya akan memberi feedback (umpan balik) terhadap. perkembangan dunia usaha dan kamtibmas selaku intervening variable dalam penelitian ini. Perkembangan dunia usaha akan membawa dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, sedangkan kemantapan kamtibmas akan berdampak terhadap keamanan. Keduanya - kesejahteraan dan keamanan -- adalah inti dari gerak dan upaya pembangunan, yang mengandung makna filosofis keinerdekaan, yakni bebas dari rasa takut dan bebas dari ancaman kelaparan.
Hasil penelitian terhadap ketiga independent variable antara lain ialah bahwa perkembangan SDM menunjukkan kinerja yang cukup baik. Telah terjadi transformasi struktural lapangan usaha penduduk dari sektor-sektor primer ke sektor-sektor sekunder dan tertier. Dalam penataan ruang wilayah dan pembangunan fasilitas sosial, ternyata porsi dana dan wewenang Pemda KMUP sangat kecil. Namun dengan dana dan kewenangan yang dimiliki, Pemda KMUP telah berupaya semaksimal mungkin melakukan terobosan antara lain dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain, yaitu instansi sektoral, Pemda Propinsi Sulawesi Selatan, dan investor swasta.
Kecilnya porsi dana dan wewenang yang dimiliki oleh Pemda KMUP untuk menata kotanya sendiri, disebabkan belum adanya undang-undang tentang Pemerintahan Kota. Yang ada ialah undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 5/1974) dan undang-undang tentang Pemerintahan Desa (UU No. 5/1979). Perilaku globalisasi menuntut otonomi yang jelas dan kewenangan penult dari Pemerintah Kota untuk berimprovisasi sehingga - bagi KMUP - dapat menegakkan kembali hegemoninya selaku pintu gerbang utama KTI.
Modal dasar cukup dimiliki yakni SDM dan letak geografis pada posisi silang antara dua benua (Asia-Australia) dan dua samudera (Pasifik-Indonesia). Sumberdaya alam atau sumber kekayaan alam (SKA) juga tersedia, namun.dalam kapasitas selaku "pintu gerbang", maka SKA-nya akan menyebar pada kawasan di sekelilingnya, yakni buffer zone (Segitiga Minasamaupa), satellite (23 kabupaten/kotamadya se Propinsi Sulawesi Selatan), dan hinterland (9 propinsi yang terletak di bagian timur peta bumi Indonesia ditambah 2 propinsi di Pulau Kalimantan)."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triarko Nurlambang
"Pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Barat menunjukan pola semakin ke bagian wilayah utara tingkat pertumbuhannya semakin baik. Demikian pula dengan pola tingkat konektifitas jaringan jalan yang terjadi di tingkat kabupaten/kotamadya yaitu wilayah bagian utara memiliki tingkat konektifitas yang lebih tinggi dibandingkan di bagian selatan bahkan rata-rata mendekati angka (100%). Pola tersebut dapat menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dengan tingkat konektifitas jaringan jalan."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI-Press, 2007
307.12 PEM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Prakoso
"Krisis ekonomi yang melanda ekonomi Indonesia sejak tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya angka kemiskinan baik di perkotaan maupun pedesaan. Bertambahnya angka kemiskinan di perkotaan disebabkan terutama dengan makin bertambahnya pengangguran akibat krisis ekonomi. Untuk mengatasi dampak krisis ekonomi ini Pemerintah Indonesia telah meluncurkan sebuah program bernama Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan yang diaingkat dengan P2KP. Maksud dart P2KP ini tidak lain untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui upaya penyediaan dana pinjaman untuk pengembangan kegiatan usaha produktif dan pembukaan lapangan kerja baru yang diharapkan akan menambah pendapatan masyarakat.
