Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 210855 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lucia Sri Sunarti
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Clostridium docile merupakan salah satu kuman anaerob penyebab infeksi nosokomial. Infeksinya dapat berupa Antibiotic Associated Diarrheae (AM) ataupun Pseudomembranous Colitis (PMC). Bayi dan neonates dianggap sebagai sumber penyebab infeksi nosokomial oleh kuman tersebut karena organisme ini ditemukan sebagai flora normal dalam saluran pencernaannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persentase anak berumur kurang dari 1 tahun yang dalam fesesnya ditemukan Clostridium difficile toksigenik. Deteksi toksin dilakukan dengan uji koaglutinasi lateks terhadap filtrat kultur organisme dan dibandingkan dengan uji sitotoksisitas menggunakan biakan sel BHK-21. Isolasi organisme dilakukan pada media Cycloserine Cefoxitin Fructose Agar (CCFA) dan Cycloserine Cefoxitin Manitol Agar (CCMA). Penggunaan media CCMA bertujuan untuk memperoleh cara identifikasi Clostridium dicile yang mudah dan praktis.
Hasil dan kesimpulan : Ditemukan 11,7 % anak berumur kurang dari 1 tahun mengandung Clostridium difficile toksigenik dalam fesesnya. Uji koaglutinasi lateks yang dilakukan terhadap filtrat kultur organisme memberikan nilai sensitivitas sebesar 100 %, nilai spesifisitas 100 %, nilai prediktif positif 100 % ,don nilai predlktif negatif 100 % ,dengan menggunakan uji sitotoksisitas sebagai gold standard. Jumlah dan jenis bakteri yang tumbuh pada media CCFA dan CCMA adalah sama, koloni Clostridium dif,ficile yang tumbuh pada media CCMA memiliki warna yang spesifik yaitu loaning sedang koloni spesies Clostridium lain berwarna merah muda. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa 11,7 % anak membawa Clostridium difficile toksigenik dalam saluran cernanya, uji koaglutinasi lateks dengan filtrat kultur organism memberikan hasil yang sama dengan uji sitotoksisitas dengan biakan sel BHK-21, penggunaan media CCMA tidak berpengaruh terhadap tingkat isolasi Clostridium difficile bahkan memberikan gambaran koloni yang lebih spesifik sehingga mempermudah dan mempersingkat waktu identifikasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Astarina
"Latar belakang: Clostridium difficile merupakan bakteri anaerob gram positif yang sering menyebabkan diare pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Manifestasi klinis diare karena C. difficile bervariasi dapat berupa diare ringan sampai keadaan klinis yang berat seperti kolitis, komplikasi megakolon toksik, perforasi, serta syok. Faktor risiko yang berperan meningkatkan diare karena C. difficile salah satunya adalah pengunaan antibiotik namun masih dapat disebabkan oleh hal lainnya. Penelitian ini merupakan studi untuk mengetahui prevalens, faktor risiko, dan gambaran klinis diare karena C. difficile pada anak. Metode: Penelitian ini merukapan studio potong lintang, dilakukan pada pasien 105 anak dengan keluhan diare di Poliklinik Anak dan ruang rawat inap pada bulan Mei 2019 sampai Januari 2020 dengan mendeteksi antigen toksin A/B C. difficile menggunakan metode ELISA. Hasil: Prevalens diare pada anak karena C. difficile sebesar 13,3%.Usia kurang dari 2 tahun meningkatkan risiko kejadian diare karena C. difficile 3,84 kali dibandingkan dengan pasien usia lebih dari 2 tahun dan penggunaan PPI atau H2 antagonis meningkatkan risiko terjadinya diare karena C. difficile 5,48 kali dibandingan dengan kelompok yang tidak menggunakan PPI atau H2 antagonis. Semua subyek menderita diare karena C. difficile memiliki riwayat penggunaan antibiotik. Golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang dominan terkait dengan diare karena C. difficile (92,9%), diikuti aminoglikosida 7,1%. Gambaran klinis pasien diare karena C. difficile pada penelitian ini sebagian besar mengalami frekuensi diare 6-9 kali/24 jam, lama diare 14 hari,  nyeri perut, diare dengan dehridrasi berat ataupun ringan, leukosit tinja 10/LPB, dan terdapat darah samar tinja. Diagnosis penyakit yang mendasari pada penelitian ini meliputi infeksi paru 4 subyek, penyakit lain (kongenital dan malnutrisi) 4 subyek,  penyakit hematologi dan onkologi 3 subyek, penyakit imunologi 2 subyek, dan neurologi 1 subyek. Kesimpulan: Penggunaan PPI atau H2 antagonis serta usia kurang dari 2 tahun meningkatkan risiko kejadian diare karena C. difficile. Semua subyek yang mengalami diare karena C. difficile memiliki riwayat penggunaan antibiotik lebih dari tujuh hari.

