Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191484 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Santoso Martono
"Pemilihan umum sebagai suatu jembatan aktualisasi infrastruktu politik, khususnya partai politik untuk menempatkan wakil-wakilnya pada lembaga perwakilan suprastruktur politik, merupakan sesuatu yang harus selalu ada dalam suatu negara bangsa yang demokratis. Indonesia sebagai salah satu negara bangsa yang demokratis, secara formal sejak Orde Baru telah lima kali mengadakan pemilihan umum, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987 dan 1992.
Pada Pemilu 1992, yang diikuti 3 (tiga) Organisasi peserta Pemilu yakni PPP. Golkar, dan PDI. Penelitian yang tersaji dalam bentuk tesis ini meliputi DPP Golkar di wilayah Kecamatan Legok Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang.
Aspek yang diteliti adalah sampai seberapa jauh tenaga inti Golkar yaitu kader Golkar mampu memainkan perannya dalam berkomunikasi politik yang tepat sehingga mampu mempengaruhi tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada Pemilu 1992, yang selanjutnya mengakibatkan Golkar di Kecamatan Legok mampu meningkatkan jumlah suara pemilihnya dibandingkan Pemilu 1987.
Faktor-faktor komunikasi politik kader Golkar yang diteliti mencakup isi pesan atau informasi yang disampaikan, media yang digunakan untuk berkomunikasi politik serta kondisi dan kemampuan kader Golkar itu sendiri.
Isi pesan kader Golkar yang berisi realita permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah tempat responden berada dan berisi harapan bagi kepentingan masyarakat berpengaruh besar terhadap tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada pemilihan umum 1992.
Media komunikasi politik yang digunakan kader Golkar melalui agen keluarga, pendekatan hirarkhi/status, kesebayaan usia dan teman sepergaulan dengan responden tidak mernpunyai pengaruh yang besar terhadap tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada Pemilu 1992.
Kondisi dan kemampuan kader Golkar yang terkait penilaian responden tentang kejujuran kader Golkar mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tindakan calon pemilih untuk memilih Golkar pada Pemilu 1992."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasrullah
"Pemberitaan KLB PDI-Munas PDI dan naiknya Megawati di kursi kepemimpinan PDI, menyita perhatian media massa untuk menggelar peristiwa trsebut. Momen berita KLB PDI menjadi menarik karena hadirnya Megawati, baik sebagai kandidat maupun setelah terpilih menjadi ketua umum PDI. Di mana figur Mega merupakan figur yang dianggap kontraversial dalam percaturan politik nasional.
Hal ini terjadi karena, Megawati merupakan simbol perlawanan rakyat yang anti kemapanan dan mendapat dukungan arus bawah. Di samping itu juga ia merupakan tokoh yang kharismatik pada saat pasca-KLB. Hal ini merupakan tahapan yang krusial bagi Mega, terutama setelah menyatakan dirinya terpilih secara De Facto. Pemberitaan media secara kontinyu, menyebabkan media turut andil untuk membentuk opini publik, termasuk mempengaruhi atau berdampak terhadap pengambil keputusan di tingkat hirarki yang lebih tinggi dalam sistem politik Indonesia.
Keberhasilan Megawati menduduki pucuk pimpinan PDI tidak terlepas dari peran media massa selama KLB-Munas PDI merupakan fokus penelitian ini, terutana tentang keperkasaan media massa dalam mengakat kasus PDI dan Megawati. Pisau analisis yang digunakan terletak pada pembentukan opini publik dengan konsep keampuhan Media Massa, khususnya dilihat dari kajian komunikasi politik. Analisis juga meminjam kerangka pemikiran dari Walter Lippman, the World Outside and The Picture in Our Heads, dihubungkan dengan media massa sebagai salah satu saluran komunikasi politik. Lebih khusus lagi analisis dipertajam dengan meminjam kerangka pemikiran Klapper (1960) dan Patterson (1980) dengan menperhatikan kepada manfaat media, potensi media, dan eksposure media dalam melihat peristiwa KLB dan Megawati.