Konsep evaluasi kebijakan publik dilihat dari faktor-faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan P2KP dalam meningkatkan pendapatan penerima bantuan dan diterapkan pada evaluasi pelaksanaan P2KP di Kel. Kalibaru. Di dalam mengevaluasi sebuah kebijakan, variabel-variabel yang diukur adalah program P2KP (X1), Pelaksanaan (K2), dan Pengawasan (X3) dan 1 variabel terikat yaitu pendapatan ( Y ). Untuk menilai keberhasilan P2KP dalam meningkatkan pendapatan penduduk di kelurahan kalibaru disusun kerangka berpikir dengan asumsi bahwa adanya P2KP akan meningkatkan pendapatan penerima bantuan.
Ketiga variabel yang mempengaruhi pendapatan ini diteliti melalui pendekatan analisis deskriptif, menggunakan model kuesioner terhadap 90 responden yang ditentukan dengan cara proportional random sampling. Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan metode regreai partial dan regresi berganda dibantu oleh software statistik yaitu SPSS, deskripsi individu dari responden dikelompokkan dalam jenis usaha, jenis kelamin, pendidikan, usia dan lama usaha.
Dari hasil pengolahan data diketahui bahwa variabel Program ternyata mempunyai hubungan dan pengaruh terhadap pendapatan penerima bantuan, dengan nilai r = 0,438 dan nilai R square = 0,192. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel prediktor tersebut terhadap pendapatan tidak besar yaitu hanya sakitar 19,2.
Pelaksanaan P2KP mempunyai hubungan dan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pendapatan, dengan r = 0,615 dan R square = 0.378. hasil ini menunjukkan bahwa variabel pelaksanaan mempunyai pengaruh terhadap pendapatan sebesar 37,8 %.
Pengawasan mempunyai hubungan dan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pendapatan, dengan r = 0470 dan R square 0.221. hasil ini menunjukkan bahwa variabel pengawasan mempunyai pengaruh terhadap pendapatan sebesar 22,1 L.
Program, Pelaksanaan dan Pengawasan P2KP mempunyai hubungan dan pengaruh yang cukup signifikan terhadap pendapatan, dengan nilai koefisien korelasi multiple R - 0,659. seluruh variabel prediktor diatas juga secara bersama-lama mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap variabel bebasnya dengan nilai koefisien determinasi R2 = 0,435. Hal ini menjelaskan bahwa ketiga variabel predictor diatas secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap variabel pendapatan sebesar 43,5 %. Persamaan regresi multiple yang diperoleh adalah aebagai berikut :
= r Rp. 1.756.836.129 - 26.037,341 Xl + 90.431,259 X2 + 88.428,796 X3
Artinya bila diasumsikan bahwa ketiga variabel prediktor diatas 'sama dengan 0 atau tidak ada variabel tersebut diatas maka akan terjadi penurunan pendapatan sebesar Rp. 1.756.836,129.
Berdasarkan hasil analisa diatas maka untuk meningkatkan pendapatan pemerintah bantuan diperlukan perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan program, pelaksanaan dan pengawasan dalam menyelenggarakan P2KP."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kismartini
"Pertumbuhan penduduk di perkotaan berkembang dengan sangat pesat. Tahun 1989 jumlah seluruh penduduk di Indonesia 176 juta jiwa, dengan angka pertumbuhan rata-rata 2,1 pertahun akan menjadi 216 juta jiwa pada tahun 2000. Dari jumlah tersebut pada saat ini 27 persen adalah penduduk perkotaan, pada tahun 2000 diprediksikan menjadi 38 persen yang tinggal di perkotaan.
Tekanan jumlah penduduk juga dirasakan oleh kota Semarang. Menurut analisis data sekunder hasil sensus penduduk pada tahun 1980 adalah 1.024.940 jiwa, sedangkan pada tahun 1971 masih berjumlah 641.795 jiwa, ini berarti ada peningkatan 59,7 persen selama 9 tahun atau rata-rata 5,3 persen per tahun. Meskipun pada dasawarsa terakhir (1980-1989) pertumbuhan penduduk bisa ditekan, namun kepadatan masih sangat dirasakan untuk daerah-daerah tertentu. Misalnya di wilayah penelitian kepadatan sudah di atas 500 jiwa/ha. Tekanan penduduk yang melebihi daya dukung ini menyebabkan munculnya pemukiman dengan tatanan yang serba tidak teratur. Pemukiman seperti ini tumbuh dengan pesat dan tidak terkendali sehingga menjadi daerah yang kumuh dengan penduduk rendah pendidikan dan penghasilan. Jumlah penduduk miskin itu sendiri di perkotaan pada dasawarsa terakhir ini tidak menunjukkan adanya penurunan yang berarti, bahkan cenderung untuk meningkat.