Background and aim: Clostridium difficile is a gram-positive anaerobic bacterium that often causes diarrhea in patients who are hospitalized. Clinical manifestations of diarrhea due to C. difficile can vary from mild diarrhea to severe clinical conditions such as colitis, toxic megacolon complications, perforation, and shock. Risk factors that play a role in increasing diarrhea due to C. difficile one of which is the use of antibiotics but can still be caused by other things. This study is a study to determine the prevalence, risk factors, and clinical picture of diarrhea due to C. difficile in children. Methods: This study was a cross-sectional study, conducted on 105 pediatric patients with diarrhea complaints in the Children's Polyclinic and inpatients in May 2019 to January 2020 by detecting C. difficile A/B toxin antigen using the ELISA method. Results: The prevalence of diarrhea in children due to C. difficile is 13.3%. Age less than 2 years increased the risk of occurrence of diarrhea due to C. difficile 3,84 times compared with patients aged more than 2 years and the use of PPI or H2 antagonists increased the risk of diarrhea due to C. difficile 5,48 times compared to the group who did not use PPI or H2 antagonists. All subjects suffered from diarrhea due to C. difficile had a history of antibiotic use. Cephalosporins are the dominant antibiotics associated with diarrhea due to C. difficile (92.9%), followed by aminoglycosides 7.1%. The clinical features of diarrhea patients due to C. difficile in this study are the frequency of diarrhea 6-9 times/24 hours, duration of diarrhea 14 days, abdominal pain, diarrhea with severe or mild dehridration, stool leukocytes 10/LPB, and fecal faint blood. Diagnosis of the underlying disease in this study included 4 subjects lung infection, other diseases (congenital and malnutrition) 4 subjects, hematological and oncological diseases 3 subjects, immunological diseases 2 subjects, and neurology 1 subject.
Conclusion: The use of PPI or H2 antagonists and age less than 2 years increases the risk of diarrhea due to C. difficile. All subjects who had diarrhea due to C. difficile had a history of antibiotic use for more than seven days.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reynaldi
"Sebagian besar bioetanol di Indonesia diproduksi dari tanaman pangan yang menimbulkan persaingan dengan industri pangan, menyebabkan tidak stabilnya harga bioetanol dan impor bahan baku. Salah satu alternatif produksi bioetanol adalah melalui fermentasi gas sintetis dengan Clostridium ragsdalei. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan parameter kinetika reaksi dan perpindahan massa reaksi fermentasi, juga pengaruh variasi kondisi terhadap reaksi. Dilakukan pembuatan model reaktor unggun trickle menggunakan COMSOL Multiphysics®. Didapatkan parameter kinetika reaksi sebagai berikut: vmax,CO 70,797 mmol/g.h, vmax,H2 20,101 mmol/g.h, Ks,CO 0,171 mmol/L, Ks,H2 1,284 mmol/L, KI,EtOH 217 mmol/L, KI,HAc 962 mmol/L, KI,CO 0,136 mmol/L, YX,CO 3,925 g/mol, YX,H2 0,245 g/mol, vAcrmax,CO 26,748 mmol/g.h, vAcrmax,H2 2,652 mmol/g.h, KAcrsCO 388 mmol/L, KAcrsH2 464 mmol/L, dan kd 0,362 1/h. Parameter kinetika memiliki rentang AARD 7,443 sampai 39,454% dibandingkan data eksperimen. Kemudian didapatkan koefisien perpindahan massa gas-cair keseluruhan (kGL­a) untuk gas H2 43,860 sampai 115,750, untuk gas CO 13,082 sampai 35,487, dan untuk gas CO2 13,108 sampai 35,571. Didapat nilai optimal dari berbagai variasi sebagai berikut: laju alir cairan 500 ml/menit dan laju alir gas 4,6 ml/menit, konsentrasi awal bakteri 0,4 OD660, dan komposisi gas sintetis 100% gas CO mampu memproduksi bioetanol sebesar 214,260 mol/m3 dan asam asetat sebesar 143,130 mol/m3.
