Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157675 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mashuri
"Tesis ini untuk menjelaskan bagaimana penerapan butir-butir kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (Loi) yang terjadi di era pemerintahan Soeharto, Habibie dan Abdurrahman Wahid.
Pada saat terjadi krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, pemerintah Indonesia akhirnya meminta bantuan ke lembaga keuangan internasional atau IMF. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus siap menerima berbagai rekomendasi kebijakan yang disarankan oleh IMF, bagi upaya pemulihan krises ekonomi. Rekomendasi ini tidak diberikan secara sembarangan, karena harus diikuti oleh sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia.
Awalnya, pemerintah Soeharto saat itu terlihat keberatan dengan berbagai program pemulihan ekonomi seperti yang tertuang dalam Loi pertama, maupun kedua. Hal ini terjadi karena pemerintah Soeharto saat itu menjalankan roda perekonomian yang diduga banyak melakukan tindakan KKN. Padahal, IMF dalam rekomendasinya, menuntut agar segala bentuk monopoli, KKN dalam Iingkungan bisnis dihilangkan. Tarik ulur antara pemerintahan Soeharto dan IMF pun terjadi. Soeharto sempat mencari altematif kebijakan pemulihan krisis seperti membahas ide sistem dewan mata uang atau lebih dikenal dengan Currency Board System (CBS). Namun, IMF lagi-lagi menolak. Hal ini berbeda dengan pelaksanaan Loi yang terjadi di era Habibie maupun Abdurrahman Wahid. Latar belakang politik saat itu, juga ikut mempengaruhi bagaimana butir-butir Loi itu dijalankan. Berbagai hal ikut mempengaruhi proses tersebut. Mulai dari faktor ekonomi, sosial hingga politik.
Tujuan untuk melihat bagaimana ketiga presiden itu menjalankan resep IMF inilah yang ingin diketahui dalam penulisan ini. Hal ini dilakukan dengan menggunakan berbagai teori, mulal dari teori ekonomi politik internasional yang pertama yakni aliran liberalis, kedua aliran nasionalis dan ketiga strukturalis. Dibagian lain, untuk mengupas tentang permasalahan, digunakan teori yang membahas tentang politik domestik diperkuat dengan berbagai tipe kepemimpinan dalam membuat kebijakan nasional.
Pada kenyataannya, penerapan Loi antara IMF dan Indonesia sangat menuntut konsistensi serta political will dari pemerintah dalam menuntaskan krisis ekonomi. Hal inilah yang kurang dilakukan oleh ketiga presiden itu sehingga tidak jarang target waktu pelaksanaan Loi itu sering tidak tepat waktu.
Tesis. ini merupakan kajian kualitatif dan penelitian tesis ini adalah dekriptif eksplanatif. Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan teknis pengumpulan data dan kepustakaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P. Ferry Helianto
"Lepasnya Timor Timur dari negara kesatuan Republik Indonesia berdampak negatif terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia. Berawal dari disposisi surat PM Howard yang dialamatkan kepada Presiden Habibie, yang dalam suratnya, Howard menyarankan agar Indonesia memberikan hak untuk menentukan nasibnya sendiri bagi rakyat Timor Timur. Surat tersebut jelas membuat posisi Indonesia merasa dilecehkan dan kemudian balas mengecam Australia karena dinilai terlalu jauh mencampuri masalah dalam negeri Indonesia.
Namun surat itu pula, yang pada akhirnya membuat pemerintahan Habibie memberikan dua opsi bagi rakyat Timor Timur untuk tetap bergabung dalam negara kesatuan Republik Indonesia, atau menolak otonomi luas dan melepaskan diri dari Indonesia. Situasi krisis multidimensi di Indonesia, adalah faktor yang memperlemah kinerja diplomasi Indonesia saat itu. Terlebih lagi, Indonesia harus menerima kenyataan pahit, bahwa Timor Timur akhirnya memilih lepas dan merdeka dari Indonesia. Hal ini membuat para pejuang integrasi yang setia kepada Indonesia menjadi kecewa dan marah, hingga terjadi huru hara dan pembumihangusan di Timor Timur, disinyalir telah terjadi pelanggaran HAM besar besaran di propinsi tersebut.