Dalam upaya mengentaskan masalah kemiskinan di perkotaan, Pemerintah melaksanakan suatu program yang disebut Program Perbaikan Kampung. Dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tersebut. Program Perbaikan Kampung mempunyai fasilitas bantuan kepada masyarakat yang terdiri dari penyediaan air bersih, perbaikan jalan, perbaikan selokan dan bantuan jamban keluarga.
Sedangkan kualitas hidup dalam penelitian ini meliputi lima aspek kualitas, yaitu aspek fisik dilihat dari kelayakan rumah, aspek ekonomi dilihat dari kemiskinan dan persen pengeluaran untuk makan, aspek kesehatan, aspek psikologis dilihat dari kebetahan bertempat tinggal, aspek sosial kemasyarakatan.
Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kelima aspek kualitas hidup tersebut di atas dan apakah program perbaikan kampung mempengaruhi kelima aspek kualitas tersebut.
Adapun penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Mengetahui pengaruh Perbaikan Kampung terhadap Kualitas Hidup.
2. Mengetahui pengaruh Kondisi Lingkungan Sosial terhadap Kualitas Hidup.
3. Mengetahui keberhasilan Program Perbaikan Kampung dalam meningkatkan Kualitas Hidup.
Lokasi penelitian adalah tiga Kelurahan di Kecamatan Semarang Tengah, ditentukan berdasarkan cara purposive sampling. Masing-masing kelurahan diambil satu RW yang merupakan wilayah paling padat penduduknya. Selanjutnya untuk menentukan banyaknya sampel di tiap-tiap RW digunakan cara proporsional random sampling, yang keseluruhannya berjumlah 105 responden.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara berdasarkan kuesioner, wawancara mendalam dengan masyarakat dan petugas KIP serta observasi lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan literatur dan dari instansi terkait. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan memakai statistik non parametrik, yaitu menggunakan rumus Chi-Square yang diteruskan dengan uji Coefficient Contingency, disertai pula dengan analisis kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa variabel-variabel Perbaikan Kampung mempunyai korelasi yang signifikan terhadap Kualitas Hidup dilihat dari faktor layak rumah dengan derajat hubungan yang cukup kuat, berpengaruh pula terhadap faktor Kesehatan dengan derajat hubungan yang cukup kuat, akan tetapi kurang berpengaruh terhadap Kualitas Hidup dilihat dari faktor Kemiskinan, Peranserta dalam Pembangunan dan faktor Kebetahan Bertempat Tinggal.
Variabel-variabel Lingkungan Sosial mempunyai korelasi yang signifikan terhadap Kualitas Hidup balk dilihat dari layak rumah, kemiskinan, kesehatan maupun peranserta dalam pembangunan, akan tetapi kurang berpengaruh terhadap kebetahan bertempat tinggal.
Jadi dari hasil korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Program Perbaikan Kampung lebih berhasil dalam meningkatkan kualitas fisik pemukiman akan tetapi kurang berhasil dalam meningkatkan kualitas ekonomi dan kualitas sosial kemasyarakatan.

The population of the city tends to grow very fast. With a 2.1% average annual growth rate, the population of the city, which had been estimated as 176 million in 1989, is predicted to count for 216 millions in the next 2000. At present, 27% of the total city population is found in the urban areas, which means that in the next 2000, the percentage will count for 38%.