..... Majority of bioethanol in Indonesia is produced from food crops which creates competition with food industry, instability to bioethanol prices and increase of raw materials import. One alternative for bioethanol production is through fermentation of synthetic gas with Clostridium ragsdalei. This research aims to obtain kinetic parameters, mass transfer parameters, and analyze the effect of system conditions to reaction. This research was conducted through modelling of trickle bed reactor using COMSOL Multiphysics®. The estimated values ​​for the kinetics parameters are: vmax,CO 70,797 mmol/g.h, vmax,H2 20,101 mmol/g.h, Ks,CO 0,171 mmol/L, Ks,H2 1,284 mmol/L, KI,EtOH 217 mmol/L, KI,HAc 962 mmol/L, KI,CO 0,136 mmol/L, YX,CO 3,925 g/mol, YX,H2 0,245 g/mol, vAcrmax,CO 26,748 mmol/g.h, vAcrmax,H2 2,652 mmol/g.h, KAcrsCO 388 mmol/L, KAcrsH2 464 mmol/L, and kd 0,362 1/h with AARD 7.443 to 39.454%. The range of overall gas-liquid mass transfer coefficient (kGL­a) for H2 gas is 43.860 to 115.750, for CO gas 13.082 to 35.87, and for CO2 gas 13.108 to 35.571. The optimal parameter values ​​ are 500 ml/minute liquid flow rate, 4.6 ml/minute gas flow rate, 0.4 OD660 initial concentration of bacteria, and 100% CO synthetic gas which is capable of producing 214.260 mol/m3 of bioethanol and 143.130 mol/m3 of acetic acid.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Yasmin Iskandar
"Latar belakang. Berbagai studi sebelumnya menunjukkan bahwa insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile semakin meningkat, terutama pada pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika. Namun belum ada penelitian yang mendapatkan data kedua insidens tersebut di Indonesia, terutama di RSCM.
Tujuan. Untuk mengetahui insidens kolonisasi dan infeksi C.difficile pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM.
Metode. Dilakukan studi kohort prospektif berbasis surveilans pada 96 pasien rawat inap yang mendapat terapi antibiotika di RSCM pada periode penelitian. Dilakukan pemeriksaan feses dengan uji kromatografi cepat C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM pada awal dan akhir penelitian. Dilakukan follow-up selama 5-7 hari perawatan pada semua pasien. Insidens kolonisasi strain non-toksigenik adalah pasien yang memiliki hasil pemeriksaan fesesnya konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/-. Insidens kolonisasi strain toksigenik adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+. Insidens infeksi adalah pasien yang memiliki konversi GDH/Toksin -/- saat awal perawatan menjadi GDH/Toksin +/+ yang disertai satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan infeksi C.difficile.
Hasil. Dari 96 subjek penelitian, 13 subjek mengalami kolonisasi non-toksigenik; 8 subjek mengalami kolonisasi toksigenik; 9 subjek mengalami infeksi. Terdapat 11 subjek yang mengalami gejala klinis, namun hasil pemeriksaan fesesnya tidak ditemukan toksin yang positif (2 subjek hanya mengalami kolinisasi non-toksigenik dan 9 subjek tidak mengalami kolonisasi atau infeksi) sehingga dianggap bukan merupakan infeksi C.difficile.
Kesimpulan. Insidens kolonisasi C.difficile adalah 22%, dimana kolonisasi strain non-toksigenik adalah 14% (IK95% 13-16) dan strain toksi.