Dibawah tekanan dunia internasional dan sanksi yang akan dijatuhkan kepada Indonesia, membuat Presiden Habibie tidak punya pilihan lain, kecuali menerima kehadiran INTERFET untuk mengendalikan situasi keamanan yang bergejolak di Timor Timur pasca jajak pendapat. Komposisi Australia yang memiliki jumlah pasukan lebih besar dalam INTERFET menyebabkan Indonesia merasa dipermalukan. Hal ini menyebabkan ketegangan hubungan antara Jakarta dan Canberra pada tingkat yang terburuk dalam sejarah hubungan diplomatik kedua negara.
Seiring waktu berlalu, dan terpilihnya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia, ketegangan hubungan Jakarta-Canberra akibat keterlibatan Australia yang terlampau jauh di Timor Timur telah mengalami berbagai tahap perbaikan yang cukup berarti bagi pemulihan hubungan bilateral kedua negara.
Faktor-faktor seperti mendesaknya penyelesaian masalah dalam negeri di bidang ekonomi dan mengatasi gerakan separatisme pasca jajak pendapat di Timor Timur, adanya dorongan untuk memperkuat solidaritas Asia Pasifik, upaya memperbaiki citra Indonesia di luar negeri dalam bidang HAM, melemahnya peran ASEAN, serta mitos terhadap posisi Indonesia vis-à-vis dengan Australia dapat menjadi alat bedah dalam menganalisis bagaimana politik Iuar negeri Abdurrahman Wahid dijalankan selama setahun pemerintahannya.
Penulis menggunakan pemikiran Holsti dalam menganalisis berbagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi arah politik luar negeri Indonesia yang dijalankan pada masa Pemerintahan Habibie dan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Penulis menggunakan metode penelitian berdasarkan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif analisis untuk membandingkan data-data yang tersedia dengan pemikiran-pemikiran yang digunakan dalam penulisan tesis ini. Penulis membatasi pengumpulan data melalui studi kepustakaan, yaitu masa Pemerintahan Habibie dan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid pada kurun waktu tahun 1999-2001."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T12373
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.F. Ingrid Ismail
"Surat kabar merupakan salah satu media massa yang penyediaan materi dan cara penyajiannya banyak dikendalikan oleh peraturan karena kondisi yang mengharuskan sebuah surat kabar untuk terikat pada peraturan penyediaan materi berita. Dengan kata lain, surat kabar merupakan alat legitimasi kekuasaan penguasa melalui pemberitaannya ke para pembaca. Di lain pihak, fungsi surat kabar adalah sebagai corong suara masyarakat kepada penguasa, sehingga merupakan alat resistensi terhadap penguasa.
Kecenderungan surat kabar sebagai corong penguasa atau corong masyarakat dapat dilihat dari berita yang dipilih untuk dimuat serta pengaturan pemberitaan kemudian diperiksa silang dengan siapa pengelola surat kabar tersebut.
Harian Indonesia adalah surat kabar yang dibidani oleh pemerintah Orde Baru dan menjadi satu-satunya surat kabar berbahasa Tionghoa yang bisa diakses secara legal pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, karena pemerintah membutuhkan jembatan informasi melalui media mengenai kebijakan pemerintah kepada masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia yang memiliki keterbatasan dalam menggunakan bahasa Indonesia.
Sebagai surat kabar yang didirikan pemerintah Orde Baru, Harian Indonesia mempunyai pedoman kebijaksanaan pemberitaan yang sudah dibakukan serta pengawasan ketat dari berbagai badan pemerintah agar surat kabar ini melaksanakan tugas khususnya yaitu: mendorong konsep pembauran asimilasi total melalui pemberitaan.
Sementara konsep pembauran yang berbeda pada pemerintahan Abdurrahman Wahid telah menelurkan peraturan yang mengubah posisi etnis Tinghoa. Salah satunya mengizinkan etnis Tionghoa menjalankan ritual budayanya serta memperbolehkan media berbahasa Tionghoa selain Harian Indonesia beredar.