Population pressure is one of the Semarang city problems. According to the 1980 census, the number of the city population in the same year is 1 024 940, compared to the city population in 1971, i.e. 641 795. That means that within nine years, the city population has undergone an increment of 57.7% or annual average of 5.3%.
Even though during the last decade various efforts had been conducted to control the population growth, in some parts of the city areas, population density is significantly increasing. This is particularly true with regard to the observed areas, where population density is more than 500/sqm. Such population pressure rendered the areas overpopulated and thus exceeding the physical carrying capacity. Such condition has been made severe with the emergence of various disordered population settlements. The uncontrolled settlements have grown very fast, creating slums areas with low-educated and low-income inhabitants adding to the increasing numbers of the urban poor.
In the frame of urban poverty eradication, the government has launched a program named as the Kampung Improvement Program (KIP), aiming to improve the quality of life of the urban poor. This program has been continuously providing social facilities to the urban poor in the form clean water provisions, street improvements, latrines and wastewater infrastructure/ facilities.
In light of its parameters, the quality of life is viewed from five aspect, i.e. (1) physical aspect, represented by housing condition, (2) economic aspect, represented by rate of poverty and percentage of consumption for food, (3) health aspect, (4) psychological aspect, viewed from residential adjustment, and (5) societal aspect.
The study tried to investigate what kind of factors influencing the five aspects of quality of life and whether the Kampung Improvement Program has significant influences on the said aspects.
The objectives of the study are:
1. To study the influence of KIP on the quality of life of the community studied;
2. To study the influence of the social environment on their quality of life;
3. To study the results of the KIP Program in promoting their quality of life
The areas studied covered three villages in the Sub-district of Central Semarang, base on purposive sampling. One RW community association, the population of which is the densest, represents each village. Samples were proportionally and randomly taken, with 105 inhabitants as respondents.
Primary data were collected through interviews using questionnaires, depth interviews with informal leaders and KIP personnel?s, supported by field observation. Secondary data were obtained through literature studies and some connected agencies.
Results of data analysis indicate that KIP variables proved to be having significant correlation with the quality of life in terms of residential adjustment factor, showing a strong degree of relationship. The same variables have also influence on the health factor, showing a strong degree of relationship, even though their influence on the quality of life viewed from the poverty, participation, and residential adjustment are less significant.
Social environment variables have significant correlation with the quality of life of the community in terms of residential adjustment, poverty, health and participation in the program; even though their influence on the residential adjustment are less significant. From the correlation analysis we can assume that the KIP has succeeded in the improvement of the settlement physical quality, yet less succeeded in improving the social and economic quality of the community.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gidion P. Adirinekso
"Tujuan dari studi adalah: pertama, mengetahui dan menganalisis taktor-faktor apa yang mendorong optimasi pertumbuhan ekonomi daerah; kedua, mengetahui dan menganalisis besarnya alokasi pengeluaran pemerintah pusat untuk daerah dan pengeluaran daerah yang mengoptimalkan pertumbuhan ekonominya; ketiga, mengetahui dan menganalisis tingkat desentralisasi yang optimal bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Studi ini didasarkan pada studi Tao Zang dan Heng-fu Zou dari Bank Dunia, dengan kasus China. Masalah pokok yang hendak dikaji adalah apakah desentralisasi mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, dan seberapa besar pengeluaran pemerintah pusat ke daerah dan pengeluaran pemerintah daerah yang optimal bagi pertumbuhan ekonomi daerah serta berapa tingkat desentralisasi yang optimal.
Studi terhadap Indonesia dilakukan dengan mengambil periode 1986-1996 dan mencakup 27 propinsi di Indonesia. Studi ini akan 1). mengestimasi faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan 2). mengestimasi besarnya pengeluaran pemerintah pusat ke daerah dan pengeluaran pemerintah daerah yang optimal bagi pertumbuhan ekonomi daerah. 3) mengestimasi tingkat desentralisasi yang optimal.