Metode yang digunakan adalah analisis isi dengan pemilihan populasi berdasarkan purporsive sampling yang meliputi harian Kompas, Republika, dan Suara Harya. Jumlah tiras dipakai sebagai acuan di dalam menentukan sample frame dengan menghasilkan 114 tiras, dan ini di amati dalam kurun waktu satu minggu sebelum KLB-PDI dan satu minggu sesudah Munas PDI.
Hasil temuan thesis ini menunjukkan bahwa ada kecendrungan dari ketiga Surat kabar telah memanfaatkan saluran komunikasi politik untuk membentuk opini publik. Dalam kasus PDI dan Megawati surat kabar telah berfungsi ganda yaitu di samping berfungsi sebagai saluran komunikasi politik juga berfungsi sebagai komunikator politik. Ini menunjukkan keperkasaan media telah mampu mempengaruhi pengambil kebijaksanaan politik pemerintah, cendrung "terpaksa" mengakui kehadiran Megawati untuk memimpin PDI.
Pemberitaan Megawati di arena KLB dan Munas PDI, telah menjadi berita utama, bahkan ada kecendrungan media berada dibelakang Mega. Ini terlihat dari penempatan berdasarkan letak halaman, analisa isi berita dan opini, maupun dengan memperhatikan kecendrungan berita dan opini yang bernada mendukung.
Yang jelas, pemberitaan PDI dan Megawati telah memberikan nuansa baru dalam proses demokratisasi melalui media massa. Pemberitan arus bawah yang berpaham kerakyatan selain mampu membentuk opini, tetapi juga tidak lepas dari political will yang dilakukan pemerintah dalam menangkap proses demokratisasi dan keterbukaan yang telah dicanangkan sebelumnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lu`Lu Firaudhatil Jannah
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh isu pragmatisme yang diperbincangkan oleh media massa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan manifestasi ajaran pragmatisme yang tampil melalui cara perilaku pragmatis ? dalam pesan politik calon legislator pada pemilu 2014.
Subjek penelitian ini adalah para calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta 2014 dari gender, partai dan dapil yang berbeda dan media yang digunakan oleh caleg untuk mengirim pesan politik tersebut kepada masyarakat. Subjek penelitian ini diteliti menggunakan konsep komunikasi politik untuk melihat bagaimana komunikator politik mengirimkan pesan politiknya. Penelitian ini juga menggunakan konsep pragmatisme dan komunikator politik pragmatis untuk melihat apakah para informan merupakan seorang komunikator politik yang pragmatis. Selanjutnya pesan politik yang dikirim caleg sebagai komunikator politik diteliti untuk melihat apakah pesan tersebut merupakan pesan politik pragmatis.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dimana data diperoleh melalui hasil wawancara dan studi dokumentasi yang diteliti menggunakan Analisis semiotika Barthes. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa komunikator politik pragmatis menghasilkan pesan politik pragmatis dalam perpolitikan yang liberal.

This research is motivated by pragmatism issues are discussed by the media ahead of the General Election 2014. This study aims to explain the manifestation of the doctrine of pragmatism that appear through pragmatic behavior ? in the political message legislative candidates in the legislative election 2014.
The subjects of this research are legislative candidates city council 2014 from different gender, political party and different constituencies and media used by candidates to send a political message to the public. The subjects studied using the concept of political communication to see how the political communicator to send political messages. This study also uses the concept of pragmatism and pragmatist political communicators.
This research is qualitative research. Research data was obtained through interviews and documentation studies that examined use Barthes semiotic analysis. The results of this analysis indicate that pragmatic political communicator produce pragmatic political messages in liberal politics.
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ummi Salamah
"Disertasi ini meneliti secara empiris brand politik pemimpin politik (dhi. bakal calon presiden Republik Indonesia 2014) dalam konteks komunikasi politik dan keterkaitannya dengan kepemimpinan yang berbasis pada identitas sosial. Konsep brand merupakan konsep ilmu pemasaran yang diterapkan dalam berbagai ranah, termasuk politik. Oleh karena itu terdapat kebutuhan untuk mendapatkan gambaran mengenai konsep ini dalam konteks komunikasi politik yang semakin mengalami personalisasi dan mediatisasi. Personalisasi dan mediatisasi merupakan realitas komunikasi politik yang mendorong kemunculan pemimpin politik sebagai brand.