Pengelolaan berita di Harian Indonesia, sebagai surat kabar pemerintah, akan menjadi cerminan dari perubahan peraturan dari era Orde Baru ke masa pemerintahan Abdurrahman Wahid yang membawa perubahan pada posisi etnis pembaca Harian Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kafi Handiko
"Tesis berusaha menelusuri dinamika tarik menarik antara kepentingan pasar yang dalam hal ini direpresentasikan oleh IMF dengan Lol - nya dan kepentingan kapitalisme kroni pada masa pemerintah Orde Baru tahun 1997-1998. Tanggal 31 Oktober 1997, pemerintah Orde Baru mulai mengundang keterlibatan IMF dalam upaya mengatasi krisis ekonomi. Ada semacam nostalgia, ketika pada tahun 1966, keterlibatan IMF berhasil mengatasi carut marut ekonomi, berupa hyperinflasi, warisan Rezim Orde Lama. Dengan kata lain, kredibilitas IMF sebagai lembaga keuangan internasional diperlukan untuk memulihkan kembali kepercayaan. Namun dengan keterlibatan IMF, krisis ekonomi di Indonesia justru semakin mendalam. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan. Pertama, mengapa dengan dilibatkanrya IMF dalam upaya pemulihan krisis ekonomi di Indonesia justru krisis semaki menghebat? Kedua, apakah dengan demikian kebijakan pemulihan ekonomi IMF tidak efektif untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan pertama kiranya perlu untuk melakukan kilas balik ke masa awal mula krisis dan bahkan jauh sebelum krisis melanda. Kalau kita refleksikan kembali krisis ekonomi tahun 1997 muncul karena akumulasi dan saling kait antara faktor eksternal dan faktor intenal. Secara eksternal bisa dikatakan bahwa krisis ekonomi 1997 memiliki karakter regional. krisis bermula dari efek penularan (contagious effect) atas krisis serupa yang terjadi di Thailand dan melalui pola domino krisis kemudian menyebabkan keruntuhan perekonomian negara-negara Asia yang lain termasuk Indonesia.
Sedangkan secara internal, krisis sudah ada benih-benihnya di dalam struktur ekonomi politik Indonesia sendiri. Sistem kapitalisme kroni yang berlaku selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi lahan persemaian yang subur bagi praktek-praktek KILN (Kolusi, korupsi dan nepotisme) yang merongrong fondamen ekonomi Indonesia sejak jauh hari sebelum munculnya krisis ekonomi. Selama masa sebelum krisis hal itu masih ditutupi oleh fenomena pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, namun begitu krisis datang hal itu nampak nyata sebagai kelemahan-kelemahan struktural yang harus diperbaiki.
Pertanyaan kedua dengan demikian tetah secara sekilas terjawab. Efektif atau tidaknya program pemulihan ekonomi IMF tergantung dari sikap pemerintah Orde Baru sendiri. Memang resep-resep pemulihan ekonomi IMF nampak sebagai sebuah pil pahit yang harus ditelan. Namun itulah kenyataan yang harus dihadapi. Dan ternyata lemahnya komitmen pemerintah Orde Baru untuk menjalankan resep-resep ekonomi IMF, yang ditunjukan dengan diingkarinya butir-butir kesepakatan datam Loi, menimbulkan reaksi negatif pasar yang semakin mengurung Indonesia ke dalam krisis yang semakin luas dan datam. Dari data-data yang berhasil penulis kumpulkan membuktikan bahwa pemerintah Orde Baru kurang memiliki komitmen serius menjalankan program-program pemulihan ekonomi IMF, dengan adanya kasus-kasus, seperti: mobnas Timor, kartel perdagangan kayu lapis, BPPC, dan terakhir mengenai rencana penerapan CBA (Currency Board Sistem). Ketidakseriusan pemerintah Orde Baru dalam menjalankan resep-resep pemulihan ekonomi IMF menimbulkan reaksi negatif pasar yang ditunjukan dengan semakin melorotnya nilai tukar rupiah. Setelah pemerintah menjalankan resep IMF sejak November, kurs rupiah justru terus metemah. Pada akhir Desember 1997, kurs berada pada kisaran Rp. 6.247/US$. Sedangkan Januari 1998, kurs rupiah mencapai Rp 15.700/US$. Kondisi ini semakin tidak kondusif bagi upaya recovery ekonomi. Di lain pihak, lemahnya komitmen tersebut harus dibayar mahal dengan dipaksanya pemerintah Indonesia di bawah rezim Orde Baru untuk menandatangani Lol 15 7anuari 1998 dan Lol 10 April 1998.