Beberapa faktor yang diperkirakan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia mencakup 3 faktor besar, yaitu Sumber Daya, Keterbukaan daerah dan Kebijakan. Faktor sumber daya mencakup sumber daya alam, keuangan daerah dan sumber daya manusia, Sedangkan faktor kebijakan terdiri dari Upah dan Desentralisasi. Estimasi dilakukan dengan menggunakan teknik panel data.
Dalam menyelesaikan model optimasi pertumbuhan, akan digunakan model optimasi pertumbuhan ekonomi neoklasik. Untuk itu perlu diestimasi terlebih dahulu besarnya stok modal swasta dengan menggunakan Perpetual Inventory Method (PIM). Spesifikasi fungsi produksi diestimasi dengan teknik panel data.
Hasil estimasi terhadap faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi daerah menunjukkan bahwa faktor sumber daya alam, sumber daya keuangan, keterbukaan suatu daerah, upah dan desentralisasi fiskal mendorong perturnbuhan ekonomi daerah secara signifikan. Faktor sumber daya manusia tidak signifikan secara statistik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Faktor Desentralisasi secara umum mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Desentralisasi akan semakin sensitif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya untuk daerah di Iuar Pulau Jawa dan Sumatera, daerah dengan tingkat pendapatan rendah, daerah dengan tingkat pendapatan dan penduduk rendah, serta daerah dengan kesenjangan pendapatan rendah.
Nilai konsumsi optimal (c*), stok modal swasta optimal (k*), Pengeluaran pemerintah pusat ke daerah optimal (s*) dan pengeluaran pemerintah daerah optimal (p*) membentuk pola yang sama. Pada periode 1986-1996, ternyata besarnya stok modal swasta, pengeluaran pemerintah pusat ke daerah dan pengeluaran pemerintah daerah masih dibawah tingkat optimalnya pada saat kondisi "steady state", terlebih pada saat kondisi "Golden Rule" tercapai.
Tingkat desentralisasi optimal untuk mencapai pertumbuhan yang mengoptimalkan konsumsi masyarakatnya ternyata lebih tinggi dibandingkan tingkat desentralisasi aktualnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat desentralisasi yang terjadi pada periode yang diamati belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah mencapai kondisi yang mengoptimalkan konsumsi masyarakatnya. Implikasinya, bagaimana pemerintah pusat dan daerah dapat meningkatkan kapabilitasnya dalam menarik investor ke daerah sehingga terjadi peningkatan permintaan (konsumsi) masyarakat dan menggali sumber-sumber penerimaan daerah yang lebih besar untuk pertumbuhan.
Dari studi ini setidaknya masih bisa dilakukan penelitian lanjutan berkaitan dengan dua hal. Pertama, proksi yang dipakai untuk mengukur sumber daya manusia, mungkin bisa mempergunakan rasio Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Kedua, berkenaan dengan fungsi produksi, meskipun dalam studi ini akhirnya menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang lebih sesuai dibandingkan fungsi produksi CES, mungkin perlu dilakukan pengujian khusus atas kedua fungsi tersebut dalam kaitannya dengan masalah pertumbuhan ekonomi."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T20628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Rizal
"Proses perencanaan pembangunan melalui musyawarah pembangunan kelurahan (musbangkel) di Kelurahan Terusan Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak era pasca otonomi daerah masih dilaksanakan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/Kelurahan (LKMDIK). Dalam membuat usulan rencana pembangunan ini masih belum melibatkan semua stakeholders yang ada di masyarakat. Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa/Kelurahan hanya mengundang beberapa unsur terkait sehingga aspirasi dart masyarakat tidak bisa tersampaikan oleh mereka yang hadir. Disamping itu juga usulan yang dibuat belum diambil dari aspirasi masyarakat yang paling bawah seperti RT. Faktor lain yang menyebabkan masyarakat di Kelurahan Terusan ini masih kurang berpartisipasi adalah model perencanaan yang top down dimana peranan pemerintah kabupaten lebih besar dalam penyusunan rencana pembangunan.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan melalui musbangkel dengan mengacu pada teori Oakley, Abe dan Soetrisno serta upaya atau cara apa yang telah dilakukan agar kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di Kelurahan Terusan dapat lebih terwujud.