Background. Previous studies showed that there have been a significant increasing of the incidence of C.difficile colonization and infection, particularly among hospital inpatients prescribed antibiotics. However, there is no such data available in Indonesia, mainly at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Objective. To determine the incidence of Clostridium difficile colonization and infection among hospital inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods. A surveillance-based prospective cohort study was conducted on 96 inpatients prescribed antibiotics at Cipto Mangunkusumo Hospital during the study period. All patient was followed-up for 5-7 days hospitalization. We obtained rectal swabs or stool samples on admission and day 5-7 of hospitalization and performed a rapid chromatography test C.DIFF QUIK CHEK COMPLETETM to determine colonization or infection. Incidence of non-toxigenic colonization was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/- as the second result. Incidence of toxigenic colonization was defined as as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result. Incidence of infection was defined as a conversion of baseline result GDH/toxin -/- into GDH/toxin +/+ as the second result, accompanied by one or more C.difficile infection-associated clinical symptoms.
Results. A total of 96 subjects were included in the study; 13, 8 and 9 had a non-toxigenic colonization, toxigenic colonization, and infection, respectively. 11 subjects with clinical symptoms could not be determined whether they had a C.difficile infection because of the “toxin-negative” findings from their stool examination (2 subjects had non-toxigenic colonization and 9 subjects had neither colonization nor infection).
Conclusion. The incidence of C.difficile colonization was 22%, which 14% (95% CI 13-16) was the incidence of non-toxigenic colonization and 8% (95% CI 7-10) was the incidence of toxigenic colonization. The incidence of C.difficile infection was 9% (95% CI 8-11).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valentine
"Deteksi dan identifikasi rotavirus A menggunakan sampel feses anakanak penderita diare di Denpasar, Jakarta, Makassar, Mataram, dan Yogyakarta dilakukan di Bacterial Diseases Program US NAMRU-2, Jakarta, dari Februari hingga Mei 2008. Penelitian bertujuan mengetahui keragaman genotipe rotavirus A di Indonesia, khususnya di daerah penelitian. Responden penelitian adalah 1.726 anak berusia 1 hingga 71 bulan, terdiri atas 39,28% anak perempuan dan 60,25% anak laki-laki penderita diare yang berobat ke puskesmas atau rumah sakit dari September hingga Desember 2007. Metode deteksi dan identifikasi yang digunakan adalah seminested-multiplex RT-PCR. Deteksi terhadap rotavirus A menghasilkan prevalensi sebesar 56,89% (982 dari 1.726 sampel). Prevalensi rotavirus A pada anak perempuan (39%) lebih rendah dibandingkan prevalensi pada anak laki-laki (60,49%), dengan anakanak dalam kelompok umur 1-12 bulan memiliki prevalensi tertinggi (63,14%) dan terdapat kecenderungan penurunan prevalensi pada kelompok umur yang semakin besar. Identifikasi genotipe rotavirus A menghasilkan 5 tipe gen pengkode VP7 (genotipe G1, G2, G3, G4, dan G9) serta 6 tipe gen pengkode VP4 (genotipe P[4], P[6], P[8], P[9], P[10], dan P[11]), dengan prevalensi kombinasi genotipe tertinggi (11%) adalah G1P[8]."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Djap Hadi Susanto
"Insidens kejang demam pada anak-anak cukup tinggi yaitu antara 2,2%-9,8% dan sekitar 3% anak-anak sebelum umur 5 tahun akan mengalami paling sedikit satu kali serangan kejang demam. Penyebab pasti terjadinya kejang demam pada anak sampai saat ini belum diketahui. Kejang demam pada anak dapat menimbulkan komplikasi antara lain paralisis, penurunan kecerdasan maupun kerusakan sel-sel neuron otak yang permanen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya masalah kejang demam dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kejang demam pada anak umur 1-72 bulan di RS Husada periode Januari Desember 1999. Melalui studi potong lintang (cross sectional) didapatkan sebanyak 418 orang pasien yang berumur 1 bulan s/d 72 bulan yang mempunyai gejala demam (suhu rektal ≥38°C).
Hasil studi memperlihatkan faktor jenis kelamin dengan OR= 1, 7946 (95% CI; 1,0011-3,2170) dan riwayat kejang dalam keluarga dengan OR=3,6509 (95% CI; 1,9438-6,8575) berhubungan secara bermakna. Faktor-faktor yang tidak bermakna adalah umur, berat badan lahir, umur kehamilan (prematuritas) dan cara persalinan. Dengan pertimbangan epidemiologis faktor umur kehamilan dimasukkan pada model akhir karena faktor ini sangat penting dalam memprediksi terjadinya kejang demam pada anak-anak.