Keengganan pemerintah Orde Baru untuk menjalankan resep pemulihan ekonomi IMF bisa dikaitkan dengan keinginannya untuk tetap metindungi kepentingan-kepentingan ( vested interest) di sekitar tingkaran kekuasaan. Program-program pemulihan ekonomi IMF secara otomatis memang sangat berseberangan secara diametral dengan berbagai kepentingan ( vested interest) di sekitar kekuasaan. Vested interest tersebut berujud kepentingan bisnis dari orang-orang (baca: para kapitalis kroni) yang dilanggengkan oleh adanya sistem Kapitalisme Kroni."
Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Misbah (Lalu Misbah) Hidayat, 1948-
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007
350 MIS r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik H.
"Persoalan hubungan sipil-militer selama masa reformasi yang paling penting dan patut untuk dijadikan kajian maupun bahan penelitian adalah di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid yang berlangsung tidak-lebih dari 20 bulan, dari bulan Nopember 1999 hingga Juli 2001. Bukan saja karena terdapatnya sejumlah kebliakan penting yang dihasilkan dalam rangka penegakan supremasi sipil, keberhasilan militer Indonesia melakukan konsolidasi lnternal, ataupun hubungan sipil (Presiden Abdurrahman Wahid) dengan militer yang dipenuhi dengan 'ketegangan'. Lebih dari itu, militer indonesia memiiiki peranan yang cukup signifikan bagi naik dan turunnya Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan Rl ke-4.
Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI. Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai Presiden Rl ke-4 hasil Pemilu 1999. Sejumlah kebijakan penting ilu diantaranya, penggantian jabatan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementerian Pertahanan, penempatan orang sipil sebagai Menhan, realisasi pemisahan Polri dari TNI, penghapusan Bakorstanas dan Litsus, dicopotnya Jenderal TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, beberapa mutasi di tubuh militer misalnya penempatan Laksamana Widodo AS (AL) sebagai Pangab TNI, pergantian posisi Pangkostrad dan beberapa perwira tinggi lainnya yang dinilai sebagai upaya "dewirantoisasi', dihapusnya posisi Wakil Pangab, serta kebijakan yang belum terealisasi, yakni keinginan mengganti jabatan Panglima TNI dengan Kepala Staf Gabungan dan meletakkan TNI dibawah Menhan. Kedua, militer (TNI) ternyata melakukan respon balik bahkan ?perlawanan' atas beberapa kebijakan Abdurrahaman Wahid di atas, terutama yang berkaitan dengan seiumlah mutasi para perwira, yang dibuktikan dengan penolakan mereka atas Maklumat Presiden (Dekrit) dan dukungan mereka atas Sl MPR 2001.
Dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam dengan para pelaku (tokoh) penting di sipil maupun militer selama Abdurrahman Wahid menjabal Presiden Rl dan studi pustaka, dikumpulkan dan diverifikasi data-data itu, kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana pola hubungan sipil-militer di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, sejauhmana reposisi militer berlangsung di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan apakah pemerintahan Abdurrahman Wahid mampu membuat hubungan sipil-militer yang betul-betul mencerminkan adanya reposisi militer dari domain politik dan terbentuknya supremasi sipil yang akan mendukung demokratisasi di Indonesia ?.