Metode penelitian ini menggunakan Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber datanya ialah informan yang didukung oleh dokumen serta pustaka. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah mereka yang tertibat dalam musbangkel, sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa kendala yang dihadapi yaitu peserta yang ikut dalam musbangkel memiliki tingkat pengetahuan dan wawasan yang masih terbatas, belum adanya informasi yang lengkap dari pemerintah kabupaten seperti Poldas, Propeda dan Renstra dalam penyusunan perencanan pembangunan, peranan pemerintah kabupaten yang masih dominan dalam menentukan proyek atau program yang akan dilaksanakan serta belum adanya dana clan pemda untuk membantu pelaksanaan musbangkel di Kelurahan Terusan.
Oleh karena itu perlu dilakukan upaya atau Cara guna memberikan kesempatan kepada masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan yaitu penjaringan aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten namun dalam penjaringan aspirasi masyarakat ini belum berhasil terlaksana dengan baik karena mereka yang hadir tidak mewakili masyarakat dan kebanyakan membawa kepentingan pribadi. Kemudian penyampaian aspirasi oleh masyarakat melalui Rukun Tetangga. Penyampaian aspirasi ini belum berhasil karena masyarakat yang menyampaikan usulan pembangunan yaitu mereka yang dekat dengan pejabat pemda. Dalam hal ini usulan yang disampaikan lebih mengarah pada kepentingan sekelompok masyarakat.
Untuk itu disarankan kiranya dalam rekruitment pengurus LKMD, Ketua RT dan perangkat kelurahan perlu diperhatikan lagi Latar belakang pendidiikannya, pengalaman kerja dan umur dari peserta musbangkel. Untuk pelaksanaan rnusbangkel pada masa yang akan datang kiranya sudah sampai informasi pada pars peserta rapat mengenai dokumen perencanaan pembangunan daerah. Peran pemerintah saat ini diharapkan sebagai fasilitator. Perlu dialokasikan dana oleh pemerintah kabupaten kepada pemerintah kelurahan untuk pelaksanaan musyawarah pernbangunan kelurahan (musbangkel) sehingga memperlancar mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah. Sistem penjaringan aspirasi oleh pemerintah kabupaten dan penyampaian aspirasi oleh masyarakat kiranya perlu diperbaharui lagi mekanismenya. Untuk itu partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan saat ini masih perlu melalui mekanisme musyawarah pernbangunan kelurahan mengingat dengan forum ini melibatkan semua stakeholders yang ada di masyarakat dan mereka yang ikut serta dalam rapat lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di lingkungannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Wirutomo
Jakarta: CIPRUY, 2003
352.6 PAR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Refi
Jakarta: Change Publication, 2014
307.720 WAH d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Purnamasari
"Dengan Iahirnya UU No.22/1999 yang kemudian dirubah menjadi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengarahkan paradigma penyelengaraan pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis. Konsekuensi dari otonomi daerah ini, pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membuat perencanaan pembangunan daerah yang parlisipatif, untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Perencanaan pembangunan ini kemudian terefleksikan dalam instrumen fiskal yaitu APBD. Penganggaran juga merupakan proses yang sangat penting sebagai katalis pembangunan. Perencanaan pembangunan yang partisipatif menuntut adanya ruang publik yang terbuka bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada perencanaan. Ruang publik ini di akomodasi oleh UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional melalui forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang merupakan proses bottom up dari perencanaan.