Penelitian ini menelaah brand pemimpin politik sebagai pesan di media massa, khususnya media massa cetak yang mewakili 5 (lima) kelompok bisnis media besar yang ada di Indonesia. Analisis konten media dilakukan untuk melihat visibilitas dan asosiasi yang melekat pada brand 12 (duabelas) bakal calon presiden RI paling populer di media, yaitu (dalam urutan abjad) Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Marzuki Alie, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Pramono Edhie Wibowo dan Wiranto. Brand sebagai pesan di media kemudian menjadi dasar untuk mendapatkan gambaran tentang brand pemimpin politik di benak publik, yaitu pemilih di 5 (lima) wilayah DKI Jakarta.
Penelitian ini menemukan bahwa konsep brand pemimpin politik bersifat cair dan rentan terhadap isu maupun persaingan politik. Selain itu, terdapat 2 (dua) dimensi dasar pembentuk ekuitas brand pemimpin politik, yaitu: elektabilitas dan partisipasi. Tingkat pengenalan (awareness) dan prototipikalitas (keterwakilan identitas sosial pemilih dalam sosok pemimpin) menjadi kondisi yang diperlukan (necessary condition untuk pembentukan ekuitas brand pemimpin politik. Sedangkan kepribadian (brand personality) dan asosiasi (brand association) merupakan kondisi yang turut memperkuat meski tidak mutlak (contributory condition) dalam pembentukan ekuitas brand pemimpin politik.

This dissertation empirically examines the political brand of political leaders (ie. 12 Indonesia presidential candidates to be) in the context of political communication and in association with social identity. Brand is a marketing concept applied in politics. Therefore it has to be reviewed due to the new context, the new politics and in the midst of mediatization. Personalization and mediatization are the factors that encourages the emergence of political leaders as a brand.
This study examines the political leaders as messages in the mass media, particularly the print media representing five (5) business major media groups in Indonesia. Media content analysis was used to examine the visibility and association of the top 12 Indonesia presidential candidates to be in the media, namely (in alphabetical order) Bakrie, Dahlan Iskan, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Marzuki Alie, Megawati, Prabowo, Pramod Edhie Wibowo and Wiranto. Brands as media messages then become the basis for getting an overview of political leaders brands in the public minds, ie. voters in Jakarta.
This study found that the concept of political brand are fluid and susceptible to political issues and competition. In addition, there are two basic dimensions of brand equity for political leaders, namely: electability and participation. Brand awareness and prototypicality are two necessary conditions for political leaders brand equity while brand personality and brand association are contributory conditions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1961
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ghoffar Nafchuka
"Ketentuan mengenai pemerintahan daerah di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia adalah desentralisasi, dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur pembangunan daerah, kecuali sejumlah urusan (diplomasi luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, peradilan, agama, dan urusan lainnya) yang tetap dipegang oleh pemerintah pusat.
Di dalam menjalankan pemerintahan daerah tersebut, Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berperan sangat penting dan menentukan. Kepala Daerah dan DPRD berwenang menentukan pengaturan pembangunan daerah, melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) dan kebijakan strategis daerah. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa hubungan yang baik antara pihak eksekutif (Kepala Daerah - Bupati) dan DPRD (Kabupaten) sangat menentukan kinerja pembangunan daerah.
Hubungan Bupati dengan DPRD Kabupaten diwujudkan dalam komunikasi politik. Dalam penelitian akan dilakukan penyelidikan komunikasi politik antara Bupati Sidoarjo dengan DPRD Sidoarjo. Secara khusus, penelitian akan terfokus pada empat hal, yaitu : (1) sikap dan perilaku eksekutif dan legislatif, (2) perkembangan interaksi eksekutif dengan legislatif, (3) perubahan struktur (pola-pola interaksi) eksekutif dengan legislatif, serta (4) deskripsi kendala hubungan tersebut.
Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara langsung terhadap 100 orang responden yang dianggap memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang komunikasi politik antara pihak eksekutif dan legislatif di Kabupaten Sidoarjo. Responden terdiri dari 60 orang aparatur Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan 40 orang anggota DPRD Sidoarjo. Selain itu dilakukan juga pengumpulan data sekunder termasuk keterangan dari sejumlah tokoh masyarakat, agama dan LSM di Kabupaten Sidoarjo.
Berdasarkan data yang dikumpul, ditemukan bahwa kedua pihak (eksekutif maupun legislatif) melakukan komunikasi politik terhadap publik Sidoarjo. Mengingat bahwa Sidoarjo telah mengarah menjadi daerah industri, terlihat jelas bagaimana masalah-masalah yang terkait dengan kegiatan industri menjadi isu sentral termasuk dalam bidang politik. Tuntutan kenaikan gaji dari kelompok buruh merupakan isu yang popular di kalangan legislatif maupun eksekutif.
Hubungan antara pihak eksekutif dan legislatif sendiri memperlihatkan gejala yang cukup menarik, dimana masing-masing pihak merasa lebih superior. Sadar atau tidak, kecenderungan ini mengakibatkan adanya tarik menarik kepentingan antara kedua institusi. Masing-masing insitusi saling mempengaruhi, karena kebetulan pihak Bupati Sidoarjo berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan di DPRD Kabupaten Sidoarjo sendiri, fraksi PKB termasuk fraksi yang signifikan. Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo pun sebenarnya berasal dari fraksi PKB.
Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa institusi eksekutif maupun legislatif memiliki kecenderungan untuk membenarkan diri sendiri. Pihak eksekutif lebih memahami kedudukan mereka sebagai pelaksana kebijakan, sehingga dengan sendirinya mereka lebih memiliki akses politik, khususnya terhadap publik. Di sisi lain, pihak legislatif merasa bahwa sesuai dengan kewenangannya, mereka dapat berada di atas pihak eksekutif. Mengingat bahwa DPRD-lah yang memilih Kepala Daerah, maka dengan sendirinya Kepala Daerah harus tunduk kepadanya. Dengan cara berfikir seperti ini, DPRD menjadi sangat kuat ketika berhadapan dengan Kepala Daerah. Hal ini sangat jelas terlihat saat Bupati Sidoarjo menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Tahunan di hadapan Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Sidoarjo. Dalam beberapa hal, penilaian terhadap LPJ Bupati tersebut telah dijadikan sebagai alat tawar menawar kepentingan antara DPRD dengan Bupati.
Kuatnya kedudukan DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di satu sisi bermakna sebagai pemberdayaan perwakilan rakyat. Akan tetapi ternyata tidak ada jaminan bahwa kedudukan DPRD yang kuat akan meningkatkan kinerja pembangunan di daerah. Dalam kasus di Sidoarjo terlihat bahwa kuatnya DPRD pada akhirnya hanya menguntungkan anggota DPRD itu sendiri, bukan menguntungkan kepentingan publik.
Ditinjau dari perspektif ketahanan nasional, kedudukan DPRD yang kuat seyogyanya akan sangat positif, karena dengan demikian DPRD dapat memperjuangkan aspirasi rakyat tanpa perlu dibayang-bayangi rasa takut, seperti di-recall. Sebagai lembaga politik yang berfungsi menyalurkan aspirasi rakyat, DPRD sebenarnya dapat menjadi lembaga yang efektif untuk menentukan dan mengontrol jalannya pembangunan daerah. Berlangsungnya pemerintahan daerah yang baik pada gilirannya akan meningkatkan pembangunan di daerah, dan dengan sendirinya akan meningkatkan ketahanan nasional di daerah.
Kenyataannya, kewenangan yang kuat pada DPRD ternyata hanya menguntungkan anggota DPRD itu sendiri. Fakta empirik ini semakin memperkuat pendapat yang menyatakan bahwa untuk terwujudnya ketahanan nasional di daerah, kedudukan DPRD dan Kepala Daerah sebaiknya sejajar (bermitra). Dalam keadaan seperti ini, pihak eksekutif dan legislatif berada pada posisi yang seimbang dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. Di sisi lain, rekrutmen anggota DPRD perlu disempurnakan sehingga mereka yang duduk pada lembaga legislatif adalah mereka yang benar-benar memiliki komitmen terhadap kepentingan rakyat.