Untuk itu, kerangka teori yang penulis gunakan dalam melihat hubungan sipil-militer di masa pemerintahan Abdurrahaman Wahid, pertama, bisa dijelaskan dengan teorinya Perimuller (1980), Huntington (1959) dan Welch (1970) yang melihat faktor eksternal militer menjadi penyebab munculnya intervensi. Sedangkan Finer (1988) dan Nordlinger (1994) melihal faktor internal militer (kepentingan militer) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer ke domain sipil. Kedua, Alfred Stepan (1998) tentang pengurangan hak istimewa militer dan otorilas politik militer serta Sundhaussen (1985) tentang alasan dan syarat penarikan diri militer dari wilayah politik. Ketiga, Perlmutler (1980) dengan teori fusionist (peleburan)-nya menjelaskan tentang model-model hubungan sipil-militer di dunia ketiga. Keempat, berkaitan dengan variasi dominasi militer banyak dilakukan oleh Huntington (1959), Monis Janowilz (1964), Claude E. Welch (1970), David E. Albright (1980), Qrouch (1985) dan Nordlinger (1994), yang menjelaskan model dominasi militer dalam pemerintahan sipil sesuai dengan posisi dan peran mililer di dunia ketiga.
Berdasarkan metode penelitian dan kerangka teoritik di atas, beberapa temuan penting hasil studi, analisis dan kesimpulan sebagai berikut : Pertama, posisi militer pasca Orde Baru masih kuat, Kedua, militer pasca Orde Baru telah melakukan beberapa perubahan internal yang merupakan jawaban atas tuntutan dan tekanan publik. Ketiga, inkonsistensi reposisi militer dari politik praktis juga dilakukan oleh kekuatan sipil. Keempat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memang lelah menandai adanya upaya untuk mereposisi militer dan keinginan untuk memprofesionalkan tentara. Kelima, Hubungan Abdurrahman Wahid-militer awalnya harmonis, namun tidak berlangsung Iama, sebab Abdurrahman Wahid terlalu mengakomodasi ?kelompok moderal? TNI yang menghendaki terciptanya militer profesional dan meninggalkan kelompok yang masih memperlahanlkan status quo dimana TNI tidak hanya berfungsi sebagai ?pemadam kebakaran? saja, tetapi sekaligus menolak prinsip supremasi sipil. Presiden dianggap lerlalu jauh melakukan intervensi ke tubuh TNI, sehingga kelompok konservatif mampu mengkonsolidasikan kekuatannya bekerja sama dengan kelompok sipil (Iawan polilik Abdurrahman Wahid) menolak Maklumat Presiden dan menggelar Sl-MPR.
Keenam, cita-cita penegakan prinsip supremasi sipil pada era kepemimpinanan Abdurrahman Wahid dapat disimpulkan gagal. Hal ini disebabkan oleh dua hal ; (1) presiden, parlemen dan para elite partai polilik menjadi titik lerlemahnya. Konflik yang berujung pada fragmentasi di antara kekuatan sipil telah membuka pintu bagi militer untuk terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan militer ini ditunjukkan melalui dukungannya lterhadap penyelenggaraan Sl MPR dan, (2) secara ideologis, militer belum sepenuhnya bersedia menarik diri dari domain polilik praktis. Karena, secara substansi, doktrin dan keyakinan anggola mililer belum berubah. Selain itu, keengganan militer unltuk back to barrack karena pemerintah belum sepenuhnya mampu memenuhi anggaran, kesejahteraan dan fasilitas untuk menjadikan militer yang profesional."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T12239
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
KAJ 6(3-4) 2001
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuddin Haris
"Setelah mengalami masa otoritarianisme politik selama hampir 40 tahun (1959-1998), Indonesia akhirnya memasuki era transisi menuju demokrasi. Namun ironisnya, era transisi tidak segera diikuti dengan tahap konsolidasi demokrasi. Presiden Abdurrahman Wahid dan DPR justru terperangkap ke dalam konflik politik berkepanjangan. Konflik itu begitu serius sehingga Abdurrahman Wahid akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden oleh para politisi partai besar melalui Sidang Istimewa MPR 2001.
Dalam kajian itu, tesis ini berusaha menjawab, mengapa terjadi konflik antara Presiden Wahid dan DPR sera faktor-faktor apa yang melatarbelakangi konflik tersebut?