Di dalam proses musrenbang itu sendiri yang memiliki wadah partisipasi bagai masyarakat grass root adalah pada Musrenbang Kelurahan. Di DKI Jakarta, kota metropolis dengan kompleksitas permasalahan sosial, untuk Iebih memberdayakan masyarakatnya Pemprov DKI Jakarta memodifikasi Musrenbang dengan pemberian pagu anggaran ke Kelurahan melalui Program Peningkatan Pelayanan Kelurahan (Penguatan Kelurahan) sebesar 1 Milyar dan anggaran Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) sekitar 1 milyar per kelurahan. Pada dasarnya Musrenbang kelurahan serta kebijakan penganggaran yang dibuat Pemprov DKI Jakarta mengadopsi konsep pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pemberdayaan masyarakat sena pemerintah kelurahan sebagai urban manager. Namun yang menjadi pertanyaan apakah proses pelaksanaan musrenbang kelurahan telah melibatkan partisipasi masyarakat, atau hanya mobilisasi dan partisipasi semu yang mencari Iegitimasi publik bahwa dokumen perencanaan yang dibuat partisipatif. Untuk itu diperlukan studi untuk mengungkapkan gambaran Partisipasi masyarakat pada pelaksanaan Musrenbang Kelurahan di Kelurahan Menteng Kecamatan Menteng Jakarta Pusat Provinsi DKI Jakarta, yang akan mengkaji lebih dalam pada jenjang partisipasi manakah partisipasi masyarakat dalam musrenbang kelurahan dilihat dari bentuk-bentuk partisipasinya (representasi kehadiran, akses informasi, pemberian usulan, pengambilan keputusan, kontrol pengawasan), peran pemerintah dan masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk kemudian menghasilkan usulan strategi perencanaan partisipatif yang tepat di DKI Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif dan tipe studi kasus. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Menteng Kecamatan Menteng Jakarta Pusat untuk menganalisa pelaksanaan musrenbang kelurahan tahun 2006 dengan juga menggunakan data tahun 2005 sebagai bahan masukan analisis. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan Studi dokumentasi. lnforman dalam penelitian ini adalah pejabat pemerintah provinsi dan kotamadya, pejabat kelurahan Nlenteng, Serta dari unsur Masyarakat yaitu Ketua RT,RW, anggota dewan kelurahan, pengurus PKK, karang taruna dan tokoh agama/masyarakat.
Hasil dari penelitian ini adalah, pertama; Partisipasi masyarakat pada pelaksanaan musrenbang Kelurahan di Keturahan Menteng dengan mengacu pada tangga partisipasi menurut Amstein tennasuk dalam jenjang panisipasi Informasi. Kehadiran peserta kurang representatif Komunikasi antara pemerintah dan masyarakat sudah mulai banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah, informasi sudah mulai diberikan namun sangat terbatas, sarana bagi masyarakat untuk melakukan feedback juga masih kurang. Masyarakat sedikit terlibat dalam proses penyusunanl perumusan kegiatan, masyarakat telah dapat memberikan usulan yang dibatasi, namun tidak memiliki kekuasaan dalam menentukan keputusan akhir. Pengambitan keputusan tetap ditangan pemerintah, selain itu tidak ada kontrol dan pangawasan dari masyarakat. Kedua; Peran pemerintah dalam musrenbang kelurahan adalah fungsinya sebagai regulator dan sosialisasi Serta pendampingan, namun sosialisasi yang dilaksanakan kurang berhasil, para perencana pemerintah pun masih mencari konsep yang tepat datam perencanaan. Sementara peran masyarakat khususnya para Ketua RT dan RW memiliki peran yang sangat penting untuk menjaring usulan masyarakat yang kemudian menjadi usulan prioritas yang dibahas- Peran tokoh masyarakat/agama, karang taruna serta organisasi sosial lainnya belum sepenuhnya diberdayakan, sementara perempuan dapat berperan dalam musrenbang keiurahan ini, hanya melalui kegiatan PKK, karena telah ada arahan kebijakan Provinsi melalui pengembangan posyandu. Ketiga; Faktor-faktor yang mempengaruhi musrenbang kelurahan antara Iain: faktor internal yaitu eksternal dan imptikasi kebijakannya dimana dalam akhir penelitian ini peneliti menggagas strategi parencanaan partisipatif dalam musrenbang kelurahan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>