Political Communications Development between The Executive and Legislative in Perspective of National Resilience (Case Study in Sidoarjo District)The rule concerning regional government in Indonesia arranged in Act Number 22 of 1999. One of the principles in the running of regional government in Indonesia is decentralization, where a region is given an authority to arrange a regional development. A number of business (overseas diplomacy, security defense, monetary, jurisdiction, religion, and other business) remains to be held by central government.
In running of the regional government, governor / district head and regional legislative assembly (DPRD) play an important role. The Governor / district head and the regional parliament determine the arrangement of the regional development through the stipulating of the regional regulation (Perda) and the regional strategic policy. Therefore, a good relationship between the executive (Governor - District Head) and the district parliament (DPRD Kabupaten) determines the performance of the regional / district development.
The district head and district parliament relationship presented in political communications. There in the research will be conducted an investigation of political communications between the district head and district parliament. Peculiarly, it will be focused on the following (1) attitude and behavior of executive and legislative, (2) interaction development between executive and legislative, (3) structure change (interaction patterns) of executive and legislative, and (4) the description of the relationship constraint.
The research done by conducting a direct interview to 100 people assumed own the adequate understanding and knowledge about political communications between executive and legislative in the district of Sidoarjo. The interviewed consisted of 60 governmental the district people apparatus and 40 people as the members of Sidoarjo parliament. Additionally, there also conducted the collecting of secondary data includes a number of elite figure, religion, and self-supporting institute of society of the Sidoarjo district.
Pursuant to gathered data, found that both sides (executive and legislative) conducting political communications to the public of Sidoarjo. Considering that Sidoarjo has instructed to become the industrial area, standout how related problem with the industrial activity become the central issue included in political area. Increase salary demands from labor group represent the popular issue among legislative and also executive.
Relation between executive and legislative itself show the interesting symptom where each side feels superior. Conscious or not, this tendency result the existence of drawing to draw the importance between both sides. Each side influencing each other, since district head side come from National Awakening Party (PKB), and in Sidoarjo district parliament itself, faction PKB is a significant faction. The Chairman of Sidoarjo district parliament is in fact come from faction PKB.
The research's result also shows that executive institution and also legislative owns the tendency to agree them selves. The executive side is more comprehending to domicile them as policy executor, so that by itself they more owning to access the politics, especially to public. On the other side, legislative party feels that in accordance to its authority, they can reside in for executive party. Considering that the district parliament choosing Regional Leader, hence by itself Regional Leader have to bow to it. By way of thinking like this, the parliament becomes very strong when dealing with Regional Leader. This matter is very clear seen by moment of Sidoarjo district submit the Annual Responsibility Report before Plenary Conference of the District Parliament. In some cases, assessments to the Responsibility Report have been made as a means of drive a bargain the importance between the parliament and the district head.
Its strong position of the parliament as arranged in Act Number 22 of 1999 in one side has a meaning of as empowerment of people delegation. However in the reality there is no guarantee that such strong parliament position will improve the development performance in the region. In case of Sidoarjo district seen that the strong parliament in the end only profit the member of the parliament itself not for the profit of public importance.
Evaluated from national resilience perspective, the strong parliament position should be very positive because thereby the parliament is able to fight for the people aspiration without shadow need have cold feet, like be recalled. As the political institute which distributing the people aspiration, the parliament in fact could become the effective institute to determine and control the district development. Taking place of it good regional government in turn will improve development in the region, and by itself will improve the national resilience in the area.
In reality, the parliament strong authority is in fact only profits the member of the parliament itself. These empirical facts progressively strengthen the opinion expressing that to existing of national resilience in the region, the parliament position and regional leader should be equal in position (partnership). Under the circumstances, .the executive and legislative sides are at the well-balanced position in determining policy of regional development. On the other side, recruitment of the parliament members need to be completed so that those who sit at legislative institute are those who really owning the commitment to people importance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T11851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Nia
"Makalah non-seminar yang bertajuk “Analisis Komunikasi Politik (Studi Kasus pada Video Rapat Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama / Ahok dengan Jajaran Dinas DKI yang Diunggah di Youtube Melalui Akun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta)” mengambil teori lima unsur komunikasi politik yang terdiri atas komunikator politik, pesan, media, komunikan, dan efek.