Konflik Presiden Wahid dan DPR bersumber pada dua faktor yang bersifat mendasar. Pertama, tidak adanya platform politik dan visi bersama di antara para elite politik sipil dalam rangka mengakhiri rejim otoriter, dan membangun kerangka demokratis untuk mengakomodasi format politik baru produk Pemilu 1999. Kedua, terbentuknya format politik baru dengan sistem multipartai tanpa kekuatan mayoritas di DPR tidak diikuti dengan reformasi kelembagaan, terutama yang berkaitan dengan relasi kekuasaan Presiden, DPR, dan MPR. Akibatnva, praktik politik DPR cenderung mengarah pada sistem parlementer sementara UUD 1945 bernuansa presidensial.
Selain faktor-faktor di atas, konflik selama periode kajian ini dipicu pula oleh beberapa faktor lain, baik yang bersifat obyektif maupun subvektif. Faktor obyektif pertama adalah polarisasi politik produk Pemilu 1999 di mana PDIP sebagai partai pemenang hanya memperoleh 153 kursi dari 500 kursi DPR Kursi selebihnya diperoleh 20 partai lainnya, Ironisnya tidak ada inisiatif PDIP yang mencalonkan Megawati sebagai presiden untuk mengajak kerjasama dan koalisi dengan partai-partai lain. Konsekuensi logis sikap diam Megawati tersebut, muncul koalisi partai-partai berbasis Islam "Poros Tengah" yang mencalonkan Abdurrahman Wahid sebagai alternatif di luar Megawati dan Habibie. Solusi yang bersifat jangka pendek ini berlanjut ketika Presiden Wahid menyusun kabinet atas dasar kompromi dengan pimpinan kekuatan politik besar di DPR, trmasuk pimpinan TNI. Koalisi dan kompromi politik yang bersifat semu ini adalah faktor obyektif kedua yang melatari konflik politik yang menjadi fokus kajian ini.
Faktor-faktor subyektif yang menjadi sumber konflik adalah; pertama, berkembangnya personalisasi kekuasaan yang dilakukan Presiden Wahid seperti bongkar pasang kabinet, indikasi keterlibatan dalam kasus Bulog dan dana sumbangan Sultan Brunei, berbagai ancaman jika dia tidak lagi menjadi presiden, dan pengeluaran dekrit presiden yang memicu pemberhentiannya oleh SI MPR. Kedua, adalah kecenderungan partai-partai besar non-PKB di DPR memanfaatkan personalisasi kekuasaan yang dilakukan presiden untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid dalam rangka kepentingan kelompok masing-masing. Termasuk di dalam kategori kelompok ini adalah pembangkangan politik TNI/Polri yang kecewa karena kecenderungan Presiden Wahid melakukan intervensi terlampau jauh dalam kehidupan internal tentara dan polisi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T2333
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Politik Indonesia, 2005
S5673
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Andriyanto
"Skripsi ini membahas mengenai pelemahan ketahanan pangan komoditas beras Indonesia akibat implementasi dari Letter of Intent IMF, periode 1995 hingga 2009. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa Indonesia mengalami pelemahan ketahanan pangan beras dari segi ketersediaan, stabilitas pasokan beras, serta akses terhadap beras. Ketersediaan diukur dari perbandingan jumlah konsumsi per tahun dengan stok yang tersedia, stabilitas pasokan diukur dari perbandingan volume beras domestik dan beras impor, sedangkan akses diukur dari harga eceran beras setiap tahun. Ketersediaan beras Indonesia cenderung menunjukkan angka menurun, stabilitas menunjukkan angka impor beras yang fluktuatif dan cenderung naik, dan akses menunjukkan harga eceran beras yang terus naik setiap tahunnya.

This thesis discusses the weakening of Indonesia's rice food commodities due to the implementation of IMF Letter of Intent, the period 1995 to 2009. The method used is quantitative descriptive design. The results of this study show that Indonesia has weakened food security in terms of availability of rice, rice supply stability, and access to rice. Availability is measured from the ratio of the amount of consumption per year with available stock, supply stability measured by the ratio of the volume of domestic rice and rice imports, while the access measured from the retail price of rice every year. Indonesia rice availability is likely to show declining numbers, the stability showed that rice imports fluctuate and tend to rise, and access to show the retail price of rice continues to rise each year."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>