Disarankan kepada para orang tua pasien yang anaknya mempunyai faktor risiko yaitu jenis kelamin laki-laki, lahir prematur serta mempunyai riwayat kejang dalam keluarga agar melakukan konsultasi dengan dokter untuk mencegah terjadinya kejang demam di kemudian hari. Kepada para peneliti agar dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingginya angka kejadian kejang demam dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian kejang demam dengan disain lain dan jumlah sampel yang lebih besar. Kepada pemerintah disarankan agar jenis kelamin anak, prematuritas dan riwayat kejang keluarga dapat dijadikan sebagai indikator dalam program screening terhadap penyakit kejang demam."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Arianingsih
"Latar belakang: Penanganan pasien anak yang terkonfirmasi COVID-19 yang memiliki gejala dilakukan dengan menjalani isolasi, Hal ini menyebabkan timbulnya dampak yang kurang menyenangkan bagi pasien anak. Adanya dampak kurang menyenangkan membuat anak memiliki begitu banyak pengalaman terkait hal yang dialami selama isolasi .
Tujuan:  Peneltian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pengalaman anak terkonfirmasi positif COVID-19 yang dirawat diruang isolasi rumah sakit.
Metode dan subjek: Desain penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi. Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam secara online kepada 10 orang anak yang pernah terkonfirmasi positif COVID-19 dan dirawat di ruang isolasi rumah sakit wilayah Tanjungpinang dan Batam.
Hasil: Penelitian ini menghasilkan tujuah tema yaitu: 1) Kondisi emosional anak saat mengetahui terkonfirmasi positif COVID-19, 2) Pengalaman yang tidak menyenangkan selama menjalani isolasi, 3) Anak memiliki cara untuk menghilangkan rasa bosan dan tidak nyaman dengan beberapa kegiatan selama isolasi, 4) Anak mudah beradaptasi saat menjalani isolasi di rumah sakit, 5) Anak merasa mendapat pengetahuan baru selama menjalani isolasi di rumah sakit, 6) Respon bahagia saat hasil swab negatif dan diperbolehkan pulang, 7) Astronot di ruang rawat.
Kesimpulan: Tujuh tema yang didapat sebagai gambaran pengalaman anak dan adaptasi anak terhadap lingkungan maupun orang-orang disekitar lingkungan tempat menjalani isolasi.
Rekomendasi: Sebagai rekomendasi bagi instansi rumah sakit agar lebih melengkapi fasilitas terutama untuk menunjang kegiatan anak selama menjalani isolasi, dan perawat  lebih meningkatkan komunikasi terapeutik dengan pasien anak. smeua hal ini dilakukan dengan tujuan unutk meminimlakan dampak kurang menyenangkan bagi anak dan untuk meminimalkan trauma.

Background: Handling of confirmed COVID-19 pediatric patients who have symptoms is carried out by undergoing isolation, this causes an unpleasant impact for pediatric patients. The existence of an unpleasant impact makes the child have so many experiences related to what was experienced during isolation.
Objective: This study aims to dig deeper into the experiences of children who are confirmed positive for COVID-19 who are being treated in hospital isolation rooms.
Methods and subjects: Qualitative research design with a phenomenological study approach. Data collection uses in-depth online interviews with 10 children who have been confirmed positive for COVID-19 and are being treated in the isolation rooms of hospitals in the Tanjungpinang and Batam areas.
Results: This study resulted in seven themes, namely: 1) Children's emotional condition when they found out positive confirmation of COVID-19, 2) Unpleasant experiences during isolation, 3) Children have ways to relieve boredom and discomfort with some activities during isolation, 4) Children adapt easily when undergoing isolation in hospital, 5) Children feel they have gained new knowledge while undergoing isolation in hospital, 6) Happy response when swab results are negative and are allowed to go home, 7) Astronauts in the treatment room. Conclusion: Seven themes were obtained as a description of children's experiences and their adaptation to the environment and the people around the environment where they underwent isolation.
Recommendation: As a recommendation for hospital agencies to further complete the facilities, especially to support children's activities during isolation, and nurses to further improve therapeutic communication with pediatric patients. All of this is done with the aim of minimizing the unpleasant impact on the child and minimizing trauma.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>