Makalah ini digali melalui berbagai studi literatur dan studi kasus mengenai cara kepemimpinan yang diterapkan para pemimpin Indonesia. Pada 2012 pasangan Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok pun mulai mendongkrak kinerja pemerintahan melalui cara memimpinnya yang terstruktur dan terkoneksi oleh media sosial. Setiap rapat birokrasi yang dilakukan Ahok bersama jajaran dinas, disebarluaskan melalui Youtube (media global tanpa batas) agar bisa dilihat oleh tak hanya warga Jakarta dan Indonesia, tetapi juga masyaakat dunia.
Kesimpulan dari makalah ini, budaya tranparansi yang diterapkan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) telah membangun berbagai opini publik dari berbagai kalangan, baik yang mendukung maupun tidak mendukung, baik yang menyukai maupun yang tidak menyukai. Memanfaatkan media baru seperti Youtube, merupakan hal mutakhir yang baru diterapkan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam hal ini Youtube menjadi salah satu media kampanye dapat mendongkrak sosok Ahok dalam meraih dukungan atau simpati massa dari berbagai kalangan, usia, kelas sosial, dan lintas batas.

This paper that entitled “Political Communication Analysis (case study on the Video meeting of the Vice Governor of DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama/Ahok lined with Department of DKI Services which uploaded on Youtube Through Government Accounts DKI Jakarta)” takes the five elements theory political communications unsure consisting of political communicators, message, media, receiver, and effects.
This paper was dug through the various studies of the literature and case studies on how the leadership of Indonesia previously had occurred in Indonesia's leadership crisis. In 2012 the Governor's spouse Joko Widodo and Ahok began to boost the performance of the Government through a structured and directed it connected by social media. Each meeting bureaucracies that led by Ahok, disseminated via Youtube (global media without boundaries) to be seen by not only the citizens of Jakarta and Indonesia, but also the world.
The conclusion of this paper is transparent culture applied to Vice Governor of DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama(Ahok) is builds a wide range of public opinion from many quarters, both in favor of and does not endorse, either liked or disliked. By utilizing new media like Youtube, the new cutting-edge applied a system of Government in Indonesia. In this case Youtube became one of the media campaign could boost the figure within the mass Ahok grabbed from various backgrounds, ages, social classes, and cross-border.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Heintje Hendrik Daniel
"Partai Kebangkitan Bangsa [PKB] adalah partai bentukan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama [PBNU]. Pada Pemilu 1999 lalu PKB menjadi partai terbesar ketiga di bawah PDIP dan Golkar. Dukungan besar dari warga Nahdlatul Ulama [NU] merupakan salah satu kunci sukses disamping kharisma yang dimiliki oleh oleh tokoh-tokoh pendirinya, khususnya Gus Dur. PKB bertekad untuk menjadi partai pemenang Pemilu 2004 dengan target perolehan suara di atas 20%. Menghadapi Pemilu 2004 tantangan yang dihadapi PKB lebih berat mengingat pemilih inti PKB, yaitu warga NU, bisa saja berkurang ditambah lagi adanya konflik internal yang terjadi pasca kejatuhan Gus Dur. PKB identik dengan partainya warga NU, sementara tidak semua warga NU memilih dan menjadi pengurus PKB. Salah satu cara untuk mencapai target minimal perolehan suara adalah dengan merangkul massa diluar kalangan NU. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif. Penelitian ini memaparkan strategi komunikasi PKB dalam memenangi Pemilu 2004. Kerangka teori dan penelitian ini adalah bagaimana prinsip-prinsip humas [research, objectives, strategies, implementation, evaluation] diterapkan oleh humas PKB. Positioning sebagai partai advokasi dan citra sebagai partai terbuka dan modern dikembangkan oleh PKB. Strategi komunikasi sudah terencana dan terpadu dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. PKB mengkategorikan para calon pemilih mereka kedalam 25 kelompok sasaran. Untuk menjangkau warga muslim, khususnya NU, PKB mengandalkan peran para kiai. Dalam menjangkau masyarakat PKB mengandalkan opinion leaders [kiai, tokoh adat, pemuka agama]. Slogan dan tema kampanye PKB banyak dan beragam disesuaikan dengan sasaran kelompok. Tema dan slogan kampanye tersebut sebenamya bisa difokuskan hanya pada issue-issue yang sedang berkembang dan menjadi pusat perhatian masyarakat. Media relations, press agentry, dan issues management perlu mendapat perhatian lebih dari humas PKB. Penelitian yang berkaitan dengan humas PKB selanjutnya sebaiknya menggunakan metode kuarrtitatif untuk melengkapi penelitian yang kualitatif ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Turnomo Rahardjo
"Penelitian fenomenologis tentang bahasa kampanye pemilu 1997 ini berangkat dari satu pengamatan terhadap bahasa kampanye yang terdapat dalam berbagai spanduk pada masa kampanye Pemilu 1997.
Hasil dari pengamatan tersebut memperlihatkan kecenderungan adanya bentuk bahasa kampanye yang hegemonik melawan bahasa kampanye yang berbentuk rekayasa simbol yang bersifat hegemoni tandingan.
Dalam pengertian yang lebih lugas, bahasa politik pemerintah Orde Baru yang memperlakukan kata "pembangunan" sebagai simbol ideologis, telah mendominasi bahasa kampanye Golkar. Dalam kampanye Pemilu 1997, bahasa kampanye Golkar yang lebih menekankan pada keberhasilan-keberhasilan pembangunan mendapatkan "perlawanan" dari PPP dan PDI melalui bahasa kampanye mereka yang mencoba mempertanyakan keberhasilan-keberhasilan pembangunan tersebut.
Landasan teoritik yang digunakan untuk mengkaji persoalan bahasa kampanye tersebut adalah genre interpretive theory, yaitu teori yang berusaha mengungkapkan Cara-Cara orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri. Dalam lingkup yang lebih sempit, penelitian ini ditelusuri melalui gagasan fenomenologi-hermeneutika yang menjelaskan bahwa realitas tentang sesuatu dapat diketahui melalui pengalaman alamiah yang diciptakan melalui penggunaan bahasa.
Gagasan teoritik lain yang digunakan adalah pemikiran Jurgen Habermas mengenai Universal Pragmatics, yaitu prinsip-prinsip universal tentang bahasa atau studi mengenai aspek-aspek umum penggunaan bahasa.
Disamping itu, penelitian ini juga dibahas dengan melihat bahasa dalam dimensi ontologis dan epistemologis. Dalam dimensi ontologis, bahasa bukanlah sesuatu yang transparan yang menangkap dan memantulkan segala sesuatu di luarnya secarajernih. Sedangkan dalam dimensi epistemologis, dinyatakan bahwa bukan manusia yang memakai bahasa, tetapi justru bahasa yang memakai manusia.
Dalam tataran metodologis, penelitian ini secara ontologis berusaha mengkaji bahasa kampanye sebagal suatu realitas yang hadir sebagai konstruksi mental dan dipahami secara beragam oleh individu-individu. Sedangkan dalam dimensi epistemologis, peneliti dan realitas yang ditelitinya menyatu ke dalam suatu entitas. Dan dalam asumsi metodologis, konstruksi mental digali secara fenomenologishermeneutik, yaitu melalui proses pemahaman.
Data penelitian ini diperoieh dari 25 co-researchers yang terdiri dari praktisi politik (13 orang), pengamat politik (4 orang), dan subjek yang terlibat dalam pemaknaan bahasa kampanye (8 orang) melalui kegiatan wawancara mendalam
Temuan dari penelitian ini menegaskan, bahwa telah terjadi konflik melalui bahasa (kampanye) antar OPP (Golkar dan Partai Politik) yang bersumber pada persoalan kekuasaan. Dalam pengertian yang lebih konkret, bahasa kampanye Golkar yang formal dan berusaha untuk melakukan pembenaran-pembenaran terhadap kebijakan pembangunan seperti yang sudah digariskan oleh penguasa harus berhadapan dengan bahasa kampanye partai politik yang terungkap secara spontan dan kritis.
Dalam konteks konflik kekuasaan tersebut, bahasa kampanye tidak sekadar dipahami sebagai instrumen atau alat propaganda dari OPP tertentu untuk menegakkan citra dirinya dihadapan masyarakat dan juga untuk meraih simpati massa yang sebanyak-banyaknya. Namun lebih dari itu, bahasa kampanye perlu dipahami sebagai representasi dari berbagai macam kuasa. Bahasa kampanye juga merupakan salah satu ruang bagi konflik berbagai kepentingan dan kekuasaan dinyatakan. Karenanya, tidak berlebebihan bila dikatakan bahwa bahasa {kampanye} adalah kuasa (language is power)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Agus Susanto
"Tesis ini merupakan pengkajian komunikasi politik kelompok penekan di Indonesia. PeneUtian ini berfokus pada bagaimana komunikasi politik KASUM di tengah resistensi pihak pihak Penelitian tentang pressure group masih sangat jarang. Umumnya yang diteliti lembaga pemerintah, partai politik atau lembaga bisnis, Beberapa pertanyaan yang dicoba untuk dijawab: Bagaimana strategi komunikasi politik KASUM kepada pemerintah dan publik di Indonesia. Bagaimana lembaga ini mampu terus bertahan selama lima tahun mengkampanyekan isu Munir, HAM dan dernokrasi. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dan bersifat diskriptif.

The focus of this study is political communication in Indonesia pressure group. The case study is in the Case Study Action and Solidarity Co:mmittee for Munit (KASUM). Not much study about political communication of pressure group fn Indonesia. Generally that study for political party, government or other political organization". The purpose of this study is to understand how KASUM stiH exist to promote Munir issue, how KASUM use media. This research is qualitative descriptive. The data were collected by means of deep interview."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T32410
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Elektrika Puspitasari
"Penelitian ini mendeskripsikan strategi komunikasi politik melalui media sosial yang dilakukan oleh calon independen Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Faisal Basri dan Biem Benjamin. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Faisal-Biem telah menyampaikan pesan-pesan berulang di media sosial dengan metode informatif dan edukatif, namun kurang persuasif. Secara garis besar, strategi komunikasi politik yang dilakukan cukup optimal terutama dalam membangun citra politik sebagai pemain baru di kancah perpolitikan. Elemen-elemen penting dalam pembentukan citra sudah saling terintegrasi dan dibangun secara bersamaan dalam strategi yang dilakukan oleh Faisal-Biem. Citra independen dan bersih yang dikomunikasikan melalui media sosial telah diwujudkan dengan sistem penggalangan donasi online. Pemeliharaan citra tersebut dilakukan dengan penciptaan hubungan, meski masih tergolong statis. Tidak hanya independensinya, dominasi media sosial pada strategi yang dilakukan oleh Faisal-Biem juga telah menambahkan warna baru bagi demokrasi dan juga menjadi pembelajaran politik terutama dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012. Meski peran media konvensional belum tergantikan, namun keberadaan media sosial dapat menjadi senjata pelengkap dalam berkomunikasi dan membentuk citra politik. Penelitian ini hanya fokus kepada pemaparan strategi komunikasi politik dan pembentukan citra, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut pada pasca-pemilihan untuk mengukur tingkat keberhasilannya.

This study describes the political communication strategy through social media conducted by independent candidates for DKI Jakarta gubernatorial election, Faisal Basri and Biem Benjamin. This is a descriptive qualitative research, focus on Faisal-Biem?s strategy in communicating and building political image. Faisal-Biem had successfully delivered political verbal text messages with redundancy, informative and educative methods, but less persuasive. However, the political communication strategy in building political brand as a newcomer in the political arena was well managed. Essential elements in the personal branding concept have been integrated well with each other and built simultaneously. The online donations system became a realization of their independent image. Not only their independence, but the dominant use of social media in their strategy has brought a new atmosphere as well as a political education for the democracy system in Indonesia. Although the role of the conventional media has not been replaced, the existence of social media could be an effective complementary weapon in communicating and forming political brand. Further research after the Jakarta gubernatorial election is needed to measure the success rate.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30752
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>